Wahid Foundation
Jakarta - Ketidaksetaraan ekonomi, marginalisasi, dan ketidakadilan sosial menjadi salah satu pemicu utama terjadinya konflik di masyarakat. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi ekstrem. Oleh sebab itu, pentingnya menciptakan ruang kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak dalam mengatasi masalah ini, termasuk melalui program-program yang menekankan pemberdayaan dan inklusi sosial.
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Siti Kholisoh, menyampaikan hal tersebut dalam Habibie Democracy Forum 2024 bertema "Membangun Harapan dan Strategi Kolaboratif untuk Mencegah Ekstremisme Berbasis Kekerasan Mengarah pada Terorisme dan Meningkatkan Kohesi Sosial" yang digelar oleh The Habibie Center pada Rabu (13/11/2024).
Siti Kholisoh menyoroti peran penting program Desa Damai yang diinisiasi oleh Wahid Foundation dalam upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan dan memperkuat ketahanan sosial. Ia menegaskan, "Desa Damai tidak hanya fokus pada pencegahan kekerasan berbasis ekstremisme, tetapi juga merupakan inisiatif yang membangun mekanisme sosial berkarakter, dengan partisipasi aktif masyarakat, terutama perempuan dan anak muda."
Pendekatan Terintegrasi Desa Damai
Lebih lanjut, Siti Kholisoh menjelaskan bahwa program Desa Damai mengintegrasikan empat pilar utama: pemberdayaan ekonomi, penguatan partisipasi perempuan, pembangunan perdamaian, dan lingkungan berkelanjutan. Dengan pilar-pilar ini, program Desa Damai bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dan menciptakan kolaborasi yang inklusif di tingkat desa.
Wahid Foundation juga mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait, yaitu RAN PE dan RAN P3AKS, yang diterapkan di desa-desa untuk mendorong pembangunan berkelanjutan. "Program Desa Damai mendukung peningkatan Indeks Desa Membangun (IDM), sehingga desa tertinggal dapat berkembang menjadi desa maju, lalu menjadi desa mandiri," tambahnya.
Keberhasilan program Desa Damai tampak dari hasil asesmen yang dilakukan di delapan desa di Jawa Tengah. Dengan menggunakan indikator Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Desa Damai berkontribusi hampir 97% terhadap pencapaian indikator tersebut, yang menunjukkan efektivitas program dalam memberdayakan perempuan dan anak serta meningkatkan kualitas sosial desa.
“Desa Damai adalah contoh nyata bahwa memperkuat ketahanan sosial di akar rumput dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan bebas dari ekstremisme. Ketahanan sosial yang kuat harus dimulai dari desa, di mana masyarakat dapat bekerja sama mengatasi tantangan bersama," pungkas Siti Kholisoh.
Jakarta - Untuk memperkuat kolaborasi lintas sektoral dalam upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Wahid Foundation menggelar Pertemuan Tahunan Forum Kemitraan Nasional (FKN) RAN PE 2024. Acara ini didukung oleh Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan berlangsung pada Rabu, 16 Oktober 2024, di The Sultan Hotel, Jakarta.
Pertemuan ini bertujuan untuk menguatkan koordinasi antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, filantropi, dan perguruan tinggi dalam pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Forum ini diharapkan menjadi wadah diskusi strategis untuk memperkuat jaringan kemitraan, berbagi pengalaman, serta membahas solusi inovatif dalam pencegahan ekstremisme kekerasan di Indonesia.
Dalam sambutannya, Deputi Bidang Kerjasama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudhanto, menekankan pentingnya pendekatan “whole of government and whole of society” dalam upaya penanggulangan ekstremisme.
“FKN RAN PE merupakan ruang komunikasi dan kolaborasi bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE. Pendekatan multidimensi ini sangat penting mengingat kompleksitas ancaman ekstremisme kekerasan,” ujar Andhika.
Andhika juga memaparkan pencapaian penting dari upaya pencegahan ekstremisme selama tahun 2023, yakni tidak adanya serangan terorisme di Indonesia. “Koordinasi yang baik antara penegak hukum dan masyarakat sipil menjadi kunci keberhasilan ini. Namun, upaya pencegahan harus terus dilakukan karena kelompok teroris terus menyebarkan ajaran mereka, khususnya melalui platform daring,” tambahnya.
