Pewarta
Cafe Blandongan, 2 Februari 2017 – Pada hari ini, kelompok pemuda kreatif yang berkolaborasi di bawah bendera Project O, mengadakan musyawarah yang menghasilkan inisiasi pembuatan portal lowongan kerja yang dinamai Jobnas. Acara ini diadakan di Cafe Blandongan sebagai langkah konkret dalam penguatan dan konsolidasi komunitas yang memiliki visi untuk menciptakan wadah informasi lowongan kerja yang mudah diakses dan transparan.
Moh. Sobakhul Mubarok, penggagas utama Project O, secara penuh semangat menginisiasi pembuatan portal lowongan kerja ini. Portal ini bukan hanya sebagai platform informasi, tetapi juga bertujuan memberikan konsultasi kepada para pelamar dan melakukan validasi terhadap lowongan kerja yang tersedia. Keputusan ini diambil setelah musyawarah yang mendalam, di mana para pemuda kreatif sepakat bahwa era digital membutuhkan solusi yang cepat, tepat, dan terpercaya dalam menyediakan informasi lowongan kerja.
Jobnas bukan hanya sekadar portal informasi biasa. Portal ini akan menjadi mitra setia bagi para pencari kerja, menyediakan akses terhadap lowongan kerja terkini, dan memberikan layanan konsultasi untuk membantu mereka memahami proses pencarian pekerjaan. Namun, yang lebih penting, Jobnas akan menempatkan keabsahan dan validitas informasi sebagai prinsip utama dalam setiap aktivitasnya.
Moh. Sobakhul Mubarok, dalam pernyataannya, menyatakan, “Kami percaya bahwa keberhasilan suatu komunitas dimulai dari memberikan manfaat nyata kepada masyarakat. Jobnas tidak hanya hadir sebagai portal informasi lowongan kerja, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam memastikan bahwa setiap informasi yang kami sampaikan adalah valid, terpercaya, dan dapat diandalkan.”
Dalam era di mana informasi dapat dengan cepat menyebar melalui dunia digital, Jobnas merangkul tanggung jawab untuk melakukan validasi terhadap setiap lowongan kerja yang diunggah. Langkah ini diambil untuk mencegah penyebaran informasi palsu atau potensial penipuan yang dapat merugikan para pencari kerja.
Jobnas, sebagai hasil dari musyawarah Project O, tidak hanya menjadi solusi cerdas untuk para pencari kerja, tetapi juga kontribusi berharga bagi ekosistem lowongan kerja di Indonesia. Para pemuda kreatif di balik Project O yakin bahwa Jobnas akan menjadi pemimpin dalam menyediakan informasi lowongan kerja yang terverifikasi dan terpercaya. Ke depannya, Jobnas berkomitmen untuk terus berinovasi dan meningkatkan kualitas layanannya demi mendukung pertumbuhan dan kemajuan para pencari kerja di tanah air.
Batu jato sebuah legenda klasik antara suku melayu dayak dan tanah jawa, kaitan darah turun dari majapahit jawa yang menyusuri lautan nusantara hingga muara kapuas yang menandakan bahwa legenda itu benar adanya dengan legenda batu jato. Tumpukan batu besar yang seakan jatuh sepanjang aliran sungai Batu Jato yang menjadi salah satu titik letak tanah jawa majapahit yang pernah menjadi tempat singgahan dari kerajaan majapahit.
Memang tidak salah kalau orang dayak khususnya dayak Ntuka (mentuka) adalah bagian dari masyarakat indonesia. Karena dari cerita orang tua dulu, nenek moyang dayak ntuka berasal dari pulau jawa pada jaman kerajaan majapahit.
konon ceritanya pada jaman kerajaan majapahit terjadi pergolakan dan perpecahan mereka menamakan perang itu perang merajok, ada sekelompok rakyatnya berlayar ke daerah lain dan ada sekelompok yang sampai di muara kapuas, kalimanta barat. Mereka masuk sungai kapuas dan menetap di daerah labai lawai, sekarang daerah suka lanting kabupaten kubu raya. Mereka menetap disana puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun. Dalam perjalanan hidup mereka ingin mencari tempat yang aman dan nyaman. Oleh karena itu mereka sepakat untuk lari mencari tempat yang aman. Dibawah pimpinan seorang pateh yaitu pateh Bang’ie mereka mudik sungai kapuas dengan menggunakan beberapa perahu dari dua rombongan yang berangkat mereka berjanji, apabila menemui muara sungai yang di tanjap dengan bambu (suai) mereka harus masuk sungai itu, berarti itu tanda ada rombongan yang sudah masuk sungai itu. Tapi sayang sekali rombongan yang berikutnya tidak melihat suai atau bambu yang di tanjap dimuara sungai tersebut. Sehingga rombongan berikutnya langsung mudik kehulu sungai kapuas. Sedangkan rombongan terdahulu tadi masuk ke wilayah sungai sekadau mereka mudik sungai sekadau dan menetap disuatu daerah, yaitu daerah kematu Rawak/Sekadau hulu.
Tidak juga diketahui berapa lama mereka menetap disana, lalu mereka mencar lagi ada yang mudik sungai sekadau dan tinggal sementara di seberang muara sungai mentuka (daerah Tolok pasu sekarang). Setelah mereka menetap disana, mereka pun memutuskan untuk pindah lagi setelah siap merekapun mudik menelusuri sungai mentuka dan akhirnya mereka mentok disuatu daerah karena perahu mereka tidak bisa mudik lagi. Daerah tersebut sekarang berada di sungai sebelimbing, Dusun Pantok Desa Pantok. Mereka memutuskan untuk menetap di daerah itu dengan disertai kebiasaan mengubur tanah yang diisi dalam piring putih, tanah itu ceritanya dibawa sejak mereka pindah dari jawa dahulu, sehingga mereka menamakannya juga Tanah Majapahit yaitu tanah kelahiran atau tona kadoyat.
