Pewarta Nusantara
Menu Menu

Pewarta Nusantara

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com – Perwakilan The Asia Foundation (TAF) Indonesia, Margaretha Tri Wahyuningsih menyampaikan bahwa konflik pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang paling banyak melibatkan masyarakat adat.

Hal tersebut disampaikan Margaretha saat memberi catatan penutup dalam Webinar Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/5/2022).

“Bagi kelompok masyarakat adat bagaimana lahan wilayah adat itu sambil menunggu realisasi regulasi penting untuk menjaga wilayah kita agar tidak diserahkan kepada korporasi,” tutur Margaretha.

Margaretha menjelaskan ketika lahan sudah diserahkan atau diambil oleh korporasi dan dijadikan HGU, maka proses pengembaliannya akan susah.

“Kalau sudah diserahkan kepada HGU maka proses kembalinya itu susah. Kita berharap RUU ini bisa segera hadir dan semakin memperkuat advokasi bagi kelompok masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya,” tuturnya.

Margaretha menegaskan jika tanpa peran perempuan dalam mempertahankan wilayah adatnya akan ada kekosongan dalam mengelola hutan dan lahan secara berkelanjutan.

“Perempuan juga mempunyai tanggung jawab dalam memastikan kelestarian hutan dan memastikan lahan ditanami. Pola kerja seperti itu sebenarnya sudah mengakomodir yang didiskusikan dalam pembagian kerja sehingga bisa lebih adil dan setara bagi kelompok perempuan,” jelasnya.

Ia merinci, peta perhutanan sosial yang dicanangkan pemerintah yaitu seluas 12,7 juta hektar lahan, sementara skema hutan adat baru ada 76.156 hektar atau tidak sampai 10 persen dari capaian perhutanan sosial.

“Ini menjadi konsen bersama, kita tahu bahwa kelompok masyarakat adat juga yang cukup mayoritas dalam mengelola wilayah adat mereka untuk turut serta menjaga perubahan iklim maupun emisi. Ini menjadi konsen kita dalam gerakan ini,” jelasnya.

Margaretha menegaskan, pentingnya RUU MHA terhadap masyarakat adat adalah untuk melindungi mereka dari kriminalisasi yang kerap dilakukan oleh perusahaan untuk menjerat lahan yang diinginkannya.

“Pentingnya RUU MHA yaitu agar perempuan adat dalam mengelola hutan tidak dikriminalisasi oleh perusahaan,” tegas Margaretha.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com - Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) Republik Indonesia menilai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak mengakomodir secara spesifik hak-hak perempuan.

Hal itu didasarkan, salah satunya karena di dalam RUU MHA tidak ada Bab yang mengakui pengalaman spesifik perempuan adat. "Karena, sekali lagi pembentukan perundang-undangan lebih banyak berdasar pada nilai dan norma patriarki atau pengalaman laki-laki," kata Siti Aminah Tardi.

Hal itu diungkap dalam Webinar dari rangkaian 'Festival Ibu Bumi', dengan tajuk 'Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak Atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, pada Rabu (25/05/2022).

Acarayang diselenggarakan atas kerjasama The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP) dan Beritabaru.co sebagai media partner itu ditayangkan dalam Channel YouTube Beritabaru.co dan Aksi SETAPAK.

Menurut Siti Aminah, walaupun kemudian dinyatakan hukum itu harus dibuat netral gender maka sebenarnya itu mengakibatkan, kita tidak mengenali ketidakadilan dan keberlakuan hukum yang berada antara laki-laki dan perempuan.

"Misalnya, hak atas air. Laki-laki punya hak atas air, perempuan punya hak atas air. Tapi bagaimana keberlakuan hukum itu, sama atau tidak dampaknya? Beda, karena perempuan lebih lekat dengan air, kerja-kerjanya membutuhkan banyak air, kesehatan reproduksinya ditentukan oleh air. Maka disitulah bentuk perlakuan khususnya hak atas air," terang Siti Aminah.

