Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pewarta Nusantara, Internasional - Pemerintah Suriah telah setuju agar bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat dikirimkan melalui Turki selama enam bulan, setelah Dewan Keamanan PBB gagal memperbaharui izin operasionalnya pada pekan lalu.
Namun, dalam surat dari Duta Besar Suriah untuk PBB, Bassam Sabbagh, yang dikutip oleh Reuters pada hari Kamis (13/7), disebutkan bahwa pengiriman bantuan harus dilakukan "dalam kerja sama dan koordinasi penuh dengan Pemerintah Suriah".
Sebelumnya, pada hari Selasa (11/7), Rusia menolak izin penggunaan jalur perbatasan Turki untuk mengirim bantuan ke Suriah selama sembilan bulan di Dewan Keamanan PBB.
Pemblokiran tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme penting yang menyediakan bantuan penyelamatan nyawa bagi jutaan orang.
Rusia mengusulkan perpanjangan izin selama enam bulan sebagai alternatif, tetapi usulan tersebut juga ditolak oleh Dewan Keamanan PBB, dengan hanya Rusia dan China yang mendukung, sementara Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis memberikan suara menentang.
Dewan Keamanan PBB mencapai kesepakatan ini karena izin operasional pengiriman bantuan darat dari Turki ke wilayah yang dikuasai pemberontak di Suriah telah kedaluwarsa pada hari Senin (10/7).
Isu Suriah telah lama memecah belah Dewan Keamanan PBB. Sebagian besar anggota mendukung operasi lintas perbatasan, termasuk AS dan Inggris, yang meminta perpanjangan selama setahun penuh, sedangkan Rusia hanya bersikeras pada perpanjangan selama enam bulan.
Dewan Keamanan, yang terdiri dari 15 anggota, telah melakukan negosiasi untuk memperbolehkan operasi PBB yang mengizinkan pengangkutan makanan, air, dan obat-obatan ke Suriah bagian barat laut yang dikuasai oposisi melalui perlintasan Bab al-Hawa selama 12 bulan tanpa izin dari pemerintah Suriah.
Namun, Rusia, yang mendukung pemerintah Suriah dan terlibat dalam perang di Suriah, mengajukan teks alternatif yang mengusulkan perpanjangan selama enam bulan pada hari Jumat.
Perpanjangan izin lintas perbatasan ini telah dilakukan selama enam bulan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi jangka waktu yang singkat ini meninggalkan warga Suriah di daerah oposisi khawatir bahwa mereka dapat terputus secara tiba-tiba dari bantuan penyelamatan nyawa.
Perlintasan ini menjadi sumber kebutuhan lebih dari 80 persen penduduk yang tinggal di daerah yang dikuasai pemberontak, mulai dari popok dan selimut hingga kacang-kacangan. Pemerintah Damaskus secara teratur mengutuk pengiriman bantuan sebagai pelanggaran kedaulatan negara.
Gempa bumi besar yang terjadi pada bulan Februari di bagian selatan Turki dan utara Suriah telah mengungkapkan kerentanan mekanisme lintas perbatasan ini dan meningkatkan pengawasan terhadap misi Kemanusiaan PBB di Suriah.
Rusia telah mengurangi mekanisme bantuan selama bertahun-tahun. Awalnya, kesepakatan ini memungkinkan empat titik masuk bantuan ke Suriah yang dikuasai pemberontak, tetapi saat ini hanya perlintasan Bab al-Hawa yang masih dapat digunakan. (*Ibs)
Insiden Mematikan di Kenya: Serangan Al-Shabaab di Kantor Polisi Mandera County Meninggalkan Dua Petugas Polisi dan Seorang Guru Tewas
Pada Jumat pagi (14/7), dua petugas polisi dan seorang guru menjadi korban dalam penyerbuan yang dilakukan oleh gerilyawan al-Shabaab di kantor polisi Mandera County, timur laut Kenya.
Serangan ini menyebabkan kerusakan pada fasilitas-fasilitas seperti tiang telekomunikasi, menurut laporan dari Xinhua News.
Kantor polisi Wargadud di El Wak, yang berdekatan dengan perbatasan Somalia, diserbu pada pukul 1:30 pagi, memaksa sebagian besar petugas yang berada di sana untuk menyelamatkan diri.
Dalam serangan tersebut, militan Al-Shabaab juga berhasil mencuri sebuah kendaraan polisi dan sejumlah amunisi dari kantor polisi tersebut.
Baca Juga; Kemenkeu Siapkan Cadangan Fantastis Rp 478,9 Triliun untuk Mengatasi Kelesuan Ekonomi Tahun 2023!
Upaya dari tim tanggap militer untuk campur tangan juga diserang dengan bom di kamp mereka di El Wak. Para teroris akhirnya melarikan diri ke perbatasan terdekat.
Situasi di wilayah tersebut masih tegang dan warga non-lokal di daerah tersebut merasa khawatir menjadi sasaran serangan teroris. Perlu dicatat bahwa guru yang tewas bukanlah warga setempat, demikian diungkapkan oleh polisi.
Menghadapi serangan ini, Kepolisian Nasional telah mengirimkan bala bantuan ke daerah tersebut untuk mengejar para penyerang.
Peristiwa ini terjadi beberapa jam setelah teroris menyerbu dan menguasai kamp militer Geriley, yang telah diserahkan oleh pasukan Pertahanan Kenya, di Somalia selatan dekat perbatasan dengan Kenya.
Pasukan Kenya telah berada di Somalia sejak Oktober 2011 sebagai bagian dari Misi Transisi Uni Afrika di Somalia dengan tujuan membantu memerangi kelompok teror Shabab. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - Pada hari Selasa (04/7), Israel melaksanakan salah satu operasi keamanan terbesarnya sejak tahun 2022 di Jenin, Tepi Barat, dengan partisipasi beberapa ratus tentara.
Menurut Maria Michelson, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), "Skala operasi sangat sulit untuk diukur, tetapi dalam hal jumlah pasukan yang terlibat, hal ini tidak terjadi sejak tahun 2002.
Operasi tersebut melibatkan beberapa ratus personel militer dari berbagai dinas dan unit, termasuk tentara IDF, perwira khusus, pasukan polisi perbatasan (Yamam), dan lainnya."
IDF menyatakan bahwa pasukan keamanan Israel menyerang markas yang digunakan oleh militan lokal di Jenin untuk merencanakan serangan teroris terhadap Israel.
Baca Juga: Pemimpin Palestina Sebut Serangan Terbaru Israel sebagai Kejahatan Perang Baru
Konflik antara Palestina dan Israel telah memburuk sejak tahun 1948. Palestina memperjuangkan pengakuan diplomatik sebagai negara merdeka mereka di wilayah Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur (sebagian dikendalikan oleh Israel), dan Jalur Gaza.
Namun, Pemerintah Israel enggan mengakui Palestina secara diplomatik sebagai entitas politik independen dan terus membangun pemukiman di wilayah yang menjadi sumber konflik, meskipun adanya keberatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Peristiwa-operasi tersebut menunjukkan eskalasi ketegangan yang berkelanjutan antara Israel dan Palestina. Konflik tersebut telah memakan korban jiwa dan menimbulkan dampak kemanusiaan yang serius.
Upaya untuk mencapai perdamaian dan penyelesaian yang adil antara kedua belah pihak terus menjadi tantangan besar.
Kondisi di Tepi Barat dan Gaza terus menjadi sorotan internasional, dengan berbagai upaya diplomasi dan advokasi yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional untuk mencari jalan keluar yang berkelanjutan dan stabil bagi kedua negara. (*Ibs)
Baca Juga: China Batasi Ekspor Chip untuk Keamanan Nasional saat AS Pertimbangkan Pembatasan Logam Langka
Pewarta Nusantara, Internasional - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mencatat peningkatan signifikan dalam kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pasukan Keamanan Ukraina sejak dimulainya operasi militer khusus Rusia.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mengungkapkan laporan yang menyoroti kejadian-kejadian tersebut. Dalam laporan tersebut, terdokumentasikan 75 kasus penahanan sewenang-wenang terhadap warga sipil, termasuk penghilangan paksa, yang sebagian besar dilakukan oleh otoritas penegak hukum atau Angkatan Bersenjata Ukraina.
Laporan tersebut juga mencatat kekhawatiran serius terkait penangkapan warga sipil yang terlibat dalam distribusi bantuan kemanusiaan di wilayah yang "diduduki" oleh Federasi Rusia.
Tindakan penahanan dan penyiksaan terhadap mereka yang terlibat dalam upaya kemanusiaan semakin mengkhawatirkan situasi yang sedang berlangsung di Ukraina.
Selain itu, laporan tersebut mengungkapkan adanya ruang penyiksaan yang diduga dibuka oleh Dinas Keamanan Ukraina (SBU) dengan tujuan untuk memperoleh kesaksian dari mereka yang bekerja sama dengan pihak berwenang Rusia saat kota tersebut berada di bawah kendali Rusia.
Beberapa orang dilaporkan meninggal akibat penyiksaan di ruang tersebut, dan tindakan tersebut dianggap sebagai upaya untuk menghilangkan jejak dan menyembunyikan kebenaran tentang kematian mereka.
Pada bulan Oktober, sebagian wilayah Kherson dan Zaporozhye di Ukraina yang dikuasai oleh Rusia digabungkan ke dalam Rusia setelah referendum.
Pasukan Rusia menarik diri dari tepi kanan Sungai Dnepr di Wilayah Kherson, yang kemudian diikuti oleh masuknya pasukan Ukraina ke Kherson.
Keadaan ini menimbulkan keprihatinan serius terkait pelanggaran hak asasi manusia dan penyiksaan yang terjadi dalam konteks konflik yang sedang berlangsung.
Laporan PBB ini menyoroti kebutuhan akan perlindungan hak asasi manusia yang kuat dan penegakan hukum yang adil di Ukraina.
Kasus-kasus penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia harus diteliti dengan seksama, dan pelaku yang bertanggung jawab harus diadili sesuai dengan hukum internasional.
Upaya internasional untuk mendorong dialog damai dan mencapai solusi politik yang berkelanjutan juga harus terus diperjuangkan untuk mengakhiri konflik dan mencegah pelanggaran lebih lanjut terhadap warga sipil. (*Ibs)