Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Pewarta

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Perhutanan Sosial (Perhutsos) adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.

Perhutsos dinilai sebagai pendekatan baru yang diinisiasi pemerintah untuk memastikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan lestari, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Erna Rosdiana dalam Seri Podcast ke-9 Publikasi dan Diseminasi Praktik Baik: Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, Rabu (23/3).

“Perhutsos ini bukan soal bagi-bagi lahan ya,” tegas Erna dalam podcast yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan Gender (PUG) KLHK, Beritabaru.co, dan The Asia Foundation (TAF).

Karena itu, imbuh Erna, Perhutsos memiliki tujuan utama untuk memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia, khususnya tentang kepastian hukum.

Selama ini, hutan-hutan yang dikelola masyarakat, yang menjadi sumber hidup masyarakat, belum memiliki kepastian hukum, sehingga rentan terjadi sengketa dengan pihak lain.

Oleh karena itu, untuk menertibkan dan menjamin kepastian hukum, maka perlu diterapkan kebijakan Perhutsos. Dengan Perhutsos, masyarakat akan mendapatkan izin kelola selama 35 tahun dan bisa diperpanjang.

“Jadi bisa diberikan hak kelola kepada masyarakat selama jangka waktu yang cukup besar, 35 tahun,” jelas Erna.

“Dengannya, masyarakat memiliki hak kelola dan memanfaatkan untuk kesejahteraannya dengan tetap menjaga kelestarian hutan, yang sebab inilah Perhutsos menjadi program prioritas pemerintah,” imbuhnya.

Mekanisme izin mudah

Erna menyampaikan ada 2 (dua) pihak yang bisa mengajukan izin Perhutsos, kelompok masyarakat dan koperasi.

Proses pengajuan pun mudah, bisa lewat aplikasi dan manual. Pihak yang kesulitan menggunakan aplikasi, bisa memilih manual.

Untuk proses manual pun, KLHK sudah menyediakan pendamping khusus untuk memudahkan pendaftaran.

“Jadi, sangat mudah ya untuk mengajukan izin Perhutsos,” ungkapnya dalam diskusi yang bertajuk Perhutanan Sosial yang Responsif Gender ini.

Adapun untuk verifikasi, KLHK nantinya bekerja sama dengan tim dari daerah, Dinas Kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan akademisi.

Verifikasi penting guna memastikan apakah pihak yang mengajukan izin sudah tepat sasaran atau belum, yakni masyarakat yang sumber hidupnya bergantung langsung pada hutan.

“Ukuran verifikasinya nanti, salah satunya dan yang terpenting, adalah apakah memang benar pihak pengusul merupakan mereka yang hidupnya bergantung langsung pada hutan,” jelas Erna.  

“Untuk memudahkan masyarakat juga, kami punya program jemput bola. Jadi, kami turun ke lapangan langsung untuk membantu masyarakat mengajukan Perhutsos,” imbuhnya dalam diskusi yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco ini.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Bahrul Fuad menyampaikan, untuk konteks perjuangan perempuan dalam konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan lahan, Indonesia membutuhkan transformasi budaya.

Seperti ia sampaikan dalam Webinar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada Senin (14/3), transformasi budaya merujuk pada pentingnya menggeser paradigma terkait relasi alam dan manusia.

Selama ini, kata Fuad, relasi yang terbangun adalah bahwa manusia terpisah sama sekali dari alam, sehingga manusia bisa begitu saja mengeksploitasi alam dengan tanpa berpikir keberlanjutannya.

Paradigma ini perlu untuk diubah menjai relasi yang saling membutuhkan dan melengkapi, yakni betapa antara alam dan manusia merupakan suatu kesatuan.

“Ketika kita semua berpikir bahwa kita bagian dari alam atau kita adalah alam itu sendiri, maka tidak mungkin kita akan mengeksploitasi alam, dan dalam kaitannya dengan peran perempuan, ini adalah ecofeminisme,” jelas Fuad.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co ini, Fuad juga mengutarakan latar belakang dari pentingnya pembaruan paradigma tersebut.

Pertama, sebab ketika paradigmanya masih yang awal—manusia dan alam terpisah—maka pendekatan yang pemerintah gunakan untuk menyikapi konflik SDA adalah represif, bukan dialog.