Contoh lain yang ia sampaikan mengenai pola sistem tanam. Seperti pekerjaan yang diakui adalah petani dan nelayan, yang dikenalkan sebagai kerja laki-laki. Tapi kita tidak melihat kalau di dalam pekerjaan pertanian dan nelayan itu ada pekerjaan lain,yang dikerjakan oleh tenaga perempuan.

"Itu tidak lepas tadi, karena pengalaman yang diangkat adalah pengalaman laki-laki, bukan perempuan," tegasnya.

Oleh sebab itu Siti Aminah berharap RUU MHA yang saat ini sudah selesai tahap harmonisasi dan disepakati untuk dilanjutkan ke sidang paripurna guna ditetapkan sebagai usul inisiatif itu benar-benar dikawal oleh berbagai pihak untuk memastikan RUU tersebut dapat memuat hak-hak perempuan adat.

"Untuk isu pemberdayaan dan peningkatan kapasitas itu juga dirumuskan, agar diusulkan dalam perumusan, untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan, afirmasi dan seterusnya," pungkas Siti Aminah.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com – Merespon dimasukkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022, HuMa memaparkan beberapa catatan terkait pentingnya koalisi hutan adat dan peran perempuan dalam mendorong kebijakan di tingkat daerah.

Diplomat Keadilan Ekologis dari Perkumpulan HuMa Indonesia, Nora Hidayati mencatat terdapat beberapa hal penting terkait hutan adat dalam Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/05/2022).

“Hutan Adat ini menjadi secercah harapan agar dapat memastikan rasa aman bagi masyarakat adat ketika melakukan pengelolaan di dalam kawasan hutan, tidak dikriminalisasi lagi dan menjadi kepastian hukum bagi MHA,” terang Nora.

Nora menjelaskan hingga saat ini setidaknya terdapat beberapa kebijakan terkait dengan hutan adat pasca putusan Mahkama Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, diantaranya 1) Permen LHK No. 32 tahun 2015 tentang Hutan Hak; 2) Permen LHK No. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial; 3) Permen LHK No. 21 tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak; 4) Permen LHK No. 17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak; dan 5) Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Namun, Nora menggarisbawahi bahwa kebijakan-kebijakan tersebut bersifat sektoral. “Ini masih sangat sektoral kehutanan. Beberapa aturan tersebut masih sedikit bicara tentang adatnya itu sendiri,” terangnya.

Di dalam kebijakan-kebijakan tersebut, Hutan adat dapat ditetapkan ketika masyarakat adat memiliki Perda. Di beberapa tempat, Masyarakat Adat perlu bekerja keras “masuk ke gelanggang pertempuran politik” di tingkat daerah untuk menggolkan satu Perda.

“Ini butuh waktu lama dan biaya yang sangat besar. Dan itu yang melakukan MHA itu sendiri, dan pemerintah belum melakukan suatu upaya untuk mempermudah itu. Jadi, kembali pada political will di tingkat daerah,” imbuh Nora.

Catatan lain HuMa terkait implementasi kebijakan adalah sentralisasi kewenangan di Pemerintahan Pusat, dimana pemerintah pusat dan KLHK mempunyai otoritas dan ruang yang besar untuk menafsirkan satu Perda.

KLHK mempunyai kewenangan penuh untuk menetapkan pengakuan Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan persyaratan-persyaratan tertentu. “Ini menjadi salah satu kendala dalam penetapan Hutan Adat. Tadi juga Bu Maria menyampaikan terkait lambannya pemerintah dalam menetapkan Hutan Adat.”

Menurut pemaparan Nora, sampai hari ini hanya 76.156 hektar Hutan Adat yang sudah ditetapkan. Namun, di 89 komunitas masyarakat adat di 13 provinsi, Nora mencatat belum semua semua SK-nya sampai ke tangan Masyarakat Adat itu sendiri.

