76 tahun Indonesia merdeka, ada banyak hal menarik dari dunia pendidikan di Indonesia. Dari Ki Hadjar Dewantara resmi sebagai Menteri Pengajaran Republik Indonesia (19 Agustus 1945), sampai Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (23 Oktober 2019 - sekarang), banyak catatan penting yang menjadi perhatian masyarakat.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, pendidikan telah memberikan warna tersendiri bagi perjalanan bangsa Indonesia. Dalam waktu yang singkat, pada saat Ki Hadjar Dewantara sebagai Menteri Pengajaran Indonesia (19 Agustus 1945 – 14 November 1945) telah meletakkan konsep dasar pendidikan di Indonesia.
Rekam jejak Ki Hadjar Dewantara masih kita ingat melalui slogan, Ing ngarsa sungtulada, ing madya mengun karsa, tut wuri handayani, (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Spirit pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar pada saat itu adalah spirit pasca kemerdekaan. Konteks dari masyarakat saat itu sedang dalam tahap membangun mental dan identitas setelah mengalami proses penjajahan yang panjang. Konteks itulah yang menjadi semangat dalam meletakkan dasar pendidikan pada saat itu. Bagaimana masyarakat Indonesia tidak hanya mendapatkan kesempatan belajar, tetapi membangun kembali mentalitas dan wawasan sebagai orang Indonesia. Semangat kebangsaan tersebut telah dilembagakan oleh Ki Hadjar dengan mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta (1922).
Perlu kita ingat bahwa Ki Hadjar Dewantara hanya peletak awal kerangka pendidikan di Indonesia, tetapi bukan satu-satunya pemberi gagasan tunggal dalam dunia pendidikan di Indonesia. Setelah Ki Hadjar Dewantara ada banyak nama yang mengisi jabatan sebagai Menteri Pendidikan Indonesia yakni: Todung Sutan Gunung Mulia, Muhammad Sjafei, R. Soewandi, Ali Sastroamidjojo, Teuku Mohammad Hasan, Sarmidi Mangunsarkoro, Abu Hanifah, Bahder Djohan, Wongsonegoro, Mohammad Yamin, Soewandi Notokoesoemo, Ki Sarino Mangunpranoto, Prijono, Sanusi Hardjadinata, Mashuri Saleh, Sumantri Brodjonegoro, J.B. Sumarlin, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, Nugroho Notosusanto, Fuad Hasan, Wardiman Djojonegoro, Wiranto Arismunandar, Juwono Soedarso, Yahya Muhaimin, Abdul Malik Fadjar, Bambang Sudibyo, Mohammad Nuh, Anies Baswedan, Muhadjir Effendy, dan Nadiem Anwar Makarim.
Setiap program dari menteri pendidikan lahir pada konteks yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, mengapa bentuk dari program pendidikan tersebut menjadi berbeda. Ada masalah sosial yang ingin dijawab melalui program pendidikan tersebut.
Baca Juga: Kebijakan Pendidikan Nasional Pak Nadiem Makarim
Setiap program dari menteri pendidikan lahir pada konteks yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, mengapa bentuk dari program pendidikan tersebut menjadi berbeda. Ada masalah sosial yang ingin dijawab melalui program pendidikan tersebut. Misalnya, ketika Anies Baswedan menjabat sebagai menteri pendidikan, Pak Anies sangat konsen melihat masalah kontestasi dalam pendidikan. Juara kelas bukanlah tujuan utama agar pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas. Tapi, apa dampak dari setiap proses pembelajaran bagi siswa terhadap kehidupan sosial mereka. Pada saat itu, Kurikulum 2013 dengan konsep integrasi pembelajaran coba dikembangkan untuk menjembatani masalah pendidikan.
Pada masa Pak Muhadjir Effendy sebagai menteri pendidikan, program Full Day School yang dikembangkan pada saat itucukup mendapat perhatian dari banyak pihak, baik yang sepakat dengan program tersebut mau pun yang tidak. Pada saat itu, Pak Muhadjir Effendy sebenarnya mencoba melihat celah bahwa bagaimana sekolah itu mampu memberikan rasa nyaman bagi siswa. Di sekolah, siswa tidak hanya dibebankan dengan mata pelajaran saja, tetapi dapat mengaktualisasikan diri dengan berbagai kegiatan sekolah lainnya yang menarik.
Pada saat ini, program pendidikan yang ditawarkan oleh Pak Nadiem melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka, merupakan sebuah respons terhadap perubahan sosial yang sedang berkembang. Bagaimana lembaga pendidikan tidak hanya menjadi konsumen dari apa yang sedang berkembang di masyarakat. Lembaga pendidikanlah yang seharusnya menjadi produsen dari perkembangan media dan teknologi yang ada. Berbagai temuan dalam media dan teknologi, tidak hanya dikuasi oleh perusahan-perusahan besar. Lembaga pendidikan harus menjadi bagian dari itu, agar produksi pengetahuan di sekolah dan perguruan tinggi dapat menjembatani permasalahan sosial yang ada.
Konsekuensi menjalankan program pendidikan di Indoensia memang bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap menteri pendidikan yang terpilih dan program yang akan dijalankan nanti, akan selalu berhadap-hadapan dengan kenyataan di masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa konteks dari masyarakat di Indonesia itu sendiri yang terdiri berbagai lapisan sosial yang sangat kompleks, baik dari segi budaya, agama, ekonomi, dan letak wilayah. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi seorang menteri pendidikan dalam menjalankan program pendidikan secara nasional.
Tidak ada konsep dan program pendidikan yang ideal. Sebaik apa pun konsep dan program pendidikan dari seorang menteri pendidikan selalu berhadapan dengan kenyataan yang ada di masyarakat itu sendiri yang cukup beragam. Kenyataan tersebut yang membuat program pendidikan mengalami dinamika.
Di momentum 76 tahun kemerdekaan Indonesia, setidak-tidaknya kita dapat merefleksikan dua hal penting dalam pendidikan. Pertama, keberhasilan program pendidikan ditentukan semua komponen masyarakat. Pemerintah adalah pemberi regulasi, dana, dan akses. Yang menentukan keberhasilan dari program pendidikan itu sendiri adalah semua komponen masyarakat.
Kedua, kita harus mengakui bahwa trend pendidikan di Indonesia, ukurannya masih ditentukan oleh berapa banyak yang sudah berpendidikan dan berapa banyak yang sudah bekerja. Pertanyaan penting lainnya, berapa banyak yang telah melakukan sesuatu di luar dari sekadar bisa sekolah dan bekerja, misalnya, menciptakan sesuatu yang pada akhirnya memberi dampak bagi masyarakat belum menjadi sesuatu yang mainstream.
