"Welcome To The Machine"
Welcome my son, welcome to the machine.
Where have you been?
It's alright we know where you've been.
You've been in the pipeline, filling in time
Provided with toys and Scouting for Boys.
You bought a guitar to punish your ma.
And you didn't like school,
and you know you're nobody's fool.
So welcome to the machine.Welcome my son, welcome to the machine.
What did you dream?
It's alright we told you what to dream.
You dreamed of a big star,
He played a mean guitar,
He always ate in the Steak Bar.
He loved to drive in his Jaguar.
So welcome to the machine.
Akhir-akhir ini saya sering memutar lagu-lagu 70-an 'progressive rock' (atau yang bernuansa psikedelik) setelah sekian lama mabuk dengan petikan gitar berat Jimmy Page dari Led Zeppelin, terlebih saat sedang menulis tugas -yang numpuk- kemarin. Genre progresif ini akhirnya berhasil menjatuhkan saya dan saya mulai merasa nyaman saat mendengarkannya, ketukannya slow, banyak nada-nada eksperimental yang sulit ditebak, terkadang bercampur dengan harmonisnya Jazz yang hangat, dan terutama sekali pada lirik-liriknya yang filosofis dan kritis.
Pink Floyd adalah salah satu band prog-rock juga psychedelic rock asal Inggris yang dibentuk pada tahun 1965. Dalam album "Wish You Were Here" (1975) lagu yang berjudul "Welcome to The Machine", mengkritik sistem pendidikan di sekolah-sekolah bagaikan sebuah mesin. Namun mesin disini dalam arti tidak menjadikan anak itu sebagai suatu suku cadang atau hardware yang menjadikan mesin semakin canggih, tapi anak dijadikan sebagai bahan bakar. Makanya dalam bagian liriknya digambarkan "sesuatu yang keluar dari pipa".
.....
You've been in the pipeline, filling in time
Provided with toys and Scouting for Boys
.....
So welcome to the machine
Menurut subyektif penulis, yang dimaksud dalam lirik ini juga tentang realitas anak yang seharusnya berada di bangku sekolah namun tidak mau (mampu) untuk sekolah, entah karena relativitas kemampuan anak ataupun yang lainnya. Sehingga, anak hanya menjadi penerima pelajaran dengan buta dan mimpi-mimpi dari 'orang tua' (kiranya yang dimaksud 'orang tua' di lirik ini mengacu kepada status quo, atau dalam istilah film The School of Rock adalah “The Man”. Atau juga karena tekanan sosial yg membuat seragam dengan orang lain). Hal yang demikian akan menghilangkan sikap kritis dan kreativitas. Pada akhirnya hal itu akan membuat si anak datang ke dalam 'mesin' bukan sebagai suku cadang, tetapi sebagai bahan bakar. Oleh karenanya si anak digambarkan datang dari 'pipeline' atau pipa saluran bahan bakar.
Sepertinya 'sekolah' yang diinginkan oleh-persona atau penulis-lirik dalam lagu ini adalah sekolah yang menjadikan seseorang menjadi pemikir kritis dan mempunyai kreativitas yang bebas, sehingga tidak hanya mendamba bintang-bintang besar yang hidup berkubang di steak bar dan menunggang Jaguar. Jadi, kalau diulur lebih jauh lagi, lagu ini juga mengandung asumsi bahwa tidak sekolah formal pun tidak masalah asal bisa berpikir kritis.
Menurut Emha Ainun Nadjib, pendidikan adalah menemani anak didik untuk mengetahui kehendak Tuhan terhadap dirinya tersebut. Cara pertama yang harus ditempuh untuk mengetahui kehendak Tuhan adalah mengenal jati dirinya. Sesungguhnya Tuhan sudah memberikan seperangkat pengetahuan, begitu lahir ke dunia - ia sengaja dilupakan oleh Tuhan. Hikmahnya, agar manusia tersebut senantiasa mencari, meneliti dirinya sendiri sampai menemukan (keagungan) Tuhan. Paradigma pembelajaran yang ada hingga saat ini masih cenderung 'mengimpor' pengetahuan dari luar dirinya. Akibatnya pengembangan potensi kemampuan nalar akal dan kreativitas mengalami kemandegan. Oleh karena itu, menurut Cak Nun pendidikan harus mengenal sangkan paran, yaitu dimana tempat berpijak dan kemana harus melangkah ke tujuan sejati.