“Wilayah khusus dengan otonomi khusus itu sampai hari ini belum mengantongi penetapan Hutan Adat. Aceh dan Papua sampai hari ini belum ada satupun penetapan hutan adat padahal dari 2016 dampingan dari Koalisi Masyarakat Adat di Aceh itu sudah mengusulkan. Sampai hari ini tidak ada kejelasan dan prosesnya sampai di mana,” kata Nora.

Selain itu, peran perempuan adat sangat penting dalam menjaga hutan adat. Perempuan adat adalah penjaga pengetahuan atas kedaulatan pangan dan energi dalam keluarga dan komunitas adat. Perempuan adat juga merupakan pemegang otoritas atas keberlangsungan kehidupan dan sumber-sumber penghidupan keluarga dan komunitas.

“Harapan kami Hutan Adat dan RUU Masyarakat Hukum Adat ini dapat menjadi penyelesaian konflik kehutanan antara masyarakat adat dengan kepentingan lain, karena sektor kehutanan adalah salah satu sektor dengan area terluas,” harap Nora.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) menjadi penguatan hak serta kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam mengelola lingkungan hidupnya, termasuk perlindungan dan pengakuan terhadap eksistensi perempuan.

Oleh sebab itu, masyarakat adat berharap RUU MHA itu dapat mengatur dengan maksimal segala yang berkenaan dengan ruang hidup masyarakat adat, mulai dari hak atas tanah, hutan adat hingga masyarakat adat yang hidup di wilayah pesisir.

Edhita Sefia, Perempuan Pemerhati Sosial Budaya Masyarakat Hukum Adat Sarmi, Papua menceritakan bagaimana aktivitas perempuan adat suku Sobey yang tinggal pesisir Sarmi, yaitu bagian utara Papua.

"Dalam aktivitas sehari-hari masyarakat adat pesisir Sarmi memegang teguh tradisi harmonisasi, keserasian dan keseimbangan dengan alam. Secara langsung hal itu mengkampanyekan pentingnya memelihara lingkungan," kata Edhita, Rabu (25/5).

Hal itu diungkap dalam Webinar dari rangkaian 'Festival Ibu Bumi', dengan tajuk 'Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak Atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia.'

Selain itu, lanjutnya, perempuan pesisir Sarmi juga memiliki peran yang cukup penting dalam menjaga lingkungan hidup masyarakat adat. Salah satunya, menjaga tanah adat milik suami yang diwariskan ke anak-anaknya dan tanah adat milik saudara laki-lakinya.

"Memang di Papua berdasar garis keturunan, patriarki. Tetapi dalam sehari-hari garis keturunan ibu sangat dominan. Jadi mereka bisa mencari makan di hutan dari suaminya, maupun mencari makan di hutan yang milik orang tuanya," ujar Edhita.

Lebih lanjut Editha mengurai aktivitas perempuan pesisir Sarmi yang beraktivitas di laut. Perempuan Sarmi, katanya, memiliki satu tradisi beraktivitas menangkap ikan di laut seperti laki-laki pada umumnya, untuk memastikan kelangsungan pangan bagi keluarga dan komunitasnya.

"Dalam konsep ruang berbasis adat di perempuan pesisir, melalui tradisi mavende. Tradisi mavende sebagai pertanda bahwa perempuan sudah saatnya untuk menangkap ikan di laut, hasil ikan sedang banyak-banyaknya. Dan pertanda juha hasil hutan sedang banyak-banyaknya untuk bisa berkebun dan meramu," tutur Edhita.

Menurut Edhita, suara perempuan pesisir Sarmi memiliki nilai yang tinggi, cukup didengar dalam pengambilan kebijakan dan keputusan, meskipun tidak ikut bagian dalam forum.

"Pada saat bincang-bincang di luar, suara perempuan cukup didengar. Karena hutan dan laut berhubungan langsung dengan kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan sehari-hari. Untuk kelangsungan hidup keluarga dan komunitas," terangnya.