Momentum 76 tahun Indonesia merdeka adalah momentum yang baik bagi kita semua untuk merefleksikan kembali langkah selanjutnya, apa yang harus kita lakukan untuk mengisi ruang pendidikan kita di tengah situasi sosial yang terus berkembang. Tantangan sosial yang kita hadapi terus berubah. Pilihan masyarakat yang semakin beragam. Inilah momentum yang tepat bagi kita semua sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di dalam situasi sosial saat ini, bagaimana terus melakukan hal-hal yang bisa kita lakukan. Dari masyarakat yang berpikir, bertindak, dan terus berkembang yang akan menentukan arah dan dampak bagi masyarakat dan dunia pendidikan yang ada. Oleh: Djunawir Syafar
Baca Juga: Arah Baru Pendidikan di Indonesia (Refleksi Hari Pendidikan Nasional di Tengah Pandemi Covid- 19)
Apa kabar dengan dunia pendidikan kita saat ini di tengah Pandemi Covid- 19 yang sedang kita hadapi bersama-sama. Pandemi Covid- 19 merupakan fenomena global yang dampaknya secara luas dan tidak mengenal batas wilayah.
Kita tidak pernah menduga jika pandemik seperti ini akan merubah dengan cepat tatanan sosial, termasuk dalam sistem pendidikan. Perubahan tersebut bisa dilihat dengan adanya perubahan sistem pembelajaran yang biasanya dilaksanakan harus secara tatap muka (face to face), sekarang yang hanya dilaksanakan melalui berbagai media yang ada.
Perubahan sosial seperti ini, di satu sisi, menguji kesanggupan dunia pendidikan kita dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada. Di sisi lain, kondisi ini juga mengukur apakah transformasi teknologi yang ada saat ini bisa menggantikan peran proses pembelajaran yang sudah ada sebelumnya.
Problem yang muncul kemudian, tidak hanya seputar media yang digunakan, tetapi pada sumber daya manusianya juga. Pada kenyataannya, belum secara menyeluruh lembaga-lembaga pendidikan yang ada sudah benar-benar siap menggunakan berbagai platform media yang ada sebagai sarana pembelajaran. Ada lembaga pendidikan yang sudah lebih siap, dan masih banyak juga lembaga pendidikan yang belum sepenuhnya didukung oleh sumber daya manusia maupun sarana pendukung lainnya.
Itulah sebabnya, jika ada kepanikan, kecemasan, dan rasa frustrasi yang berlebihan yang dirasakan oleh masyarakat dan juga elemen lembaga pendidikan secara luas bukanlah hal yang mengejutkan. Kondisi dari setiap lembaga pendidikan yang tidak sama, ada yang sudah lebih mapan dalam penggunaan teknologi, tetapi ada juga yang sebaliknya. Otoritas dunia pendidikan yang berubah dengan cepat ini menjadi pekerjaan berat bagi setiap elemen lembaga pendidikan dan masyarakat luas, bagaimana lembaga pendidikan kita bisa survive dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi.
Hal substansial lainnya yang perlu kita diskusikan apakah proses penyesuaian diri dari setiap lembaga pendidikan kita saat ini terutama dalam penggunaan teknologi merupakan wujud dari kesiapan masyarakat untuk berkembang di era revolusi industri? Jangan sampai teknologi yang ada justeru gagal digunakan dalam proses pembelajaran karena problemnya terletak pada sumber daya manusianya dan sarana pendukung lainnya, sehingga tujuan dari revolusi industri itu sendiri tidak terwujud.
Sebagian besar lembaga pendidikan kita di Indonsia memang sedang berusaha menemukan metode dan media baru yang bisa menjembatani berbagai problem pendidikan di era kontemporer ini. Akan tetapi, Kita tidak bisa memastikan apakah media baru yang sedang dikembangkan saat ini menjadi solusi yang tepat untuk dunia pendidikan kita.
Kecepatan dari akses yang diharapkan dari proses pembelajaran melalui berbagai media baru yang ada juga tidak sepenuhnya menjadi jaminan terhadap kualitas dari tujuan pendidikan. Kita mengetahui bersama, bahwa tingkatan dalam proses pendidikan itu sendiri yang beragam, seperti proses pembelajaran pada tingkat anak-anak dan orang dewasa yang tidak sama, sehingga ada hal-hal yang tidak bisa dicover oleh media yang digunakan saat ini, seperti yang berkaitan dengan aspek perkembangan mental, pengalaman, dan proses adaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Perlu bagi setiap lembaga pendidikan kita untuk terus mengkaji kembali problem pembelajaran di masa pandemik seperti ini, terutama untuk menemukan metode yang bisa menyesuaikan dengan kebutuhan pada masing-masing lembaga pendidikan yang ada.
Solusi yang kita jalankan kita saat ini tentu belum bisa dikatakan sudah benar-benar tepat dengan situasi yang ada sekarang. Di tingkatan universitas pun misalnya, solusi terkait metode penelitian di masa pandemik seperti ini juga masih sangat debatable, karena diperhadapkan dengan disiplin ilmu yang beragam dan membutuhan metode yang tidak sama.
Sudah waktunya bagi lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia untuk menghadirkan inovasi baik secara mandiri maupun difasilitasi oleh pemerintah pusat sampai pemerintah ditingkat daerah, untuk merumuskan kebijakan dan solusi terkait kebutuhan lembaga pendidikan di tengah pandemik dan tantangan sosial yang tidak terbatas.
Salah satu nama yang banyak mencuri perhatian media dan masyarakat dalam Kabinet Kerja Jilid 2 Jokowi adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim. Sebagai lulusan dari salah satu universitas terbaik di dunia dan berhasil merintis salah salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, membawa Nadiem Makarim mendapat posisi penting dalam pemerintahan saat ini.
Selama ini kita sering mendengar ungkapan dari masyarakat, beda menteri beda lagi kebijakannya. Ungkapan tersebut memang benar, karena setiap menteri yang terpilih selalu menawarkan program kerja entah itu sesuatu yang baru atau pun tidak.
Kita masih ingat kebijakan Menteri Pendidikan yang sebelumnya, Pak Anies Baswedan ketika menjadi Menteri Pendidikan, “Kurikulum 2013” merupakan produk kebijakan pendidikan nasional saat itu. Demikian halnya ketika Menteri Pendidikan Pak Muhadjir Effendy, “full day school” adalah salah satu kebijakan nasional yang telah diterapkan.
Perbedaan kebijakan setiap Menteri Pendidikan itu sebenarnya tidak ada salahnya, karena latar belakang setiap menteri yang berbeda, masalah pendidikan yang dihadapi berbeda, kegelisahan sosial yang ingin dijawab berbeda, membuat bentuk kebijakan pendidikan kita juga selalu berbeda. Sebagai masyarakat, tidak cukup jika kita hanya berusaha melihat perbedaannya saja tanpa melihat aspek-aspek lainnya, misalnya bagaimana ketika kebijakan itu diterapkan nanti, apa dampak sosialnya, apa kelebihan dan kekurangannya, serta aspek-aspek lainnya yang saling memengaruhi, karena keberhasilan dari suatu kebijakan bukan hanya terletak pada konsepnya saja, tetapi bagaimana ketika kebijakan tersebut diterapkan.
