Hari Raya Idul Adha
Pewarta Nusantara, Entertainment – Penyanyi dangdut Ayu Ting Ting mendapat kritikan pedas dari netizen setelah membagikan foto dirinya sebagai bagian dari panitia potong daging kurban.
Netizen menilai bahwa pakaian yang dikenakan Ayu Ting Ting, terutama celana pendek yang memperlihatkan bagian pahanya, tidak pantas untuk momen Hari Raya Idul Adha.
Melalui unggahan di akun Instagramnya, Ayu Ting Ting membagikan foto dirinya memegang pisau dan Memotong Daging bersama timnya di halaman rumahnya di Depok.
Meskipun dia mengenakan baju kaos hitam yang sederhana, netizen menyoroti celana pendek yang dianggap tidak sesuai dengan kesopanan dan menghormati momen sakral Hari Raya Idul Adha.
Kritik dari netizen terhadap pilihan busana Ayu Ting Ting ini menjadi perbincangan hangat di kolom komentar postingannya.
Banyak netizen menyarankan agar Ayu Ting Ting memilih pakaian yang lebih sopan dan mempertimbangkan aturan berpakaian yang sesuai dengan konteks perayaan agama.
Meskipun banyak kritikan yang dia terima, Ayu Ting Ting tidak memberikan tanggapan atau menjawab komentar-komentar tersebut.
Tidak hanya memegang peran sebagai selebriti, Ayu Ting Ting juga aktif dalam kegiatan kurban setiap tahun bersama keluarganya.
Meskipun demikian, kontroversi ini memunculkan pertanyaan tentang pentingnya memilih pakaian yang tepat dan menghormati nilai-nilai keagamaan pada momen-momen penting seperti Hari Raya Idul Adha. (*Ibs)
Baca Juga: Lagi! Ponpes Al Zaytun, kini Muncul Ponpes Al Kafiyah yang Bikin Geger Warga
Pewarta Nusantara, Internasional – Aksi Pembakaran Al-Quran yang terjadi di depan masjid utama Stockholm, Swedia, pada tanggal 28 Juni, saat merayakan Hari Raya Idul Adha, mendapatkan kecaman keras dari negara-negara Muslim seperti Mesir, Iran, Irak, dan Arab Saudi.
Pemerintahan Arab Saudi menyuarakan kecaman mereka terhadap tindakan pembakaran tersebut dan mengecam tindakan kebencian tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip toleransi dan hidup berdampingan secara damai.
Mereka menekankan bahwa pembakaran al-Quran merusak hubungan antarbangsa dan masyarakat yang saling menghormati, yang sangat penting untuk membangun kerjasama global.
Iran juga mengutuk tindakan provokatif tersebut dan menyebutnya sebagai contoh kekerasan dan penyebaran kebencian yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Pemerintah dan rakyat Iran secara tegas menentang penghinaan terhadap kitab suci dan mengutuk aksi tersebut dengan tegas.
Sementara itu, Irak menyatakan bahwa pembakaran al-Quran di Swedia melanggar prinsip kebebasan berekspresi yang ditegaskan oleh negara-negara Barat dan dapat mengancam perdamaian dunia serta meningkatkan penyebaran terorisme dan fanatisme yang sedang mewabah.
Pemerintah Mesir juga mengecam aksi pembakaran al-Quran di Swedia saat merayakan Idul Adha sebagai tindakan memalukan.
Mereka menyampaikan keprihatinan atas serangkaian aksi pembakaran al-Quran dan meningkatnya Islamofobia dan kejahatan terkait penistaan agama yang terjadi baru-baru ini di beberapa negara Eropa.
Pemerintah Mesir menegaskan penolakan mereka terhadap tindakan keji tersebut yang mempengaruhi keyakinan agama umat Islam.
Mengkhawatirkan, aksi pembakaran al-Quran tersebut diizinkan oleh otoritas Swedia. Meskipun keputusan tersebut dianggap sah secara hukum, namun dipandang tidak pantas.
Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson, mengungkapkan bahwa keputusan polisi untuk mengizinkan aksi tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh negara mereka.
Tindakan pembakaran al-Quran di Swedia juga telah meningkatkan ketegangan antara negara-negara Eropa dan Turki, yang mendukung keanggotaan Swedia di NATO.
