Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Zainul Abidin

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara

Portal info lowongan kerja lokal Yogyakarta. Informasi yang ada di Akun Loker Jogja sudah melalui verifikasi Super Tim Jobnas.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Ja Jakarta, Pewartanusantara.com - Kabupaten Jayapura menjadi salah satu daerah yang mengadopsi Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE). TAKE tersebut merupakan gagasan yang dikembangkan koalisi masyarakat sipil dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga desa dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw menegaskan bahwa sudah seharusnya memperkuat kampung dengan siasat program dan anggaran. Meskipun, lanjutnya, warga desa saat ini sudah sangat kreatif dalam mengembangkan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian alamnya.

 “Memang perlu kita siasati anggaran bagaimana kampung bisa melakukan upaya-upaya pemberdayaan dan bisa perlindungan untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya dalam acara Podcast seri ke-3 Festival Inovasi Ecological Fiscal transfer (EFT), Selasa (5/10).

Konsultan The Asia Foundation (TAF), Ahmad Taufik menegaskan, Jayapura sebagai pionir daerah yang pertama kali menerapkan TAKE di Indonesia. Bersama para mitra, lanjutnya, TAF berupaya mendorong akselerasi pembangunan hijau di tingkat kabupaten dengan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat.

“Melalui kegiatan Ekonomi yang tetap berorientasi untuk kelestarian lingkungan hidup. dari beberapa upaya yang dilakukan salah satunya mengenai advokasi kebijakan fiskalnya. Sehingga ada keberpihakan dari pemerintah daerah mendorong skema anggaran dengan konsep berbasis kinerja berbasis ekologi,” ujarnya.

Menurut Taufik, dari awal advokasi, pihaknya sudah melihat keinginan yang kuat dari Bupati Jayapura yang memilki orientasi mendorong kelestarian sumber daya alam sebagaimana tercermin dalam visi-misinya.

“Pak bupati sangat kuat orientasinya untuk mendorong kelestarian, khususnya .kelestarian SDA di Jayapura melalui pendekatan dengan masyarakat adat. Dan itu sangat terlihat jelas dari komitmen pak bupati untuk bisa memasukkan keberpihakannya di dalam skema reformulasi alokasi dana kampung,” tutur Taufik.

Naomi Marasian dari PtPPMA, selaku mitra TAF, mengatakan bahwa TAKE di Jayapura memang seiring dengan dengan adanya komitmen political will dari pemkab Jayapura dengan kebijakan mengembalikan jati diri masyarakat adat.

“Kita lihat ini adalah ruang dan peluang yang memang harus kita sama-sama berkontribusi di situ. Karena kita bicara dalam ruang yang sama, wilayah yang sama, komunitas yang sama. Sehingga kemitraan atau relasi penting kita bangun,” ujar Naumi.

Dalam kesempatan seri Podcast itu, Naomi juga menyampaikan, penerapan TAKE di  Jayapura menjadi pembelajaran untuk daerah lain dalam mendesain SDA berbasis kelestarian dengan disertai kebijakan pemanfaatan wilayah atau ruang yang tidak merusak dan berpihak kepada kesejahteraan masyarakat.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Bupati Jayapura Mathius Awoitauw mengapresiasi penerapan skema Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologis (TAKE) yang sudah berjalan dan mulai menjadi kekuatan Papua di masa depan.

“Saya memberikan apresiasi yang besar, bahwa TAKE ini akan menjadi kekuatan di masa depan untuk Papua dan mungkin juga ntuk seluruh Indonesia,” kata Mathius saat mengikuti Podcast Seri 3.

Hal itu terlihat dalam PON XX 2021, promosi-promosi kreativitas dari lokal dan komoditas lokal gencar dilakukan berkat pemanfaatan transfer anggaran itu. Selain itu terdapat juga Badan Usaha Milik Kampung (BUMKAM) di kampung-kampung, yang itu dapat membuat banyak lowongan pekerjaan tercipta.

“Banyak orang yang mengapresiasi PON ini, terutama tentang penguatan kapasitas dan pemberdayaan kampung yang saat ini sedang berlangsung,” imbuhnya.

Selain itu, dalam gelaran PON XX, lanjut Bupati Mathius, banyak orang (termasuk para pejabat negara seperti Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo) yang mengapresiasi kampung-kampung di Jayapura.

“Bahwa anak-anak muda sekarang ini lebih kreatif. Dan kemarin ada sejumlah menteri yang datang mereka langsung ke kampung dan mereka sudah punya komunikasi lewat media sosial dengan sejumlah pejabat. Dan mereka semua kreatif,” ungkapnya.