Masalah Pendidikan Nasional
Jika kita pahami apa yang sering disampikan oleh Pak Nadiem diberbagai media terkait kebijakan pendidikan di Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi kata kuncinya yakni, penyederhanaan administrasi dalam pendidikan dan kemerdekaan hak-hak pendidik dan peserta didik. Masalah penyederhanaan administrasi dalam pendidikan ini juga banyak dibicarakan oleh berbagai praktisi pendidikan dan masyarakat luas, seperti yang telah disampaikan oleh Pak Al Makin pada saat pengukuhan guru besarnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam pidatonya yang berjudul “Bisakah menjadi Ilmuan di Indonesia? Dalam pidato tersebut, Pak Al Makin secara tegas menyampikan bahwa kampus-kampus yang ada di Indonesia saat ini, seorang dosen misalnya ketika pada saat melaksanakan penelitian akan lebih dipusingkan bagaimana membuat laporan administarsinya ketimbang memikirkan bagaimana menulis hasil penelitian tersebut agar menjadi karya akademik yang berkualitas dan berdampak luas di masyarakat.
Demikian halnya masalah di sekolah-sekolah, seorang guru setelah menyelesaikan proses pembelajaran di dalam kelas, guru akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan berbagai tuntutan administratif lainnya, sehingga waktu untuk membaca, berdiskusi, menyiapkan media pembelajaran, dan pengembangan diri menjadi lebih sedikit.
Apa yang menjadi kegelisasan Pak Nadiem tersebut merupakan kegelisahan bersama yang belum menemukan solusinya. Tidak mengherankan jika kita sering mendengar ungkapan bahwa dunia pendidikan kita banyak menghadirkan kecemasan dan rasa frustrasi bagi pendidik mau pun peserta didiknya. Kerena memang mindset dan regulasi yang dijalankan masih kaku dan masih sangat terfokus hal-hal yang tekhnis, sehingga belum sepenuhnya memberikan kemerdekaan dalam setiap proses pendidikannya.
Kebijakan Pendidikan Nasional Pak Nadiem Makarim
Konsep dan kebijakan pendidikan nasional yang sedang digagas oleh Pak Nadiem saat ini menjadi langkah yang tepat dijadikan salah satu landasan dalam sistem pendidikan nasional. Seperti kebijakan Kampus Merdeka misalnya, bagaimana memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk memperoleh pengalaman belajar tidak hanya di kampus yang sama tetapi bisa mengikuti banyak pelatihan atau praktik kerja di banyak kampus, dan hal tersebut merupakan bagian dari proses perkuliahan, bukan dianggap menghambat proses perkuliahan.
Demikian halnya penyederhanaan administrasi bagi para guru-guru di sekolah, seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), seharusnya administrasinya tidak dilihat dari banyak jumlahnya saja, tetapi sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya.
Apakah rumusan kebijakan pendidikan nasional yang sedang digagas oleh Pak Nadiem tersebut benar-benar inovatif dan bisa menjawab masalah pendidikan kita saat ini? Gagasan kebijakan pendidikan nasional Pak Nadiem Makarim ini sebetulnya berusaha melihat akar persoalan pendidikan kita yang bersumber dari cara pandang kita terhadap pendidikan itu sendiri yang kemudian dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional.
Cara pandang tersebut dengan melihat bagaimana proses pendidikan itu bisa memenuhi seluruh tuntutan kurikulum dalam sistem pendidikan, tanpa melihat kembali apa yang diperoleh setiap peserta didik dari banyaknya rangkaian pelajaran yang diikuti. Inilah yang dimaksud oleh Pak Nadiem bahwa harus ada kemerdekaan dalam pendidikan, bahwa belajar harus berbasis pada kebutuhan, manfaat, dan tujuan yang ingin dicapai, bukan hanya pada jumlah pelajarannya saja. Jika dipahami, gagasan pendidikan Pak Nadiem ini sifatnya lebih humanis-progresif, karena tujuannya bagaimana membuat setiap orang yang belajar merasa lebih merdeka bukan merasa tersiksa dengan segala tuntutan dalam pendidikan, tanpa menghilangkan tujuan, manfaat, dan kualitasnya.
Tepat pada 1 Juni 2019, isteri dari Presiden ke- 6 RI ini, Ibu Ani Yudhoyono menutup usia. Berpulangnya Ibu Ani Yudhoyono menjadi duka yang dalam bagi segenap masyarakat Indonesia, tidak hanya bagi keluarga dan kalangan pemerintahan.
Semasa mendampingi Presiden ke- 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai ibu negara, Ibu Ani Yudhoyono juga banyak memberikan peran strategis dan kontribusi penting dalam situasi pemerintahan saat itu. Dalam sebuah acara disalah satu TV Nasional yang mengundang seluruh keluarga besar Pak SBY, Pak SBY banyak menceritakan bahwa Ibu Ani semasa pemerintahannya, banyak membantu termasuk menerima laporan dan informasi-informasi penting dari masyarakat diberbagai daerah yang disampaikan secara langsung maupun melalui sosial media kepada Ibu Ani. Sehingga, ketika ada informasi darurat yang disampaikan oleh masyarakat bisa secara cepat diketahui oleh Pak SBY.
Ada memori yang melekat dari sosok Ibu Ani Yudhoyono, bagaimana beliau tidak hanya menjadi isteri seorang Presiden, tetapi sekaligus mengemban tugas sebagai ibu negara. Dalam menghadapi situasi negara yang sering mengalami ancaman dan ketidakpastian, beliau menjadi salah satu orang yang sangat berperan penting dibalik Pak SBY.
Ibu Ani Yuhoyono adalah satu dari sekian banyak potret bahwa kedudukan ibu negara mempunyai peran yang strategis dalam pemerintahan. Ia mempunyai fungsi, relasi, dan potensi dalam masyarakat. Sehingga, tidak seimbang jika hanya dilihat dari sisi luarnya saja. Karena pengaruhnya cukup besar dalam kekuasaan. Baik sebagai kekuatan, strategi, dan eksistensinya.
Kehadirannya tidak sekadar menjadi status pemerintahan. Peran serta ibu negara atau kedudukan yang sejenisnya, bukan hanya menjadi seremonial dan simbol biologis semata, tetapi menjadi sebuah pendekatan dan ruang tersendiri dalam masyarakat.
Sisi lain yang juga bisa kita lihat dari kondisi ini, ada momen solidaritas yang kuat ditunjukkan oleh semua kalangan. Terlepas dari pemaknaan secara politis, dalam situasi politik yang belum selesai, pihak-pihak yang saling berkontestasi menunjukkan solidaritas yang kuat terhadap duka yang dialami oleh keluarga SBY. Dari berbagai pihak yang saling berkepentingan, dapat bertemu dalam solidaritas kekeluargaan. Paling tidak, kita masih bisa menemukan spirit yang menunjukkan nilai-nilai yang kuat dalam masyarakat kita, yakni kekeluargaan dalam ikatan kebangsaan dan kemanusiaan. Sebagai bagian dari konsekuensi nilai yang tumbuh dan hidup di dalam masyarakat kita.
Kita bisa belajar dari situasi di atas, bahwa cara hidup dan cara berpolitik orang Indonesia pun mempunyai ikatan komunalitas yang kuat, meskipun sulit ketemu dalam persepsi dan pilihan apa saja, tetapi ada sebuah ikatan yang sama dalam prinsip kebangsaan, kekeluargaan, dan kemanusiaan. Prinsip yang mengalir dalam kesadaran kultural, sosial, maupun keagamaan yang bisa kita temukan nilainya dalam bentuk apa pun pada masing-masing komunitas masyarakat kita.