Dari kecil kita sudah menjadi budak yang sangat terdidik dengan jerat sistem pendidikan (sekolah) yang sedemikian rapi dan cita-cita bak raja dengan segala kemuliaannya. Semua yang diajarkan di sana kompleks, sempurna dan brilian. Bahkan, budak tersebut harus mampu mendaki tebing yang tinggi, yakni tujuan dengan peraturan yang sombong itu. Demi mimpi yang paling mulia kelak. Tak peduli relativitas kemampuan mereka, bagaimana mereka melangkah tertatih-tatih kesulitan atau mungkin seperti merasa tenggelam dalam laut yang begitu dalam. Pada akhirnya mau tidak mau mereka harus menurut pada sistem itu dengan hasil apapun. Hingga akhirnya mereka terlepas dari sistem yang mengekang, dan dihadapkan dengan medan pertempuran yang baru, yakni realitas kehidupan.
Paradigma tentang seorang (pelajar) yang cerdas pun kiranya telah benar-benar sempit dan terbatasi oleh bagian-bagian kecil dari kehidupannya di lingkungan sekolah saja. Dalam arti bahwa seorang akan dianggap cerdas jika ia hebat dalam (pelajaran) matematika, fisika, ekonomi dan lain sebagainya. Yang (kebanyakan) hanya bersifat teori saja. Padahal, proses pendidikan bukan hanya dalam lingkup sekolah saja. Namun, ada keluarga dan lingkungan yang merupakan agen sosialisasi juga.
Kesadaran menampar mereka, nyatanya apa yang sudah dipelajari kala itu tidak bersahabat dengan relativitas dan kondisi realitas yang dihadapinya. Sisi kreatifitas mereka lumpuh dan membusuk. Meskipun beberapa dari mereka, akhirnya dapat berjumpa dengan mimpi yang selalu dimpikannya. Sebagian yang lain akan menjadi pupuk penyubur tanaman kapital yang seakan tak mungkin mati.
Dan sebagian yang terakhir akan dihadapkan dengan kebingungan, seakan apa yang dirasakannya bagaikan bayi yang baru lahir atau seperti anak kecil yang diharuskan turun dalam medan pertempuran tanpa adanya mukjizat dari Tuhan. Bagaimanapun mereka harus bereksplorasi di saat itu juga, menemukan passion dan mulai membangkitkan kreativitas yang lumpuh itu. Lalu sejauhmana pendidikan yang sudah ia teguk selama bertahun-tahun itu berdampak??
Kesadaran harusnya ditumbuhkan sedini mungkin, di mana tempat berpijak dan kemana harus melangkah ke tujuan sejati. Sekolah harus melahirkan para pemikir yang kritis dan menjadi pribadi yang kreatif agar mereka dapat bereksplorasi ria, karena mereka adalah tonggak bangsa bukanlah bahan bakar. Menemukan apa yang harus dihadapi dengan relativitas kemampuannya juga medan realitas yang mengharuskannya hidup hingga dapat tumbuh berbunga dan berbuah.
Tulisan ini hanya bunga liar dari pekatnya kopi dan asap-asap yang menemani saya di malam hari.
"Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberikan akal dan pikiran untuk memandu kehidupannya di dunia. Kalau manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir, apa bedanya dengan binatang? Jika saya tidak memutar otak, dari mana saya bisa memberi makan keluarga? Memang semuanya itu dari Allah, sayangnya Allah tidak datang kesini menenteng bahan makanan, tapi kita yang harus aktif jemput bola. Bahkan jika tidak ada peluang, kita harus bisa menciptakannya."
Itu adalah wejangan ayah yang selalu saya ingat. Kalau ayah sudah bicara, omongannya memang suka ngelantur kemana-mana. Apa hubungannya bahan makanan dengan bola? Untungnya beliau punya anak yang... yah, you know what i Mean lah... Sehingga esensinya tetap bisa saya terima dengan selamat tanpa kurang suatu apapun.
Pemikiran ayah yang sedikit meterialis, saya terapkan pada proses penaklukan hati sijelita penyuka warna merah, pemilik hidung panjang seruncing ujung pedang, dambaan para lelaki, Putri binti Kasturi.
