Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Zainul Abidin

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara

Portal info lowongan kerja lokal Yogyakarta. Informasi yang ada di Akun Loker Jogja sudah melalui verifikasi Super Tim Jobnas.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyambut baik penerapan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) dan Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) sebagai suatu upaya meningkatkan lingkungan sehat di beberapa kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia.

Direktur Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa Kemendagri, Luthfi mengatakan bahwa pada dasarnya hak hidup masyarakat untuk mendapat lingkungan hidup sehat sudah diatur di pasal 28 UUD 1945.

“Saya menyambut gembira teman-teman koalisi masyarakat sipil yang telah berupaya membantu pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya bagaimana masyarakat dapat hidup di lingkungan yang sehat,” ujar Luthfi, saat mengisi acara Webinar Cerita Baik dari Praktik TAKE dan TAPE di Indonesia: Penggunaan Dana Insentif Fiskal berbasis Ekologi dan Dampaknya bagi Agenda Perlindungan Lingkungan, Kamis (14/10).

Selain itu, setelah diterbitkannya UU tahun 2014 tentang Desa atau dikenal dengan UU Desa, terjadi suatu perubahan yang mendasar pada masyarakat desa dan pemerintahan desa itu sendiri.

“Dulunya desa itu bisa kami katakan benar-benar ndeso, tapi sekarang pembangunan desa itu hampir mirip dengan kota. Dan bukan berarti nilai-nilai asli desa itu hilang. Namun pembangunan mereka kini lebih cepat dibandingkan yang lalu,” terang Luthfi.

Merespon perubahan tersebut, Kemendagri kemudian menerbitkan kebijakan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang mengatur tentang bagaimana tata cara pengelolaan dan penggunaan keuangan desa.

Dalam Permendagri tersebut juga mengatur kegiatan-kegiatan yang berbasis untuk memelihara kehutanan dan dan lingkungan hidup.

“Di desa sendiri sudah ada alokasi anggaran untuk lingkungan hidup. Permasalahan yang terjadi saat ini bagaimana kita bersama-sama berupaya agar pemerintahan desa memahami pentul apa-apa yang harus dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Ini satu hal yang menjadi catatan kita bersama,” terang Luthfi.

Dalam Webinar yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau itu, Luthfi juga menjelaskan bahwa desa sendiri mempunyai banyak peluang untuk mendapatkan anggaran.

Memahami apa yang terjadi di desa, dan melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota.

Diterangkan Luthfi, di dalam Permendagri tersebut mencakup juga hal-hal terkait bagaimana anggaran dasar dapat terwujud, sehingga anggaran-anggaran yang ada di desa itu benar-benar dapat terlaksana khususnya pada pemeliharaan lingkungan hidup.

“Kami sangat menyambut gembira dan berterima kasih kepada teman-teman. Dan mudah-mudahan cerita-cerita baik ini, TAKE/TAPE kita ini, dapat diwujudkan juga oleh kabupaten kota dan pemerintahan provinsi yang lain,” tutupnya.

Webinar yang merupakan bagian dari rangkaian Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) ini didukung oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Beritabaru.co sebagai media partner.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Salah satu program implementasi dana insentif fiskal dari skema Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) di Kampung Dayun Kabupaten Siak yaitu dengan membuat Peraturan Desa (Perdes) terkait konservasi dan pengelolaan lahan dan gambut.

Hal ini disampaikan Penghulu Kampung Dayun, Nasya Nugrik saat menjadi pemateri dalam Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) seri Webinar Cerita Baik Penerima manfaat dari praktek TAPE/TAKE di Indonesia yang diselenggarakan The Asia Foundation (TAF) dan FITRA Riau bersama Koalisi Masyarakat Sipil di Indonesia untuk Pendanaan Perlindungan Lingkungan, Kamis (14/10).

“Kita di Kampung Dayun punya beberapa Perdes yang tentunya terkait konservasi dan pengelolaan gambut dan juga Perdes pencegahan karhutla dan tata cara pembukaan lahan,” ujar Nugrik.