Sumbangan dari warisan di atas menjadi penting sebagai kesanggupan kita sebagai masyarakat dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang terus berubah. Bagaimana pun situasi sosial yang kita hadapi, selalu ada cara untuk menemukan jalan keluarnya. Sebab, dari pandangan di atas bisa menjadi tujuan. Pandangan di atas akan terus kita butuhkan, menjadi sebuah sumbangan terhadap masyarakat saat ini dan yang akan datang.
Persoalan penting yang masih menjadi kegelisahan dalam dunia pendidikan kita saat ini, khususnya dalam lingkungan perguruan tinggi misalnya, bagaimana terus mengembangkan inti dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni: pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat. Tiga komponen tersebut merupakan kerangka inti dari bangunan keilmuan sebuah perguruan tinggi. Bagaimana tidak hanya mengejar momentumnya saja, tetapi benar-benar bisa diserap dengan baik oleh perguruan tinggi itu sendiri sampai di masyarakat nanti.
Sekurang-kurangnya, Tri Dharma Perguruan Tinggi di atas merupakan alat ukur dan bangunan kelembagaan mengenai kehadirannya sebagai jenjang tertinggi pendidikan. Pertanyaan kemudian, cukupkah Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut sebagai bangunan keilmuan dan kontribusi sosialnya?. Hal yang menarik dalam hal ini, bagaimana masing-masing perguruan tinggi kita mengisi ruang-ruang tersebut dengan nilai tawar keilmuan dan partisipasi sosialnya. Karena Tri Dharma Perguruan tinggi tersebut hanya berupa kerangka dasar bagi masing-masing perguruan tinggi, tetapi isi dan susunannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga. Karena yang lebih mengetahui apa yang menjadi problem dan kebutuhan inti adalah pihak lembaga itu sendiri.
Di sini, kita bisa mengukur sendiri apa yang sedang dialami dan dirasakan oleh lembaga pendidikan kita khususnya lingkungan perguruan tinggi misalnya. Apakah masing-masing lembaga perguruan tinggi yang ada telah menemukan jalan keluarnya, atau justeru telah sampai pada jalan buntu.
Jika kita perlu bertanya lagi, apa sebetulnya yang mengakibatkan kebuntuan lembaga pendidikan kita dalam konteks kerangka di atas. Tentu jawabannya sangat banyak. Tetapi, di antara banyaknya problem tersebut, ada beberapa hal dasar yang sangat mungkin dapat mengakibatkan kemacetan produksi pengetahuan dan tidak terserapnya dengan baik konsep keilmuan tersebut sampai pada masyarakat misalnya. Pertama, bangunan kelembagaan kita tidak terbangun bersama dengan landasan keilmuan yang kokoh, pada akhirnya hanya membangun tujuan keilmuan yang paradoks.
Kedua, ketika bangunan keilmuan tidak dapat mengimbangi gesekan struktural, kepentingan ideologi dan politik, maka tujuan lembaganya akan menjadi taruhannya. Hal ini seperti sudah menjadi guyonan keseharian, karena sudah dianggap hal yang biasa saja. Sehingga, sesuatu yang akan kita anggap mempunyai manfaat atau nilai lebih, apabila sesuatu itu dapat bergandengan tangan dengan hal-hal di atas. Yang berada di luar dari itu, biasanya jika tidak dianggap lawan maka akan dianggap sebagai musuh. Gus Dur misalnya, telah sampai bahkan bisa dikatakan melampaui pada tahap melihat perdebatan tersebut. Gus Dur menjelaskan, bahwa kesempatan dan kreativitas seseorang maupun kelompok, seharusnya tidak ditentukan oleh identitas politiknya, etnis, jenis kelamin, dan batas teritorial.
Gus Dur memberikan titik tekan, betapa pun sesuatu yang kita anggap bertentangan, kita perlu memberikan apresiasi. Akan tetapi, relevan atau tidaknya hal tersebut tentu akan diuji sendiri oleh kenyataan yang ada. Jika hal tersebut tidak sesuai maka dengan sendirinya juga akan ikut tertolak. Penulis memahami, itulah mengapa dalam banyak hal, Gus Dur sering berulang-ulang mengungkapkan kalimat, “nanti sejarah yang akan membuktikan”. Bahwa benar atau tidaknya segala sesuatu itu maka akan dibuktikan dan diukur sendiri oleh masyarakat seiring dengan berjalannya waktu.
Dua hal yang telah dijelaskan di atas, tentu hanyalah persoalan terkecil dari apa yang menjadi problem pendidikan kita sampai dengan saat ini. Karena masih banyak problem-problem lainnya yang perlu kita lihat dan eksplorasi lagi. Mengingat, bahwa lembaga pendidikan bukanlah ruang kosong yang sepi dari berbagai persoalan apa pun.
Problem di atas, setidaknya kita telah melihat bahwa lembaga pendidikan juga merupakan salah satu lembaga inti yang ada di masyarakat. Karena dari sini, terjadi proses investasi sumber daya manusia, bagaimana setiap masyarakat yang terlibat di dalamnya ikut mempersiapkan diri untuk menghadapi proses-proses selanjutnya. Sehingga, sangat disayangkan, jika perguruan tinggi kita tidak dapat bercermin dan berbenah diri dari apa yang telah terjadi selama ini. Dengan proses perubahan sosial hingga kemajuan sains yang bergerak begitu cepat, jika lembaga pendidikan kita hanya bertahan dengan kondisi yang sama, maka lembaga pendidikan kita benar-benar telah sampai pada jalan buntu.
Terminologi mengenai prostitusi online kembali menjadi perbincangan masyarakat saat ini. Hal ini berangkat dari polemik yang memunculkan nama misalnya dari kalangan selebritis yang ikut terlibat di dalamnya. Dan istilah prostitusi online ini pernah menjadi perdebatan publik tiga tahun yang lalu, dengan konteks yang sama.
Persoalan mengapa publik ikut terlibat aktif dalam menanggapi dan menyampaikan pandangannya terkait polemik ini. Perbedaan pandangan tersebut menunjukkan apa yang menjadi inti dari polemik prostitusi online itu sendiri. Masyarakat ada yang berangkat dari persoalan moralitas, hak individu masing-masing orang, hingga persoalan keuntungan secara ekonomis dan lain sebagainya.
Terlepas dari persoalan di atas, lantas apa pentingnya bagi kita membincang persoalan ini. Istilah prostitusi online itu sendiri sebetulnya sudah sangat problematis. Karena kata online menunjukkan sebuah jaringan (networking) atau sifatnya sudah berjejaring. Sehingga, prosesnya bukan lagi sebatas kesepakatan dua belah pihak, tetapi sudah ada pihak lainnya (perantara) yang juga ikut memanfaatkan wilayah ini sebagai bisnis (komersil). Sehingga, persoalan prostitusi online yang sedang kita persoalkan bukan lagi perdebatan tentang wilayah moralitas atau hak individu masing-masing orang, tapi telah bergeser menjadi sebuah ranah bisnis dan problem sosial lainnya.
