Pewarta Nusantara Menu

Author Archives: Djunawir Syafar

Djunawir Syafar Djunawir Syafar
1 tahun yang lalu

EKOLOGI DEMOKRASI – Selama ini mungkin kita selalu membaca atau mendengarkan dua istilah di atas yang digambarkan secara terpisah. Ekologi selalu dekat dengan makna lingkungan dan demokrasi yang selalu berurusan dengan negara atau politik. Ekologi demokrasi dalam buku ini tertuju pada gambaran praktek demokrasi sehari-hari yang ada dilingkungan kita sendiri.

Buku karya David Mathews ini adalah salah satu bentuk respon terhadap landscape politik kita saat ini. Setting utamanya adalah gambaran politik yang terjadi di Amerika, negara yang dianggap super power dan dijadikan sebagai sampel praktek demokrasi dunia.

Masyarakatnya saat ini justru merasa seperti kehilangan arus demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang diyakini selama ini seperti melahirkan kepemimpinan yang anti demokrasi. Masyarakatnya mulai kesulitan untuk menentukan masa depan mereka sendiri, dari sekolah hingga media seperti kehilangan martabat publik.

Buku ini menjelaskan bahwa demokrasi seperti dengan ekosistem. Setiap lingkungan politik maupun sosial mempunyai fungsi yang tidak bisa tergantikan. Sama halnya dengan lingkungan, pohon, air, tikus hingga semut mempunyai peran masing-masing.

Sehingga, idiom politik bukan hanya tugas politisi maupun partai politik. Setiap warga adalah politisi untuk dirinya sendiri dan juga untuk lingkungannya. Prinsip utama politik adalah cara kerja. Ketika politik hanya menjadi tugas utama dari elit, maka bangunan politiknya akan kesulitan mencari pola dan permainannya.

Gagasan utama dalam buku ini adalah bagian dari dekonstruksi makna politik yang selama ini melekat pada kelas elit, bahwa bangunan utama politik adalah prinsip “dari warga, oleh warga dan untuk warga”.

(Catatan Diskusi dari Buku Karya David Mathews)

Djunawir Syafar Djunawir Syafar
1 tahun yang lalu

Tulisan ini, merupakan hasil pengembangan dari forum diskusi yang diselenggarakan oleh ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam forum tersebut, mendiskusikan bagaimana peran budaya populer dalam pembentukan identitas, digital ekonomi dan kesenangan. Dilihat dari fenomena sosial yang ditampilkan oleh Ria Ricis seorang Youtubers yang eksis dalam video-video vlog yang banyak ditonton oleh masyarakat terutama generasi muda dan dijadikan sebagai potret hiburan, gaya hidup hingga pembentukan identitas.
Tema ini, merupakan hasil penelitian dari Wahyudi Akmaliah, merupakan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Posisi sosial media saat ini, masyarakat tidak hanya berperan sebagai konsumen juga sebagai produsen. Pada tahun 1990-an, internet baru dapat berjejaring antara sarjana dan aktivis pegiat demokrasi misalnya melalui via email.

Pasca orde baru, berbagai kelompok blogger mulai menunjukkan perannya dalam publik. Pada saat yang bersamaan media sosial seperti Friendster menjadi salah satu jejaring sosial. Pada tahun 2009, Facebook muncul sebagai media sosial yang cukup dominan, kemudian memunculkan sosial media yang lain, seperti Twiitter, Instagram, Path dan sebagainya.

Fenomen budaya populer ini menunjukkan adanya flatform baru dalam masyarakat, identitas seseorang dipengaruhi budaya dan gaya hidup dalam sosial media.

Dominasi budaya populer, tanpa kita sadari menjadi identitas baru. Melalui pendekatan apa yang disukai dan disenangi oleh masyarakat. Cukup membuat orang tertawa, senang bahkan galau, kita akan menjadi idola baru. Apalagi, jika kita bumbui sedikit dengan pesan-pesan moral keagamaan, kita sudah mendapat posisi dalam masyarakat.

Peran Ria Ricis dalam sosial media cukup berhasil. Sejak 2016 hingga saat ini sudah memproduksi video vlog sekitar 145 video dengan total viewers mencapai 201, 877,704. Dalam sebulan ia bisa memperoleh sekitar 100-130 Juta melalui iklan Google Adsense.

Apa yang ditunjukkan Ria Ricis tersebut tidak ada salahnya. Ia memainkan peran dalam sosial media secara kreatif (micro celebrity), tidak sebatas konsumen tetapi juga sebagai produsen. Di sini peran digital ekonomi dapat terlihat.

Namun, dalam konteks identitas, budaya populer tersebut perlu dilihat dari perspektif yang lebih dalam, karena apa yang kita konsumsi dalam media akan menjadi budaya dan identitas baru. Produksi pengetahuan dan identitas masyarakat, bisa jadi akan mudah didominasi oleh popular culture, yang bisa memainkan peran kunci sebagai kepentingan digital ekonomi, politik, pembentukan identitas, hingga persoalan kesalehan sosial.

(Beberapa kutipan, dari materi diskusi, buku dan hasil pengembangan penulis).