Kabupaten Jayapura merupakan pionir dan kabupaten pertama yang menerapkan skema TAKE di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Bupati Jayapura No. 11 Tahun 2019 tentang Alokasi Dana Kampung Kabupaten Jayapura.

“Kebijakan itu untuk melindungi masyarakat adat dan juga lingkungan. Karena itu sudah jadi satu. Tidak bisa dipisahkan.” Imbuhnya saat mengikuti Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT), Podcast Seri 3: Belajar Dari Penerapan TAKE Kabupaten Jayapura, Selasa (5/10).

Bupati Mathius juga mengapresiasi para generasi muda di Jayapura yang turut serta membantu menjaga tanah dan lingkungan mereka, sekaligus mengembangkan kreativitas mereka.

“Hal-hal unik yang dilakukan anak muda itu bisa dikembangkan. Anak muda bisa berkomunikasi dengan siapapun untuk mengembangkan kreativitasnya. Mereka sangat menghargai lingkungan, hutan dan dusun,” terangnya.

Karena itu, Bupati Mathius ingin agar pemerintah Jayapura mendukung dan mengembangkan kreativitas para anak muda tersebut.

“Mereka lebih cepat untuk mengikuti perkembangan sistem yang ada. Tapi itu semua harus kita dukung dengan transfer-transfer dana yang tidak menyulitkan mereka, yang tidak melalui birokrasi yang sulit. Itu harus kita dorong, tapi bukan kita mengintervensi,” katanya.

Formula Alokasi Dana Kampung (ADK) yang digunakan di Kabupaten Jayapura berbeda dengan formula ADK pada umumnya yang biasanya memberikan alokasi dasar dan alokasi proporsional. Di ADK Jayapura, ditambahkan juga proporsi alokasi insentif dan alokasi afirmasi.

“Untuk teknisnya, kita sudah punya di peraturan-peraturan. Di aturan itu, diatur bagaimana peraturan keuangan kampung dengan alokasi-alokasi yang sudah kita lakukan. Selain alokasi umum, ada alokasi afirmasi, alokasi insentif dan sebagainya,” jelas Mathius.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com - Proyek pengembangan transfer anggaran berbasis ekologi di Indonesia atau yang juga disebut Ecological Fiscal Transfer (EFT) merupakan bentuk usaha dalam rangka mendorong kolaborasi perlindungan lingkungan hidup.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI, Joko Tri Haryanto mengatakan bahwa secara garis besar bicara EFT dapat dilihat dari tiga aspek besar sebagai Roadmap greening the government.

Hal itu ia ungkap dalam acara Workshop Mini Pengembangan TAKE/TAPE di Riau yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) dan FITRA Riau, Senin (4/10), dengan tajuk Pengembangan Penerapan EFT.

Yang pertama, menurutnya, adalah melihat dari sisi hulu. Yaitu dimulai dari perbaikan proses perencanaan penganggaran sehingga bisa mendorong daerah untuk dalam menyusun RPJMD hijau dan berketahanan hijau.

“Ketika semua proses TAPE, TAKE dan inovasi lainnya secara politik anggaran bisa diterjemahkan dengan baik dalam visi-misi kepala daerah, di dalam dokumen RPJMD yang kemudian diturunkan menjadi RKPD, Renja, Renstra, RKA maka struktur berbagai inovasi terkait jasa lingkungan hidup akan lebih kuat,” katanya.

Kedua, perbaikan dari sisi tengah atau implementasi. Joko menyebut, perlu adanya penelusuran sumber-sumber yang nanti dijadikan sebagai Indikator dari EFT, sehingga mampu menilai kualitas hasil dari anggaran yang diberikan.

“Dari perbaikan RPJMD kita bisa masuk di implementasi eksekusi penganggarannya. Di dalam proses APBD yang hijau dan ketahanan bencana, kita bisa melakukan langkah-langkah reform se ehingga jelas output-outcomenya,” ujarnya.

Setelah melakukan konektivitas dari berbagai sisi, terakhir adalah bicara masalah ekspansi sebagai bentuk pemanfaatan dari perbaikan yang telah dilakukan di hulu dan implementasi.

“Ketika bicara ekspansi, tujuan utamanya adalah ekstensifikasi sumber-sumber-sumber pendanaan non APBD. Karena APBD dan APBN terbatas, sehingga kita harus memanfaatkan market dari berbagai sumber CSR,” tuturnya.