Meskipun saya percaya, Tuhan telah mencatat nama saya dan Putri di lauhil mahfud, saya tetap harus menyingkirkan sendiri kutu-kutu yang menempel pada perjalanan cinta saya dan putri, Seperti Yogi dan para pengemis cinta lainnya. Point pentingnya, saya harus terus berada di dekat Putri. Jika tidak ada peluang sekalipun, maka saya harus menciptakannya sendiri.
Karena hari Minggu tidak bisa bertemu dengan putri di sekolah, Untuk itu saya harus ikut mengaji di pak kiyai Jarkoni setiap Minggu pagi. Ini akan menjadi moment perjumpaan yang berbeda dan sekaligus nilai lebih Dimata putri.
Minggu pagi tanpa mandi menjadi hari penting, karena pagi ini adalah pertama kalinya saya mengaji pada kiyai Jarkoni. Jelas itu bukan urusan spirituil, melainkan salah satu upaya strategis dalam penaklukan hati anak bapak kasturi.
Rumah kiyai Jarkoni tidak jauh, hanya berjarak 10 menit dari rumah saya. Namun, sekalipun saya tidak pernah mengusik ketenangan feodalis berkedok agama itu, keluarga Cendana yang hartanya tidak habis dimakan 7 turunan, diktator kaum proletar yang di tuhankan para santrinya, kiyai Fajar Abdul Ghoni.
Sesampainya di aula tempat pengajian, ternyata sudah dipadati para santri berpakaian putih yang berjumlah ratusan. Saya duduk di depan berharap putri tau kalau saya juga mengaji.
Tidak lama saya duduk pak kiyai datang. Beliau membuka pengajian dengan bacaan yang saya tidak pernah dengar, tapi semua santri hafal bacaan tersebut.
Seketika itu saya merasa salah di hadapan Tuhan, keimananku seolah kurang sempurna karena tidak hafal bacaan mereka, dan di dalam hati saya bertanya pada Tuhan "ya Tuhan, saya percaya kepadaMu. Dengan kepercayaan itu, saya merasa menjadi hambaMu. Melihat santri begitu antusias membaca bacaan ini yang saya baru pertama kali mendengarnya, apakah selama ini saya adalah orang yang sekular ya Tuhan? Apakah saya ini benar-benar hambaMu ya Tuhan?" Kataku sambil bengong melihat pak kiyai yang terus menatap kebengongnku.
Dalam pengajian, pak kiyai berkata "Sebagai umat Islam kita wajib hukumnya menuntut ilmu, jika tidak tau, maka bertanya kepada yang tau. Bagai mana kita bisa shalat jika kita tidak tau cara shalat?" Kata pak kiyai sambil memandangku dengan pandangan sinis seolah menebak saya adalah santri baru yang tidak datang kerumahnya membawa gula teh dan kawan-kawannya.
Kemudian beliau menunjuk saya dan menanyakan nama. "Siapa nama kamu mas? Iya, kamu yang pake peci hitam karatan." Seluruh ruangan menjadi gaduh oleh tawa santri. Mereka menganggap peci hitam kakek yang saya pakai ini lucu. "Dasar oportunis" kataku dalam hati.
"Siapa mas?" Tanya pak kiyai lagi. Entah kenapa yang saya ingat adalah ketika Putri memaki dengan sebutan "kupret" karena sampannya saya tabrak waktu itu.
Dengan tergesa-gesa dan sedikit grogi, saya jawab "Kupret pak kiyai !!" Suasana tiba-tiba hening, para santri menganggap saya memaki pak kiyai. "Oh, nama kamu kupret" kata pak kiyai. Santri kembali tertawa terbahak-bahak menertawakan nama saya yang tidak lazim.
Pak kiyai kembali bertanya "pret, kamu pernah shalat di masjid?" "Pernah pak kiyai" jawab saya sambil melirik putri yang duduk di barisan sebelah kanan khusus santriwati. "Bagus.. lalu kamu tau tidak, bagaimana hukumnya, jika kamu sedang shalat tiba-tiba ada seekor anjing masuk, anjing tersebut kemudian menjilat kaki waktu kamu shalat, shalat kamu sah atau tidak pret?"
Sebelum pertanyaan diucapkan, saya sempat berpikir "ini jelas pertanyaan jebakan. Saya harus bisa menjawab ini secara detail agar putri tau betapa calon imamnya sangat faham keilmuan agama" Yang saya pikirkan adalah moment ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk mendapat perhatian Putri.