Berabad-abad mereka menetap beraktifitas didaerah itu dan bertambah banyak , mereka tinggal didaerah antara sungai mangau dengan sungai sebelimbing, yaitu daerah natai kadupai setelah puluhan tahun bahkan ratusan tahun mereka menetap disana terjadilah suatu petaka. Ahirnya dari daerah tersebut mereka bubar ada sekelompok yang pindah dan tinggal di sungai kamayatn (daerah hulu dusun lubuk tajau) dan sebagian lagi pindah dan tinggal di sungai sopet daerah hulu (dusun masa bakti) dari kedua tempat itu ahirnya mereka masing-masing mencari tempat baru untuk berburu berladang sampai ahirnya mereka menetap diberbagai daerah sungai ntuka/mentuka dan sekitarnya.
MENGUAK BATU JATO TANAH MAJAPAHIT JAWABatu jato sebuah legenda klasik antara suku melayu dayak dan tanah jawa, kaitan darah turun dari majapahit jawa yang menyusuri lautan nusantara hingga muara kapuas yang menandakan bahwa legenda itu benar adanya dengan legenda batu jato. Tumpukan batu besar yang seakan jatuh sepanjang aliran sungai Batu Jato yang menjadi salah satu titik letak tanah jawa majapahit yang pernah menjadi tempat singgahan dari kerajaan majapahit.
Memang tidak salah kalau orang dayak khususnya dayak Ntuka (mentuka) adalah bagian dari masyarakat indonesia. Karena dari cerita orang tua dulu, nenek moyang dayak ntuka berasal dari pulau jawa pada jaman kerajaan majapahit.
konon ceritanya pada jaman kerajaan majapahit terjadi pergolakan dan perpecahan mereka menamakan perang itu perang merajok, ada sekelompok rakyatnya berlayar ke daerah lain dan ada sekelompok yang sampai di muara kapuas, kalimanta barat. Mereka masuk sungai kapuas dan menetap di daerah labai lawai, sekarang daerah suka lanting kabupaten kubu raya. Mereka menetap disana puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun. Dalam perjalanan hidup mereka ingin mencari tempat yang aman dan nyaman. Oleh karena itu mereka sepakat untuk lari mencari tempat yang aman. Dibawah pimpinan seorang pateh yaitu pateh Bang’ie mereka mudik sungai kapuas dengan menggunakan beberapa perahu dari dua rombongan yang berangkat mereka berjanji, apabila menemui muara sungai yang di tanjap dengan bambu (suai) mereka harus masuk sungai itu, berarti itu tanda ada rombongan yang sudah masuk sungai itu. Tapi sayang sekali rombongan yang berikutnya tidak melihat suai atau bambu yang di tanjap dimuara sungai tersebut. Sehingga rombongan berikutnya langsung mudik kehulu sungai kapuas. Sedangkan rombongan terdahulu tadi masuk ke wilayah sungai sekadau mereka mudik sungai sekadau dan menetap disuatu daerah, yaitu daerah kematu Rawak/Sekadau hulu.
Tidak juga diketahui berapa lama mereka menetap disana, lalu mereka mencar lagi ada yang mudik sungai sekadau dan tinggal sementara di seberang muara sungai mentuka (daerah Tolok pasu sekarang). Setelah mereka menetap disana, mereka pun memutuskan untuk pindah lagi setelah siap merekapun mudik menelusuri sungai mentuka dan akhirnya mereka mentok disuatu daerah karena perahu mereka tidak bisa mudik lagi. Daerah tersebut sekarang berada di sungai sebelimbing, Dusun Pantok Desa Pantok. Mereka memutuskan untuk menetap di daerah itu dengan disertai kebiasaan mengubur tanah yang diisi dalam piring putih, tanah itu ceritanya dibawa sejak mereka pindah dari jawa dahulu, sehingga mereka menamakannya juga Tanah Majapahit yaitu tanah kelahiran atau tona kadoyat.
Berabad-abad mereka menetap beraktifitas didaerah itu dan bertambah banyak , mereka tinggal didaerah antara sungai mangau dengan sungai sebelimbing, yaitu daerah natai kadupai setelah puluhan tahun bahkan ratusan tahun mereka menetap disana terjadilah suatu petaka. Ahirnya dari daerah tersebut mereka bubar ada sekelompok yang pindah dan tinggal di sungai kamayatn (daerah hulu dusun lubuk tajau) dan sebagian lagi pindah dan tinggal di sungai sopet daerah hulu (dusun masa bakti) dari kedua tempat itu ahirnya mereka masing-masing mencari tempat baru untuk berburu berladang sampai ahirnya mereka menetap diberbagai daerah sungai ntuka/mentuka dan sekitarnya.
MENGUAK BATU JATO TANAH MAJAPAHIT JAWABatu jato sebuah legenda klasik antara suku melayu dayak dan tanah jawa, kaitan darah turun dari majapahit jawa yang menyusuri lautan nusantara hingga muara kapuas yang menandakan bahwa legenda itu benar adanya dengan legenda batu jato. Tumpukan batu besar yang seakan jatuh sepanjang aliran sungai Batu Jato yang menjadi salah satu titik letak tanah jawa majapahit yang pernah menjadi tempat singgahan dari kerajaan majapahit.
Memang tidak salah kalau orang dayak khususnya dayak Ntuka (mentuka) adalah bagian dari masyarakat indonesia. Karena dari cerita orang tua dulu, nenek moyang dayak ntuka berasal dari pulau jawa pada jaman kerajaan majapahit.
konon ceritanya pada jaman kerajaan majapahit terjadi pergolakan dan perpecahan mereka menamakan perang itu perang merajok, ada sekelompok rakyatnya berlayar ke daerah lain dan ada sekelompok yang sampai di muara kapuas, kalimanta barat. Mereka masuk sungai kapuas dan menetap di daerah labai lawai, sekarang daerah suka lanting kabupaten kubu raya. Mereka menetap disana puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun. Dalam perjalanan hidup mereka ingin mencari tempat yang aman dan nyaman. Oleh karena itu mereka sepakat untuk lari mencari tempat yang aman. Dibawah pimpinan seorang pateh yaitu pateh Bang’ie mereka mudik sungai kapuas dengan menggunakan beberapa perahu dari dua rombongan yang berangkat mereka berjanji, apabila menemui muara sungai yang di tanjap dengan bambu (suai) mereka harus masuk sungai itu, berarti itu tanda ada rombongan yang sudah masuk sungai itu. Tapi sayang sekali rombongan yang berikutnya tidak melihat suai atau bambu yang di tanjap dimuara sungai tersebut. Sehingga rombongan berikutnya langsung mudik kehulu sungai kapuas. Sedangkan rombongan terdahulu tadi masuk ke wilayah sungai sekadau mereka mudik sungai sekadau dan menetap disuatu daerah, yaitu daerah kematu Rawak/Sekadau hulu.