"Perempuan tanpa alam, itu perempuan tanpa asap dapur. Jadi kalau tanpa perempuan terlibat dalam hutan, di dalam kehidupan sehari-hari, nanti bagaimana dengan kelangsungan hidup selanjutnya? Kan ada ungkapan; tanpa mama, tanpa perempuan, tanpa saudara perempuan, bagaimana kami para laki-laki bisa makan?," pungkasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com – Peran perempuan adat dalam masyarakat Minangkabau sangatlah penting, khususnya dalam penentuan keputusan bersama dalam pengelolaan hutan dan lahan.

Hal tersebut disampaikan oleh Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai Sumatera Barat, Rosmy Z saat menjadi pembicara pada Webinar Rancangan Undang-Undang Hukum Masyarakat Adat (MHA) yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation bersama Gender Focal Point dan Beritabaru.co pada Rabu (25/5/2022).

“Kalau di Minangkabau perempuan adat harus mengetahui batas-batas wilayah adatnya, baru kita bisa merawat dan memeliharanya,” kata Rosmy.

Rosmy menjelaskan perempuan dalam masyarakat adat Minangkabau juga terlibat aktif dalam pengelolaan lahan, seperti padi, palawija, cengkeh, dan kayu manis.

“Semuanya (itu dilakukan untuk) mendukung ekonomi rumah tangga,” tuturnya.

Menurutnya, perempuan di Minangkabau semuanya terlibat dalam kesepakatan pengolahan tanah bersama kaum laki-laki dan pemuka adat.

“Suatu keputusan yang akan diambil jika belum ada suara perempuan keputusan itu tidak valid dan belum bisa dilaksanakan,” tuturnya.

Rosmy berharap RUU MHA segera menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR dikarenakan dengan adanya landasan hukum masyarakat adat akan semakin aman dalam melakukan berbagai kegiatannya.

“Harapan kami RUU itu ditetapkan, tapi untuk sementara ini kami ada Permagari jadi begitu ada kegiatan kami merujuk pada Perma itu. Harapan kami kalau bisa kegiatan diatur oleh Undang-Undang untuk lebih kuat dan maksimal pelaksanaanya,” jelasnya.

Di akhir pembicaraan, Rosmy menegaskan bahwa jika perempuan tidak dilibatkan dalam masalah hutan, besar kemungkinan hutan akan punah dan diambil orang.

“Kalau sekiranya perempuan tidak dilibatkan dalam masalah hutan, besar kemungkinan hutan itu akan punah atau mungkin pindah tangan atau diambil orang,” tegasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com – Meskipun RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI pada tahun 2022, namun tidak berarti RUU MHA itu akan menjamin sepenuhnya hak-hak perempuan dalam mengelola hutan adat.

Hal itu disampaikan oleh Deputy The Asia Foundation (TAF) saat menggelar Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/05/2022).

“RUU Masyarakat Hukum Adat sudah masuk Prolegnas, namun perlu untuk dikawal lagi, apakah materi, substansi dan sebagainya sudah sesuai dengan amanat UUD 1945, juga apakah sudah mengakar di tingkat bawah serta apakah di dalamnya sudah dijamin hak-hak perempuan adat,” kata Hana Satriyo dalam sambutannya.

Diselenggarakan oleh Gender Focal Point dan TAF, salah satu tujuan webinar tersebut bertujuan untuk mengurai persoalan perlindungan dan jaminan hak atas tanah bagi masyarakat adat terkait dengan proses legislasi dan substansi RUU MHA serta mengkampanyekan pentingnya dukungan kebijakan untuk memperkuat kedaulatan dan jaminan atas tanah bagi Masyarakat Adat di Indonesia.

“Kita berharap agar RUU MHA ini dapat memberikan jaminan hak atas akses tanah dan wilayah lingkungan, penguatan hak perempuan adat di Indonesia. Serta dari webinar ini dapat merefleksikan perjuangan perempuan adat di seluruh Nusantara dalam memperkuat kedaulatan, akses dan peran ke depan,” imbuh Hana Satriyo.