Sementara itu, Mujtaba Hamdi, Development and Policy Advisor Wahid Foundation, menyampaikan bahwa keterlibatan seluruh elemen masyarakat menjadi prinsip utama dalam pelaksanaan RAN PE. “RAN PE sejak awal dirancang dengan pendekatan yang menyeluruh, melibatkan pemerintah dan masyarakat. Pendekatan ini mengombinasikan strategi lunak dan keras untuk mencegah terorisme,” jelas Mujtaba.
Selama setahun terakhir, Forum Kemitraan Nasional telah berhasil memfasilitasi beberapa inisiatif penting, termasuk penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) PE di Sulawesi Selatan dan Kota Depok. “Kami berharap pertemuan ini menghasilkan ide-ide strategis yang dapat menjadi pijakan bagi implementasi RAN PE fase kedua, yang akan berlangsung hingga 2029,” tambah Mujtaba.
Pertemuan ini juga menggarisbawahi pentingnya peran sektor swasta dan lembaga filantropi dalam mendukung program-program pencegahan kekerasan. Diskusi antar-stakeholder diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang konkret untuk meningkatkan kolaborasi lintas sektor, transparansi, serta akuntabilitas dalam pelaksanaan RAN PE di tingkat nasional maupun daerah.
BNPT dan Wahid Foundation menegaskan bahwa pencegahan ekstremisme kekerasan memerlukan kerja sama dari berbagai pihak dan tidak bisa hanya diemban oleh pemerintah. Forum ini menjadi platform penting dalam merumuskan kebijakan, memperkuat kolaborasi, dan menciptakan strategi yang lebih efektif untuk menciptakan lingkungan yang aman dan damai di Indonesia.
Pewartanusantara.com - Wahid Foundation dan La Rimpu mengadakan Diskusi Partisipatif dengan tema “Perempuan Berdaya untuk Perdamaian Berkelanjutan: Aksi Kemanusiaan Damai untuk Meningkatkan Resiliensi Masyarakat di Kota/Kabupaten Bima” di Hotel Marina Inn, Kota Bima.
Kegiatan ini menandai dimulainya program baru "Pemberdayaan Perempuan untuk Perdamaian Berkelanjutan: Nexus Perdamaian-Kemanusiaan untuk Meningkatkan Ketangguhan Masyarakat di Indonesia," yang didukung oleh UN Women dan Korea International Cooperation Agency (KOICA).
Diskusi tersebut bertujuan untuk melibatkan para pemangku kepentingan strategis dalam program ini, serta membahas berbagai pandangan mengenai pemberdayaan perempuan, perdamaian, aksi kemanusiaan, dan lingkungan di Kota/Kabupaten Bima. Pemilihan wilayah program di Nusa Tenggara Barat didasarkan pada Scoping dan Baseline Study yang dilakukan oleh UN Women pada tahun 2022. Studi ini menunjukkan beberapa aspek risiko dan kerentanan di wilayah tersebut, seperti bencana alam, konflik sosial, dan ekstremisme kekerasan.
Siti Kholisoh, Plh. Managing Director Wahid Foundation, menyampaikan bahwa Wahid Foundation bersama dengan UN Women sejak 2017 telah mendorong inisiatif lokal untuk memperkuat partisipasi perempuan dalam mempromosikan perdamaian.
"Program yang kami inisiasi di Kota/Kabupaten Bima akan menekankan strategi pelibatan multipihak baik pemerintah maupun pemangku kepentingan di masyarakat. Dalam implementasinya kami akan bekerjasama dengan La Rimpu sebagai mitra lokal," tuturnya seperti dikutip dari rilis resmi Wahid Foundation, Kamis (11/7/).
Diskusi dan kick-off program hari ini melibatkan multi-stakeholder dari berbagai Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) seperti DMPD, BPBD, DP3AP2KB, Kesbangpol, Dinas Sosial Kota dan Kabupaten Bima, serta perwakilan dari tujuh desa/kelurahan di Kota dan Kabupaten Bima.