Menurut Joko, ketika bicara TAPE/TAKE sebetulnya domain dari kinerja ini yang dibayar APBD itu bisa di-split, bisa Joins dengan forum CSR.

“Misalnya di dalam TAKE ada 10 pemenang. 10 pemenang ini jika ADDnya masih ada ruang fiskal yang baik, yang luas bisa dikasi dengan kinerja ADD,” ujarnya.

“Tapi bayangkan kalau suatu daerah kebetulan ADDnya tipis, karena jumlah desanya banyak, tapi mereka punya formulasi TAKE dan ada penghargaan 10 pemenang, nah mereka bisa join dengan forum CSR supaya pemanfaatan CSR bisa menyasar pemenang,” tambah Joko.

Menurut Joko hal itu merupakan cara pandang atau horison cakrawala. “Secara birokrat kita terkadang terlalu fokus terhadap inovasi kebijakan, sehingga ketika kebijakan dihasilkan lupa untuk dikomunikasikan kepada publik. Padahal investasi masa depan adalah investasi jasa lingkungan,” tukasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam mengungkapkan bahwa pengembangan Ecological Fiscal Transfer (EFT) harus berdasar pada kekhasan atau ciri khas dari kebijakan daerah masing-masing.

“Dari penerapan Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) atau Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) di daerah, sebetulnya adalah bagaimana memetakan konsepnya sendiri, seperti apa kekhasan di daerahnya sendiri, lalu melihat dari kebijakan-kebijakan hijau atau perlindungan lingkungan apa yang sudah dikembangkan atau akan dikembangkan di daerah yang yang mana itu bersinggungan dengan upaya-upaya perlindungan dan skema pendanaan,” ungkapnya.

Karena itu, Roy Salam menekankan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pengembangan EFT, paling tidak adalah bagaimana meneropong kebijakan-kebijakan hijau dan apa yang ingin dicapai dalam rencana rencana aksi daerah.

“Dan itu kemudian disinergikan dalam apa yang menjadi konsep penerapan TAKE/TAPE itu sebagai kriteria atau indikator dalam melakukan penilaian,” imbuhnya dalam acara yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau dan didukung Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).

Dalam pelaksanaannya, Roy Salam juga menekankan bahwa dalam menyusun konsep EFT itu harus mendiskusikannya dengan OPD terkait, seperti Bappeda, DPMD, serta instansi-instansi pemangku data, agar bisa menjadi sejalan apa yang menjadi arahan kebijakan di daerah dan bersinergi dengan kebijakan nasional.

Tahapan-tahapan itu diantaranya adalah penyusunan konsep EFT, koordinasi dengan daerah, pelembagaan EFT, dan monitoring dan evaluasi.

“Secara umum, praktek yang berkembang di pelembagaan TAPE itu sendiri didekatkan dengan kebijakan keuangan seperti bantuan keuangan maupun di alokasi dana Desa,” katanya.

Tidak kalah penting juga, menurut Roy Salam, bagaimana proses monitoring itu ketika EFT itu sudah ditetapkan seperti bagaimana melihat dampak-dampak yang yang berhasil dicapai.

Lebih lanjut, Roy Salam mencontohkan bagaimana penerapan TAPE di Kalimantan Utara yang memasukkan ide TAPE dalam peraturan Bankeu. Ada beberapa komponen peraturan atau pasal yang diubah mengenai tujuan dan skema penyaluran yang lain lebih pada penggunaan dan konsep TAPE itu sendiri yang sesuai dengan kebijakan khas Kalimantan Utara itu sendiri.

“Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana mengembangkan skema TAPE/TAKE di daerah berdasarkan situasi atau kebijakan yang ada di setiap kabupaten/kota,” pungkasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran Riau (FITRA Riau) mendorong adanya penilaian kinerja terkait pelaksanaan kebijakan Riau Hijau berbasis kabupaten/kota. Hal itu ia sampaikan dalam paparannya terkait konsep penerapan Ecological Fiscal Transfers (EFT) melalui Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) Riau Hijau, Senin (4/10).

Staf Data dan Riset FITRA Riau, Aksiza Utami Putri mengatakan bahwa kerusakan ekologis di Riau terus terjadi setiap tahunnya, seperti karhutla, banjir, abrasi dan lain-lain. Namun pendekatan penanganan selama ini masih bersifat business as usual dan belum berdampak pada perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam.

“Selain itu, Provinsi Riau telah menetapkan kebijakan Riau Hijau melalui peraturan Gubernur Nomor 9 tahun 2021 sebagai komitmen terhadap upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Mandat RPJMD 2019-2024 pada misi 2; pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan,” kata Aksiza saat menjadi pemateri dalam acara Mini Workshop Pengembangan TAPE/TAKE di Riau.