Tidak juga diketahui berapa lama mereka menetap disana, lalu mereka mencar lagi ada yang mudik sungai sekadau dan tinggal sementara di seberang muara sungai mentuka (daerah Tolok pasu sekarang). Setelah mereka menetap disana, mereka pun memutuskan untuk pindah lagi setelah siap merekapun mudik menelusuri sungai mentuka dan akhirnya mereka mentok disuatu daerah karena perahu mereka tidak bisa mudik lagi. Daerah tersebut sekarang berada di sungai sebelimbing, Dusun Pantok Desa Pantok. Mereka memutuskan untuk menetap di daerah itu dengan disertai kebiasaan mengubur tanah yang diisi dalam piring putih, tanah itu ceritanya dibawa sejak mereka pindah dari jawa dahulu, sehingga mereka menamakannya juga Tanah Majapahit yaitu tanah kelahiran atau tona kadoyat.
Berabad-abad mereka menetap beraktifitas didaerah itu dan bertambah banyak , mereka tinggal didaerah antara sungai mangau dengan sungai sebelimbing, yaitu daerah natai kadupai setelah puluhan tahun bahkan ratusan tahun mereka menetap disana terjadilah suatu petaka. Ahirnya dari daerah tersebut mereka bubar ada sekelompok yang pindah dan tinggal di sungai kamayatn (daerah hulu dusun lubuk tajau) dan sebagian lagi pindah dan tinggal di sungai sopet daerah hulu (dusun masa bakti) dari kedua tempat itu ahirnya mereka masing-masing mencari tempat baru untuk berburu berladang sampai ahirnya mereka menetap diberbagai daerah sungai ntuka/mentuka dan sekitarnya.
MENGUAK BATU JATO TANAH MAJAPAHIT JAWA
Batu jato sebuah legenda klasik antara suku melayu dayak dan tanah jawa, kaitan darah turun dari majapahit jawa yang menyusuri lautan nusantara hingga muara kapuas yang menandakan bahwa legenda itu benar adanya dengan legenda batu jato. Tumpukan batu besar yang seakan jatuh sepanjang aliran sungai Batu Jato yang menjadi salah satu titik letak tanah jawa majapahit yang pernah menjadi tempat singgahan dari kerajaan majapahit.
Memang tidak salah kalau orang dayak khususnya dayak Ntuka (mentuka) adalah bagian dari masyarakat indonesia. Karena dari cerita orang tua dulu, nenek moyang dayak ntuka berasal dari pulau jawa pada jaman kerajaan majapahit.
konon ceritanya pada jaman kerajaan majapahit terjadi pergolakan dan perpecahan mereka menamakan perang itu perang merajok, ada sekelompok rakyatnya berlayar ke daerah lain dan ada sekelompok yang sampai di muara kapuas, kalimanta barat. Mereka masuk sungai kapuas dan menetap di daerah labai lawai, sekarang daerah suka lanting kabupaten kubu raya. Mereka menetap disana puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun. Dalam perjalanan hidup mereka ingin mencari tempat yang aman dan nyaman. Oleh karena itu mereka sepakat untuk lari mencari tempat yang aman. Dibawah pimpinan seorang pateh yaitu pateh Bang’ie mereka mudik sungai kapuas dengan menggunakan beberapa perahu dari dua rombongan yang berangkat mereka berjanji, apabila menemui muara sungai yang di tanjap dengan bambu (suai) mereka harus masuk sungai itu, berarti itu tanda ada rombongan yang sudah masuk sungai itu. Tapi sayang sekali rombongan yang berikutnya tidak melihat suai atau bambu yang di tanjap dimuara sungai tersebut. Sehingga rombongan berikutnya langsung mudik kehulu sungai kapuas. Sedangkan rombongan terdahulu tadi masuk ke wilayah sungai sekadau mereka mudik sungai sekadau dan menetap disuatu daerah, yaitu daerah kematu Rawak/Sekadau hulu.
Tidak juga diketahui berapa lama mereka menetap disana, lalu mereka mencar lagi ada yang mudik sungai sekadau dan tinggal sementara di seberang muara sungai mentuka (daerah Tolok pasu sekarang). Setelah mereka menetap disana, mereka pun memutuskan untuk pindah lagi setelah siap merekapun mudik menelusuri sungai mentuka dan akhirnya mereka mentok disuatu daerah karena perahu mereka tidak bisa mudik lagi. Daerah tersebut sekarang berada di sungai sebelimbing, Dusun Pantok Desa Pantok. Mereka memutuskan untuk menetap di daerah itu dengan disertai kebiasaan mengubur tanah yang diisi dalam piring putih, tanah itu ceritanya dibawa sejak mereka pindah dari jawa dahulu, sehingga mereka menamakannya juga Tanah Majapahit yaitu tanah kelahiran atau tona kadoyat.
Berabad-abad mereka menetap beraktifitas didaerah itu dan bertambah banyak , mereka tinggal didaerah antara sungai mangau dengan sungai sebelimbing, yaitu daerah natai kadupai setelah puluhan tahun bahkan ratusan tahun mereka menetap disana terjadilah suatu petaka. Ahirnya dari daerah tersebut mereka bubar ada sekelompok yang pindah dan tinggal di sungai kamayatn (daerah hulu dusun lubuk tajau) dan sebagian lagi pindah dan tinggal di sungai sopet daerah hulu (dusun masa bakti) dari kedua tempat itu ahirnya mereka masing-masing mencari tempat baru untuk berburu berladang sampai ahirnya mereka menetap diberbagai daerah sungai ntuka/mentuka dan sekitarnya.