Sebelum pak kiyai selesai bertanya, saya menyela dengan jawaban yang lantang "Shalat harus dalam keadaan suci pak kiyai. Suci yang dimaksud adalah terbebas dari hadas kecil maupun besar. Sedangkan air liur anjing adalah najis mugholadhoh, najis besar pak kiyai!!, membersihkannya harus dibasuh tujuh kali, dan yang terakhir menggunakan pasir. Jika shalat dalam keadaan najis menempel di kaki, maka hukumnya haram dan tidak sah!!" Jawabku dengan tegas.
Suasana kembali hening setelah saya selesai menjawab. Pak kiyai kemudian berkata "ini adalah salah satu contoh anak yang harus terus mengaji, karena pemahamannya ternyata sangat dangkal" para santri kembali menertawai saya karena statement pak kiyai yang menyudutkan.
"Bagai mana mungkin shalat bisa sah kalau kakinya dijilat anjing pak kiyai!!, Pak kiyai jangan mengajarkan kesesatan pada santri!!" Saya mencoba menjelaskan kembali, dengan nada lantang penuh emosi.
"Shalat kamu tetap sah kupret.., karena yang dijilat anjing adalah kakinya sendiri". Seketika itu ruangan pecah dengan tawa santri yang terbahak-bahak. Saya benar-benar melakukan blunder fatal, terlihat dungu dan jelas saya belum pernah mengaji ala santri kiyai Fajar Abdul Ghoni. "Dasar Jarkoni"
#KupretPart2
Pagi ini langit terlihat cerah, biru pekat bernoda bintang-bintang yang enggan memejamkan sinarnya. awan putih selembut kapas tampak di atas perbukitan sisi selatan belakang rumahku, di mana angin perlahan menyapunya ke arah Utara. Aku tak pernah bosan melihat semesta yang begitu cantik di setiap pagi bulan Agustus.
Tanah yang kuinjak ini terasa masih dingin dan basah berembun. Entah apa yang membuatku keluar rumah, berjalan tanpa alas kaki, Menginjak tanah yang membelah rerumputan menjadi jalan menuju tepi danau. Di tengah perjalanan sempat terdiam sejenak, berfikir, kemudian menengok ke belakang dan melihat rumah dari kejauhan. Dari situ aku mulai sadar, bahwa ada satu hal penting yang terlupakan "untuk apa aku kesini? Apa yang sedang aku lakukan?" Monolog bodoh pun aku mainkan. Yah, Aku lupa tujuan keluar rumah.
Di tengah kelupaan tentang tujuan-pun sempat mencoba mengingat kembali "aku?" "hwwh nama...nama" "siapa namaku?". Ini jelas pertanyaan yang begitu bodoh, karena lupa dengan namake sendiri. Entah apa yang dipikirkan aku justru terpancing untuk menjawabnya dari perspektif yang lebih substansial. Tentu saja otak yang tidak berdaya ini semakin terintimidasi.
Diriku yang seolah dalam kondisi setengah hidup-pun semakin redup bersama pagi yang enggan memanggil matahari. Betapa tidak, sekarang benar-benar tidak tahu dan tidak bisa menjawab semua itu, bahkan nama sendiri pun tidak ingat. Ada apa dengan pagi ini, selimut indah alam inikah yang membuat sebagian memori dalam otakku tertutup? Sambil menoleh kekanan dan kiri, tak ada seorangpun dsekitar, hanya suara jangkrik beradu dengan gemericik air danau yang terlipat angin.
Dalam kebungungan, aku termenung beberapa saat untuk memikirkan dua pertanyaan itu, semakin dalam mengingatnya semakin sukar untuk mendapatkan jawabannya. Aku tidak lagi peduli dengan pertanyaan "siapa namaku?", sekarang yang membuatku sangat kesal adalah karena tidak dapat mengingat tujuan keluar rumah, karena tenagaku menjadi sia-sia.
Di tengah kebingungan yang rumit, tanpa sengaja pandanganku tertuju pada warna merah yang berada di tepi jalan menuju danau di antara rumput hijau yang menari tertiup angin. "benda ini bukan benda baru, bukan juga benda yang tak pernah ku lihat tapi ribuan bahkan jutaan kali atau lebih, dan juga benda ini pernah begitu berarti dalam hidupku, tapi apa ini?"
