Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Maysaroh Istikomah

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara

Portal info lowongan kerja lokal Yogyakarta. Informasi yang ada di Akun Loker Jogja sudah melalui verifikasi Super Tim Jobnas.

Maysaroh Istikomah Maysaroh Istikomah
1 tahun yang lalu

Pembentukan karakter kebangsaan erat kaitannya dengan peranan sejarah. Figur-figur sejarah telah memainkan peran penting dalam menumbuhkan karakter kebangsaan. Salah satu figur sejarah yang patut menjadi teladan adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang juga dikenal sebagai Bapak TNI. Sosoknya yang semangat, pantang menyerah, tanpa pamrih, totalitas dalam memperjuangakan kemerdekaan, disiplin, berani namun tetap sederhana dan teguh dalam keimanan menjadikan Soedirman sebagai figur sejarah yang layak untuk diteladani. Pada sebuah kesempatan Soedirman berpidato di hadapan prajuritnya dan menyampaikan amanat yang berbunyi,


Kamu semua harus ingat,
Tidak ada kemenangan, kalau tidak ada kekuatan
Tidak akan ada kekuatan, kalau tidak ada persatuan,
Tidak akan ada persatuan, kalau tidak ada keutamaan
Tidak akan ada keutamaan,kalau tidak ada ajaran kejiwaan
yang mentasbihkan semua usaha kita kepada Tuhan

Kutipan amanat tersebut membuat kita bisa merasakan bagaimana sederhananya sosok seorang Jenderal Besar yang sangat disegani prajuritnya. Sifat rendah hati menunjukkan tingkat kesalehan yang di milikinya. Kemenangan yang ingin di raih semata-mata karena usaha bersama, terikat dalam persatuan yang menguatkan, menjadikan kepasrahan pada Tuhan sebagai landasan utama dalam perjuangan.

Amanat yang diucapkan kurang lebih 71 tahun yang lalu nyatanya masih relevan dengan keadaan bangsa saat ini, entah karena memang negeri ini masih belum sepenuhnya menerima kemenangan atau memang karena kesaktian ucapan Sang Jenderal dalam meramal masa depan. Amanat Soedirman menjadi semacam nasehat, khususnya bagi generasi milenial yang sedang bersiap melangkah menerima tampuk kepemimpinan.
Milenial menghadapi berbagai permasalahan mulai tembok kemenangan yang retak, dan perlahan-lahan runtuh karena isu SARA tumbuh subur layaknya lumut yang menggerogoti batuan. Tapi bukan hanya itu, gempa yang mengguncang “Yang Mulia”, membuat rakyat semakin khatam bahwa kekuatan hanya berpihak pada pemangku jabatan. Lantas bagaimana bisa ada persatuan jika kekuatan memenangkan kepentingan perorangan? Kaum milenial pula yang menjadi kuncinya.

Kaum milenial sedang menghadapi puncak kemenangan, bonus demografi melambungkan eksistensi mereka dalam era baru yang sedang mereka ciptakan. Memadamkan isu SARA demi menjaga persatuan Nusantara, menjadi tugas utama. Bukan hal yang mudah memang, akan tetapi bukankah Sang Jenderal berpesan,”Kejahatan akan menang bilang orang benar tidak akan melakukan apa-apa.” Kaum milenial memiliki kekuatan yang disebut sosial media, yang dapat menjadi senjata penumpas informasi hoax akan SARA, tapi akan menjadi bencana yang menyalakan api kebencian dan menghanguskan persatuan apabila tidak bijak menggunakannya. Jika dahulu Gajah Mada menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapa, rasanya memang sudah waktunya bagi kaum milenial menuangkan karya dalam berbagai tulisan di sosial media yang menyadarkan bahwa bangsa kita sedang sekarat. Mengembangkan minat masyarakat Indonesia dalam bidang literasi, merupakan salah satu bentuk dari penumpasan isu SARA untuk itulah Pewarta Nusantara hadir menjadi wadah pemersatu pemikiran-pemikiran milenial yang ingin menumpas isu peruntuh bangsa. Tugas yang berat, karena milenial bertaruh akan lebih tangguh daripada seorang Gajah Mada yang saat itu tak mengenal sosial media.

Penumpasan isu SARA, bukanlah satu-satunya tugas dari Sang Jenderal bagi kaum milenial, karena persatuan saja tidak akan cukup menggulingkan kekuatan untuk meraih kemenangan. Ada kekuatan lebih besar yang harus disadarkan pada jiwa setiap insan, tentang keutamaan melibatkan Tuhan dalam setiap langkah perjuangan. Menyadarkan makna sila pertama Pancasila, yang menjunjung tinggi arti Esa. Kekuatan tunggal yang menjadi penentu kemenangan di medan perang melawan kebatilan sang penguasa.
Pada akhirnya karakter kebangsaan bagi Soedirman bukan hanya serta merta berjuang melawan penjajahan ataupun sebatas mengisi kemerdekaan, melainkan lebih kepada mengutamakan Tuhan dalam menjalin persatuan, demi menggalang kekuatan untuk meraih kemenangan bagi Nusantara.

Amanat Jenderal Besar yang seharusnya kita laksanakan, karena jika bukan Tuhan yang kita utamakan, siapa lagi yang bisa menyatukan jiwa-jiwa yang saling berjauhan untuk dapat menghimpun kekuatan demi memenangkan sebuah harapan kemerdekaan dari kebatilan.