Kedua, karena paradigma yang awal akan menjadikan pemerintah menggunakan pendekatan relasi kuasa, baik model politik atau pun pemodal.

“Ini bisa kita lihat dari cerita Ibu Ngatinah ya, betapa relasi kuasa dan represi sangat bermain di situ, yakni yang dibenturkan adalah antara pemerintah dan masyarakat, jika tidak perusahaan dan masyarakat. Pun, itu menggunakan aparat kepolisian dengan persenjataan lengkap,” jelas Fuad. 

Kenapa perempuan selalu terdampak?

Dalam diskusi yang dipandu oleh Diah Mardhotillah dan Pria Laura ini, Fuad menyampaikan pula terkait beberapa hal yang menjadikan perempuan menjadi pihak paling terdampak dalam konflik SDA.

Pertama, kultur Indonesia masih memosisikan perempuan sebagai pihak yang lemah.

“Ini mengakibatkan, penanganan konflik selalu mengedepankan tata cara patriarki,” kata Fuad.

Kedua, perempuan merupakan pihak yang berada di barisan paling depan ketika ada konflik SDA.

Pasalnya, yang paling dekat dengan SDA adalah perempuan, bukan laki-laki. Jadi, ketika ada sesuatu yang terjadi dengan SDA, perempuan lebih sensitive.

“Contoh gampangnya begini, ketika lombok atau beras habis di dapur, yang mencermati siapa? Perempuan. Jadi, mereka selalu berpikir tentang keberlanjutan,” ungkapnya.

Terakhir, selain yang terdepan, dalam praktiknya, perempuan juga merupakan korban dari setiap konflik SDA dan lahan di Indonesia.

“Kenapa? Ya karena tadi, pendekatan yang digunakan adalah ketimpangan dan eksploitasi,” pungkas Fuad.

Perlu diketahui acara yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi Setapak ini dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno sebagai pembicara kunci.

Beberapa narasumber pun hadir, meliputi Kepala Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah III Provinsi Bengkulu Muhammad Zainuddin, Perempuan Adat di Teluk Bintuni Papua Barat Yustina Ogeney, negosiator perempuan Ngatinah, dan ditanggapi langsung oleh Ketua Prodi SKSG Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati dan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden RI Rizkina Aliya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com - Dedek Hendry dari Gender Focal Point (GFP) melihat tata kelola sumber daya alam di Indonesia masih bersifat destruktif, diskriminatif, dan belum memihak kepada perempuan, kelompok marginal.

Ha itu ia ungkap saat memberikan catatan penutup Webinar Festival Ibu Bumi memperingati International Women’s Day 2022 pada Senin (14/3), yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), Aksi SETAPAK dan Beritabaru.co.

“Kekerasan yang muncul dari konflik sumber daya alam di negara kita ini, perempuan itu menjadi salah satu korban yang berdampak paling buruk,” kata Dedek Hendry.

Secara regulasi ia tidak menafikan adanya perbaikan di beberapa ruang  dengan menggunakan pendekatan cara baru, dari pendekatan represif menjadi pendekatan dialogis atau komunikatif.

“Namun ada faktor kepemimpinan di dalam lembaga yang mungkin, baik itu lembaga negara atau faktor di luar negara, masih sangat patriarkis. Hal itu terlihat dari cerita berbagai pejuang di akar rumput,” jelasnya.

“Seringkali perempuan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan. Sebaliknya, ketika ada konflik perempuan yang menjadi garis depan perjuangan masyarakat terkait dengan pembelaan hak atas SDA dan tanah,” sambungnya.

Melihat situasi tersebut, Dedek Hendry menaruh harapan besar ada dorongan dari berbagai elemen masyarakat untuk melibatkan partisipasi perempuan menjadi aktor dalam pengambilan keputusan SDA.

“Kedepannya, bagaimana kita mendorong partisipasi perempuan tidak hanya sebagai peserta. Tapi perempuan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan, baik pengambilan keputusan sebelum terjadi konflik maupun dalam proses penanganan konflik, terkait sumber daya alam,” urainya.

Menurutnya, perempuan memiliki peran yang cukup penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam berperan, perempuan sangat sustainability dan berpandangan lebih progresif.

“Perempuan memiliki visi ke depan. Dia sudah memikirkan nasib anak cucu, bukan sekadar kepentingan pragmatis dan kepentingan jangka pendek,” terangnya.

Di akhir paparannya, Dedek Hendry menegaskan supaya negara atau komunitas masyarakat lainnya terus mendorong partisipasi perempuan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring guna memastikan pengelolaan sumber daya alam yang inklusif.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com - Tenaga Profesional Kantor Staf Presiden Rizkina Aliya mendorong agar peran perempuan terus bertransformasi tidak hanya dalam sektor tertentu namun menyeluruh ke semua sektor.

“Praktik-praktik baik harus ditransformasikan agar kemudian menjadi kebijakan dan kebiasaan,” ujar Rizkina saat menjadi penanggap dalam Webinar International Women’s Day (IWD) tahun 2022, Senin (14/03/2022).

Rizkina menjelaskan, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia sebenarnya masih sangat sektoral, dan diharapkan ke depannya praktik baik pengelolaan sektor kehutanan dapat menjadi penggerak bagi sektor-sektor lainnya untuk bertransformasi ke arah yang lebih baik.

“Karena pengelolaan SDA di Indonesia sendiri sebenarnya masih sangat sektoral, tapi kemudian prkatek baik ini bisa merata ke sektor-sektor lain, bukan hanya di kehutanan, tapi juga ke pertanahan, pertambangan, perikanan, dan juga sektor lain seperti keamanan,” tuturnya.

Rizkina mengapresiasi penyelenggaraan webinar bertajuk “Membangun Pengelolaan SDA yang Setara dan Inklusif” tersebut, serta berharap dapat menjadi pintu masuk dalam melibatkan pemangku kebijakan dan pemerintah untuk merancang kebijakan yang dapat mensejahterakan rakyat dan juga mendorong keterlibatan perempuan.

“Forum-forum seperti ini bisa menjadi pintu masuk untuk melibatkan stakeholder dalam pemerintahan agar kebijakan yang ingin kita usung dari kisah-kisah para perempuan ini bisa menjadi bahan untuk suatu perubahan sistem struktural,” tuturnya.

Webinar tersebut disiarkan secara live streaming di YouTube Beritabaru.co tersebut dihadiri oleh 41 perempuan dari 4 provinsi, yaitu Damaran Baru (Aceh), Rejang Lebong (Bengkulu), Kubu Raya (Kalimantan Barat), dan Poso (Sulawesi Tengah).

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Akademisi kajian gender, Mia Siscawati menegaskan bahwa perempuan adat dan perempuan lokal memiliki peran yang sangat luar biasa dalam memperjuangkan hak kelola Sumber Daya Alam (SDA).

“Peran mereka dalam pengolaan sumber daya alam luar biasa,” kata Mia saat menjadi penanggap dalam Webina Festival Ibu Bumi memperingati International Women’s Day (IWD) 2022, bertajuk ‘Praktik Baik Perjuangan Perempuan Untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia’, Senin (14/3).

Mia menyebut hal tersebut telihat dari apa yang sudah diinisiasi oleh Ibu Yustina Ogeney, dari Teluk Bintuni dan Ibu Ngatinah Warga Desa Olak-Olak untuk memperjuangan hak akses kelola SDA.

“Sebetulnya ini adalah bagian dari gerakan perempuan di akar rumput. Yang kalau kita inget isu tanah dan sumber daya alam, sudah berjalan sejak tahun 80an. Ada Meisinta yang memimpin perjuangan perempuan sugapa di sana, dan dilanjutkan oleh banyak perempuan lainnya,”

Menurut Mia perjuangan yang telah dilakuka oleh Yustina dan Ngatinah bagian dari gerakan perempuan. “Banyak sekali upaya upaya perempuan adat dan perempuan lokal dari masa mama Meisinta sampai sekarang adalah ini artikulasi koleftif gerakan perempuan,”

Ia berpandangan perempuan dalam memperjuangkan tanah dan sumber daya alam tidak terlepas dari akar aktivisme perempuan.

“Di banyak komunitas, perempuan itu secara aktif dan berkelanjutan di berbagai ranah, termasuk didalamya di ranah produktif, jadi tidak hanya di domistik. Juga di ranah komunitas, dalam ritual dan lain sebagainya. Jadi perempuan bukan hanya punya peran diwilayah konsumsi, tapi mengatur jalannya ritual,”

Lebih dari itu, kata Mia, secara kolektif perempuan berperan luar biasa sebagai pemimpin dalam pengolaan SDA. Harus diakui bahwa kalau digali terus ternyata ada komunitas-komunitas yang memberikan kepercayaan kepada perempuan untuk mepemimpi.

“Bahkan ada sejarah beberapa komunitas adat yang saat ini tidak ada perempuan yang menjadi ketua adat, tapi setelah ditelurusi dari sejarah tutur perempuan ada pada periode sebelum,”

Atas dasar itulah, menurut Mia sudah sepatutnya perempuan terus diberi ruang untuh hak asasi atas tanah. Keberadaanya diakui higga dilibatkan dalam secara aktif dalam pengambilan keputusan terkait SDA.

“Kita semua perlu mendukung Bu Ngatinah, Mama Yustina dan para pejuang perempuan lainnya. Turut mendorong proses transformasi sistem sosial budaya yang masih menempatkan perempuan diposisi nomor dua atau posisi lebih marjinal,” tukasnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Desa Olak-Olak, Kabupaten Kubu Raya merupakan desa yang mayoritas penduduknya berasal dari Jawa yang bertransmigrasi pada tahun 1985. Penghasilan utama mereka berasal dari hasil bumi yang berupa jagung, nanas, dan juga kelapa.

Hal itu disampaikan oleh Negosiator Perempuan, Ngatinah saat menjadi pembicara pada Webinar International Woman’s Day (IWD) tahun 2022 dengan tajuk Praktik Baik Perjuangan Perempuan Untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia, pada Senin (14/03/2022).

Ngatinah menyampaikan perusahaan kelapa sawit PT Sintang Raya pada tahun 2007 datang ke desanya menawarkan plasma bagi hasil 80 dan 20 persen untuk tanah yang dikelola masyarakat.

“Waktu itu kami menolak, tapi kawan-kawan banyak yang mau, sesepuh kampung pun mau diserahkanlah tanah untuk diplasmakan, waktu itu tanah itu sudah ditanamin jagung, nanas, kelapa, karet, jadi pihak perusahaan itu mengganti rugi tanam tunggu itu berbeda-beda, ada yang Rp500 ribu, Rp700 ribu, dan yang banyak sekali tanamannya cuma 2 juta. Hitungannya ganti buntung,” kata Ngatinah.

Setelah sudah beberapa tahun, lanjut Ngatinah semua tanaman yang ada di lahan plasma tersebut sudah beerbuah, namun hasil dari panen hanya diambil oleh pihak PT Sintang Raya dan tidak membagikan bagi hasilnya.

“Ditunggu lama sampai beberapa tahun, akhirnya kesal warga, kok hanya PT Sintang Raya yang memanen buahnya. Akhirnya, ketika itu kami menyetop PT Sintang Raya untuk memanen, jadi lahan itu tidak dipanen satu tahun lebih. Lepas itu kami ke desa dan ke camat untuk izin mengelola lahan itu. Waktu itu, lahannya terbengkalai tidak dikelola setelah kami menyetop PT Sintang Raya. Setelah kami mengelola, beberapa tahun kemudian PT Sintang Raya muncul lagi untuk meminta tanah itu karena katanya sudah dibeli,” tutur Ngatinah.

Ngatinah menegaskan, alasan dirinya ikut andil penuh dalam proses advokasi melawan perusahaan sawit tersebut adalah untuk memperjuangkan tanah yang merupakan hak dari masyarakat.

“Tanah itu kan tempat kita cari makan, kalau setiap bulan panen jagung, nanas, ada hasilnya, tapi sekarang dikelola PT tidak ada hasilnya. Kalau ada aparat datang bapak-bapak diam semua, ibu-ibu yang maju ke depan. Kalau kita orasi, emak-emak di depan, bapak-bapak di belakang. Kalau ada pertemuan sama PT bapak-bapak andil tapi mereka tidak bisa ngomong, pokoknya iya dan iya, ujung-ujungnya sampai sekarang tidak ada titik terangnya,” katanya.

Menurut Ngatinah, konflik kemudian berlanjut ketika datang masa panen buah di lahan tersebut dan masyarakat ramai-ramai memanen buah. Namun kemudian perusahaan melaporkan masyarakat kepada kepolisian dengan kasus pencurian buah.

“Jadi polisi datang, ramai polisi datang dengan senjata lengkap, penangkapan Pak Ayub sama Pak Ponidi itu kayak teroris. Waktu pak Ponidi pulang kerja, tiba-tiba polisi datang satu kompi dengan senjata lengkap, waktu itu bapak-bapak tidak ada yang berani, malah saya dan Ibu Ruqiyem yang menentang polisi,” katanya.

Ngatinah menceritakan, penangkapan dua orang bernama Ayub dan Ponidi yang dilaporkan mencuri buah di lahan tersebut seperti proses penangkapan teroris. Padahal menurutnya, seharusnya pihak kepolisian tidak hanya menangkap dua orang itu, karena seluruh warga pada saat itu juga ikut memanen buah.

“Jangan kasar begitu, ini bukan teroris, ini kasus apa kok kayak teroris, saya pegang tuh polisi, kalau orang kampung tidak akan lari ia akan bertanggung jawab kalau emang salah, emang itu aparat tugasnya tapi jangan begitu, nangkep kok kayak teroris saya bilang,” terang Ngatinah.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Perjuangan perempuan untuk mendapatkan akses dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang berkelanjutan dan berkeadilan tidaklah mudah, kata salah satu tokoh perempuan adat Papua, Yustina Ogoney pada Senin (14/3).

Perempuan yang berasal dari Suku Moskana itu bercerita bahwa ia beberapa kali mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia mengatakan, perempuan dipandang sebelah mata tidak hanya dari eksternal perusahaan atau bahkan pemerintah setempat, tetapi juga dari internal masyarakat adat.

“Paham patriarki di suku saya, itu masih sangat kental. Saya sendiri untuk dapat menempati kepala distrik, mendapatkan penolakan. Saya mengalami penolakan dari saudara-saudara saya,” kata Yustina.

Sebagai Kepala Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, Yustina Ogoney mengatakan dalam pertemuan yang membahas izin HPH pengelolaan perkebunan sawit di daerahnya, baik pihak perusahaan, pihak pemerintah dan masyarakat sama sekali tidak melibatkan masyarakat.

“Perempuan sudah di rumah saja. Dalam hasil pertemuan, sudah menghasilkan uang, maka perempuan hanya dikasih paling tertinggi 1 juta, paling rendah 500 ribu,” katanya.

Yustina menjelaskan bahwa banyak yang beranggapan perempuan dianggap tidak mampu untuk memimpin dan tidak mampu mengambil keputusan. Namun, Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw melihat bahwa posisi perempuan di birokrasi sangat kurang, apalagi posisi-posisi sebagai kepala distrik.

Petrus Kasihiw kemudian mengakat 4 perempuan menjadi kepala distrik. Tetapi, keempat perempuan itu harus membuktikan dalam tiga bulan bahwa perempuan dapat memimpin. Jika tidak, maka mereka harus mengundurkan diri.

Dalam tiga bulan itu, Yustina mengatakan dalam tiga bulan pihaknya pertama kali mempelajari tentang kebutuhan yang sangat penting di wilayahnya, merujuk pada jalan, jembatan, bandar udara, dan program-program lain seperti rumah sosial.

“Kami melakukan itu bertahap, karena kami berada di wilayah yang terisolasi. Tidak bisa dijangkau apapun selain jalan kaki, itu pun berhari-hari,” kata Yustina.

Yustina menyesalkan bahwa dalam setiap musyawarah adat maupun izin pengelolaan SDA dengan perusahaan, perempuan sering tidak dilibatkan lantaran setiap pengambilan keputusan itu selalu berada di tangan laki-laki. “Kalau perempuan itu hadir pun tidak terlalu dianggap. Perannya tidak berpengaruh,” tutur Yustina.

Menanggapi itu, Yustina tidak tinggal diam. Ia mendorong para perempuan untuk berani memperjuangkan akses dalam mengelola hutan adat. Meskipun tidak mudah dilakukan dan butuh proses panjang, Yustina menegaskan hal itu penting dilakukan oleh perempuan untuk beradi mengusulkan dalam musyawarah agar hutan adat di wilayahnya mendapat pengakuan negara dan para perempuan pun punya akses untuk mengelola SDA dengan berkelanjutan dan berkeadilan.

“Paham patriaki ini sudah ada semenjak kita masih di kandungan ibu. Kayaknya seperti itu. Jadi, perempuan itu malu sekali untuk berbicara, menyampaikan pendapatnya di hadapan umum,” jelas Yustina.

Yustina juga menceritakan bahwa sering terjadi konflik di daerahnya terkait dengan masalah hak-hak antara laki-laki dan perempuan, misalnya terkait dengan pembayaran dari perusahaan. Selama ini, pembagian pembayaran hak itu tidak rata antara laki-laki dan perempuan dan lebih banyak laki-laki yang dapat, dimana perempuan biasanya hanya mendapatkan sekitar 10-20 persen saja, kata Yustina.

“Saya menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki punya hak yang sama, dibagi secara rata. Saya menggunakan kapasitas saya sebagai kepala distrik untuk mediasi supaya persoalan pembagian itu sama rata, itu dengan cara pembaarannya di hadapan pemerintahan distrik, yang dihadiri oleh Polsek, Koramil, juga dihadiri perempuan dan laki-laki, supaya tahun semua berapa nominalnya,” tegasnya.

Selain konflik terkait hak-hak perempuan, Yustina pun mengatakan bahwa terdapat juga konflik masyarakat adat dengan perusahaan. Masyarakat, khususnya marga Ogoney, menolak perusahaan untuk mengambil hasil alam yang ada di wilayahnya.

“Masyarakat semua pada melakukan aksi penolakan terhadap perusahaan, bahwa ‘Ambil batas di sini. Sudah tidak bisa masuk di komunitas kami.’ Karena ini adalah tempat kami mencari makan, mencari hidup. Dan ketika terjadi kerusakan alam, kami yang kena bencana,” ucapnya.

Dalam prosesnya, perjuangan Yustina dan para perempuan Teluk Bintuni untuk mendapatkan akses mengelola SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan mulai mendapatkan pengakuan dari kaum laki-laki. Yustina menjelaskan dalam meyakinkan pentingnya perempuan dalam mengelola SDA, mereka menggunakan pendekatan keibuan.

“Dalam proses saya, itu mungkin lebih kepada pendekatan seperti seorang ibu. Saya tidak pernah meyakinkan seseorang di jalan. Tapi dari rumah ke rumah. Saya kunjungi itu satu- persatu. Dan harus dengan pendekatan keibuan supaya bisa didengarkan,” katanya. https://www.youtube.com/watch?v=j4QYmcJKNeA&t=126s

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com - Kepala Bidang Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Wilayah III Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan, Muhammad Zainuddin mengatakan bahwa pihaknya sudah mulai melakukan pelibatan kelompok perempuan dalam pengelolaan TNKS.

Zainuddin menyebut sudah ada 4 kelompok komunitas perempuan peduli lingkungan yang sudah bermitra dengan TNKS. “Mungkin yang kami lakukan ini, sebetulnya belum ada apanya-apanya untuk pelibatan perempuan dalam pengelolaan TNKS,” ungkapnya.

Hal itu ia katakan saat menjadi pembicara dalam Festival Ibu Bumi memperingati International Women’s Day (IWD) 2022 pada Senin (14/3), yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), Aksi SETAPAK dan Beritabaru.co.

“TNKS ini sangat luas sekali. Hampir 1,4 juta hektar, berada 15 di kabupaten/kota dan terdapat di 4 Provinsi. Mungkin yang kami lakukan khususnya di Kabupaten Rejang Lebong ini mungkin bisa jadi pemicu untuk semuanya,” kata Zainuddin.

Ia kemudian menjelaskan, setiap kelompok yang bermitra dengan TNKS memiliki klasifikasi masing-masing. Pertama adalah kelompok Maju Bersama, sebagai ruang bagi TNKS untuk menyerap aspirasi masyarakat dekat kawasan sejak sebelum ada aturan kemitraan.

Setelah PKS-nya ditandatangani menyusul kemudian terbentuknya kelompok kedua yaitu Karya Mandiri. Kelompok ini berupa pemberian akses untuk diizinkan memanfaatkan potensi yang ada di kawasan TNKS, berupa bambu dan tanaman pepulut, bahan kue.

Tak berhenti di situ, dengan sosialisasi menggunakan pendekatan dialogis kepada warga TNKS kemudian bisa menggandeng kembali masyarakat sekitar kawasan untuk bermitra mengelola kemanfaatan TNKS. Lahirlah kemudian kelompok Sejahtera dan Sumber Jaya.

"Semua lahannya di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat. Tapi mereka (Sejahtera dan Sumber Jaya, red.) bergerak sebagai pemulihan ekosistem. Mereka berkegiatan menanam tanaman yang produktif yang hasilnya bisa untuk kebutuhan rumah tangga dan punya nilai ekonomis," terang Zainuddin.

Zainuddin kemudian menegaskan, sebagai pengelola kawasan taman nasional sudah saatnya menggandeng masyarakat sekitar untuk terlibat secara langsung, khususnya perempuan. Ia pun berharap dalam setiap provinsi ada kelompok perempuan yang lahir.

“Tidak banyak yang kami lakukan, tapi kami sudah memulai itu. Kami berharap nanti setiap provinsi ada komunitas perempuan yang ikut andil untuk pengelolaan kawan Taman Nasional,” jelasnya.

Lebih lanjut Zainuddin melihat perempuan memiliki kekuatan tersendiri dalam mengelola dan memperjuangkan hak kelola kawasan taman nasional. “Perempuan antusiasnya tinggi dalam menjaga dan mengelola lingkungan. Mereka memiliki kehati-kehatian,” tuturnya.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga menegaskan, siapa pun penting untuk selalu mengingat perjuangan perempuan di Indonesia.

Kenyataan bahwa peran dan perjuangan perempuan sangat jarang ditulis dan dibicarakan merupakan alasan mengapa Sandra mengatakan demikian.

Hal ini Sandra sampaikan dalam Festival Ibu Bumi memperingati International Women’s Day 2022 pada Senin (14/3), yang ditayangkan secara langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi SETAPAK.

Sandra memberi contoh tentang perjuangan perempuan di Sumatera Utara dalam merebut kembali tanah mereka dari PT Indorayon.

Ia mengisahkan, yang menyerahkan tanah tersebut pada PT Indorayon adalah pihak laki-laki melalui manipulasi adat.

Para ibu di wilayah tersebut yang Sandra sebut sebagai Ibu-Ibu Sugapa—di bawah pimpinan Ibu Naisinta—tidak terima mendapati tanahnya diserahkan begitu saja pada perusahaan.

“Akhirnya, mereka harus berjuang merebut tanahnya kembali dan pihak yang mereka lawan, sayangnya adalah aparat kepolisian dan para petugas perusahaan,” jelas Sandra dalam webinar yang dipandu oleh Diah Mardhotillah.

Untuk merebut kembali haknya tersebut, bahkan mereka sampai telanjang dada. Meski demikian, mereka berhasil merebut kembali tanahnya dan hingga hari ini kendali kelola berada di tangan mereka sendiri.

Perjuangan tersebut yang berlangsung pada tahun 1980an, lanjut Sandra, berhasil menginspirasi banyak kelompok perempuan di wilayah lain di Indonesia.

“Banyak pergerakan dan perjuangan perempuan lain lahir dari kisah ibu-ibu Sugapa tersebut di Sumut. Intinya, hal seperti ini kita tidak boleh melupakannya, mengetahui mereka jarang sekali ditulis dan dibicarakan,” ungkap Sandra.

Standar Norma dan Pengaturan

Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co ini, Sandra juga menyampaikan tentang program prioritas Komnas HAM terkait perempuan.

Sejak 2018, Komnas HAM memiliki produk yang disebut Standar Norma dan Pengaturan (SNP).

Produk ini, kata Sandra, didukung oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan karena beberapa hal menjadi prioritas nasional.

“Ada 8 hal dalam SNP, yakni penghapusan diskriminasi ras dan etnis, kebebasan berorganisasi dan berkumpul, kebebasan beragama dan berkeyakinan, tentang pembela HAM, hak atas kesehatan, tentang tanah dan SDA, dan sebagainya,” papar Sandra.

Sandra menegaskan, SNP adalah produk Komnas HAM yang telah melewati dinamika dan proses penyusunan.

Hal itu mencakup pembentukan tim penyusun, rangkaian diskusi intensif dan penyusunan draft 0, penyusunan draft 1, konsultasi publik daerah dan nasional, revisi naskah pascakonsultasi publik oleh tim Komnas dan penulis, review dan penyelarasan akhir, pemaparan pada pimpinan, dan finalisasi laporan.

Dalam webinar yang dihadiri oleh Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini, Sandra memilih untuk memaparkan satu bagian dari delapan (8) kandungan SNP di muka, yakni tanah dan Sumber Daya Alam (SDA).

“Kali ini saya akan memaparkan bagian tanah dan SDA. Di sini kami menggunakan istilah tanah dan SDA dan bukan agraria karena istilah yang digunakan secara internasional adalah tanah dan SDA, sedangkan agraria hanya untuk konteks Indonesia,” ungkap Sandra.

Zainul Abidin Zainul Abidin
2 tahun yang lalu

Jakarta, Pewartanusantara.com – Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia bisa diselesaikan dengan cara berpikir yang baru.

Hal tersebut disampaikan melalui Direktur Jenderal KSDAE Wiratno dalam Festival Ibu Bumi untuk memperingati International Women’s Day (IWD) 2022 yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co, Senin (14/3).

Menurut Wiratno, pembaruan cara berpikir di sini penting agar seseorang tidak lagi menggunakan paradigma lama yang notabene dari paradigma tersebut, kekerasan terhadap perempuan justu lahir.

“Kekerasan terhadap perempuan bisa diselesaikan dengan cara berpikir baru, bukan cara berpikir lama yang menyebabkan persoalan itu lahir,” jelas Wiratno.

Dalam kegiatan yang dipandu oleh Diah Mardhotillah dan Prita Laura ini, Wiratno memaparkan bahwa cara berpikir baru tersebut mencakup setidaknya 5 (lima) hal yaitu pengetahuan atas potensi alam, spirit konservasi, basis konservasi, mandat pemerintah, kolaborasi.

Poin pertama berhubungan dengan istilah yang Wiratno sebut sebagai biological and cultural diversity (BCD).

BCD adalah poros dari 8 nilai yang dimiliki Indonesia yaitu nilai intrinsik, nilai ekologis, nilai genetis, nilai sosial, budaya dan spiritual, ekonomi, estetik dan rekreasi, dan nilai edukasi dan sains.

“Ini kan peta umum yang dari sini, nilai ekonomi hanya bagian kecil saja,” tegasnya dalam Webinar bertajuk Praktik Baik Perjuangan Perempuan untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia: Membangun Pengelolaan SDA yang Setara dan Inklusif ini.

Poin kedua merujuk pada 5 (lima) prinsip pengelolaan kawasan konservasi yang mencakup kepeloporan, keberpihakan, kepedulian, konsistensi, dan kepemimpinan.

“Semua ini penting ya. Kepeloporan misalnya, tanpa ini, tidak ada program apa pun,” ungkap Wiratno.

Poin ketiga lebih pada poros pergerakan, yaitu bagaimana pengelolaan kawasan konservasi harus berpijak pada 5 (lima) hal yaitu regulasi, sains, bukti, pengalaman, dan prinsip pencegahan.

“Peran perempuan sangat menonjol di bagian bukti dan pengalaman,” katanya.

Poin keempat tidak lain merupakan tugas pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi. Wiratno menyampaikan, pemerintah dalam kasus ini harus adaptif, produktif, inovatif, kompetitif, dan tentu inklusif.

Kemudian, yang terakhir adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan, yakni kerja sama multipihak. Wiratno menyebut, untuk pengelolaan konservasi yang inklusif di Indonesia, pemerintah menggandeng masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media.

“Kolaborasi ini akan dijalankan berdasarkan tiga prinsip penting, yakni trust, respect, dan benefit,” ungkapnya.

Perlu diketahui webinar yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi SETAPAK ini dihadiri oleh Sandra Hamid, Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM, Bahrul Fuad Komisioner Komnas Perempuan, dan beberapa lainnya.