Pewarta Nusantara Menu

Musyrik

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
12 bulan yang lalu

Pewartanusantara.com – Musyrik dan Kafir identik dengan konotasi negatif; hukuman, ancaman dan adzab. Perlakuan kasar dan tempat yang buruk berupa neraka dijadikan sebagai tempat kembali untuk keduanya.

Sebagai balasan atau ganjaran bagi keduanya berupa serba bentuk keburukan, sebaliknya, Muslim dan mukmin yang dijanjikan Allah ganjaran penuh kebahagiaan baik di dunia terlebih akhirat kelak yang bersifat selama-lamanya.

Namun tahukah anda, terdapat perbedaan secara spesifik antara kafir dan Musyrik terkhusus sikap keduanya terhadap Islam.

Melansir ustadzaris.com An Nawawi mengatakan, “Istilah kekafiran dan kemusyrikan terkadang digunakan dalam pengertian kafir kepada Allah. Namun kedua kata tersebut terkadang maknanya berbeda. Kemusyrikan dikerucutkan dalam pengertian beribadah kepada patung atau makhluk lainnya diiringi pengakuan dan keimanan kepada Allah. Dalam kondisi ini kekafiran itu lebih luas cakupannya dari pada kemusyrikan” (Syarh Shahih Muslim 2/71).

Dalam pengertian ini, pada dasarnya musyrik adalah bisa saja dalam keadaan fitrahnya mengimani Allah sebagai Tuhan Semesta Alam yang Esa, namun pada praktiknya mereka melakukan penentangan atas itu. Musyrik justru mempertuhankan sesautu selain Allah.

Musyrik sejatinya mengakui keesaan Tuhan namun mempersekutukannya, baik dalam nama dan sifatNya, kekuasaanNya, termasuk dalam peribadahaannya. Artinya musyrik membuat tuhan lain selain Allah. Musyrik mempertuhankan makhluk. Musyrik juga membuat aturan lain selain yang ditetapkan Allah dalam Islam.

Sebagai contoh, seorang musyrik kepada Allah dengan berbedo’a, nuraninya pun secara fitrah mengesakan Allah namun ketika dia meminta atau memohon sesuatu justru kepada selain Allah, misal berdo’a kepada patung, jin, atau arwah-arwah.

Adapun kafir sebatas dimaknai pada pembatasan dengan menutup diri dari kebenaran (Islam). Tidak dalam arti membuat tandingan. Semisal kafir terhadap keesaan Allah, kafir terhadap kenabian Muhammad serta kafir terhadap syariat Islam, seperti Sholat, Zakat, Puasa dan lain sebagainya.

Namun sebagaimana yang dijelaskan pada paragraf di atas, khususnya dalam al-Qur’an, terkadang kafir disebut juga dengan musyrik, begitu pun sebaliknya. Apapun itu, sejatinya tidak ada kebaikan bagi keduanya sebagai jalan hidup. Bahkan kemusyrikan dan kekafiran kepada Allah adalah seburuk-buruk sikap dan dapat menjadikan seseorang sebagai seburuk-buruk makhluk, “na’udzubillahi min dzaalik!