Kita memahami, bahwa bentuk komersialisasi tersebut sebenarnya adalah ancaman kemanusiaan, khususnya bagi kaum perempuan misalnya. Karena adanya istilah semacam ini, perempuan akan terus dipersepsikan oleh publik sebagai objek yang dapat komersilkan. Cara pandang kita mengenai hal ini, tentu tidak lepas dari bagian konstruksi masa lalu kita, baik bias kolonialisme, kekuasaan, dan lain sebagainya yang masih terus hidup.
Jika salah satu problem inti dari persoalan ini adalah bentuk komersialisasi, lantas apa problemnya bagi negara dan masyarakat luas lainnya. Berbagai bentuk tanggapan publik mengenai hal ini, sebagaimana yang kita lihat baik di sosial media mau pun secara langsung tentu sangat beragam. Ada masyarakat yang beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan sama sekali tidak merugikan pihak mana pun termasuk negara atau masyarakat yang lain. Tetapi, ada juga masyarakat menanggapi, bahwa tindakan tersebut jelas-jelas tidak seirama dengan kenyataan masyarakat kita baik dalam agama, budaya, sosial, maupun yang lainnya. Sehingga, tindakan tersebut tentu tidak relevan dengan konteks masyarakat kita.
Tanggapan publik yang beragam tersebut, justeru membuat polemik ini semakin ramai diangkat. Tulisan ini diturunkan sebagai bentuk respon secara akademis, bukan persoalan moralitas. Tetapi, untuk memahami perspektif lainnya yang justeru tidak begitu banyak diangkat oleh publik.
Dari polemik di atas, seharusnya tidak ada yang namanya korban atau pun pelaku, karena ini bukan tindakan asusila. Hal ini adalah kesepakatan dan juga kehendak bersama. Maka, berangkat dari polemik ini, seharusnya kita perlu melihat perspektif lain yang juga menjadi inti persoalan. Pertama, motif prostitusi online bukan hanya persoalan orang yang bermoral atau tidak, hasrat atau keinginan. Tetapi, persoalan gaya hidup, pasar, dan tuntutan ekonomi adalah hal yang mendesak siapa pun harus mematuhinya. Sehingga, tidak mengherankan bila bentuk-bentuk komersialisasi ruang private pun mudah terjadi.
Kedua, meskipun kita telah hidup di abad 21, tapi kita tidak bisa memungkiri hegemoni kolonialisme masih terus hidup dan berkembang hingga saat ini, termasuk persepsi tentang hasrat, tubuh, dan perempuan. Edward Said menjelaskan bahwa hegemoni kolonial terhadap kita adalah sebuah hegemoni yang kompleks, dari yang bersifat idea hingga tindakan, bahkan mereka telah berhasil menciptakan kita menjadi apa saja. Misalnya, Timur yang hanya dipersepsikan sebagai sesuatu yang indah (exotic), bukan sebuah peradaban dan historitasnya. Demikian halnya penjelasan Ahmad Baso dalam buku Islam Pasca kolonial, bahwa bias kolonialisme terhadap kita, hingga menginetrevensi sampai hal-hal mendasar lainnya seperti hasrat, tubuh, dan perempuan.
Persoalan yang paling modern sekali pun yang kita alami saat ini, jelas itu bukan sesuatu yang kebetulan. Bias masa lalu kita telah berhasil mendefinisikan kita saat ini, bahkan mengantarkan kita pada tindakan kita yang akan datang. Hal ini juga yang telah dikembangkan oleh Farish A. Noor mengenai kajian Islam dan Asia Tenggara, ia menyegarkan kembali ingatan kita bahwa seharusnya kita (Asia) adalah satu zona yang sangat fluid (cair) dimana identitas kita ditentukan oleh kenyataannya kita sendiri. Tetapi, kolonialisme yang pernah ada, cukup berhasil mempengaruhi dan membentuk kita hingga saat ini.
Memaknai polemik di atas, tidak lepas dari bentuk akumulasi masa lalu dan juga problem sosial kita saat ini. Dengan demikian, harus ada interpretasi kembali mengenai bias masa lalu kita, yang ikut mempengaruhi konstruksi sosial kita saat ini, yang sampai saat ini masih sangat sensitif dan cukup problematis. Agar, tercipta kembali paradigma publik yang sejalan dengan kondisi dan karakter masyarakat kita.
Dibukanya kesempatan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini, melalui beberapa kementerian, menjadi angin segar bagi para sarjana dan masyarakat luas yang menantikannya. Karena, di Indonesia sendiri, menjadi CPNS, termasuk salah satu opsi lapangan pekerjaan yang juga banyak dinanti dan diminati. Karena menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), seperti dua arah yang saling menopang, masyarakat memberikan pengabdiannya dan negara memberikan jaminan atas pengabdian tersebut.
Tetapi, dibalik pelaksanaan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini, tidak sekadar berbeda dari tahun-tahun yang sebelumnya, tetapi sekaligus menyimpan berbagai pertanyaan dan rasa pesimisme bagi masyarakat. Bagaimana tidak, sebagian besar instansi yang telah menyelenggarakan sistem seleksi, justru menunjukkan hasil yang mengejutkan.
Misalnya, beberapa Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang telah menyelenggarakan seleksi CPNS. Seperti di Kabupaten Bolaang Mongondow, yang diikuti oleh sebanyak 1.686 peserta, yang berhasil mencapai standar nilai (Passing Grade) sebanyak 15 orang. Demikian halnya, di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, diikuti sebanyak 1.656 peserta, dan yang berhasil mencapai nilai (Passing Grade) sebanyak 7 orang. Sedangkan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, diikuti peserta sebanyak 1.452, dan yang berhasil mencapai nilai (Passing Grade) sebanyak 10 orang, (akses, Bolmutpost.com).
Hal tersebut, juga terjadi hampir disebagian besar daerah lainnya seperti Papua, Gorontalo, bahkan berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatera hingga Kalimantan. Peserta yang lulus mencapai ambang batas nilai yang ditentukan sangat minim.
Fakta di atas, tidak hanya memunculkan perdebatan bagi kebanyakan orang, tetapi juga menjadi masalah baru bagi masyarakat. Pertanyaannya, ada apa dengan sistem seleksi CPNS kita. Apakah memang benar, bahwa kemampuan dari peserta yang tidak sesuai dengan standar yang diharapkan. Ataukah justru, sistem yang digunakan yang tidak tepat sasaran.
Pertanyaan tersebut, perlu untuk dipaparkan secara luas, apa yang menjadi faktor yang menyebabkan banyaknya peserta yang tidak berhasil mencapai standar nilai yang ditentukan (Passing Grade).
Di satu sisi, penggunaan sistem CAT (Computer Assisted Test) atau sistem pengerjaan tes berbasis komputer menjadi solusi yang efektif untuk menghindari terjadinya bentuk manipulasi hasil tes. Atau dengan sistem CAT, peserta bisa mengetahui secara langsung hasil tes yang mereka peroleh. Sehingga, sensitifitas terjadinya bentuk KKN tidak terjadi.
Akan tetapi, di sisi lain, problem dari sistem seleksi CPNS yang ada, justru terletak pada inti dari pelaksanaan tes itu sendiri (waktu dan inti soal). Di mana sebagian besar dari peserta yang mengikuti tes CPNS, sangat mengeluhkan antara durasi waktu yang ditentukan tidak seimbang dengan inti soal yang harus dikerjakan.