Kegoblogkan pun terulang, kelupaanku benar-benar menjadi benang kusut melilit dalam rumitnya pertanyaan yang belum terjawab. Menyimpulkan bentuk dari warna merah yang kulihat-pun tak bisa. Semakin lama menatap semakin enggan ku palingkan, aku terhipnotis benda ini, tertantang untuk menyebutkan siapa dirinya.
Ku dekati ia dan ku tatap lebih dekat lagi, dari benda ini aroma harum yang terbawa bersama dengan angin pagi tercium dan menyadarkanku bahwa yang kulihat ini adalah mawar merah ditengah tumbuhan hijau yang terhampar. "Iya benar, ini adalah mawar merah", kataku dalam hati meyakinkan pandangan kosong pada sicantik yang merona.
Penglihatan ku tidaklah kabur, mata yang tertuju pada seonggok warna merah ini pun sangat jelas bahkan mampu merinci bentuk dan lekukannya. Namun entah kenapa mataku tidak dapat mentransfer hasil pandangannya menjadi satu kesimpulan bahwa yang ia lihat adalah bunga bernama mawar.
"Tentu saja kamu adalah mawar. bagai mana mungkin aku tidak mengenalimu." Sapaku dengan senyuman pada si merah cantik nan anggun.
Mawarlah yang selalu memberikan senyuman dari luar jendela kamar setiap pagi, mawarlah tumbuhan yang ku tanam di sudut terbaik halaman rumah, mawarlah yang mengingatkan ku pada sosok cantik putri dan mawarlah yang suatu saat harus aku berikan pada Putri agar ia tau dan merasakan betapa harum kasih sayangku padanya. "Ingatkan aku lagi jika dirimu mulai terlupakan".
Misteri warna merah ditengah perjalanan menuju danau berhasil kutemukan jawabannya. Adalah mawar merah yang kembali mengajak pikiranku memeluk segala imajinasi tentang Putri sijelita anggun pujaanku. Orang-orang menyebut Putri kembang desa, tapi aku meng-imani lebih dari itu. Bagiku, kecantikan Putri tak terbatas teritori bahkan waktu, baik dulu, kini dan esok Putri adalah kembang semesta di hatiku. Aku tidak mungkin melupakan Putri dan mawar-lah yang pagi ini mengingatkanku untuk tidak melupakannya.
Berbincang dengan mawar membuatku nyaman, kekusutan pikiranku terurai bersama harum mawar dan imajinasi tentang Putri. Kini semburat matahari dari timur benar-benar nyata membawa cahaya menyinari embun yang masih dingin dan riak air danau menjadi kerlip sinar kecil disetiap titik. Begitu juga dengan otakku yang sedari tadi entah apa yang dilakukannya, membeku tak satupun pertanyaan bodoh bisa ia jawab, sampai aroma mawar memaki hidungku dengan keharuman-nya yang khas, barulah kerlip cahaya terpantul di otakku pada ingatan tentang mawar dan wajah cantik Putri.
Aku petik mawar itu, kubawa bersama dengan kenangan tentang Putri menuju tepi danau, agar manisnya kerinduan tak berhenti sampai di sini. Sesampainya ditepi danau pandanganku tertuju pada sampan yang melaju pelan dari arah timur kebarat. Tak perlu meminta otakku bekerja untuk menyimpulkan bahwa gadis cantik di atas sampan adalah putri binti kasturi. Sekarang semuanya menjadi terang. Aku ingat, setiap Minggu pagi kamu pergi kerumah pak kyai untuk mengaji, dan Minggu kemarin aku disuruh menjala udang oleh ayahku sehingga aku berpapasan sampan bahkan sempat menyerempet sisi kiri sampanmu, sehingga kamu memanggilku "kupret!" aku tidak mau menjawab panggilanmu, karena kasih sayangku bukan cangkokan, aku tidak mau cinta kita prematur, biarkan semesta yang menuntun takdir kita, biarkan langit yang menyirami benih cinta kita dengan hujan kerinduan, meskipun aku yakin dengan lebih dulu memanggilku kamu sangat ingin berbincang bersama cinta dan kerinduanku.