Dalam mengimplementasikan dana insentif TAKE tersebut, Nugrik mengaku tidak mempunyai kendala apapun terkait penggunaannya, hal ini dikarenakan banyaknya kebutuhan dana dalam melestarikan hutan-hutan yang sebelumnya pernah terbakar.

“Tantangan secara sulit sepertinya tidak ada dalam implementasi dana TAKE, karena memang banyak kebutuhan dalam melestarikan hutan-hutan yang terbakar. Kami bersama masyarakat menanami kembali area terbakar,” ujar Nugrik.

Kendati demikian, Nugrik mengaku adanya tantangan secara fisik dikarenakan kurangnya sumber daya manusia di Kampung Dayun untuk menjaga area yang sangat luas.

“Secara fisik kami kurang mampu untuk menjaga area seluas ini kalau tidak ada penegakan hukum yang pasti, karena sudah tiga orang kita penjarakan karena buka lahan dengan cara bakar,” tegas Nugrik.

Menanggapi hal itu, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Indonesia Myrna Safitri mengatakan Kampung Dayun merupakan salah satu contoh desa peduli gambut yang tidak hanya memanfaatkan dana dari APBN dalam menjaga lingkungannya.

“Dayun adalah salah satu contoh desa peduli gambut yang di dampingi oleh Proforest, sumber pendanaan Proforest tidak memakai dana APBN di Dayun, tetapi cara kerjanya sama, ini untuk menunjukkan bahwa selain insentif dari pemerintah kabupaten juga ada dari sumber pendanaan lain juga perlu sinergi, sehingga dari manapun sumber pendanaan itu itu daya ungkitnya juga akan lebih besar,” tutur Myrna Safitri.

Myrna Safitri menegaskan perlunya sinergi antar masyarakat dalam menerapkan program perlindungan lingkungan yang efektif.

“Kalau bicara sumber pendanaan banyak sekali, seperti lembaga amil zakat dan lain-lain. Jadi sumber pendanaan ada tetapi sayangnya masih belum membangun satu komunikasi yang lebih efektif,” jelasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com - BAPPEDA Litbang Kabupaten Tana Tidung Provinsi Kalimantan Utara, Siti Aisyah mengatakan bahwa salah satu dampak positif pemanfaatan dana insentif insentif Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) adalah untuk mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Menurut Siti, dengan adanya tambahan dana insentif fiskal tersebut, pihaknya terus berupaya memberikan pemahaman mengenai dampak negatif yang disebabkan dari proses pembukaan ladang tidak ramah lingkungan.

“Pembakaran ladang, masyarakat kami saat berladang dengan model ladang berpindah, itu senangnya membakar. Teman-teman turun ke lapangan untuk memberikan edukasi dalam membuka dan memanfaatkan ladang,”  kata Siti dalam Webinar Cerita Baik dari Praktek TAKE dan TAPE di Indonesia, Kamis (14/10).

Webinar Cerita Baik dengan tajuk “Penggunaan Dana Insentif Fiskal Berbasis Ekologi dan Dampaknya bagi Agenda Perlindungan Lingkungan” itu diselenggarakan The Asia Foundation (TAF) dan bekerja sama Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau sebagai bagian dari rangkaian acara Festival Inovasi Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT).

Festival Inovasi EFT ini didukung oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Beritabaru.co sebagai media partner.

Dengan TAPE, Siti mengungkap, edukasi yang dilakukan cukup memberikan hasil positif. Salah satunya adalah berkurangnya pembukaan ladang berpindah melalui pembakaran sudah berkurang.

“Bahkan sudah banyak masyarakat yang memanfaatkan ladang yang sudah dibuka dengan inovasi-inovasi baru yang lebih produktif,” ungkap Siti.