Peserta diberikan durasi waktu selama 90 menit untuk mengerjakan 100 nomor soal. Problem yang ada, antara rasio waktu dan inti soal yang dikerjakan tersebut tidak seimbang. Bentuk soal yang ada, dalam bentuk narasi soal yang sangat kompleks, sehingga peserta harus membaca narasi soal tersebut dan menganalisa pilihan jawaban yang tepat, sedangkan durasi waktu yang ada justru tidak memungkinkan peserta harus mengoptimalkannya. Sehingga, yang terjadi adalah irasional sistem dan paradigma dari proses seleksi CPNS yang ada.
Persoalan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita hingga saat ini, menjadi bagian penting yang juga menjadi fokus perhatian dari berbagai pihak. Jika dalam perspektif pendidikan sendiri, hal ini, apa yang disebut oleh tokoh pendidikan baik lokal hingga global, seperti Paulo Freire di Brazil, H.A.R. Tilaar, Mansour Fakih, Roem Topatimasang hingga Eko Prasetyo di Indonesia. Mereka banyak menyebutnya sebagai bagian dari bentuk industrialisasi sistem pendidikan. Di mana cara kerja pendidikan lebih bersifat mekanik atau seperti cara kerja industri. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan lagi pada kebutuhan manusia itu sendiri.
Dari kasus sistem seleksi CPNS yang berlaku di Indonesia saat ini, peserta harus mengerjakan soal yang kompleks dengan durasi waktu yang singkat, sehingga, masyarakat tidak ubahnya seperti mesin yang harus bekerja untuk memenuhi hasrat industri yang ada. Inilah yang dimaksud dengan bentuk industrialisasi sistem pendidikan yang lepas dari konteks masyarakat yang ada.
Jika demikian sistem pendidikan kita yang berlaku sampai dengan saat ini. Apa sebetulnya yang kita harapkan dari sistem pendidikan kita. Karena problem masyarakat bukan menjadi inti dari sistem yang ada. Sehingga, cara kerja pendidikan kita menghasilkan manusia mekanik, yang bekerja untuk memenuhi hasrat industri, tidak lagi mengakar pada apa yang menjadi problem inti dari kehidupan masyarakat. Sehingga, dunia pendidikan kita, untuk menghasilkan manusia baru dalam terminologi Paulo Freire, logis, humanis, yang berbasis pada kenyataan, tidak akan pernah terjadi secara utuh.
Lantas, seperti apa sistem seleksi CPNS kita. Sebagaimana problem di atas, perlu adanya perubahan paradigma dari sistem dan mekanisme dalam proses seleksi CPNS yang ada. Misalnya, antara durasi waktu dan inti soal yang dikerjakan harus seimbang dan menyesuaikan dengan konteks yang ada. Agar, proses seleksi CPNS benar-benar melahirkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai yang dibutuhkan. Hal ini, juga menjadi bagian penting sebagai bentuk evaluasi dari sistem pendidikan kita saat ini dan seterusnya.
Pengarusutamaan nilai-nilai Islam Nusantara di masyarakat sebagai corak sosial-keagamaan menjadi hal yang menarik, tetapi sekaligus memunculkan perdebatan baik yang melahirkan dimensi kontra sosial, politik, pemikiran, ideologi, dan sebagainya.
Dalam berbagai informasi yang berkembang di sosial media, masyarakat ada yang saling klaim satu sama lain, ada yang pro dan juga kontra. Hal ini memunculkan berbagai spekulasi, mengapa pewacanaan Islam Nusantara itu sendiri melahirkan berbagai polarisasi dalam masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat akademik.
Diskursus mengenai Islam Nusantara sebetulnya telah banyak dikaji oleh para akademisi atau intelektual seperti Prof. Azyumardi Azra. Belum lama ini juga, Syafiq Hasyim meluncurkan buku yang berjudul Islam Nusantara. Esensinya, bahwa Islam Nusantara itu sebagai pendekatan atau corak Islam yang bisa beradaptasi dengan nilai-nilai lokalitas yang dapat menjadi penggerak sosial yang sejalan dengan perubahan sosial itu sendiri. Sehinga, ide mengenai Islam Nusantara bukan hanya terletak pada idealya saja, tapi pada cara kerjanya bagaimana terus beriringan dengan perubahan sosial.
Perdebatan bangunan konsep Islam Nusantara tentu tidak sesederhana di atas, namun sangat kompleks. Hal ini yang menjadi tugas berat bersama. Sejauh mana konsep Islam Nusantara itu mampu menjawab kompleksitas tantangan sosial secara luas dan terus berkelanjutan. Meskipun, sebagian ide Islam Nusantara telah berlangsung di masyarakat hingga saat ini. Tetapi, rumusan Islam Nusantara belum bisa dikatakan telah utuh. Karena masih banyak dimensi-dimensi lainnya yang masih terus dalam proses penggalian, pencarian dan pengembangan.
Problem dalam Wilayah Sosial
Ketika Islam Nusantara diwacanakan ke publik, konsekuensinya juga sangat beragam. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Beberapa Sarjana Muslim Indonesia memberikan respons mengenai hal tersebut.
Moch. Nur Ichwan misalnya, Dosen Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menanggapi, bahwa salah satu persoalan Islam Nusantara di masyarakat saat ini, karena masih ada anggapan masyarakat yang masih memahami bahwa Islam Nusantara sebagai upaya Pertikularisasi Islam, dalam pengertian pencabikan totalitas dan Universalitas Islam. Islam Nusantara dipahami berbeda dengan corak Islam pada umumnya.
Padahal, menurut Moch. Nur Ichwan, Islam Nusantara itu bukan partikularisasi, tapi universalisasi terkontekstualkan, dalam pengertian bahwa Islam Nusantara mengkontekstualisasikan Universalitas Islam dalam ruang geososial tertentu dengan segala karakteristik khasnya. Kontkestualisasi ini bukan dalam untuk memutus Islam Nusantara dari Universalitas Islam, tapi dalam rangka universalisasi lebih lanjut Islam dalam ruang dan waktu tertentu secara berkelanjutan dan dinamis.
Demikian halnya Munirul Ikhwan, Dosen Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memberikan pandangan. Menurutnya, bahwa orang bisa saja senang dan sangat menerima konsep Islam Nusantara. Karena dipahami Islam dengan corak yang sangat friendly dan cocok dengan kondisi masyarakat yang ada. Tetapi, masyarakat bisa juga tidak sejalan atau berbeda. Misalnya, karena melihat ada identitas tertentu yang sudah sangat melekat dengan Islam Nusantara.
Pandangan di atas, dapat menjelaskan paling tidak ada dua persoalan mendasar mengenai perbedaan pemaknaan konsep Islam Nusantara di masyarakat. Pertama, kontra ideologi, artinya seseorang yang sudah terbiasa dengan suatu ide atau pemahaman tertentu baik secara individu maupun kolektif, sangat menentukan persepsi mereka mengenai suatu ide atau pemahaman baru yang muncul. Di sini, terjadi proses saling mengetahui, adaptasi, dan memungkinkan terjadinya dialog atau perjumpaan. Kedua, kontra politik, artinya orang bisa berbeda tidak hanya karena berbeda organisasi, kelompok, ideologi, atau pilihan politik saja. Tetapi, kontra politik bisa terjalin luas dengan relasi kuasa lainnya. Misalnya, karena terjadi proses perebuatan wacana atau pengikut.