Juga hadir organisasi keagamaan, kelompok perempuan, lembaga dan dinas terkait, komunitas, serta perwakilan kelompok disabilitas dan anak muda. Diharapkan kegiatan ini menghasilkan rekomendasi strategis dan rencana aksi dalam pemberdayaan perempuan untuk perdamaian berkelanjutan.
Atun Wardatun, Direktur Eksekutif La Rimpu, menyatakan, “Kami sangat menerima dengan baik kolaborasi Wahid Foundation dan UN Women. Program ini bertujuan meningkatkan kapasitas perempuan desa, pengetahuan, keterampilan, dan komitmen mereka untuk terlibat dalam ruang publik dan agenda advokasi di berbagai desa.”
Pujawan, Sekretaris Dinas Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bima, menyambut baik program ini. “Pihaknya menyambut dengan baik dapat terlibat dalam program ini, karena memiliki tujuan akhir yang sama yaitu mengurangi dampak dari bencana. Dalam mitigasi bencana ada tiga tahap yaitu pra bencana, saat bencana, dan setelahnya. Di situ peran perempuan ini terutama ingin kami libatkan. Harapannya ke depan program ini melalui Wahid Foundation dan UN Women bisa berkelanjutan dan terus bekerja sama dengan pemerintah lokal.”
Kegiatan yang berlangsung selama satu hari ini diharapkan akan menghasilkan rumusan tentang peluang, tantangan, dan isu-isu penting terkait pemberdayaan perempuan, perdamaian, aksi kemanusiaan, dan lingkungan di Kota/Kabupaten Bima. Selain itu, juga diharapkan dapat menghasilkan peta pemangku kepentingan strategis yang dilibatkan dalam program pemberdayaan perempuan untuk perdamaian berkelanjutan.
Program ini dijalankan sejak 26 Juni 2023 hingga 31 Desember 2026 di tiga provinsi, yakni Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan tujuan meningkatkan ketangguhan masyarakat dan mengurangi kerentanan pada situasi darurat bencana alam di wilayah rentan konflik. Program ini bekerjasama dengan berbagai kementerian strategis dan organisasi lokal seperti La Rimpu dan LP2DER, menyasar tujuh desa/kelurahan di Bima yang dipilih berdasarkan asesmen tim Wahid Foundation dan La Rimpu.
Program ini melibatkan berbagai kegiatan pelatihan terkait kesiapsiagaan bencana, pencegahan konflik sosial, dan promosi perdamaian untuk mencegah intoleransi dan ekstremisme kekerasan. Kelompok perempuan muda juga difasilitasi untuk meningkatkan kapasitas terkait kepemimpinan, advokasi kebijakan, dan keterlibatan dalam pencegahan bencana dan konflik sosial. Aparatur pemerintah desa dan kelurahan juga diberikan pelatihan perencanaan dan penganggaran desa yang responsif gender.
Pewartanusantara, Jakarta - Yayasan Prajna Harmonis Indonesia, Wahid Foundation, Nishan World Center for Confucian Studies, dan Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) menginisiasi terselenggaranya 1st World Civilizations Harmony Forum 2024 dan Indonesia Forum for the 10th Nishan Forum on World Civilizations dengan tema “Building A Pathway To Harmonious Coexistence” pada Sabtu (15/6/2024) di Hotel Merusaka Nusa Dua, Bali.
Forum ini menginisiasi dialog antar peradaban dunia yang bertujuan untuk menjaga keberagaman peradaban serta membangun komunitas global yang rukun dan harmonis. Selain itu, forum ini juga menegaskan kerja sama internasional sebagai fondasi untuk perdamaian dunia yang berkelanjutan dengan menyediakan platform bagi pemimpin, akademisi, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil untuk berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih inklusif dan adil.
Acara dihadiri oleh PJ Gubernur Bali yang diwakili oleh Asisten I Provinsi Bali, Dewa Gede Mahendra Putra, tokoh agama, akademisi dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan China, perwakilan organisasi keagamaan, dan perwakilan sejumlah kampus di Bali.