MENGUAK BATU JATO TANAH MAJAPAHIT JAWABatu jato sebuah legenda klasik antara suku melayu dayak dan tanah jawa, kaitan darah turun dari majapahit jawa yang menyusuri lautan nusantara hingga muara kapuas yang menandakan bahwa legenda itu benar adanya dengan legenda batu jato. Tumpukan batu besar yang seakan jatuh sepanjang aliran sungai Batu Jato yang menjadi salah satu titik letak tanah jawa majapahit yang pernah menjadi tempat singgahan dari kerajaan majapahit.
Memang tidak salah kalau orang dayak khususnya dayak Ntuka (mentuka) adalah bagian dari masyarakat indonesia. Karena dari cerita orang tua dulu, nenek moyang dayak ntuka berasal dari pulau jawa pada jaman kerajaan majapahit.
konon ceritanya pada jaman kerajaan majapahit terjadi pergolakan dan perpecahan mereka menamakan perang itu perang merajok, ada sekelompok rakyatnya berlayar ke daerah lain dan ada sekelompok yang sampai di muara kapuas, kalimanta barat. Mereka masuk sungai kapuas dan menetap di daerah labai lawai, sekarang daerah suka lanting kabupaten kubu raya. Mereka menetap disana puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun. Dalam perjalanan hidup mereka ingin mencari tempat yang aman dan nyaman. Oleh karena itu mereka sepakat untuk lari mencari tempat yang aman. Dibawah pimpinan seorang pateh yaitu pateh Bang’ie mereka mudik sungai kapuas dengan menggunakan beberapa perahu dari dua rombongan yang berangkat mereka berjanji, apabila menemui muara sungai yang di tanjap dengan bambu (suai) mereka harus masuk sungai itu, berarti itu tanda ada rombongan yang sudah masuk sungai itu. Tapi sayang sekali rombongan yang berikutnya tidak melihat suai atau bambu yang di tanjap dimuara sungai tersebut. Sehingga rombongan berikutnya langsung mudik kehulu sungai kapuas. Sedangkan rombongan terdahulu tadi masuk ke wilayah sungai sekadau mereka mudik sungai sekadau dan menetap disuatu daerah, yaitu daerah kematu Rawak/Sekadau hulu.
Tidak juga diketahui berapa lama mereka menetap disana, lalu mereka mencar lagi ada yang mudik sungai sekadau dan tinggal sementara di seberang muara sungai mentuka (daerah Tolok pasu sekarang). Setelah mereka menetap disana, mereka pun memutuskan untuk pindah lagi setelah siap merekapun mudik menelusuri sungai mentuka dan akhirnya mereka mentok disuatu daerah karena perahu mereka tidak bisa mudik lagi. Daerah tersebut sekarang berada di sungai sebelimbing, Dusun Pantok Desa Pantok. Mereka memutuskan untuk menetap di daerah itu dengan disertai kebiasaan mengubur tanah yang diisi dalam piring putih, tanah itu ceritanya dibawa sejak mereka pindah dari jawa dahulu, sehingga mereka menamakannya juga Tanah Majapahit yaitu tanah kelahiran atau tona kadoyat.
Berabad-abad mereka menetap beraktifitas didaerah itu dan bertambah banyak , mereka tinggal didaerah antara sungai mangau dengan sungai sebelimbing, yaitu daerah natai kadupai setelah puluhan tahun bahkan ratusan tahun mereka menetap disana terjadilah suatu petaka. Ahirnya dari daerah tersebut mereka bubar ada sekelompok yang pindah dan tinggal di sungai kamayatn (daerah hulu dusun lubuk tajau) dan sebagian lagi pindah dan tinggal di sungai sopet daerah hulu (dusun masa bakti) dari kedua tempat itu ahirnya mereka masing-masing mencari tempat baru untuk berburu berladang sampai ahirnya mereka menetap diberbagai daerah sungai ntuka/mentuka dan sekitarnya.
MENGUAK BATU JATO TANAH MAJAPAHIT JAWABatu jato sebuah legenda klasik antara suku melayu dayak dan tanah jawa, kaitan darah turun dari majapahit jawa yang menyusuri lautan nusantara hingga muara kapuas yang menandakan bahwa legenda itu benar adanya dengan legenda batu jato. Tumpukan batu besar yang seakan jatuh sepanjang aliran sungai Batu Jato yang menjadi salah satu titik letak tanah jawa majapahit yang pernah menjadi tempat singgahan dari kerajaan majapahit.
Memang tidak salah kalau orang dayak khususnya dayak Ntuka (mentuka) adalah bagian dari masyarakat indonesia. Karena dari cerita orang tua dulu, nenek moyang dayak ntuka berasal dari pulau jawa pada jaman kerajaan majapahit.
konon ceritanya pada jaman kerajaan majapahit terjadi pergolakan dan perpecahan mereka menamakan perang itu perang merajok, ada sekelompok rakyatnya berlayar ke daerah lain dan ada sekelompok yang sampai di muara kapuas, kalimanta barat. Mereka masuk sungai kapuas dan menetap di daerah labai lawai, sekarang daerah suka lanting kabupaten kubu raya. Mereka menetap disana puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun. Dalam perjalanan hidup mereka ingin mencari tempat yang aman dan nyaman. Oleh karena itu mereka sepakat untuk lari mencari tempat yang aman. Dibawah pimpinan seorang pateh yaitu pateh Bang’ie mereka mudik sungai kapuas dengan menggunakan beberapa perahu dari dua rombongan yang berangkat mereka berjanji, apabila menemui muara sungai yang di tanjap dengan bambu (suai) mereka harus masuk sungai itu, berarti itu tanda ada rombongan yang sudah masuk sungai itu. Tapi sayang sekali rombongan yang berikutnya tidak melihat suai atau bambu yang di tanjap dimuara sungai tersebut. Sehingga rombongan berikutnya langsung mudik kehulu sungai kapuas. Sedangkan rombongan terdahulu tadi masuk ke wilayah sungai sekadau mereka mudik sungai sekadau dan menetap disuatu daerah, yaitu daerah kematu Rawak/Sekadau hulu.