Acara tersebut diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau dan didukung Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).

Dalam kesempatan tersebut, Aksiza juga menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten.

“Untuk mencapai tujuan Riau hijau diperlukan kerja sama antardaerah provinsi dan kabupaten sesuai dengan kewenangan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan,” tegasnya.

Dalam acara yang digelar secara virtual melalui kanal Youtube FITRA Riau itu, Aksiza juga memaparkan skema insentif menjadi strategi dalam rencana aksi Riau hijau yang telah ditetapkan.

“Konsep TAPE digagas dalam rangka memperkuat kolaborasi dalam perlindungan lingkungan antar level pemerintah, juga memasukkan mainstreaming isu ekologi dalam nomenklatur dan kebijakan belanja transfer daerah yaitu bantuan keuangan (bankeu). Caranya merubah basis transfer daerah dari pemerataan dan afirmasi menuju prestasi kinerja,” terangnya.

Dan ternyata, menurut Aksiza, Provinsi Riau memiliki potensi dan peluang dalam penerapan TAPE itu sendiri.

Pertama, ancaman kerusakan ekologi yang sama-sama kita ketahui seperti deforestasi gambut karhutla banjir pesisir dan lain-lain. Kedua, komitmen tinggi pemerintah provinsi Riau dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu komitmen pria hijau dan komitmen Low-Carbon Development Initiative (LCDI),” katanya.

Selain itu, ketiga, sinergi pembangunan lingkungan Hidup Kabupaten kota. Keempat, diskresi fiskal pemerintah provinsi Riau tinggi.

“Lha, untuk mencapai Riau Hijau itu sendiri, Kelima, dibutuhkan kerjasama antara provinsi dan kabupaten/kota untuk menjaga hutan dan lingkungan hidup,” ungkapnya.

Untuk mengimplementasikannya, Aksiza menekankan beberapa hal yang perlu diperhatikan, pertama-tama tentang pentingnya sinergitas visi dan misi pembangunan berkelanjutan antara provinsi dan kabupaten/kota.

“Lalu, melakukan evaluasi atau penilaian kinerja sebagai alokasi bankeu. Lalu memformulasikan terkait kebijakan Riau hijau sebagai basis penilaian kinerja daerah. Dan juga komitmen bantuan keuangan khusus,” ujarnya.

Konsep yang dipaparkan Aksiza itu adalah rancangan dari FITRA Riau bersama teman-teman koalisi, baik di nasional maupun di daerah untuk mendorong penilaian kinerja Riau hijau berbasis Kabupaten.

Tidak hanya itu, Aksiza juga memaparkan 4 tahapan yang akan harus dilakukan jika menerapkan konsep TAPE Riau Hijau.

Tahapan itu adalah: Pertama, adalah persiapan. Kedua, perumusan indikator dan metode penilaian. Ketiga, pengumpulan data, yaitu sosialisasi identifikasi data, pengumpulan data, asesmen dan input data. Lalu keempat, penetapan hasil penilaian, termasuk simulasi perhitungan penilaian dan penentuan hasil penilaian melalui SK Gubernur atau SK dinas.

“Itu adalah usulan yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah provinsi dan juga diterapkan oleh Pemda dan mungkin perlu juga kita diskusikan masukkan lainnya,” pungkasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Seturut menurunnya kualitas lingkungan hidup di Indonesia, berbagai inisiatif hijau ramai diperbincangkan. Salah satunya insentif fiskal berbasis ekologi.

Menurut penjelasan Ahmad Taufik dari The Asia Foundation (TAF), insentif fiskal berbasis ekologi dapat dilaksanakan melalui kebijakan transfer fiskal dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah dibawahnya berdasarkan penilaian hasil kinerja terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Hal ini ia sampaikan dalam Mini Workshop Pengembangan Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) di Riau, Senin (4/10).

Taufik menuturkan, insentif fiskal berhubungan dengan gagasan membangun dari pinggiran.

“Ini semacam gerakan masyarakat sipil untuk mendorong adanya pendanaan lingkungan hidup,” jelasnya.

Pinggiran di sini menunjuk pada skema pergerakan yang bermula dari sub-nasional menuju nasional. Ketika biasanya dari nasional ke daerah, maka skema ini sebaliknya.

Adapun skema insentif fiskal yang dimaksud memuat empat (4) model, yakni Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE), TAPE, TAKE, dan Alokasi Anggaran Kelurahan berbasis Ekologi (ALAKE).

“Dari semuanya, yang terbaru dan sedang dikembangkan lebih lanjut adalah ALAKE. Bentuknya alokasi, sehingga ia berbeda dengan lainnya,” papar Taufik dalam diskusi yang dipandu oleh Sartika Dewi ini.

Semua skema tersebut, lanjut Taufik, dimaksudkan untuk mendorong adanya pendanaan khusus berupa transfer fiskal untuk daerah-daerah yang memiliki perhatian pada keberlangsungan lingkungan hidup.

Untuk itu, dalam kebijakan TANE terdapat tiga (3) mekanisme yang dioptimalkan, yakni melalui Dana Insentif Daerah (DID), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Perlindungan Lingkungan.

Kebijakan TAPE berupa Bantuan Keuangan (Bankeu) Provinsi kepada Kabupaten atau Kota. Adapun kebijakan TAKE dapat diwujudkan melalui Bankeu dari Kabupaten kepada Desa dan/atau sebagai bagian dari reformulasi Alokasi Dana Desa (ADD). Sedangkan  ALAKE merupakan Alokasi Anggaran dari Kabupaten/Kota kepada Kelurahan (AAK). 

“Ini semua disusun agar skema EFT bisa menyeluruh dan bisa menyediakan insentif di semua tingkatan,” ungkap Taufik dalam diskusi yang merupakan rangkaian dari Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) ini.

“Tujuan lainnya adalah untuk menuju sinergi dan kolaborasi di semua tingkatan,” imbuhnya.

Kesesuaian dengan Kebijakan Daerah

Dalam acara yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau dan didukung Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) ini Taufik juga menyinggung soal indikator.

Menurut Taufik, indikator dari skema ini adalah kesesuaian dengan kebijakan pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi, dan seterusnya.

“Jadi, pijakannya memang itu, sesuai dengan kebijakan daerah,” tuturnya.

Hal senada disampaikan oleh Purnama Irwansyah Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau.

Purnama memaparkan ada enam (6) kebijakan yang selaras dengan skema insentif fiskal berbasis ekologi ini, antara lain Undang-Undang (UU) nomor 23 tahun 2014, UU nomor 11 tahun 2020, Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2019, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nomor 77 tahun 2020, Peraturan Gubernur (Pergub) Riau nomor 18 tahun 2017, dan Peraturan Daerah Provinsi Riau nomor 3 tahun 2019.

“kebijakan-kebijakan ini bersinggungan dengan pendanaan dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan,” ungkapnya.

Pergub nomor 18 tahun 2017 umpamanya, Purnama melanjutkan, ini berhubungan langsung dengan ketentuan bahwa Pemerintah Provinsi Riau dapat memberikan bantuan keuangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Tujuannya untuk mengatasi kesenjangan fiskal dan membantu capaian kinerja program prioritas mereka. Arahnya pun pada kegiatan yang bersifat mendesak dan strategis.

“Pendeknya, nanti skema insentif fiskal ini dananya bisa kita ambilkan dari dana-dana ini, yang tertuang dalam beberapa kebijakan tersebut,” jelasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang diproyeksikan untuk mengembangkan inovasi kebijakan transfer anggaran berbasis ekologi di Indonesia.

Untuk mendukung hal itu, Pemerintah Provinsi Riau memasukan kebijakan transfer anggaran berbasis ekologi itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2019-2024 atau yang lebih dikenal sebagai Riau Hijau.

Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Provinsi Riau (FITRA Riau), Triono Hadi mengatakan bahwa Ecological Fiscal Transfer (EFT) merupakan bentuk upaya untuk mendorong kolaborasi berbagai tingkat pemerintahan dalam rangka meningkatkan perlindungan lingkungan hidup.

“Hal ini adalah sebuah ikhtiar sebagai alternatif kebijakan dalam rangka mendorong kolaborasi antara pemerintah provinsi, kabupaten, dan desa dalam bersama-sama melakukan perlindungan lingkungan hidup,” ujar Triono saat memberikan sambutan pada acara Mini Workshop Pengembangan TAKE/TAPE, Senin (4/10).

Acara tersebut diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau dan didukung Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center (IBC), The Reform Initiatives (TRI), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).

Triono juga menyinggung pentingya dukungan kebijakan transfer anggaran kepada Kabupaten/Kota untuk mempercepat pencapaian program Riau Hijau secara kolaboratif.

“Oleh karena itu maka menjadi penting bahwa skema EFT ini diseminasikan untuk menggali peluang agar bisa diterapkan di tingkat provinsi dalam rangka akselerasi kebijakan Riau Hijau atau di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan karakteristik dan persoalan lingkungan di daerah tersebut,” tuturnya.

Triono menegaskan bahwa FITRA Riau akan terus berupaya mendorong kebijakan anggaran yang pro terhadap penyelamatan dan perlindungan lingkungan.

“Tentu ini menjadi langkah awal dalam berkolaborasi secara lebih intens jika memang ada daerah yang nantinya tertarik melakukan pengembangan-pengembangan sesuai kondisi daerah lain,” pungkasnya.

Kebijakan Anggaran untuk Selamatkan Lingkungan

Sementara itu, Gubernur Riau H. Syamsuar yang diwakili Kepala Bappedalitbang Riau saat memberikan sambutannya mengatakan bahwa ketersediaan sumber daya alam yang melimpah di Provinsi Riau jika tidak dikelola dengan bijaksana maka akan menjadi bencana ekologi bagi masyarakat.

“Provinsi Riau memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti Migas, hutan, lahan gambut, perikanan, pertanian, dan perkebunan yang dapat dikelola dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Riau. Potensi alami itu jika tidak dikelola dengan bijaksana akan menjadi bencana ekologi seperti Karhutla, kekeringan, banjir, dan kekurangan energi,” katanya.

Oleh karena itu, Pemprov Riau mendorong pemerintah daerah lain dalam merumuskan kebijakan agar menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Riau telah mengambil langkah-langkah kebijakan strategis sebagaimana tertuang dalam RPJMD Provinsi Riau tahun 2019-2024 yang disebut dengan Riau Hijau.

“Riau Hijau merupakan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Riau menuju pembangunan berkelanjutan. Riau Hijau dalam pelaksanaannya melibatkan banyak pihak tidak hanya pemerintah tetapi juga perguruan tinggi, swasta, organisasi non pemerintah, serta media,” jelasnya.

Ia mengatakan, rencana aksi Riau Hijau meliputi tiga kebijakan penting yaitu meningkatkan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, kualitas pengelolaan sumber daya alam, serta bauran energi sumber alam terbarukan.

“Sinergi dan kolaborasi menjadi kunci suksesnya implementasi rencana aksi Riau Hijau. Atas dasar komitmen inilah kemudian Riau menjadi provinsi menjadi pilot pembangunan rendah karbon di Indonesia,” tuturnya.

“Kami berharap kegiatan ini dapat berkontribusi terhadap lahirnya inovasi-inovasi daerah khususnya dalam skema pendanaan lingkungan hidup,” pungkas Gubernur Riau dalam sambutannya.

Secara umum Gubernur Riau berterimakasih atas gagasan EFT yang sedang diinisiasi, sehingga perlu dipertimbangkan untuk diterapkan di Riau. Lebih lanjut ia menyinggung perlunya merancang kebijakan bantuan keuangan berbasis kinerja dan harus memprioritaskan aspek lingkungan hidup.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Ahmad Iqbal selaku Kepala Subbidang Pengembangan Sumber Daya Alam (Kasubbid PSDA)  Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) menyampaikan lima (5) kriteria yang dipakai Kaltara dalam menerapkan skema Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE).

Hal ini ia sampaikan dalam Podcast Seri ke-2 yang merupakan rangkaian dari Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) dan dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Selasa (28/9).

Adapun lima (5) kriteria yang Iqbal maksud adalah pertama, adanya sistem atau kriteria terkait pencegahan dan pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).

“Sebagai provinsi pertama di Indonesia yang menerapkan skema TAPE, kriteria seperti ini penting untuk menegaskan arah bersama kita,” ungkap Iqbal dalam diskusi yang mengangkat tema Belajar dari Penerapan TAPE Provinsi Kalimantan Utara ini.

Kriteria kedua, lanjut Iqbal, adalah adanya kriteria ruang terbuka hijau. Selanjutnya, ketiga adalah kriteria pengelolaan persampahan. Keempat kriteria perlindungan air dan terakhir kriteria mengenai pencemaran udara.

“Di sisi lain, adanya kriteria seperti ini berguna pula agar Pemda bisa memiliki pijakan dan arah untuk mendukung pembangunan berwawasan lingkungan,” kata Iqbal.

“Harapannya, target yang kita capai nanti bisa terukur dan bidikannya jelas, yakni penurunan emisi,” imbuhnya dalam diskusi daring yang ditayangkan langsung via Kanal Youtube Beritabaruco ini.