Jika dilacak, sebetulnya konsep Islam Nusantara adalah nilai-nilai yang ada di masyarakat nusantara sendiri. Misalnya, sejak Islam mulai berkembang di masyarakat, melalui para pembawa ajaran Islam seperti Wali Songo atau yang lainnya, tidak menghilangkan budaya atau tradisi masyarakat yang ada. Sampai saat ini, kita masih bisa menemukan nilai-nilai lokalitas tersebut berkembang di masyarakat.
Cara kerja itulah yang menjadi bagian dari spirit Islam Nusantara yang dikembangkan oleh organisasi sosial keagamaan seperti Nahdatul Ulama (NU) atau yang lainnya. Maka, perdebatan konsep Islam Nusantara tidak selalu berada pada wilayah perdebatan sumber atau ide besarnya. Tetapi, ada faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi.
Baca juga: Wajah Islam Milenial dan Masifnya Media Sosial
Problem Islam Nusantara dalam Wilayah Akademik
Dalam argumentasi lainnya, Moch. Nur Ichwan memberikan tanggapan, perdebatan tentang Islam Nuasantara saat ini lebih bersifat politik ketimbang akademis. Dulu, ketika Islam Nusantara masih menjadi wacana akademik, hampir tidak ada yang mempersoalkan. Beberapa akademisi menerbitkan buku dengan judul Islam Nusantara, seperti Prof. Azyumardi Azra dan M. Abdul Karim. Saat itu tidak ada masalah. Namun setelah NU mengadopsinya sebegai corak keagamaan, respon mulai bermunculan, baik itu respons positif atau sebaliknya.
Hal ini menjadi sebuah tantangan bersama. Bagaimana konsep Islam Nusantara menjadi sebuah pendekatan sosial keagamaan yang lebih mencair dan dinamis. Nilai yang terus hidup dan beriringan dengan kenyataan masyarakat yang ada. Tidak menjadi ide yang tertutup dan anti terhadap kritik.
Dalam wilayah akademik, diskursus Islam Nusantara terus dalam proses penggalian, pencarian, dan pengembangan. Pada tahun 2017, Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga, menyelenggarakan seminar yang mendiskusikan Arsitektur Islam Nusantara (AIN), yakni arsitektur (sains, seni dan tekhnologi) yang mewujud dalam ide, nilai, cita rasa, dan konstruksi yang berangkat dari ciri khas atau nilai yang ada di masyarakat Indonesia.
Tetapi, rumusan Islam Nusantara secara menyeluruh tentu tidak dapat berhenti hanya sampai di situ. Karena, sebagai suatu ide atau paradigma yang berlaku secara luas di masyarakat, maka rumusannya harus terus dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat yang ada.
Maka dari itu, proses ke depannya, tantangan Islam Nusantara baik yang ada di masyarakat umum maupun di wilayah akademik, tentu akan semakin kompleks. Bagaimana terus dikembangkan tidak hanya sampai pada menjawab problem sosial keagamaan pada umumnya. Tetapi, bisa mencakup problem sosial mendasar lainnya, seperti sosial-ekonomi, pengembangan masyarakat, sains, dan isu-isu kekinian.
Bagaimana kita mendialogkan kembali dimensi ketuhanan dalam Pancasila di tengah-tengah persoalan sosial yang masih terus merongrong bangsa ini. Mengingat, bahwa persoalan ketuhanan tersebut tidak akan pernah selesai, karena dimensi ketuhanan adalah faktor yang menyentuh lapisan nilai dan keyakinan. Sehingga, membutuhkan kepekaan dari kita bersama bagaimana menjembataninya dalam kehidupan bermasyarakat.
Genealogi perdebatan ketuhanan dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, sangat terasa, salah satunya ketika pada saat perumusan dasar negara (weltanschauung). Persoalan tersebut, menjadi perdebatan serius dari para pendiri bangsa kita, apakah Indonesia akan berdiri di atas negara teokratis, sekuler, liberal, ataukah yang lainnya. Persoalan ini, melahirkan perdebatan antara kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekuler yang saling tawar menawar pemikiran dalam menetapkan dasar negara.
Perumusan dasar negara Indonesia mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). BPUPK sendiri didirikan pada 29 April 1945, menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, pada 7 September 1944 yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan pada masa depan.
Dalam berbagai sidang BPUPK tersebut mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang belum tersusun secara sistematis sebagai suatu dasar negara. Misalnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengemukakan bahwa prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sebagai nilai fundamen kenegaraan.
Berangkat dari gagasan awal ini, menjadi bagian penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepnya tentang falsafah kebangsaan. Tepat pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berpidato dan menyampaikan usul tentang dasar negara yang diberi nama Pancasila, dan pada tanggal 18 Agustus 1945 diresmikan Pancasila sebagai dasar negara.
Menyelami Dimensi Ketuhanan dalam Pancasila
Ketuhanan adalah poin pertama yang disebutkan dalam isi Pancasila. Dimensi ketuhanan merupakan aspek yang mengakar pada kepercayaan dalam hal ini agama yang diyakini oleh masing-masing orang.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan komposisi penduduknya sangat majemuk, terdiri atas beberapa agama besar seperti Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Kondisi itulah yang turut mempengaruhi kebijakan dan pemikiran pada saat perumusan dasar negara (weltanschauung), di mana antara kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekuler yang keduanya saling mengajukan pemikirannya untuk menetapkan dasar negara Indonesia.
Yudi Latif dalam bukunya “Mata Air Keteladanan” (2014:10), menjelaskan bahwa terjadi perbedaan gagasan mengenai dasar negara. Misalnya, Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam pidatonya pada 31 Mei menjelaskan, bahwa Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama. Islam tidak bertentangan bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita.
Di pihak lain, pidato Soepomo pada 31 Mei juga memberikan pandangan. Menurutnya, jika kita hendak mendirikan Negara Islam di Indonesia, berarti tidak akan mendirikan negara persatuan. Karena mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang hanya akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar. Maka tentu akan timbul soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil yang tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara.
Pada 1 juni 1945, Soekarno memberikan pandangannya mengenai ketuhanan tersebut, inti dari isi pidato tersebut, bahwa masing-masing orang Indonesia hendaknya harus ber-Tuhan dengan tuhannya sendiri. Tetapi, tiada egoisme dalam agama, serta mengamalkan dan menjelankan ajaran agama masing-masing dengan berkeadaban yakni hormat menghormati satu sama lain.
Ketuhanan dalam pandangan Soekarno di atas adalah sikap yang meneladani sifat-sifat Tuhan misalnya “pengasih dan penyayang”, yang dalam tiap-tiap ajaran agama tentu diajarkan. Nilai ketuhanan itulah, menjadi bagian penting dalam membingkai kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Bagaimana bangsa ini tetap kokoh dalam mempertahankan keutuhannya di tengah-tengah terpaan krisis sosial yang terus menguji keutuhan kita sebagai bangsa Indonesia.