Sementara itu, dalam presentasinya, Maria SW. Sumardjono menyebutkan banyak sekali isu-isu yang terkait dengan Aspek Pertanahan dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, mulai dari ruang lingkup kewenangan, pengakuan, perlindungan, hingga kompensasi.

“MHA yang telah memperoleh penetapan berhak atas perlindungan. Pertanyaannya, apakah MHA yang belum memperoleh penetapan tidak berhak atas perlindungan? Bukankah negara wajib melindungi segenap warga negaranya tanpa kecuali?” ungkap Maria. “Barangkali yang dimaksud adalah bahwa dengan adanya Penetapan, maka MHA memperoleh jaminan atas perlindungan sepenuhnya.”

Dalam konteks perlindungan hak atas tanah bagi masyarakat adat saat ini masyarakat sipil terus mendorong disahkannya RUU MHA, mengingat selama ini pengaturannya tersebar dalam sejumlah peraturan sektoral yang parsial yang tumpang tindih sehingga memunculkan konflik kepentingan yang merugikan Masyarakat Adat.

“PR kita bersama ke depan untuk tetap bergerak dinamis dalam melihat perkembangan RUU MHA. Masyarakat Adat adalah bagian penting bagi Indonesia. Kami berharap webnar ini dapat membangun kesadaran bersama akan pentingnya mengakomodasikan suara masyarakat adat khususnya Perempuan Adat dalam memperkuat kedaulatan dan akses wilayah kelola untuk kesejahteraan dan kelestarian SDA di Indonesia,” kata Hana Satriyo.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com – Rancangan Undang-Undang Hukum Masyarakat Adat (UU MHA) sangat diharapkan segera disahkan. Pasalnya dengan adanya UU tersebut masyarakat adat akan merasa aman dalam mengelola lahan adat yang dimilikinya.

Hal itu disampaikan Perempuan Adat Malawi Kalimantan Barat Maria Fransiska Tenot saat menjadi pembicara pada Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/5/2022).

“Kami selalu berladang, menanam padi lokal, sayur dan karet. Ladang satu tahun sekali, karena tidak menetap agar tanahnya tetap subur,” tutur Maria.

Maria mengatakan apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Malawi tersebut merupakan tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun sejak kakek nenek kita sampai sekarang

“Dalam meladang kami dikerjakan secara kelompok secara gotong royong,” tuturnya.

Lebih lanjut, dalam pengambilan keputusan, Maria mengatakan perempuan selalu ambil bagian didalamnya, khususnya dalam keputusan pengelolaan lahan dan penanaman benih.

“Malah lebih banyak perempuannya, apalagi proses menanamnya. Kebanyakan itu ibu-ibu yang mengambil keputusannya,” katanya.

Dalam melakukan penanaman tersebut, Maria mengatakan masyarakat Malawi selalu berpindah-pindah lahan. Hal itu dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah dan juga untuk melindungi lahan tersebut dari ambil alih oleh orang luar.

“Kami berpindah-pindah supaya tanah itu tetap subur dan supaya tanah itu tidak diambil orang, jadi orang luar itu tidak mudah karena itu sudah bekas ladang kami,” tuturnya.

Maria berharap pemerintah dapat segera mengesahkan RUU MHA agar wilayah masyarakat adat tidak diambil oleh pihak luar atau pihak perusahaan.

“Kedua, agar kami tidak dilarang dan ditangkap kalau kami mau mengelola lahan kami. Ketiga untuk menjamin keberlangsungan hidup generasi kami, atas adat istiadat kedepannya. Karena anak cucu kami membutuhkan lahan adat itu,” tegas Maria.

Dalam mengelola hutan, Maria mengatakan peran perempuan sangat penting, karena dengan tidak adanya perempuan maka hutan tersebut akan rusak bahkan diambil oleh orang lain.

“Hutan akan rusak dan diambil orang, karena perempuan tidak terlibat disitu,” tegas Maria.

Diketahui, Webinar RUU MHA tersebut merupakan acara Festival Hari Bumi” Hari Kartini” tahun 2022 yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bersama Gender Focal Point (GFP) bekerja sama dengan Beritabaru.co.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Jakarta, Pewartanusantara.com – Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono menegaskan, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) mendesak untuk segera disahkan.

Seperti ia sampaikan dalam Webinar Festival Ibu Bumi, Rabu (25/5), ia mengaku resah dengan kondisi masyarakat adat yang sampai sekarang belum memiliki landasan hukum atas wilayah adatnya.

“Saya heran ya, kenapa sejak dulu sampai sekarang RUU MHA selalu gagal disahkan. Harapannya, sebelum 2024, ini sudah sah,” ungkapnya.

Menurut Maria, pengesahan RUU MHA mendesak sebab itu berkaitan erat dengan hak dasar masyarakat.

Jika hak ini tidak dipenuhi, maka itu merupakan sebentuk ketidakadilan yang nyata.

Maria mengatakan, pihak yang bicara tentang reforma agraria memang tidak sedikit. Namun, mereka sekadar menyuarakan isu pentingnya redistribusi dan resolusi konflik.

Isu yang lebih mendasar, mereka justru melupakannya, yakni landasan hukum bagi masyarakat adat berkaitan dengan wilayahnya.

“Kita sering bicara reforma agraria, tapi ketika bicara itu, orang ingatnya hanya redistribusi dan resolusi konflik. Pemenuhan hak masyarakat adat malah diabaikan, padahal ini penting, khususnya dalam bentuk segera disahkannya RUU MHA,” ungkap Maria.

Undang-undang Parsial

Dalam Webinar bertajuk Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia ini, Maria juga menyinggung tentang undang-undang tentang masyarakat adat yang parsial.

Menurut Maria, regulasi yang parsial memang sudah ada, tapi persoalannya itu kerap tumpang tindih.

Akibatnya, pemerintah penting untuk mengumpulkan dan menyempurnakannya menjadi satu UU khusus.

Ia memberi contoh tentang regulasi pertanahan dan kehutanan masyarakat adat. Keduanya membahas tentang wilayah masyarakat adat, tapi jalan sendiri-sendiri.

“Regulasi yang parsial sudah ada, tapi tidak selalu sejalan satu sama lain, bisa tumpang tindih. Contoh, yang pertanahan bicara masyarakat adat dan ulayatnya dan yang kehutanan bicara hutan adatnya. Ini membingungkan,” kata Maria.

“Kalau mendaftar, mestinya yang didata itu seluruh wilayah mencakup tanah, hutan, dan air. Soal pengelolaan, untuk hutan, silahkan KLHK, sedangkan di luar wilayah hutan silahkan ATRBPN. Yang sekarang terjadi, ATR/BPN tidak berani mengelola yang di luar kawasan hutan,” Maria menambahi.  

Hak Ulayat

Lebih jauh, Maria menegaskan bahwa hak ulayat MHA tidak mencakup Sumber Daya Alam (SDA) di dalam bumi.

Hak ulayat mereka terbatas pada tanah, hutan, perairan, dan SDA di atasnya.

Akibatnya, untuk pengelolaan dan pemanfaatan SDA di dalam bumi dipegang oleh pemerintah melalui pihak ketiga.

Meski demikian, Maria menengarai, bukan berarti ketika demikian, maka MHA dilupakan begitu saja.

Betapa pun, SDA tersebut tetap berada di wilayahnya, sehingga MHA berhak atas manfaat yang dihasilkan dan pembagian keuntungan.

“Jadi kalau itu dieksploitasi atau dikelola, masyarakat adat harus mendapatkan prioritas manfaat, bahkan termasuk pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDA itu. Ini kita bisa membandingkannya dengan Filipina,” jelas Maria.