Ketua Yayasan Prajna Harmonis Indonesia, Kasino, dalam welcoming remarks menyampaikan bahwa Juni 2024 adalah momen bersejarah. Dimana pada 7 Juni lalu, sidang ke-78 Majelis Umum PBB secara konsensus mengadopsi resolusi yang diusulkan oleh Tiongkok untuk mendeklarasikan 10 Juni sebagai Hari Internasional untuk Dialog Antar Peradaban.
“Di Indonesia, tanggal 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa merupakan kristalisasi nilai dan kebijaksanaan yang bersumber dari sejarah dan budaya bangsa Indonesia sejak dahulu,” tutur Kasino. Ia menjelaskan bahwa saat ini umat manusia sedang terpuruk dalam konflik dan perpecahan, sehingga dibutuhkan komitmen bersama untuk membangun dialog antar peradaban sebagai upaya mencari jalan keluar bagi koeksistensi yang harmonis.
“Sehingga kami berharap forum ini dapat menjembatani lintas agama, bangsa, dan budaya yang memiliki cita-cita luhur dan jiwa kasih bagi dunia, untuk berdialog dan berkomunikasi secara tulus serta bersinergi membangun peradaban dan hidup berdampingan secara harmonis bagi seluruh umat manusia,” jelasnya.
Senada dengan Kasino, Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menyampaikan bahwa cita-cita KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mewujudkan perdamaian di seluruh dunia menjadi inspirasi yang terus diperjuangkan.
“Gus Dur memahami bahwa kekuatan Indonesia terletak pada keberagamannya. Beliau membayangkan sebuah kehidupan masyarakat di mana orang-orang dari berbagai agama, budaya, dan latar belakang hidup berdampingan, diikat oleh komitmen bersama untuk toleransi dan saling pengertian,” tutur Yenny melalui sambutan daring.
Semasa hidupnya, lanjut Yenny, Gus Dur secara konsisten terus menyuarakan hak kebebasan beragama dan memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas. Yenny menegaskan bahwa di tengah situasi global yang sering diwarnai konflik dan perpecahan, Indonesia berdiri sebagai mercusuar harapan, menunjukkan bahwa hidup berdampingan secara damai tidak hanya mungkin, tetapi juga penting untuk kemajuan dan kemakmuran.
“Marilah kita mengambil inspirasi dari semangat Indonesia. Mari kita rangkul keberagaman sebagai sumber kekuatan dan merayakan ikatan yang menyatukan kita sebagai satu keluarga manusia,” pungkas Yenny.
Sementara itu, Asisten I Provinsi Bali, Dewa Gede Mahendra Putra, menyampaikan apresiasi dari Penjabat Gubernur Bali atas terselenggaranya forum ini. Menurutnya, forum ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang harmonis antar umat beragama.
“Keharmonisan akan tercapai ketika kita sadar akan posisi dan peran kita dalam masyarakat. Keharmonisan adalah kunci untuk hidup bersaudara dan berdampingan dengan damai,” tuturnya.
Ia juga mengajak seluruh masyarakat untuk bekerja sama membangun kehidupan sosial yang damai dan bergotong-royong. Persatuan, menurutnya, adalah dasar untuk mewujudkan hidup yang rukun, toleran, dan harmonis. Kerja sama antar warga merupakan wujud nyata dari pengamalan nilai-nilai Pancasila, yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
“Forum ini menjadi langkah konkret untuk memperkuat solidaritas dan saling pengertian di antara masyarakat. Dengan partisipasi aktif dalam forum ini, seluruh lapisan masyarakat diharapkan dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan sosial yang lebih inklusif dan harmonis,” jelasnya menutup sambutan.
Selanjutnya, Prof. Kishore Mahbubani (Inisiator Asia Peace Programme dan Insinyur Kehormatan Asia Research Institute National University of Singapore) menjelaskan bahwa Asia Tenggara adalah laboratorium multi-peradaban karena dari 670 juta penduduk terdapat lebih dari 250 juta Muslim, 150 juta penganut Kristen, 150 juta penganut Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme, dan Hindu. Menurutnya, keragaman ini mencerminkan kekayaan budaya yang unik dan dinamis yang jarang ditemukan di belahan dunia lain.