Tidak juga diketahui berapa lama mereka menetap disana, lalu mereka mencar lagi ada yang mudik sungai sekadau dan tinggal sementara di seberang muara sungai mentuka (daerah Tolok pasu sekarang). Setelah mereka menetap disana, mereka pun memutuskan untuk pindah lagi setelah siap merekapun mudik menelusuri sungai mentuka dan akhirnya mereka mentok disuatu daerah karena perahu mereka tidak bisa mudik lagi. Daerah tersebut sekarang berada di sungai sebelimbing, Dusun Pantok Desa Pantok. Mereka memutuskan untuk menetap di daerah itu dengan disertai kebiasaan mengubur tanah yang diisi dalam piring putih, tanah itu ceritanya dibawa sejak mereka pindah dari jawa dahulu, sehingga mereka menamakannya juga Tanah Majapahit yaitu tanah kelahiran atau tona kadoyat.
Berabad-abad mereka menetap beraktifitas didaerah itu dan bertambah banyak , mereka tinggal didaerah antara sungai mangau dengan sungai sebelimbing, yaitu daerah natai kadupai setelah puluhan tahun bahkan ratusan tahun mereka menetap disana terjadilah suatu petaka. Ahirnya dari daerah tersebut mereka bubar ada sekelompok yang pindah dan tinggal di sungai kamayatn (daerah hulu dusun lubuk tajau) dan sebagian lagi pindah dan tinggal di sungai sopet daerah hulu (dusun masa bakti) dari kedua tempat itu ahirnya mereka masing-masing mencari tempat baru untuk berburu berladang sampai ahirnya mereka menetap diberbagai daerah sungai ntuka/mentuka dan sekitarnya.
Berita Baru, Jawa Tengah – Kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Moderasi Beragama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang di terjunkan di wilayah Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, Magelang berkesempatan bertemu dengan Kepala Sangha Theravada Indonesia, Bhante Sri Pannavaro Mahathera saat ditemui di Vihara Mendut pada Rabu (06/07/2022).
Kepada para mahasiswa, Banthe Pannavaro dirinya hidup hanya untuk pengabdian kepada umat, sehingga dirinya tidak mempunyai kekayaan apapun selain kain yang melekat pada tubuhnya.
Banthe menjelaskan prosesi Pindapata merupakan tradisi umat Budha dalam menyambut perayaan Trisuci Waisak. Prosesi Pindapata dilakukan dengan cara para umat Budha memberikan makanan kepada para Bikkhu dan Bikkhuni.
“Dalam prosesi pemberian bahan makanan ada aturan yang harus dipatuhi, misalkan yang perempuan tidak boleh menyentuh secara langsung Bikkhu dan yang laki-laki tidak boleh menyentuh langsung Bikhuni,” tutur Bhante.
Sementara itu, Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN Tematik Moderasi Beragama Muhammad Fatkhan mengatakan tradisi keberagamaan masyarakat di Mendut sangat menjalin silaturrahim yang baik dengan Vihara.
“Sebenarnya juga banyak disini umat muslim yang bekerja di Vihara dan itu sudah berjalan bertahun-tahun,” tutur Fatkhan.
Fatkhan menjelaskan pengenalan mahasiswa KKN kepada kegiatan langsung umat Budha di Vihara merupakan suatu bentuk pengalaman keberagamaan yang sangat baik sebagai nantinya dapat diterapkan ketika ia sudah pulang ke masyarakat.
Lebih lanjut, Ketua Kelompok KKN Tematik Moderasi Beragama, M. Rezi Muda Putra mengatakan perjumpaan teman-teman mahasiswa dengan Bhante Pannavaro merupakan sebuah kehormatan tersendiri, apalagi mahasiswa juga diajak untuk ikut bersama membagikan makanan kepada para Bikkhu dan Bikkhuni.
“Ini menjani pengalaman yang luar biasa, dimana kita dapat berinteraksi langsung dengan umat agama lain. Dan ini sangat mencerminkan keberagamaan yang sangat patut menjadi sebuah contoh,” katanya.
Rezi berharap ke depan kelompok KKN juga dapat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang ada di Vihara.
“Hal ini penting sebagai bekal kita nanti ketika sudah selesai studi dan pulang ke masyarakat,” pungkasnya.
Yogyakarta, Pewartanusantara.com – Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Syaidurrahman Alhuzaify mendeklarasikan diri untuk maju menjadi calon Koordinator Pusat (Korpus) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara.
Deklarasi pencalonan tersebut disampaikan Alhuzaify diselah-selah acara Temu Nasional BEM Nusantara yang dihadiri ratusan mahasiswa dari ratusan kampus di seluruh Indonesia yang telah terlaksana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak Senin 06 Juni 2022.
“BEM Nusantara merupakan wadah bertukar pikiran dan gagasan kritis mahasiswa. Sejak terbentuk pada tahun 2005 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. BEM Nusantara hendaknya selalu teguh dengan komitmen awal terbentuk untuk menjadi gerakan alternatif dan mengawal setiap kebijakan yang harus memiliki keberpihakan kepada rakyat Indonesia,” tutur Ahuzaify kepada Beritabaru.co, Selasa (07/6/2022).
Ia menegaskan akan mengakomodir berbagai macam macam ide, pandangan, dan juga pendapat dari berbagai pihak agar ke depan dapat menghasilkan pikiran-pikiran progresif ketika mengkaji sebuah persoalan.
“Agaknya hal tersebut menjadi suatu keniscayaan dinamika pemikiran, bukan sebaliknya malah menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oknum tertentu untuk memecah fokus gerakan. Tentu sudah menjadi keharusan untuk selalu merefleksikan arah gerak BEM Nusantara dari masa ke masa, sehingga tetap selalu berada pada semangat yang pada awalnya menjadi alternatif gerakan BEM yang ada di bumi Nusantara ini,” tegasnnya.
Melalui Temu Nasional ke 13 ini, lanjut Alhuzaify kita bersama-sama kembalikan BEM Nusantara pada ruh awal dan merefleksikan ulang perjalanan BEM Nusantara dengan satu tujuan bersama.