80% wilayah Kaltara adalah hutan

Dalam diskusi yang didukung oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) ini, Iqbal menyampaikan bahwa faktor geografi adalah penyebab utama mengapa Kaltara memutuskan menerapkan skema TAPE.

Sebagian besar wilayah Kaltara, tegas Iqbal, adalah kawasan hutan. Sekitar 80% dari kawasan Kaltara adalah hutan, sehingga pemerintah penting menyiapkan strategi khusus agar hutan tersebut lestari.

“Dari situ, pada akhirnya kami memutuskan untuk menerapkan skema TAPE dengan dorongan masyarakat sipil tentunya yang porosnya jelas, yakni pembangunan berbasis kelestarian lingkungan hidup,” ujarnya.

“Sederhananya, kami membutuhkan anggaran fiskal yang tidak sedikit untuk menjaga hutan yang seluas ini. Yang dari situ, kami bisa turut menyumbang penurunan emisi,” imbuhnya dalam diskusi yang dipandu oleh Novita Kristiani ini. 

Meski demikian, Iqbal mengakui bahwa Pemerintah Provinsi kerap menemui beberapa tantangan. Salah satunya adalah belum tersentuhnya output dari program tersebut secara langsung.

Selain itu, anggaran yang dikucurkan untuk tahun kedua ini, tahun 2021, mengalami penurunan menjadi 3 M yang pada tahun 2020 mencapai 5 M per-tahun.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologis (TAPE) Kalimantan Utara (Kaltara) mempunyai manfaat yang nyata dalam mengembangkan kelestarian hidup di Kabupaten Tana Tidung.

“Manfaatnya besar sekali. Masyarakat semakin percaya bahwa menjaga lingkungan itu ada manfaatnya dari segi kesehatan dan lingkungan hidup,” kata Bappeda Litbang Kabupaten Tana Tidung, Siti Aisyah, ST dalam Podcast “Kepala daerah Penggagas Insentif Fiskal Berbasis Ekologi” seri ke-2 Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) Provinsi Kaltara, Selasa (28/9).

TAPE merupakan salah satu gagasan dari skema Ecological Fiscal Transfer (EFT), yang diberikan oleh pemerintah provinsi kepada pemerintahan kabupaten/kota untuk pendanaan lingkungan hidup. Sementara Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) merupakan skema Ecological Fiscal Transfer (EFT), yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten kepada pemerintah desa.

“TAKE dapat mendorong pemicu pembangunan untuk mendorong pelestarian hidup dan merupakan aksi nyata untuk prinsip melibatkan pemuda dan desa sebagai ujung tombaknya,” kata Siti Aisyah.

Tidak hanya sebagai simbiosis mutualisme antara kabupaten dan desa, TAKE di Tana Tidung juga memacu inovasi dan juga membuat desa lebih berdaya kedepannya sesuai visi misi Bupati kami bahwa ‘desa yang di depan’.

Siti Aisyah juga menjelaskan TAPE Provinsi Kaltara dapat memperkuat fondasi mekanisme hubungan keuangan provinsi dan daerah dalam pelestarian lingkungan.

“Dalam hal rendah karbon, dampak pembangunan iklim, serta kelestarian lingkungan hidup itu terasa sekali. Kita mengawal, memanfaatkan dana-dana yang telah ditransfer oleh provinsi,” terangnya.

Dalam pelaksanaannya, TAKE di Tana Tudung, sekitar 97% telah disalurkan. Dana bantuan tersebut banyak dimanfaatkan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Tidak hanya itu, untuk di Karhutla, dana itu lebih banyak disalurkan untuk edukasi pada pemadaman kebakaran hutan.

“RTH itu sangat terasa sekali bagi masyarakat. Bagaimana orang-orang bisa menikmati RTH di malam hari, lampu-lampu, itu sangat bermanfaat. Juga ada permainan anak-anak,” katanya.

Dan untuk Lingkungan Hidup, dana TAPE itu lebih banyak dimanfaatkan untuk sosialisasi kesadaran membuang sampah.

“Alhamdulillah, persentase kesadaran membuang sampah sudah meningkat sekali,” tuturnya.

Dalam rencana ke depan, Pemerintah Tana Tidung tetap akan terus bersinergi dengan pemerintah provinsi Kalimantan Utara dalam melakukan beberapa hal kinerja atau program-program kegiatan.

“Bappeda dan Litbang (Tana Tidung) siap untuk itu dan berkomitmen untuk mengantarkannya. Dan kedepannya marilah kita bersama menjaga kelestarian lingkungan bahwa menjaga lingkungan itu adalah kesehatan untuk kita semua. Tidak hanya untuk kita sekarang, tapi juga cucu kita semua,” pungkasnya.