Perlu diketahui, diskusi yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co sebagai media partner ini dihadiri oleh Deputy Country Representative TAF Indonesia, Diplomat Keadilan Ekologis HuMa Nora Hidayati, Perwakilan Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai Sumatera Barat Rosmy, dan beberapa lainnya.

Untuk menambah seru diskusi yang ditayangkan langsung di kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi SETAPAK ini, hadir pula Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi sebagai penanggap dan Margaretha Tri Wahyuningsih dari TAF Indonesia sebagai pemberi catatan penutup.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu 04/11/22

Dahniar Andriani host dan beberapa narasumber dalam Webinar Festival Ibu Bumi bertajuk Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/5).

Jakarta, Pewartanusantara.com – Pada 2022 Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Banyak pihak berharap, RUU tersebut bisa segera disahkan sebab, seperti disampaikan oleh Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono, keberadaannya sangat mendesak.

Dalam Webinar Festival Ibu Bumi, Rabu (25/5), ia menengarai bahwa menunda disahkannya RUU MHA merupakan sebentuk ketidakadilan pada masyarakat adat.

Pasalnya, hal tersebut atau adanya kepastian hukum adalah hak mereka dan ini diabaikan.

“Kita sering bicara soal reforma agraria, tapi yang kita suarakan hanya tentang redistribusi dan resolusi konflik. Hal yang justru mendasar seperti pemenuhan hak masyarakat adat malah diabaikan,” ungkapnya.

Selain mendesak, sebagaimana dijelaskan Country Representative The Asia Foundation (TAF) Hana Satriyo, RUU MHA rupanya sudah lama diajukan untuk disahkan menjadi UU, namun selalu terhambat.

Menurut Hana, ini adalah pekerjaan rumah bersama, yaitu untuk mendorong disahkannya RUU MHA.

“Tujuannya jelas, agar ada jaminan hak atas tanah dan akses wilayah Kelola ruang bagi perempuan adat di Indonesia sebagai bagian dari masyarakat adat,” jelasnya.

Baik Hana atau pun Maria mengungkap, regulasi tentang masyarakat adat memang sudah ada, tapi masih bersifat parsial, belum terkumpul menjadi satu Undang-Undang (UU).

Karena parsial, maka yang terjadi, mereka kerap tumpang tindih dan ini justru menyulitkan masyarakat adat dalam praktiknya.

Diplomat Keadilan Ekologis dan Perkumpulan HuMa Indonesia Nora Hidayati misalnya. Ia mencatat, kebijakan-kebijakan tentang wilayah hutan masih bersifat sektoral.

Dampaknya, untuk menetapkan hutan adat, masyarakat adat diharuskan sudah memiliki Perda (Peraturan Daerah), sedangkan untuk mengantongi Perda, tegasnya, sama sekali tidak mudah.

“Di beberapa daerah, bahkan untuk menggolkan satu Perda pengakuan Hutan Adat, mereka harus masuk ke gelanggang politik,” ucap Nora.

Dengan ungkapan lain, tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat adat berakibat pada sulitnya mereka untuk mendapatkan pengakuan dan kemudian bisa mengelola ruang hidupnya.

Ungkapan senada datang dari salah satu perempuan adat di Malawi Kalimantan Barat Maria Fransiska Tenot.

Maria mengaku, pihaknya berharap agar RUU MHA segera disahkan agar masyarakat adat di daerahnya bisa aman dalam mengelola wilayah adatnya.

“Kami sering merasa tidak aman dalam mengelola lahan kami sendiri. Takut ada pihak lain yang merebut. Jadi untuk menjaga biar ini tidak terjadi, kami sering berpindah tempat untuk Bertani,” kata Maria.

“Pertama agar lahannya tetap subur dan kedua supaya tidak ada pihak lain yang mengklaim lahan kami,” imbuhnya.

Peran perempuan

Di balik kisah perjuangan dan harapan masyarakat adat agar RUU MHA segera disahkan terdapat cerita tak kenal lelah para perempuan adat.