Alhuzaify juga menegaskan pihaknya secara konsisten akan menjadikan BEM Nusantara sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
“Sebagai mahasiswa sudah sepatutnya tidak membuat jarak dengan masyarakat, dengan begitu jika nantinya terpilih menjadi Korpus BEM Nusantara, saya secara konsisten akan menjadikan organisasi mahasiswa ini sebagai wadah bergerak dan berjuang bagi seluruh mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak rakyat,” ujar aktivis PMII UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Alhuzaify berharap ke depan BEM Nusantara akan menjadi rumah bersama bagi seluruh mahasiswa Indonesia dengan terus meningkatkan daya saing global serta tetap progresif dan inovatif dalam menyuarakan keadilan bagi masyarakat.
“Indonesia sebagai negara yang besar harus diisi oleh para penerus bangsa yang mempunyai pemikiran yang besar juga. Pemikiran yang besar tersebut lahir dari pendidikan yang berkualitas, oleh karena itu perbaikan evaluasi dan refleksi terhadap kebijakan bidang pendidikan juga akan menjadi fokus saya ke depan,” tegasnya.
Diketahui, BEM Nusantara menggelar kegiatan temu nasional ke-XIII, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kegiatan yang berlangsung Senin (6/6) itu dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia.
Kegiatan tersebut mengusung tema ‘BEM Nusantara Sebagai Inkubasi Pemimpin Bangsa yang Ideal Berlandaskan Nilai Pancasila Guna Menjawab Tantangan Era Society 5.0’.
Acara tersebut dihadiri Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaharkam) Polri Komjen Pol Ahmad Dofiri, serta Koordinator Pusat BEM Nusantara, Dimas Prayoga.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Perwakilan The Asia Foundation (TAF) Indonesia, Margaretha Tri Wahyuningsih menyampaikan bahwa konflik pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang paling banyak melibatkan masyarakat adat.
Hal tersebut disampaikan Margaretha saat memberi catatan penutup dalam Webinar Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/5/2022).
“Bagi kelompok masyarakat adat bagaimana lahan wilayah adat itu sambil menunggu realisasi regulasi penting untuk menjaga wilayah kita agar tidak diserahkan kepada korporasi,” tutur Margaretha.
Margaretha menjelaskan ketika lahan sudah diserahkan atau diambil oleh korporasi dan dijadikan HGU, maka proses pengembaliannya akan susah.
“Kalau sudah diserahkan kepada HGU maka proses kembalinya itu susah. Kita berharap RUU ini bisa segera hadir dan semakin memperkuat advokasi bagi kelompok masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya,” tuturnya.
Margaretha menegaskan jika tanpa peran perempuan dalam mempertahankan wilayah adatnya akan ada kekosongan dalam mengelola hutan dan lahan secara berkelanjutan.
“Perempuan juga mempunyai tanggung jawab dalam memastikan kelestarian hutan dan memastikan lahan ditanami. Pola kerja seperti itu sebenarnya sudah mengakomodir yang didiskusikan dalam pembagian kerja sehingga bisa lebih adil dan setara bagi kelompok perempuan,” jelasnya.
Ia merinci, peta perhutanan sosial yang dicanangkan pemerintah yaitu seluas 12,7 juta hektar lahan, sementara skema hutan adat baru ada 76.156 hektar atau tidak sampai 10 persen dari capaian perhutanan sosial.
“Ini menjadi konsen bersama, kita tahu bahwa kelompok masyarakat adat juga yang cukup mayoritas dalam mengelola wilayah adat mereka untuk turut serta menjaga perubahan iklim maupun emisi. Ini menjadi konsen kita dalam gerakan ini,” jelasnya.
Margaretha menegaskan, pentingnya RUU MHA terhadap masyarakat adat adalah untuk melindungi mereka dari kriminalisasi yang kerap dilakukan oleh perusahaan untuk menjerat lahan yang diinginkannya.
“Pentingnya RUU MHA yaitu agar perempuan adat dalam mengelola hutan tidak dikriminalisasi oleh perusahaan,” tegas Margaretha.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) Republik Indonesia menilai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak mengakomodir secara spesifik hak-hak perempuan.
Hal itu didasarkan, salah satunya karena di dalam RUU MHA tidak ada Bab yang mengakui pengalaman spesifik perempuan adat. “Karena, sekali lagi pembentukan perundang-undangan lebih banyak berdasar pada nilai dan norma patriarki atau pengalaman laki-laki,” kata Siti Aminah Tardi.
Hal itu diungkap dalam Webinar dari rangkaian ‘Festival Ibu Bumi’, dengan tajuk ‘Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak Atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, pada Rabu (25/05/2022).
Acarayang diselenggarakan atas kerjasama The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP) dan Beritabaru.co sebagai media partner itu ditayangkan dalam Channel YouTube Beritabaru.co dan Aksi SETAPAK.
Menurut Siti Aminah, walaupun kemudian dinyatakan hukum itu harus dibuat netral gender maka sebenarnya itu mengakibatkan, kita tidak mengenali ketidakadilan dan keberlakuan hukum yang berada antara laki-laki dan perempuan.
“Misalnya, hak atas air. Laki-laki punya hak atas air, perempuan punya hak atas air. Tapi bagaimana keberlakuan hukum itu, sama atau tidak dampaknya? Beda, karena perempuan lebih lekat dengan air, kerja-kerjanya membutuhkan banyak air, kesehatan reproduksinya ditentukan oleh air. Maka disitulah bentuk perlakuan khususnya hak atas air,” terang Siti Aminah.
Contoh lain yang ia sampaikan mengenai pola sistem tanam. Seperti pekerjaan yang diakui adalah petani dan nelayan, yang dikenalkan sebagai kerja laki-laki. Tapi kita tidak melihat kalau di dalam pekerjaan pertanian dan nelayan itu ada pekerjaan lain,yang dikerjakan oleh tenaga perempuan.
“Itu tidak lepas tadi, karena pengalaman yang diangkat adalah pengalaman laki-laki, bukan perempuan,” tegasnya.
Oleh sebab itu Siti Aminah berharap RUU MHA yang saat ini sudah selesai tahap harmonisasi dan disepakati untuk dilanjutkan ke sidang paripurna guna ditetapkan sebagai usul inisiatif itu benar-benar dikawal oleh berbagai pihak untuk memastikan RUU tersebut dapat memuat hak-hak perempuan adat.