Untuk diketahui, acara tersebut terselenggara berkat kerjasama The Asia Foundation (TAF), FITRA Riau, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budget Center (IBC), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan The Reform Initiatives (TRI).

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com - Inovasi kebijakan insentif fiskal berbasis ekologi menjadi arah baru dalam menjaga kelestarian dan keberlangsungan lingkungan hidup di Indonesia, salah satunya melalui kebijakan Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE).

Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sendiri merupakan sebagai salah satu daerah penggagas TAPE di Tanah Air. Ahmad Iqbal, Bappeda Litbang Kaltara menuturkan bahwa yang melatar belakangi kebijakan tersebut merupakan bentuk komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

“TAPE sudah kami implementasikan sejah tahun 2020 dan tahun ini memasuki tahun yang kedua,” kata Iqbal dalam Podcast “Kepala daerah Penggagas Insentif Fiskal Berbasis Ekologi” seri ke-2 Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) Provinsi Kaltara, Selasa (28/9).

Podcast tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT). Acara digelar atas kerjasama antara The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Provinsi Riau (Fitra Riau) serta didukung oleh beberapa organisasi lingkungan hidup lainnya.

Iqbal menjelaskan dengan adanya dukungan dari koalisi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan hidup, Kaltara mampu melahirkan program pembangunan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kelestarian.

“Pada awalnya sebuah perencanaan, dan kemudian dalam perjalanannya kita didorong untuk mengimplementasikan. Alhamdulillah dalam perubahan anggaran 2020 bisa kami laksanakan, dengan anggaran sekitar Rp5 miliar dan pada tahun ini bisa kami lanjutkan kembali,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menyampaikan beberapa kriteria pembangunan yang berwawasan lingkungan. “Meliputi pencegahan dan pengendalian Karhutla, ruang terbuka hijau, pengolahan persampahan, perlindungan air, serta pencemaran udara,” kata Iqbal.

Iqbal berharap dengan kriteria tersebut target TAPE dapat terukur dan tercapai dengan baik. “Setelah kami adakan monitoring ke lima kabupaten/kota, program TAPE berjalan baik dan telah menggairahkan Pemkab untuk ikut mendukung dengan program inovatif yang tidak hanya berdampak pada kualitas lingkungan hidup tetapi juga berdampak pada sosial, ekonomi dan lainnya,” tuturnya.

Iqbal berharap, program TAPE dapat diimplementasikan seluruh provinsi yang ada Indonesia. “Sudah barang tentu dengan karakteristik wilayahnya masing-masing,” tukas Iqbal.

Sebagai salah satu Pemkab penerima insentif TAPE Pemprov Kaltara, BAPPEDA Litbang Kabupaten Tana Tidung, Siti Aisyah menyebut bahwa perjuangan pemprov dalam menyediakan dana insentif tersebut sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Tana Tidung.

Salah satu diantaranya dalam penanggulangan Karhutlah, penyediaan ruang terbuka hijau serta pengolahan sampah. “Kita akan meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup kita lebih baik memperkuat kapasitas Pemda dalam pelestarian fungsi ekologi, dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan,” ungkap Aisyah.

Aisyah juga menegaskan, manfaat konkrit lainnya dari TAPE di antaranya yaitu lebih memprioritaskan pembangunan lestari dan yang menjaga lingkungan dan mensejahterakan masyarakat. “Agar masyarakat percaya bahwa menjaga lingkungan ada manfaatnya. Dari segi kesehatan, kualitas hidup,” tambahnya.

Program TAPE, hingga turunannya ke TAKE, menurut Aisyah perlu didorong hingga ke tahap pemerintah Desa. Ia mengatakan, dalam pembangunan berkelanjutan berbasis ekologi harus melibatkan pemerintah desa dan pemuda sebagai ujung tombak.

“Sehingga terbentuk simbiosis mutualisme antara kabupaten dan pemerintah desa yang tidak hanya memacu inovasi tetapi juga menjadikan desa lebih berdaya kedepannya,” ujar Aisyah.

Mempertegas pengembangan TAPE ke depan, Aisyah berharap anggaran TAPE untuk Tana Tidung menjadi alternatif dalam upaya konservasi hutan tidak hanya dari BKK, tapi juga bisa masuk dalam kebijakan penganggaran Pemda.

“Sebagai bentuk peran serta dalam penurunan emisi deforestasi dan degradasi hutan serta pengelolaan hutan yang berkelanjutan,” tegas Siti Aisyah.