Pagi ini langit terlihat cerah, biru pekat bernoda bintang-bintang yang enggan memejamkan sinarnya. awan putih selembut kapas tampak di atas perbukitan sisi selatan belakang rumahku, di mana angin perlahan menyapunya ke arah Utara. Aku tak pernah bosan melihat semesta yang begitu cantik di setiap pagi bulan Agustus.
Tanah yang kuinjak ini terasa masih dingin dan basah berembun. Entah apa yang membuatku keluar rumah, berjalan tanpa alas kaki, Menginjak tanah yang membelah rerumputan menjadi jalan menuju tepi danau. Di tengah perjalanan sempat terdiam sejenak, berfikir, kemudian menengok ke belakang dan melihat rumah dari kejauhan. Dari situ aku mulai sadar, bahwa ada satu hal penting yang terlupakan “untuk apa aku kesini? Apa yang sedang aku lakukan?” Monolog bodoh pun aku mainkan. Yah, Aku lupa tujuan keluar rumah.
Di tengah kelupaan tentang tujuan-pun sempat mencoba mengingat kembali “aku?” “hwwh nama…nama” “siapa namaku?”. Ini jelas pertanyaan yang begitu bodoh, karena lupa dengan namake sendiri. Entah apa yang dipikirkan aku justru terpancing untuk menjawabnya dari perspektif yang lebih substansial. Tentu saja otak yang tidak berdaya ini semakin terintimidasi.
Diriku yang seolah dalam kondisi setengah hidup-pun semakin redup bersama pagi yang enggan memanggil matahari. Betapa tidak, sekarang benar-benar tidak tahu dan tidak bisa menjawab semua itu, bahkan nama sendiri pun tidak ingat. Ada apa dengan pagi ini, selimut indah alam inikah yang membuat sebagian memori dalam otakku tertutup? Sambil menoleh kekanan dan kiri, tak ada seorangpun dsekitar, hanya suara jangkrik beradu dengan gemericik air danau yang terlipat angin.
Dalam kebungungan, aku termenung beberapa saat untuk memikirkan dua pertanyaan itu, semakin dalam mengingatnya semakin sukar untuk mendapatkan jawabannya. Aku tidak lagi peduli dengan pertanyaan “siapa namaku?”, sekarang yang membuatku sangat kesal adalah karena tidak dapat mengingat tujuan keluar rumah, karena tenagaku menjadi sia-sia.
Di tengah kebingungan yang rumit, tanpa sengaja pandanganku tertuju pada warna merah yang berada di tepi jalan menuju danau di antara rumput hijau yang menari tertiup angin. “benda ini bukan benda baru, bukan juga benda yang tak pernah ku lihat tapi ribuan bahkan jutaan kali atau lebih, dan juga benda ini pernah begitu berarti dalam hidupku, tapi apa ini?”
Kegoblogkan pun terulang, kelupaanku benar-benar menjadi benang kusut melilit dalam rumitnya pertanyaan yang belum terjawab. Menyimpulkan bentuk dari warna merah yang kulihat-pun tak bisa. Semakin lama menatap semakin enggan ku palingkan, aku terhipnotis benda ini, tertantang untuk menyebutkan siapa dirinya.
Ku dekati ia dan ku tatap lebih dekat lagi, dari benda ini aroma harum yang terbawa bersama dengan angin pagi tercium dan menyadarkanku bahwa yang kulihat ini adalah mawar merah ditengah tumbuhan hijau yang terhampar. “Iya benar, ini adalah mawar merah”, kataku dalam hati meyakinkan pandangan kosong pada sicantik yang merona.
Penglihatan ku tidaklah kabur, mata yang tertuju pada seonggok warna merah ini pun sangat jelas bahkan mampu merinci bentuk dan lekukannya. Namun entah kenapa mataku tidak dapat mentransfer hasil pandangannya menjadi satu kesimpulan bahwa yang ia lihat adalah bunga bernama mawar.
“Tentu saja kamu adalah mawar. bagai mana mungkin aku tidak mengenalimu.” Sapaku dengan senyuman pada si merah cantik nan anggun.
Mawarlah yang selalu memberikan senyuman dari luar jendela kamar setiap pagi, mawarlah tumbuhan yang ku tanam di sudut terbaik halaman rumah, mawarlah yang mengingatkan ku pada sosok cantik putri dan mawarlah yang suatu saat harus aku berikan pada Putri agar ia tau dan merasakan betapa harum kasih sayangku padanya. “Ingatkan aku lagi jika dirimu mulai terlupakan”.
Misteri warna merah ditengah perjalanan menuju danau berhasil kutemukan jawabannya. Adalah mawar merah yang kembali mengajak pikiranku memeluk segala imajinasi tentang Putri sijelita anggun pujaanku. Orang-orang menyebut Putri kembang desa, tapi aku meng-imani lebih dari itu. Bagiku, kecantikan Putri tak terbatas teritori bahkan waktu, baik dulu, kini dan esok Putri adalah kembang semesta di hatiku. Aku tidak mungkin melupakan Putri dan mawar-lah yang pagi ini mengingatkanku untuk tidak melupakannya.
Berbincang dengan mawar membuatku nyaman, kekusutan pikiranku terurai bersama harum mawar dan imajinasi tentang Putri. Kini semburat matahari dari timur benar-benar nyata membawa cahaya menyinari embun yang masih dingin dan riak air danau menjadi kerlip sinar kecil disetiap titik. Begitu juga dengan otakku yang sedari tadi entah apa yang dilakukannya, membeku tak satupun pertanyaan bodoh bisa ia jawab, sampai aroma mawar memaki hidungku dengan keharuman-nya yang khas, barulah kerlip cahaya terpantul di otakku pada ingatan tentang mawar dan wajah cantik Putri.
Aku petik mawar itu, kubawa bersama dengan kenangan tentang Putri menuju tepi danau, agar manisnya kerinduan tak berhenti sampai di sini. Sesampainya ditepi danau pandanganku tertuju pada sampan yang melaju pelan dari arah timur kebarat. Tak perlu meminta otakku bekerja untuk menyimpulkan bahwa gadis cantik di atas sampan adalah putri binti kasturi. Sekarang semuanya menjadi terang. Aku ingat, setiap Minggu pagi kamu pergi kerumah pak kyai untuk mengaji, dan Minggu kemarin aku disuruh menjala udang oleh ayahku sehingga aku berpapasan sampan bahkan sempat menyerempet sisi kiri sampanmu, sehingga kamu memanggilku “kupret!” aku tidak mau menjawab panggilanmu, karena kasih sayangku bukan cangkokan, aku tidak mau cinta kita prematur, biarkan semesta yang menuntun takdir kita, biarkan langit yang menyirami benih cinta kita dengan hujan kerinduan, meskipun aku yakin dengan lebih dulu memanggilku kamu sangat ingin berbincang bersama cinta dan kerinduanku.
Sampan berjarak seratus meter itu begitu pelan, seolah menunggu mataku benar-benar puas memandang-nya. Atau waktu yang memang melambat, mempersilahkan kerinduanku tertuang pada pemiliknya. Bukan sampan kecil yang ku perhatikan, tapi wajah yang sedikit tertutup kerudung merah panjang. Barkali-kali ia selipkan kerudungnya dibelakang telinga kiri. Betapa ia ingin mendengarku memanggil namanya.
Bukan tidak mau memanggil namanya, aku tidak mau merusak selimut indah semesta karena teriakanku. Kuhirup dalam-dalam aroma mawar di tangan hingga menyatu dengan nafas, barulah aku titipkan panggilan kepadanya bersama aroma harum mawar merah. Sekarang aku hanya berharap angin berada di pihaku, menyampaikan dengan lembut panggilan kerinduanku dari jarak seratus meter.