“Untuk isu pemberdayaan dan peningkatan kapasitas itu juga dirumuskan, agar diusulkan dalam perumusan, untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan, afirmasi dan seterusnya,” pungkas Siti Aminah.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Merespon dimasukkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022, HuMa memaparkan beberapa catatan terkait pentingnya koalisi hutan adat dan peran perempuan dalam mendorong kebijakan di tingkat daerah.
Diplomat Keadilan Ekologis dari Perkumpulan HuMa Indonesia, Nora Hidayati mencatat terdapat beberapa hal penting terkait hutan adat dalam Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/05/2022).
“Hutan Adat ini menjadi secercah harapan agar dapat memastikan rasa aman bagi masyarakat adat ketika melakukan pengelolaan di dalam kawasan hutan, tidak dikriminalisasi lagi dan menjadi kepastian hukum bagi MHA,” terang Nora.
Nora menjelaskan hingga saat ini setidaknya terdapat beberapa kebijakan terkait dengan hutan adat pasca putusan Mahkama Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, diantaranya 1) Permen LHK No. 32 tahun 2015 tentang Hutan Hak; 2) Permen LHK No. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial; 3) Permen LHK No. 21 tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak; 4) Permen LHK No. 17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak; dan 5) Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Namun, Nora menggarisbawahi bahwa kebijakan-kebijakan tersebut bersifat sektoral. “Ini masih sangat sektoral kehutanan. Beberapa aturan tersebut masih sedikit bicara tentang adatnya itu sendiri,” terangnya.
Di dalam kebijakan-kebijakan tersebut, Hutan adat dapat ditetapkan ketika masyarakat adat memiliki Perda. Di beberapa tempat, Masyarakat Adat perlu bekerja keras “masuk ke gelanggang pertempuran politik” di tingkat daerah untuk menggolkan satu Perda.
“Ini butuh waktu lama dan biaya yang sangat besar. Dan itu yang melakukan MHA itu sendiri, dan pemerintah belum melakukan suatu upaya untuk mempermudah itu. Jadi, kembali pada political will di tingkat daerah,” imbuh Nora.
Catatan lain HuMa terkait implementasi kebijakan adalah sentralisasi kewenangan di Pemerintahan Pusat, dimana pemerintah pusat dan KLHK mempunyai otoritas dan ruang yang besar untuk menafsirkan satu Perda.
KLHK mempunyai kewenangan penuh untuk menetapkan pengakuan Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan persyaratan-persyaratan tertentu. “Ini menjadi salah satu kendala dalam penetapan Hutan Adat. Tadi juga Bu Maria menyampaikan terkait lambannya pemerintah dalam menetapkan Hutan Adat.”
Menurut pemaparan Nora, sampai hari ini hanya 76.156 hektar Hutan Adat yang sudah ditetapkan. Namun, di 89 komunitas masyarakat adat di 13 provinsi, Nora mencatat belum semua semua SK-nya sampai ke tangan Masyarakat Adat itu sendiri.
“Wilayah khusus dengan otonomi khusus itu sampai hari ini belum mengantongi penetapan Hutan Adat. Aceh dan Papua sampai hari ini belum ada satupun penetapan hutan adat padahal dari 2016 dampingan dari Koalisi Masyarakat Adat di Aceh itu sudah mengusulkan. Sampai hari ini tidak ada kejelasan dan prosesnya sampai di mana,” kata Nora.
Selain itu, peran perempuan adat sangat penting dalam menjaga hutan adat. Perempuan adat adalah penjaga pengetahuan atas kedaulatan pangan dan energi dalam keluarga dan komunitas adat. Perempuan adat juga merupakan pemegang otoritas atas keberlangsungan kehidupan dan sumber-sumber penghidupan keluarga dan komunitas.
“Harapan kami Hutan Adat dan RUU Masyarakat Hukum Adat ini dapat menjadi penyelesaian konflik kehutanan antara masyarakat adat dengan kepentingan lain, karena sektor kehutanan adalah salah satu sektor dengan area terluas,” harap Nora.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) menjadi penguatan hak serta kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam mengelola lingkungan hidupnya, termasuk perlindungan dan pengakuan terhadap eksistensi perempuan.
Oleh sebab itu, masyarakat adat berharap RUU MHA itu dapat mengatur dengan maksimal segala yang berkenaan dengan ruang hidup masyarakat adat, mulai dari hak atas tanah, hutan adat hingga masyarakat adat yang hidup di wilayah pesisir.
Edhita Sefia, Perempuan Pemerhati Sosial Budaya Masyarakat Hukum Adat Sarmi, Papua menceritakan bagaimana aktivitas perempuan adat suku Sobey yang tinggal pesisir Sarmi, yaitu bagian utara Papua.
“Dalam aktivitas sehari-hari masyarakat adat pesisir Sarmi memegang teguh tradisi harmonisasi, keserasian dan keseimbangan dengan alam. Secara langsung hal itu mengkampanyekan pentingnya memelihara lingkungan,” kata Edhita, Rabu (25/5).
Hal itu diungkap dalam Webinar dari rangkaian ‘Festival Ibu Bumi’, dengan tajuk ‘Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak Atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia.’
Selain itu, lanjutnya, perempuan pesisir Sarmi juga memiliki peran yang cukup penting dalam menjaga lingkungan hidup masyarakat adat. Salah satunya, menjaga tanah adat milik suami yang diwariskan ke anak-anaknya dan tanah adat milik saudara laki-lakinya.
“Memang di Papua berdasar garis keturunan, patriarki. Tetapi dalam sehari-hari garis keturunan ibu sangat dominan. Jadi mereka bisa mencari makan di hutan dari suaminya, maupun mencari makan di hutan yang milik orang tuanya,” ujar Edhita.
Lebih lanjut Editha mengurai aktivitas perempuan pesisir Sarmi yang beraktivitas di laut. Perempuan Sarmi, katanya, memiliki satu tradisi beraktivitas menangkap ikan di laut seperti laki-laki pada umumnya, untuk memastikan kelangsungan pangan bagi keluarga dan komunitasnya.
“Dalam konsep ruang berbasis adat di perempuan pesisir, melalui tradisi mavende. Tradisi mavende sebagai pertanda bahwa perempuan sudah saatnya untuk menangkap ikan di laut, hasil ikan sedang banyak-banyaknya. Dan pertanda juha hasil hutan sedang banyak-banyaknya untuk bisa berkebun dan meramu,” tutur Edhita.