Sampan berjarak seratus meter itu begitu pelan, seolah menunggu mataku benar-benar puas memandang-nya. Atau waktu yang memang melambat, mempersilahkan kerinduanku tertuang pada pemiliknya. Bukan sampan kecil yang ku perhatikan, tapi wajah yang sedikit tertutup kerudung merah panjang. Barkali-kali ia selipkan kerudungnya dibelakang telinga kiri. Betapa ia ingin mendengarku memanggil namanya.
Bukan tidak mau memanggil namanya, aku tidak mau merusak selimut indah semesta karena teriakanku. Kuhirup dalam-dalam aroma mawar di tangan hingga menyatu dengan nafas, barulah aku titipkan panggilan kepadanya bersama aroma harum mawar merah. Sekarang aku hanya berharap angin berada di pihaku, menyampaikan dengan lembut panggilan kerinduanku dari jarak seratus meter.
Tes CPNS (pendaftaran PNS) tahun ini telah dibuka sejak 11 Juli - 31 Juli 2017 . Antusias para pelamar sangat tinggi, terbukti saat ini sccn.bkn.go.id per september telah menampung sekitar 6jt peserta, termasuk saya. Jumlah ini tentu tidak berhenti disini, pendaftaran masih dibuka sampai tgl 25 september. Semoga Indonesia mendapatkan tenaga kepegawaian yang kompeten dan menjunjung tinggi integritas.
Pendaftaran CPNS tahun ini termasuk pendaftaran yang paling ditunggu oleh para akademisi dan sarjana Indonesia. Pasalnya tahun sebelumnya tidak ada formasi untuk CPNS. Para sarjana tanah air seolah mendapatkan siraman hujan ditengah musim kemarau. Entah apa yang membuat posisi kepegawaian negeri sangat diincar, mungkin karena status PNS yang begitu mentereng sehingga menambah kepercayaan diri para pelamar, khususnya untuk menghadapi calon mertua heheh. semoga cuma saya yang memiliki latar belakan mengikuti tes dengan niat yang tulus untuk mertua, karena saya sadar indonesia tidak butuh menantu, melainkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi tinggi dibidangnya.
Melihat pelamar yang begitu membludak dan keniatan unik saya pribadi, jadi teringat lagu Bang Iwan, "sarjana begini bayakkah di negeri ini, tak ada bedanya dengan roti." Lirik tersebut memang ditujukan bagi para sarjana yang TA-nya beli di toko sebelah, namun menyandang status sarjana yang berusaha mengabdi pada negara dengan niatan tidak jelas jadi merasa tersindir. Karena lagu tersebut juga menggambarkan seorang sarjana yang tidak mencerminkan kesarjanaannya.
Saking banyaknya pendaftar, situs resmi portal pendaftaran cpns ini sampai overload. saya melakukan pendaftara berjibaku dengan stabilitas server. Kata-kata mutiara punk rock jalanan tidak sekali dua kali saya ucapkan, semoga para tim seleksi tidak mendengar kata-kata pujian yang sangat mencerminkan akademisi itu. Kata-kata yang saya ucapkan bukan umpatan, melainkan kata-kata mutiara yang merdu untuk menghibur diri. Emosi seseorang jika ditahan tentu memberikan dampak negatif bagi psikis, mana mungkin negara mempekerjakan orang yang psikisnya terganggu. Jadi saya luapkan agar negara ini mendapatkan kandidat yang siap mental dan sehat jasmani dan rohani.
Setelah mencoba beberapa lama, dan saya juga merasa cape mengeluarkan kata-kata mutiara, saya merasa apa yang keluar dari mulut sangat-sangat unfaedah. Maka selang beberapa saat saya ganti dengan dzikir "astaghfirullaaaaah" saya berharap luapan emosi berubah menjadi amal ibadah, amin. Server yang merasa superior melawan saya, biarkan dia melawan Tuhan agar dia tahu bahwa "la khaula wala quwwata illa billah".
Kejadian ini mengingatkan saya pada pembuatan website Revolusi Mental yang menghabiskan anggaran APBN sebesar 140 Milyar Rupiah. Jika dana pembuatan website Revolusi Mental sebesar itu, website CPNS ini juga sangat memiliki peluang untuk menjadi website yang power full, karena website sangat menentukan SDM yang mengabdi pada negara. Sehingga para "roti" tidak perlu mengucapkan kata-kata mutiara, atau memanggil tuhan mereka untuk turun tangan.