Pemanfaatan lain dari TAPE 2021 yang diperoleh, lanjutannya, digunakan untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan dan mengelola konservasi yang sudah ada untuk menjamin kualitas ekonom.

“Agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik,” tutur Siti.

“Target yang akan tercapai pada program perlindungan hidup itu, juga untuk menjaga kualitas sumber daya alam berupa air udara dan tanah sebagai media lingkungan hidup. Juga untuk upaya pemulihan dan penanggulangan dengan melibatkan masyarakat,” tambahnya.

Dalam mempertahankan kinerja pembangunan lingkungan hidup tetap baik dan meningkat, lanjut Siti, pihaknya mengelola dana insentif fiskal sesuai regulasi yang sudah ditetapkan Pemprov Kaltara.

 “Itu kami lakukan dan didukung oleh OPD-OPD teknis dengan BAPPEDA selaku leader-nya akan selalu men-support OPD untuk segera melakukan apa mereka rencanakan dan programkan,” tukasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Peneliti dari Forum Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, Sartika Dewi mengatakan insentif fiskal berbasis ekologi dapat dimanfaatkan untuk penyelamatan lingkungan hidup yang dapat dilakukan oleh pemerintah kabupaten, provinsi, hingga desa.

“Insentif ini merupakan stimulus untuk mendorong kinerja bagi para calon penerima insentif kerja-kerja perlindungan lingkungan. Tentunya cita-cita bersama juga merupakan hal yang diharapkan penerapan insentif fiskal,” tutur Dewi dalam acara Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) seri Webinar Cerita Baik Penerima manfaat dari praktek TAPE/TAKE di Indonesia, Kamis (14/10).

Di provinsi Riau, menurut Dewi sudah ada dua kabupaten yang sudah menerapkan skema Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) yaitu Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis.

“Di Kabupaten Bengkalis saat ini sedang dalam persiapan diterbitkannya Perbup tentang perubahan Anggaran Dana Desa (ADD) yang memasukkan indikator kinerja TAKE,” tutur Dewi.

Dewi menegaskan, FITRA Riau akan memastikan penerapan berjalan dengan baik, dengan melakukan pendekatan kolaborasi bersama pemerintah daerah, mulai dari perencanaan, penyusunan konsep, hingga tahapan regulasi.

“Dorongan kebijakan ini diharapkan dengan skema pengembangannya lebih bagus ke depan dan ada pengembangan skenario sesuai keadaan yang ada. Contoh yang FITRA Riau lakukan di Siak yaitu dengan skema ADD yang disebut dengan skema insentif kampung hijau,” kata Dewi.

Selain mendorong secara kebijakan, Dewi mengatakan FITRA Riau juga terus melakukan evaluasi terhadap kinerja-kinerja penerapan TAKE di dua kabupaten tersebut.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Kampung Imsar menjadi salah satu penerima dana Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE). Penerimaan insentif tersebut diperoleh karena Kampung Imsar mampu membuat program inovasi lingkungan hidup.

Oscar Giay, Kepala Kampung Imsar Kabupaten Jayapura menyebut yang mendasari penerimaan insentif berbasis ekologi dari Pemkab Jayapura adalah karena pihaknya dinilai mampu mengelola dana bantuan dari pemerintah untuk program yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan.

“Latar belakang kami mendapat insentif dari pemerintah kabupaten Jayapura, kami melakukan pekerjaan lebih awal dengan dana-dana bantuan pemerintah, Dana Desa dan dana ADK sehingga kampung kami  tadinya tertinggal menjadi berkembang,” kata Oscar, Kamis (14/10).

Pernyataan tersebut ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam Webinar Cerita Baik dari Praktek TAKE dan TAPE di Indonesia dengan tajuk “Penggunaan Dana Insentif Fiskal Berbasis Ekologi dan Dampaknya bagi Agenda Perlindungan Lingkungan”.

Webinar  itu diselenggarakan The Asia Foundation (TAF) dan bekerja sama Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau sebagai bagian dari rangkaian acara Festival Inovasi Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT).