Menurut Edhita, suara perempuan pesisir Sarmi memiliki nilai yang tinggi, cukup didengar dalam pengambilan kebijakan dan keputusan, meskipun tidak ikut bagian dalam forum.
“Pada saat bincang-bincang di luar, suara perempuan cukup didengar. Karena hutan dan laut berhubungan langsung dengan kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan sehari-hari. Untuk kelangsungan hidup keluarga dan komunitas,” terangnya.
“Perempuan tanpa alam, itu perempuan tanpa asap dapur. Jadi kalau tanpa perempuan terlibat dalam hutan, di dalam kehidupan sehari-hari, nanti bagaimana dengan kelangsungan hidup selanjutnya? Kan ada ungkapan; tanpa mama, tanpa perempuan, tanpa saudara perempuan, bagaimana kami para laki-laki bisa makan?,” pungkasnya.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Peran perempuan adat dalam masyarakat Minangkabau sangatlah penting, khususnya dalam penentuan keputusan bersama dalam pengelolaan hutan dan lahan.
Hal tersebut disampaikan oleh Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai Sumatera Barat, Rosmy Z saat menjadi pembicara pada Webinar Rancangan Undang-Undang Hukum Masyarakat Adat (MHA) yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation bersama Gender Focal Point dan Beritabaru.co pada Rabu (25/5/2022).
“Kalau di Minangkabau perempuan adat harus mengetahui batas-batas wilayah adatnya, baru kita bisa merawat dan memeliharanya,” kata Rosmy.
Rosmy menjelaskan perempuan dalam masyarakat adat Minangkabau juga terlibat aktif dalam pengelolaan lahan, seperti padi, palawija, cengkeh, dan kayu manis.
“Semuanya (itu dilakukan untuk) mendukung ekonomi rumah tangga,” tuturnya.
Menurutnya, perempuan di Minangkabau semuanya terlibat dalam kesepakatan pengolahan tanah bersama kaum laki-laki dan pemuka adat.
“Suatu keputusan yang akan diambil jika belum ada suara perempuan keputusan itu tidak valid dan belum bisa dilaksanakan,” tuturnya.
Rosmy berharap RUU MHA segera menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR dikarenakan dengan adanya landasan hukum masyarakat adat akan semakin aman dalam melakukan berbagai kegiatannya.
“Harapan kami RUU itu ditetapkan, tapi untuk sementara ini kami ada Permagari jadi begitu ada kegiatan kami merujuk pada Perma itu. Harapan kami kalau bisa kegiatan diatur oleh Undang-Undang untuk lebih kuat dan maksimal pelaksanaanya,” jelasnya.
Di akhir pembicaraan, Rosmy menegaskan bahwa jika perempuan tidak dilibatkan dalam masalah hutan, besar kemungkinan hutan akan punah dan diambil orang.
“Kalau sekiranya perempuan tidak dilibatkan dalam masalah hutan, besar kemungkinan hutan itu akan punah atau mungkin pindah tangan atau diambil orang,” tegasnya.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Meskipun RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI pada tahun 2022, namun tidak berarti RUU MHA itu akan menjamin sepenuhnya hak-hak perempuan dalam mengelola hutan adat.
Hal itu disampaikan oleh Deputy The Asia Foundation (TAF) saat menggelar Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/05/2022).
“RUU Masyarakat Hukum Adat sudah masuk Prolegnas, namun perlu untuk dikawal lagi, apakah materi, substansi dan sebagainya sudah sesuai dengan amanat UUD 1945, juga apakah sudah mengakar di tingkat bawah serta apakah di dalamnya sudah dijamin hak-hak perempuan adat,” kata Hana Satriyo dalam sambutannya.
Diselenggarakan oleh Gender Focal Point dan TAF, salah satu tujuan webinar tersebut bertujuan untuk mengurai persoalan perlindungan dan jaminan hak atas tanah bagi masyarakat adat terkait dengan proses legislasi dan substansi RUU MHA serta mengkampanyekan pentingnya dukungan kebijakan untuk memperkuat kedaulatan dan jaminan atas tanah bagi Masyarakat Adat di Indonesia.
“Kita berharap agar RUU MHA ini dapat memberikan jaminan hak atas akses tanah dan wilayah lingkungan, penguatan hak perempuan adat di Indonesia. Serta dari webinar ini dapat merefleksikan perjuangan perempuan adat di seluruh Nusantara dalam memperkuat kedaulatan, akses dan peran ke depan,” imbuh Hana Satriyo.
Sementara itu, dalam presentasinya, Maria SW. Sumardjono menyebutkan banyak sekali isu-isu yang terkait dengan Aspek Pertanahan dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, mulai dari ruang lingkup kewenangan, pengakuan, perlindungan, hingga kompensasi.
“MHA yang telah memperoleh penetapan berhak atas perlindungan. Pertanyaannya, apakah MHA yang belum memperoleh penetapan tidak berhak atas perlindungan? Bukankah negara wajib melindungi segenap warga negaranya tanpa kecuali?” ungkap Maria. “Barangkali yang dimaksud adalah bahwa dengan adanya Penetapan, maka MHA memperoleh jaminan atas perlindungan sepenuhnya.”
Dalam konteks perlindungan hak atas tanah bagi masyarakat adat saat ini masyarakat sipil terus mendorong disahkannya RUU MHA, mengingat selama ini pengaturannya tersebar dalam sejumlah peraturan sektoral yang parsial yang tumpang tindih sehingga memunculkan konflik kepentingan yang merugikan Masyarakat Adat.
“PR kita bersama ke depan untuk tetap bergerak dinamis dalam melihat perkembangan RUU MHA. Masyarakat Adat adalah bagian penting bagi Indonesia. Kami berharap webnar ini dapat membangun kesadaran bersama akan pentingnya mengakomodasikan suara masyarakat adat khususnya Perempuan Adat dalam memperkuat kedaulatan dan akses wilayah kelola untuk kesejahteraan dan kelestarian SDA di Indonesia,” kata Hana Satriyo.