DPR
Pewarta Nusantara, Nasional - Survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik menempati posisi terbawah dalam tingkat kepercayaan publik dibandingkan dengan tujuh lembaga negara lainnya.
Hasil survei yang dilakukan pada 20-24 Juni 2023 menunjukkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih memimpin dengan tingkat kepercayaan publik sebesar 95,8 persen.
Kepercayaan tersebut terdiri dari 23,5 persen sangat percaya dan 72,3 persen cukup percaya, sementara yang kurang percaya dan tidak percaya sama sekali hanya mencapai 3,5 persen dan 0,5 persen.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin, menyatakan bahwa kepercayaan publik yang tinggi terhadap TNI disebabkan oleh fakta bahwa institusi tersebut tidak terlibat dalam politik praktis.
Burhanuddin menjelaskan bahwa "TNI berhasil menarik diri dari urusan politik praktis. Itulah yang menyebabkan TNI tetap dipercaya, setelah awal-awal reformasi TNI yang sulit, reformasi militer belakangan ini memberikan insentif dipercaya publik, karena mereka tak lagi terlibat dalam urusan politik sehari-hari."
Di posisi kedua, Presiden mendapatkan tingkat kepercayaan publik sebesar 92,8 persen, diikuti oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan 81,2 persen.
Menariknya, ini adalah pertama kalinya Kejagung mendapatkan kepercayaan publik di atas 80 persen sejak survei dilakukan pada tahun 1999.
"Menurut kami, ini adalah kali pertama Kejaksaan Agung menduduki peringkat tertinggi dalam sejarah. Biasanya mereka berada di kisaran 60-an persen, tetapi dalam setahun terakhir mereka konsisten berada di peringkat ketiga. Namun, ini adalah kali pertama mereka mencapai angka 80 persen, yakni 81,2 persen," ungkap Burhanuddin.
Posisi keempat diduduki oleh Polri dengan tingkat kepercayaan publik sebesar 76,4 persen, diikuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan 75,4 persen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan 73,8 persen, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan 73,3 persen.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik mendapatkan tingkat kepercayaan publik yang lebih rendah, masing-masing sebesar 68,5 persen dan 65,3 persen.
Angka ini relatif stabil dan menempatkan kedua lembaga tersebut di peringkat terendah dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya.
Survei ini dilakukan dengan metode multistage random sampling dan melibatkan 1.220 responden dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional.
Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, ukuran sampel ini memiliki toleransi kesalahan atau margin of error sekitar 2,9 persen. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Jakarta - Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) telah memulai rapat penyusunan revisi Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Salah satu poin revisi yang diusulkan adalah mengubah masa jabatan kepala desa (Kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun untuk dua periode.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi alias Awiek, menjelaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas pemdes.
Masa jabatan Kades selama enam tahun dinilai belum cukup untuk meredam konflik yang timbul dalam Pilkades. Dengan memperpanjang masa jabatan menjadi sembilan tahun, diharapkan sisa konflik Pilkades dapat mereda, serta stabilitas dapat berdampak positif terhadap pembangunan di desa.
Awiek juga menyebut bahwa revisi UU Desa merupakan konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XXI/2023. Meskipun tidak termasuk dalam prolegnas prioritas 2023, revisi UU Desa dapat dimulai sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut.
Selain perubahan masa jabatan, Fraksi PPP juga berencana mengusulkan aturan mengenai calon tunggal dalam Pilkades. Awiek mengusulkan agar calon kepala desa dapat ditetapkan secara langsung jika hanya terdapat satu calon, guna efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan.
Para kepala desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) sebelumnya telah menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, untuk menuntut perpanjangan masa jabatan.
Saat ini, masa jabatan kepala desa dalam UU Desa adalah enam tahun, namun mereka mendesak agar masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun.
Dukungan terhadap penambahan masa jabatan kepala desa juga diterima dari berbagai partai politik, termasuk PDIP yang merekomendasikan penambahan masa jabatan menjadi sembilan tahun untuk dua periode dalam Rakernas yang digelar bulan Juni lalu.
Baca juga: Luhut Pandjaitan Menguji Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan Menyampaikan Pengalaman Luar Biasa
Revisi UU Desa dan perubahan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun diharapkan dapat memberikan stabilitas yang lebih baik dalam kepemimpinan desa serta meningkatkan kualitas pembangunan di tingkat lokal. (*Ibs)
Pewarta Nusantara - Supres terkait RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah diterima oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani. Supres tersebut diserahkan oleh pemerintah kepada DPR RI pada tanggal 4 Mei 2023.
Pemerintah juga mengirim surat tugas kepada empat perwakilannya, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk membahas RUU tersebut bersama DPR.
Meskipun Supres tersebut sudah diterima, pembacaannya tidak dilakukan saat rapat paripurna pembukaan Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022/2023.
Hal ini disebabkan oleh mekanisme di DPR yang masih belum selesai. Puan menyatakan bahwa DPR akan menindaklanjuti Supres tersebut sesuai mekanisme yang berlaku dengan segera.
RUU Perampasan Aset telah melalui proses yang panjang sejak diusulkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2008.
Pada tahun 2022, RUU tersebut disetujui untuk masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023. (Sumber: Detik.com, Kompas.com)
Berikut adalah lima hal penting yang diharapkan dapat termuat dalam pembahasan draf RUU Perampasan Aset, menurut Alvin Nicola, peneliti dari Transparency International Indonesia (sumber: Kompas.tv):
- Perluasan jalan hukum: RUU ini diharapkan tidak hanya terbatas pada pembuktian dalam tindak pidana asal, tetapi juga memungkinkan penelusuran aset yang tidak sesuai dengan profil jika tidak ada tindak pidana awal.
- Kewenangan untuk melakukan perampasan: Undang-undang yang ada saat ini memiliki keterbatasan terkait kewenangan negara dalam perampasan aset terkait tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
- Perluasan subjek hukum: Alvin berharap RUU ini dapat mencakup pihak swasta, bukan hanya tatanan pejabat publik, dalam penelusuran aset dalam kasus-kasus TPPU.
- Relasi antar penegak hukum: Dalam proses pembahasan di DPR, perlu dilakukan klarifikasi terkait hubungan antar penegak hukum, mengingat kewenangan yang besar diberikan kepada Kejaksaan Agung dalam draf RUU Perampasan Aset.
- Pengelolaan aset: Alvin menyoroti pentingnya menjaga stabilitas nilai aset dalam pengelolaan aset. RUU ini diharapkan mendukung pendirian badan perampasan aset yang bertugas tidak hanya melakukan perampasan, tetapi juga menjaga nilai aset agar tetap stabil.
KPK Dorong Pengesahan RUU Perampasan Aset
KPK mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset dan menyambut baik pembahasannya. Dilansir oleh CNN Indonesia, KPK ingin RUU tersebut segera disahkan oleh DPR RI.
Asep Guntur Rahayu, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, mengungkapkan bahwa draf RUU tersebut telah diterima oleh KPK dan saat ini sedang diteliti oleh tim biro hukum KPK.
Dalam draf RUU Perampasan Aset tertanggal 18 April 2023, terdapat beberapa poin penting yang perlu dicatat. Salah satunya adalah adanya kemampuan untuk menyita aset dari pelaku tindak pidana tanpa harus melalui putusan pengadilan.
Selain itu, perampasan aset tindak pidana juga dapat dilakukan terhadap terdakwa yang telah dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Terdapat juga ketentuan bahwa nilai minimal aset tindak pidana yang dapat disita adalah Rp100 juta.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah lembaga non-pemerintah, meminta agar DPR melakukan publikasi setiap kali pembahasan RUU Perampasan Aset dilakukan.
Dilansir dari Kompas.com, Laola Easter, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, menganggap hal ini penting dilakukan agar publik yang terdampak dapat ikut serta dalam pembahasan RUU tersebut.