Festival Inovasi EFT ini didukung oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Beritabaru.co sebagai media partner.

“Oleh sebab itu pemerintah kabupaten melihat hal itu dan mereka memberikan dana insentif untuk memberikan dukungan bagi masyarakat dalam membangun kampung, terutama ekonominya,” tutur Oscar.

Dalam acara yang dipandu Sarah Monica ini, Oscar juga berharap dana insentif tetap dan terus dikembangkan agar pembangunan yang berbasis lingkungan hidup tetap seiring dengan perkembangan ekonomi di kampungnya terus meningkat.

“Pada prinsipnya semua program Pemda yang diturunkan ke Pemerintah Kampung sesuai dengan RPJM Daerah dan RPJM Kampung. Sehingga kami melakukan pekerjaan berdasar petunjuk itu,”

Ia mencontohkan, salah satu bentuk dari pengelolaan TAKE tersebut dialokasikan untuk membentuk Badan Usaha Milik Kampung yang difungsikan menampung atau membeli hasil perkebunan milik warga.

“Badan Usaha itu bekerjasama dengan pemerintah yang koordinir semua pekerjaan yang menyangkut Kakao dan Vanili sebagai salah satu usaha perkebunan milik warga kampung. Masyarakat panen dan mereka jual kepada Badan Usaha Milik Kampung,” tukasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Skema insentif fiskal berbasis ekologi baik Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), atau pun lainnya dinilai efektif mendorong pembangunan hijau di desa-desa yang sudah mendapatkan alokasi dananya.

Hal ini disampaikan oleh berbagai pihak dalam Webinar yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau yang merupakan bagian dari rangkaian Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT), Kamis (14/10).

Antara lain Siti Aisyah BAPPEDA Litbang Kabupaten Tana Tidung, Nasya Nugrik Penghulu Kampung Dayun Kabupatem Siak, Oscar Giay Kepala Kampung Imsar Kabupaten Jayapura, Arifin Noor Azis Kepala Desa Sumber Agung Kabupaten Kubu Raya, dan Didik Herkunadi Kepala Desa Wonocoyo Kabupaten Trenggalek.

Didik Herkunadi misalnya, melalui Sekretaris Desanya, menyampaikan bahwa Desa Wonocoyo Trenggalek sangat dibutuhkan untuk perbaikan lingkungan.

“Malah, jika bisa harus ditambah. Perannya bisa sangat bermanfaat,” kata Didik dalam Webinar yang dipandu oleh Sarah Monica ini.

Didik menceritakan apa saja tantangan yang ia hadapi sekaligus langkah apa yang sudah dilakukan.

Di Wonocoyo, kendala utama yang ia hadapi adalah bagaimana masyarakat di desanya kesulitan untuk meletakkan alam sebagaimana mestinya.

Banyak perusakan hutan, pembuangan sampah sembarangan, penangkapan ikan secara serampangan dan bahkah yang meresahkan adalah penangkapan penyu.

“Jadi, penyu-penyu itu ditangkap, diambil telurnya, dan dimakan dagingnya, padahal kan penyu hewan yang dilindungi,” ungkapnya.

Untuk menyikapi hal-hal tersebut, Didik sudah mencanangkan beberapa strategi, seperti Peraturan Desa (Perdes) untuk melindungi lingkungan hidup dan penganggaran untuk mendorong tercapainya Perdes.

Hal senada diungkap oleh Siti Aisyah. Ia mengakui bahwa dana TAKE harus ditambah untuk tahun depan.

Alasannya tidak berbeda jauh dengan Didik, yakni desa-desa membutuhkan dana tersebut untuk menyokong pembangunan desa berbasis lingkungan hidup.

Sebagai upaya agar harapan Aisyah tersebut bisa terwujud, ia dan segenap jajarannya berkomitmen untuk bekerja sesuai regulasi yang telah ditetapkan.

“Kami akan melakukan itu. Karena memang begitulah aturannya,” kata Aisyah dalam Webinar yang penyelenggaraannya didukung oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Beritabaru.co sebagai media partner ini.

Selain itu, Aisyah juga akan selalu siap mendukung Organisasi Perangkat Desa (OPD) terkait apa pun yang berhubungan dengan skema TAKE/TAPE.

“Soal proposal misalnya, kami siap membantu,” ujarnya.

Sementara itu, Arifin Noor Aziz Kepala Desa Sumber Agung Kabupaten Kubu Raya berbagi kisah tentang pengalaman desa Sumber Agung dalam mengelola sumber daya alam.

Jauh sebelum ada skema TAKE/TAPE, aku Arifin, Desa Sumber Agung sudah memiliki konsep serupa, yakni pembangunan masyarakat yang terporos pada pemanfaatan alam.

Skema tersebut murni ditopang oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan berbagai usaha yang sudah dikelolah oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

“Kami menyebut ini sebagai sistem ekonomi terintegrasi,” kata Arifin dalam Webinar yang mengusung tema Webinar Cerita Baik dari Praktik Take dan Tape di Indonesia: Penggunaan Dana Insentif Fiskal Berbasis Ekologi dan Dampaknya bagi Agenda Perlindungan Lingkungan ini.

Berbagi pembelajaran

Sebagaimana ditegaskan oleh Hana A. Satriyo Deputy Country Representative for TAF in Indonesia, Webinar ini memang diselenggarakan sebagai wadah untuk berbagi cerita baik.

Cerita yang sudah dialami oleh masing-masing narasumber sebagai praktisi di lapangan dalam kaitannya dengan pembangunan desa berbasis ekologi sekaligus tata kelola fiskalnya.

“Pembelajaran penting disampaikan untuk mendorong keberpihakan kita pada program dan pendanaan yang berkelanjutan untuk Lingkungan Hidup,” kata Hana.

Selain itu, dalam diskusi yang dihadiri pula oleh Joko Tri Haryanto Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI, Myrna Safitri Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) RI, Sartika Dewi Pendamping TAPE/TAKE, dan Alam Surya PutraDeputy Director Environment Governance TAF ini Hana menyampaikan harapanya agar kelompok perempuan dilibatkan.

Ketika perempuan dilibatkan, tegas Hana, perbaikan pasti terjadi. Mereka tidak saja melakukan itu untuk pribadi, tetapi untuk kesejahteraan dan keberlanjutan yang lebih baik untuk masyarakat.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Skema insentif Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) di Kabupaten Kubu Raya  memiliki dampak positif terhadap perkembangan ekonomi masyarakat setempat.

Hal itu diungkap direktur JARI Indonesia Borneo Barat Firdaus dalam acara seri Podcast ke-4 yang bertajuk "Belajar dari Penerapan TAKE Kabupaten Kubu Raya", sebagai rangkaian dari Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT).

Acara tersebut terselenggara atas kerja sama antara The Asia Foudation (TAF) dan  Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Provinsi Riau (Fitra Riau) serta didukung oleh beberapa organisasi lingkungan hidup lainnya.

Firdaus menilai hal tersebut disebabkan oleh formulasi insentif yang dibangun berangkat dari keselarasan kebijakan, mulai dari perencanaan yang bersifat makro hingga kebutuhan untuk memperkuat perlindungan lingkungan dan kemajuan ekonomi warga Kubu Raya.

"Apalagi kemudian misalnya di RPJMD Kubu Raya termaktub jelas bagaimana kemudian perlindungan lingkungan hidup mesti seiring berjalan dengan pertumbuhan ekonomi," kata Firdaus, Selasa (12/10).

Firdaus menyebut, insentif TAKE di Kubu Raya salah satunya dialokasikan untuk 25 desa yang memiliki Izin Perhutanan Sosial yang memiliki basis usaha pertanian dan perkebunan.

Sehingga, lanjutnya, salah satu indikator dalam skema TAKE Kubu Raya adalah penguatan perlindungan lingkungan hidup tata kelola perhutanan sosial tapi disinergikan dengan pertumbuhan ekonomi.

"Kubu Raya secara data PDRB per tahun 2020, sektor pertanian menjadi primadona untuk mendongrak PDRB di tengah situasi pandemi. Ketika sektor manufaktur, sekto jasa dihajar habis-habisan oleh pandemi, sektor pertanian di Kubu Raya terdongkrak karena semua telah direncanakan," tuturnya.

"Skema insentif berkontribusi untuk mendorong input strategis terhadap penguatan di sektor pertanian tersebut," imbuh Firdaus.

Selain itu, menurut Firdaus TAKE di Kubu Raya juga memiliki dampak terhadap skema kemampuan fiskal di level desa. "Saya sudah mencatat ada 4 desa yang mengalokasikan DD-nya untuk kegiatan-kegiatan perhutanan sosial," ujarnya.

"Itulah dampak-dampak yang kami lihat, ruang fiskal ini bukan hanya menjadi dorongan untuk memberikan kontribusi pembangunan di desa, tetapi juga menjadi stimulus untuk desa melihat urgensi pengelolaan kawasan dan pelindungan lingkungan hidup itu penting," terangnya.

Di akhir acara, Firdaus menekankan bahwa dalam mengelola lingkungan hidup untuk tetap lestari namun dapat mendongkrak perekonomian warganya dengan pola kolaboratif selain inovasi arus fiskal yang baru.

"Saya lebih menekankan pada pola kolaboratif selain kita bicara arus fiskal yang baru. Karena saat berkolaborasi banyak sekali tantangan-tantangan yang secara tidak langsung terjawab," tukasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Sejak menerapkan skema Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE)untuk Alokasi Dana Desa (ADD) pada tahun 2020, Kabupaten Kubu Raya siap berperan menjaga kawasan hutan.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Bina Keuangan dan Aset Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Kubu Raya, Rini Kurnia dalam Podcast Seri 4:  Belajar Dari Penerapan TAKE Kabupaten Kubu Raya, Selasa (12/10).

Skema tersebut mengingat Kubu Raya mempunyai potensi sumber daya alam yang besar: lebih dari 45% kawasannya adalah hutan, sekitar 374 hektar dan 75% mangrove di Kalimantan Barat itu adanya di Kubu Raya. Namun, Kubu Raya juga mempunyai kerawanan yang tinggi terkait kerusakan alam seperti kebakaran hutan.

Atas situasi tersebut, Rini Kurnia mengatakan bahwa skema TAKE sudah menjadi pilihan yang tepat untuk diterapkan di Kubu Raya.

“Pak Bupati sendiri, di dalam visi misi dan juga RPJM yang beliau susun, itu sudah memikirkan, bagaimana pun pengembangan daerah dan ekonomi tetap harus menjaga kualitas lingkungan yang ada, dengan potensi dan juga kemungkinan atau kerawanan yang berdaya hadapi,” kata Kepala Bidang Bina Keuangan dan Aset Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Kubu Raya, Rini Kurnia.

Diterangkan Rini, Kubu Raya mulai mengenal TAKE sejak akhir Desember 2019 melalui The Asia Foundation (TAF). Setelah melalui proses panjang, akhirnya skema ecological fiscal transfer (EFT) ini mulai diterapkan pada tahun 2020.

“Jelang akhir tahun 2020 kabupaten sudah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 101 tahun 2020. Ini menjadi solusi, bagaimana kemudian desa punya peran punya peran dalam menjaga alam,” katanya.

Dalam pelaksanaannya, TAKE Kubu Raya dilakukan melalui skema reformulasi ADD. Alokasi dasar dan alokasi formula. Alokasi dasar itu nilainya sama, sementara alokasi formula tergantung dengan kesulitan geografis, indeks penduduk miskin, dan lain-lain.