“Setiap peradaban utama dunia diwakili di Asia Tenggara termasuk peradaban Barat dan semua tetap hidup berdampingan dalam perdamaian,” tutur Kishore saat memberikan sambutan khusus secara daring.
Dia menambahkan bahwa kemampuan Asia Tenggara untuk mempertahankan harmoni di tengah keragaman yang luar biasa ini memberikan contoh yang berharga bagi dunia dalam mengelola pluralitas dan perbedaan.
Lebih lanjut, Ia juga menekankan bahwa keberagaman memberi peluang besar bagi pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya di seluruh dunia tersebut.
“Interaksi antara berbagai kelompok etnis dan agama telah mendorong inovasi dan kreativitas, serta memperkaya kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Keragaman ini bisa menjadi sumber kekuatan yang luar biasa jika dikelola dengan bijak,” katanya.
Kegiatan ini terbagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama Diskusi Pleno dengan tema “Membangun Jalan Hidup Bersama yang Harmonis” beberapa narasumber yang membahas tema ini secara mendalam diantaranya, Prof. Wen Haiming (Wakil Direktur Nishan Center for Confucian Studies), Dr. Made Mangku Pastika (Anggota DPD RI dan Mantan Gubernur Bali), Prof. Kong Deli (Akademisi Fakultas Filsafat Capital Normal University of China), dan Dr. Muhammad Najib Azca (Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Peneliti Pusat Keamanan & Perdamaian Universitas Gadjah Mada ).
Sesi kedua, Diskusi Panel I tema “Bhinneka Tunggal Ika dan Persaudaraan Umat Manusia” dengan narasumber I Gusti Raka Panji Tisna (Budayawan, Fasilitator Pendidikan dan Penggiat Pelestarian Alam), Prof. Alimatul Qibtiyah (Dosen Fakultas UIN Sunan Kalijaga dan Tokoh Perempuan Muhammadiyah), Prof. Wen Haiming (Wakil Direktur Nishan World Center for Confucian Studies dan Profesor Fakultas Filsafat Renmin University of China), Dr. I Ketut Donder (Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar), Prof. Li Shangxin (Pusat Ilmu Filsafat Shandong University), Drs. Putu Suasta (Tokoh Kemanusiaan) dan Mr. Kong Lingqian (Beijing Bohua Traditional Chinese Medicine Inheritance and Development Center).
Selanjutnya adalah Diskusi Panel II dengan tema “Dialog Peradaban Indonesia-Tiongkok” dipandu oleh Dr. Novi Basuki dengan pemaparan dari Prof. Zhang Fenglian (Wakil Direktur Shandong Academy of Social Sciences) Dr. I Made Sendra (Direktur Indonesia Tourism Confucius Institute Universitas Udayana), Prof. Chang Qiang (Peneliti Departemen Sastra dan Editorial Nishan World Center for Confucian Studies), Dr. Chin Chong Foh (Associate Professor, Universiti Tuanku Abdul Rahman of Malaysia), Prof. Chen Renren (Hunan University), Prof. Du Yunhui (Beijing Language and Culture University), Prof. Roger T. Ames (Profesor Emeritus Fakultas Filsafat Universitas Hawaii), Mr. Sun Jingxin (Wakil Presiden Akademi Studi Kontemporer Tiongkok dan Dunia), dan Rachmat Soekasah (Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok).
Forum diakhiri dengan sesi penutup dengan penyampaian ringkasan akademik oleh Akademisi Fakultas Filsafat Capital Normal University of China, Prof. Kong Deli dan ucapan terima kasih oleh Ketua Yayasan Prajna Harmonis Indonesia, Kasino. Selanjutnya juga penyerahan cinderamata kepada seluruh stakeholder yang terlibat dalam forum perdamaian ini.
Forum yang berlangsung hingga sore hari tersebut berhasil merumuskan hasil diskusi yang menekankan pentingnya promosi toleransi, saling menghormati, dan kerja sama internasional sebagai landasan untuk perdamaian dunia yang berkelanjutan. Diharapkan forum ini dapat menghasilkan solusi inovatif terhadap berbagai tantangan global yang dihadapi saat ini dan menjadi inspirasi bagi negara-negara lain dalam menjaga keberagaman budaya dan membangun kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk.