Muhammadiyah
Pewarta Nusantara, Jakarta – Penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1444 Hijriyah untuk Hari Raya Idul Adha kembali mengalami perbedaan antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Zulhijjah 1444 Hijriyah jatuh pada Selasa, 20 Juni 2023, sementara Muhammadiyah menetapkan tanggal tersebut jatuh pada Senin, 19 Juni 2023.
Perbedaan ini juga berdampak pada pelaksanaan Hari Raya Idul Adha 1444 H, di mana pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) merayakannya pada Kamis, 29 Juni 2023, sedangkan Muhammadiyah merayakannya sehari sebelumnya, pada 28 Juni 2023.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi berharap agar perbedaan ini tidak menonjolkan perbedaan di antara mereka yang merayakan Idul Adha.
Menurutnya, perbedaan ini harus disikapi dengan sikap toleransi dan saling menghargai untuk mencari titik temu persamaan yang dimiliki.
Zainut menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi bukanlah untuk saling mencaci, melainkan perbedaan tersebut perlu dihadapi dengan sikap tasamuh dan toleransi.
Muhammadiyah mengusulkan agar libur Idul Adha ditetapkan selama dua hari sebagai langkah mengantisipasi perbedaan penetapan hari raya antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Usulan ini disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Dia berharap agar usulan ini dapat disetujui oleh pemerintah sehingga umat Muhammadiyah dapat melaksanakan salat Id dengan tenang dan khusyuk.
Namun, keputusan mengenai opsi libur selama dua hari tersebut masih dalam tahap pembahasan oleh pemerintah.
Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi menyampaikan bahwa opsi libur selama dua hari untuk Idul Adha 2023 belum diputuskan oleh pemerintah.
Meskipun begitu, Menteri Agama Yaqut Cholil Basa mendengarkan aspirasi yang disampaikan masyarakat dan sedang berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait.
Keputusan mengenai libur bukan merupakan kewenangan Kementerian Agama, namun pihaknya berikhtiar untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan akan membawa masalah ini dalam rapat binmas yang lebih luas.
Sementara itu, belum ada arahan dari Presiden Joko Widodo terkait cuti bersama untuk merespons usulan tersebut. Perbedaan penetapan tanggal Hari Raya Idul Adha antara Muhammadiyah dan pemerintah menimbulkan beberapa pertimbangan dan reaksi dari berbagai pihak. Hal ini mengundang diskusi tentang harmonisasi dalam perayaan hari raya keagamaan di Indonesia.
Pemerintah dan Kementerian Agama bertanggung jawab atas penetapan tanggal Hari Raya Idul Adha berdasarkan metode hisab dan rukyat yang dipercaya untuk menentukan awal bulan Hijriyah.
Namun, perbedaan dalam penentuan ini tidak jarang terjadi dalam sejarah Indonesia. Meskipun ada perbedaan pendapat, baik Muhammadiyah, NU, maupun pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga kerukunan antarumat beragama.
Dalam menghadapi perbedaan ini, penting bagi masyarakat untuk menjaga sikap saling menghargai dan mengedepankan toleransi.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menekankan pentingnya mencari titik temu persamaan dalam perbedaan yang ada. Sikap tasamuh dan toleransi harus diterapkan agar perbedaan dalam penetapan tanggal tidak menjadi sumber konflik atau perpecahan.
Muhammadiyah mengusulkan agar libur Idul Adha ditetapkan selama dua hari sebagai langkah praktis untuk mengakomodasi perbedaan tersebut.
Usulan ini muncul dengan tujuan agar umat Muhammadiyah dapat merayakan Hari Raya Idul Adha dengan lebih khidmat tanpa harus terganggu dengan kewajiban bekerja.
Namun, keputusan mengenai libur tersebut masih dalam proses pembahasan oleh pemerintah dan belum ada arahan resmi terkait hal ini.
Pemerintah, termasuk Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, menyatakan perlunya pertimbangan yang matang dalam menetapkan kebijakan libur.
Faktor-faktor seperti efektivitas pelayanan publik, keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan sosial, serta arahan presiden menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan.
Perbedaan penetapan tanggal Hari Raya Idul Adha memperlihatkan dinamika dan kompleksitas dalam menjaga keharmonisan dan pluralitas di Indonesia.
Namun, melalui dialog dan kerjasama antara Muhammadiyah, NU, dan pemerintah, diharapkan dapat ditemukan solusi yang terbaik untuk kepentingan umat Islam dan masyarakat secara keseluruhan.
Semua pihak perlu berupaya untuk memperkuat toleransi, saling menghormati, dan memperdalam pemahaman tentang pentingnya kerukunan beragama dalam menjaga keberagaman yang ada di Indonesia. (*Ibs)