“Lha, Ayo kita mulai skema terbaru yaitu alokasi kinerja. Alokasi kinerja inilah yang kemudian indikatro0indikatronya berhubungan dengan ekologis,” terangnya.

Tantangan penerapan TAKE

Setelah setahun berjalan, Rini menyampaikan bahwa skema penerapan TAKE mempunyai tiga tantangan besar.

Pertama, terkait formulasi perhitungan. Hal ini lantaran masih baru diterapkan satu tahun sehingga pemerintah masih belum bisa mempunyai formulai perhitungan skema yang baik. Selain itu ada juga pertimbangan “bagaimana perhitungan pola yang berbeda ini tidak terlalu berdampak” sehingga “tidak ada penolakan dari desa yang berubah secara drastis”.

Kedua, terkait dengan ketersediaan data. Rini mengungkapkan bahwa data dari pemerintah rata-rata bersifat sektoral.

“Dari satu sektor ke sektor yang lain tidak sama lalu kita konfirmasi ulang ke desa kemudian juga mendapatkan kan masukkan yang berbeda. Ketersediaan data yang bersifat nya akurat time series. Padahal data itu penting untuk menghitung alokasi,” terangnya.

Ketiga, Porsi ADD. Desa sudah punya alokasi wajib yang hanya boleh diisi ADD. Karena itu, Rini mengatakan “Ruangnya sempit. Porsi alokasi kinerja TAKE menjadi belum bisa besar, ketika mungkin secara persentase, 3% untuk kinerja tahun ini.Tapi 3% itu itu setelah dikurangi alokasi wajib yang sudah mengambil mayoritas dari total ADD Kubu Raya.”

“Tapi sampai saat ini kami belum pernah mendapat komplainan dari desa. Kita di Kubu Raya punya skema bagaimana untuk memotivasi yaitu dengan memberi penghargaan kepada desa,” kata Rini.

“Skema TAKE mempunyai dampak yang sangat luas dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dan juga perbaikan tata kelola desa,” kata Rini. “Desa bergerak, Kubu Raya menanjak,” tutupnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Peawartanusantara.com – Ketersediaan data yang akurat dan terpusat di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, adalah tantangan utama dalam penerapan skema Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) di wilayahnya.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Bina Keuangan dan Aset Desa DPMD Kab. Kubu Raya Rini Kurnia Solihat dalam Podcast ke-4 Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT), Selasa (12/10).

Menurut Rini, data yang dimiliki Kubu Raya masih sektoral dan kurang akurat, sehingga untuk melakukan formulasi perhitungan cukuplah rumit.

“Data yang ada itu sektoral, sedangkan kami butuh yang terpusat dan akurat. Tanpa ini, formulasi perhitungan akan susah dilakukan,” ungkapnya dalam diskusi dengan tema Belajar Dari Penerapan TAKE Kabupaten Kubu Raya ini.

Di sisi lain, tidak adanya formulasi perhitungan tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri.

Tanpanya, tegas Rini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kubu Raya akan kesusahan dalam merespons persoalan yang muncul berkenaan dengan skema TAKE.

Selain itu, yang menjadi kendala lain Pemkab Kubu Raya adalah sempitnya ruang fiskal.

Pendanaan untuk skema TAKE hanya bisa diambil dari Alokasi Dana Desa (ADD), sedangkan dana di ruang ini terbatas.

Akibatnya, kata Rini, alokasi dari skema TAKE belum bisa besar. “Ya karena ruang dananya sempit, akhirnya dana TAKE tidak bisa besar,” jelasnya.

Kendati demikian, untuk tahun pertama penerapan TAKE di Kubu Raya boleh dibilang dampaknya cukup baik bagi desa-desa.

Ini terlihat dari bagaimana di beberapa desa di Kubu Raya siapa pun bisa menemukan adanya inovasi-inovasi berkenaan dengan indikator pencapaian skema TAKE.