Inilah yang menjadi nilai penting bagi kita semua, bahwa Pancasila bukan hanya dipandang secara terus menerus sebagai kepentingan dan tameng kekuasaan. Tetapi, di dalamnya terkandung nilai dan mata air keteladanan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa kita sebelumnya.
Dimensi Ketuhanan dan Akar Kekerasan dalam Masyarakat
Persoalan ketuhanan, tidak berhenti hanya sampai pada tahap perbedaan pemikiran dan sikap. Tetapi, bisa meluas keberbagai sektor kehidupan lainnya.
Salah satu fakta kekerasan yang tidak bisa dilepaskan dari dimensi keyakinan dalam masyarakat misalnya aksi terorisme. Mengapa kasus terorisme selalu dihubungkan dengan persoalan keyakinan. Beberapa alasan sederhana yang sering muncul misalnya, pelakunya sering membawa simbol atau identitas agama tertentu, atau pelakunya merupakan jaringan dari salah satu kelompok yang mengatasnamakan agama, dan berbagai alasan lainnya yang pada akhirnya mengarah pada pembenaran atas nama agama.
Belum lama ini misalnya, kita telah digemparkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan melakuan aksi bom bunuh diri dibeberapa rumah ibadah seperti yang terjadi di Surabaya pada Minggu 13 Mei 2018. Pertanyaannya, apa kaitannya antara dimensi ketuhanan dalam Pancasila dengan aksi terorisme yang terjadi hingga saat ini.
Jika kita melacak dalam fakta global misalnya, Umar Farouk Abdulmutallab, tersangka percobaan teror bom di pesawat Northwest Airlines rute Amsterdam-Deroit berasal dari salah satu keluarga terkaya di Nigeria. Osama Bin Laden misalnya, merupakan salah satu keluarga yang kaya dan mempunyai hubungan dekat dengan bangsawan Saudi. Demikian halnya, pelaku bom Bali, Azahari Husin, mempunyai ekonomi yang mapan, bahkan bisa meraih gelar Ph.D dari University of Reading, Inggris. (Lihat Tirto.id, edisi 16 Mei 2018).
Salah satu peneliti gerakan terorisme, Prof. Noorhaidi Hasan juga menjelaskan, bahwa aksi teror yang terjadi dalam masyarakat hingga saat ini, tidak luput dari adanya faktor ideologi dan identitas. Ketika ideologi bertemu dengan identitas, sangat mudah untuk mengantarkan seseorang pada tindakan tertentu. Apalagi, ketika seseorang memandang dunia saat ini yang dianggap semakin tidak adil, kafir, jauh dari kesalehan dan lain sebagainya. Maka, upaya-upaya untuk melakukan tindakan seperti bom bunuh diri akan mudah tersalurkan. Hal ini, dianggap sebagai bentuk tindakan mencari makna dan kehidupan yang lebih berarti. (Hasil wawancara dengan Prof. Noorhaidi Hasan, pada 23 Mei 2018).
Jika merujuk pada kasus bom bunuh diri yang terjadi di tiga Gereja di Surabaya, jika dilihat dari latar belakang pelakunya, yakni pasangan suami istri Dita Oeprianto dan Puji Kuswati beserta keempat anaknya, juga berasal dari latar belakang keluarga yang terbilang cukup mampu dalam hal perekonomian. Sebagaimana hasil pengamatan dari tim media Tirto, bahwa rumah pelaku yang berada di kompleks Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo, Surabaya, jauh dari kesan kumuh apalagi bobrok. Bahkan, keluarga ini, sering bepergian untuk berlibur. (Lihat Tirto.id, edisi 16 Mei 2018).
Dari penjelasan di atas, bahwa tindakan terorisme tidak selalu bermakna ekonomis, tetapi bisa bermakna teologis, politis, bahkan filosofis. Ketika individu atau kelompok meyakini suatu ideologi atau pemahaman tertentu, kemudian bertemu dengan identitas atau kelompok yang mempunyai misi yang sama, maka dengan mudah ideologi tersebut dapat tersalurkan dalam bentuk aksi.
Oleh karena itu, nilai ketuhanan dalam Pancasila yang kita yakini sebagai salah satu perekat kebhinekaan dalam bangsa Indonesia, menjadi penting untuk terus didiskusikan. Mengingat, kondisi bangsa kita sebagai salah satu negara yang sangat majemuk dan cukup sensitif bersentuhan dengan berbagai ragam identitas.
Ketuhanan dalam Pancasila hendaknya digali sebagai bentuk spiritualitas kehidupan, bukan sekadar simbol dan bentuk citra sosial. Ketuhanan dalam Pancasila mengarah pada nilai-nilai inklusifitas. Nilai yang dapat menjadi payung kebhinekaan, nilai yang dapat beradaptasi, pandangan hidup secara optimis, dan menjadi spirit keseharian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Pesta, Dansa, dan Politik
Tahun yang sangat menggairahkan juga mencemaskan
Tahun penuh kejutan, fantasi, dan pengintaian
Tiba saatnya tahun politik
Semua harus ikut bertanggungjawab
Mengapa demikian?
Bukankah yang berpesta adalah mereka
Yang berdansa juga adalah mereka
Mengapa semua harus ikut bertanggungjawab?
Begitulah tahun pesta, dansa, dan politik
Yang berpesta atau tidak
Yang berpolitik atau tidak
Semuanya harus ikut berdansa, berpesta, dan bertanggungjawab
Jika demikian konsekuensinya
Maka biarlah pesta adalah hajat kita bersama
Biarlah dansa adalah energi kita bersama
dan biarlah politik adalah tanggung jawab kita bersama.
Tulisan ini sedikit diawali dengan “Metafor Puisi” yang sekaligus menggambarkan isi dan gagasannya. Mungkin ada yang bersepakat bahwa isu politik adalah tanggungjawab praktisi politik saja. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa diskursus mengenai politik adalah tanggungjawab semua masyarakat. Karena salah satu inti dari politik adalah meyangkut tatanan masyarakat yang sangat kompleks.
Menjelang momen politik baik dari tingkatan daerah hingga pusat, dari media massa hingga masyarakat luas, akan memberikan banyak energi dari mengikuti, memikirkan, hingga memberikan partisipasi baik secara langsung maupun tidak.
Inti dari tulisan singkat ini, terkait salah satu pertanyaan bagaimana sikap politik kita sebagai masyarakat umum jika diperhadapkan dengan pilihan politik yang semakin kompleks. Apakah kuasa partai atau organisasi, identitas agama, figur, visi dan misi adalah kata kunci dari pilihan politik?
Pertanyaan di atas sejalan dengan pandangan Michel Foucault, bahwa kekuasaan sama luasnya dengan lembaga sosial dan juga relasi kekuasaan yang saling terjalin dengan jenis-jenis relasi lainnya. Maka, pilihan politik adalah kompleksitas dari sebuah pilihan. Oleh karena itu, masyarakat harus terlibat aktif dari memikirkan hingga melakukan terkait bagian-bagian sosial yang ada disekeliling.
Karena konsekuensi dari pilihan politik hari ini, akan berdampak dan meluas pada lapisan dan tubuh sosial lainnya. Sehingga menjadi bagian dari masyarakat aktif yang ikut memikirkan dan terlibat, bisa menjadi alternatif membangun ruang publik yang sehat dan progresif.