Nora menyampaikan, untuk kasus hutan, perempuan adat memiliki kendali yang tidak bisa diremehkan.

Yang menjaga adanya kedaulatan pangan keluarga dan komunitas adat, termasuk sumber penghidupan tidak lain adalah para perempuan adat.

Tidak berbeda darinya adalah perempuan adat di Malawi. Di wilayah ini, seperti diungkap oleh Maria Fransiska Tenot, perempuan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam hal pengelolaan lahan dan penanaman benih.

“Untuk proses menanam itu justru lebih banyak ibu-ibu,” katanya.

Perlu diketahui webinar bertajuk Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia ini ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi SETAPAK.

Beberapa narasumber lain hadir dalam diskusi ini, mencakup perempuan pemerhati sosial budaya Masyarakat Hukum Adat Sarmi Papua Editha Sefa, dan Perwakilan Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai Sumatera Barat Rosmy Z.

Selain itu, webinar yang diselenggarakan oleh TAF, Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co ini dipandu oleh Hera Yulita dari GFP dan Dahniar Andriani dari HuMa.

Untuk penetrasinya, hasil diskusi ditanggapi oleh Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dan ditutup oleh Margaretha Tri Wahyuningsih dari TAF Indonesia.

pewarta pewarta
2 tahun yang lalu 13/12/22

April 22 is the Earth Day. People across the world celebrate it through protests or set out events in nature such as replantation. Whosevers involve in these celebrations seems to have a similar concern. There is a problem that our modern life tends to extinguish biodiversity. To celebrate Earth day also meant an attempt to spread out awareness of nature.

The awareness of nature become important since scientists cautioned that human life would threaten by climate change. However, the climate change explanations were so complex to be understood. Therefore, most people easy to neglect this issue and some of them perceive that climate change was based on junk science.

For those who take seriously this future catastrophe, it is an irony. They believe that our current modern system makes the balance of the natural system wobble. This can be seen clearly through what we call ‘global warming.’ It lies in the use of non-renewable energy and intensifying factories that risen the earth's surface average temperatures. One of the identified effects that we have witnessed is the melting of the polar glacier.

This issue arrives in the political sphere when the green movements gain influence in society. Global organizations then pay attention to this issue and encourage countries around the world to discuss a viable solution and build some commitment. In 2014, Paris Agreement have been declared to point out the global commitment to decarbonization. But not many countries follow up on this pact because every attempt to decarbonization must sacrifice economic growth decrease. It is such a bad trade-off for developing countries.

Until 2021 the climate change issue still did not take serious response at the national level. The COP26 was the second effort to build global commitment. From this event, a proposal was offered by the panellist that to prevent the effect of climate change global community must provide $ 100 billion.

This is a capitalist approach to encouraging green programs. And the question is in which way this money would be collected. Developing countries insist that advanced counties must provide this money because they are responsible for carbonization since the industrial revolution. However, the advanced counties cannot fully realize this bill without support.

I want to point out that instead of changing the fundamental structure of the economy to decarbonization, the event sheet lights the viable solution by promoting stop deforestation and replantation programs. It can be called a conservative solution. This solution thus arises a new kind of problem. The countries with larger forests feel have the right to produce more carbon than other. This makes the debate around the degree of responsibility between advanced countries and less developed, and green counties and not.

We also recognize that decarbonization can become a problem for the national energy supply. Because electric energy was the fundamental utility for the operation of the economy and electricity is mostly produced from a non-renewable generator, carbonization is not inevitable, especially in developing countries. It is also influenced by highly costing to implement renewable technology.

I think this predicament can be carried away when the advanced counties set out technology transfer plans for less developed countries to build renewable electricity generators. All the efforts to prevent climate change certainly need time. But the effect of climate change has been present right now. The news informs us that the climate anomaly intensifies hurricanes, floods, and famine across the world. When this anomaly comes regularly the farming activity will be ruined. Hence national or regional planning to secure people's necessities must be formulated as soon as possible. It is an effort to build local resilience when climate change disasters come.