“Salah satunya adalah inovasi pola transaksi non-tunai. Pola seperti ini belum ada sebelumnya dan ini ada karena ada anggaran khusus dari skema TAKE,” papar Rini.

“Ternyata, dana yang kecil itu mampu memotivasi desa untuk perbaikan. Hampir seluruh sektor tersentuh, bahkan. Desa menjadi tepat waktu dalam penyusunan dokumen anggaran, tepat waktu dalam realisasi, termasuk laporan realisasi,”imbuhnya.

Integrasi dan keselarasan kebijakan

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau ini, narasumber lainnya Firdaus Direktur Juang Laut Lestari (JARI) Borneo Barat menekankan pentingnya keselarasan kebijakan.

Menurut Firdaus, agar skema TAKE bisa optimal dan tepat sasaran, kebijakan semua lapis pemerintahan harus selaras.

Ini tidak saja antara pemerintah desa dan Pemkab Kubu Raya, tetapi juga antara Pemkab dan Pemerintah Provinsi, termasuk Pemerintah Pusat.

“Utamanya terkait tata kelola keuangan ya,” ujar Firdaus dalam podcast dan didukung oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), dan  Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) ini.

“Ihwal integrasi pun juga perlu diperhatikan. Seperti integrasi skema ini dengan BUMDes yang harus disesuaikan pula dengan karakteristik desa,” imbuhnya.  

Di tengah diskusi yang dipandu oleh Al Muiz Liddinillah ini pun, Firdaus mengamini apa yang disampaikan Rini terkait tantangan yang sedang dihadapi.

Bagi Firdaus, selain soal data, yang menjadi kendala tersendiri adalah perihal pergantian kepemimpinan.

Pemkab Kubu Raya menerapkan skema TAKE tidak lepas dari inisiatif kepada daerah.

Dalam arti, TAKE ada di Kubu Raya salah satunya karena adanya dukungan dari kepala daerah.

Tanpa itu, yang terjadi bisa sebaliknya. “Akibatnya, keberlanjutan anggaran ini sebenarnya bergantung pada kepala daerah dan oleh sebab itu, ini menjadi tantangan tersendiri,” tutur Firdaus.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Undang-undang investasi adalah salah satu kebijakan pemerintah yang berpotensi besar menjadi ancaman bagi program pembangunan berbasis kelestarian lingkungan hidup.

Hal ini disampaikan oleh Naomi Marasian dari Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PtPPMA) dalam Podcast ke-3 Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT), Selasa (5/10)

Kebijakan investasi, tegas Naomi, berpotensi besar mengancam karena itu tidak berpihak pada lingkungan.

“Yang jelas, ketika tidak dikelola dengan baik, itu akan menjadi ancaman yang besar untuk kelestarian lingkungan,” ungkap Naomi.

Dalam Podcast yang dihadiri pula oleh Mathius Awoitauw Bupati Jayapura ini, Naomi membeberkan dua (2) tantangan lain yang PtPPMA hadapi ketika melakukan advokasi kepada masyarakat kampung di Jayapura berkenaan skema Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE).

Pertama, pemahaman tentang kampung dalam arti apa saja potensi dan kekurangannya masih kurang.

“Jadi, dari sini, diperlukan sebuah modal untuk melakukan pemetaan tersebut, sehingga kita bisa mudah dalam mencari pihak mana saja yang bisa diajak sinergi,” paparnya.

Kedua, implementasi kebijakan masih lemah. Kebijakan yang mendukung pembangunan hijau, kata Naomi, memang sudah ada. Namun, dalam implementasinya lemah.

“Yang juga menjadi tantangan kami adalah soal implementasi kebijakan memang. Jadi, harapannya ke depan, di tingkat implementasi Pemerintah Provinsi sekaligus Pemerintah Pusat bisa sepenuh hati mendukung kelestarian hutan Papua,” kata Naomi.

Diskusi yang mengangkat tema Belajar Dari Penerapan TAKE Kabupaten Jayapura ini diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau dan didukung Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).