Aksi semacam itu menjadi salah satu pemicu meningkatnya ketegangan dan perdebatan antara negara-negara tersebut, terutama terkait kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional – Seorang pria telah melakukan tindakan kontroversial dengan merobek dan membakar Alquran di luar masjid pusat Stockholm pada hari Rabu (28/6/23).
Kejadian ini berpotensi memicu kemarahan dari Turki, terutama karena pemerintah Swedia memberikan izin untuk protes tersebut.
Serangkaian demonstrasi yang menentang Islam dan untuk hak-hak Kurdi di Swedia telah menimbulkan kekhawatiran di Ankara, sementara Swedia sedang berupaya untuk bergabung dengan Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) dan membutuhkan dukungan dari negara-negara anggotanya.
Swedia sedang mencari keanggotaan NATO sebagai respons terhadap invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu. Namun, negara anggota NATO seperti Turki telah menunda proses tersebut dan menuduh Swedia menyembunyikan orang-orang yang dianggap teroris serta menuntut ekstradisi mereka.
Sebanyak 200 orang dikabarkan menyaksikan salah seorang dari dua individu merobek halaman Alquran dan menyeka sepatunya dengan halaman tersebut sebelum memasukkan daging asap ke dalamnya dan membakar buku suci tersebut.
Sementara itu, pengunjuk rasa lainnya menggunakan megafon untuk menyampaikan pidato mereka. Beberapa orang yang hadir berseru ‘Allahu Akbar’ saat pembakaran berlangsung, sementara seorang pria ditahan oleh polisi setelah mencoba melempar batu.
Seorang pendukung demonstrasi bahkan berteriak “biarkan terbakar”. Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, mengutuk tindakan tersebut dalam sebuah cuitan di Twitter pada hari Rabu.
Sementara polisi Swedia telah menolak beberapa permohonan untuk demonstrasi anti-Alquran baru-baru ini, pengadilan telah membatalkan keputusan tersebut dengan alasan pelanggaran terhadap kebebasan berbicara.
Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson, dalam konferensi persnya pada hari Rabu, mengatakan bahwa ia tidak akan berspekulasi mengenai bagaimana protes tersebut dapat mempengaruhi proses keanggotaan NATO Swedia.
Ia menyatakan bahwa meskipun protes tersebut legal, namun tetap tidak pantas. Keputusan tentang pembakaran Alquran diserahkan kepada pihak kepolisian yang berwenang.
Salah satu dari dua individu yang terlibat dalam kejadian ini adalah Salwan Momika, yang dalam wawancara dengan surat kabar baru-baru ini menggambarkan dirinya sebagai seorang pengungsi Irak yang ingin melawan Alquran.
Direktur dan Imam masjid, Mahmoud Khalfi, menyatakan kekecewaannya atas keputusan polisi untuk memberikan izin protes pada hari raya Idul Adha.
Ia mengungkapkan bahwa masjid telah menyarankan kepada polisi untuk memindahkan demonstrasi ke lokasi lain yang diizinkan oleh undang-undang, tetapi polisi memilih untuk tidak melakukannya.
Baca Juga; Pemerintah Italia Mengeluarkan Larangan Penggunaan Nomor Punggung 88 dalam Sepak Bola
Setiap tahun, hingga 10.000 orang menghadiri Masjid Stockholm untuk merayakan Idul Adha. Tindakan pembakaran Alquran sebelumnya oleh seorang politikus sayap kanan Denmark di dekat kedutaan Turki di Stockholm pada akhir Januari telah membuat Turki menangguhkan pembicaraan dengan Swedia mengenai permohonan keanggotaan NATO. (*Ibs)
Pewartanusantara.com – Hari Raya Idul Adha, menjadi moment bagi AMY (Anisah Syakur-Ahmad Hilmy).
Pasalnya, AMY telah membagikan Hewan Qurban kepada masyarakat di Probolinggo dan Pasuruan, termasuk di kabupaten dan kota.
Pembagian hewan qurban dilakukan secara serentak oleh tim AMY di setiap kecamatan dan kelurahan.
Ketua AMY di Probolinggo, Akiduddin, mengatakan, “Alhamdulillah, hari ini pembagian hewan qurban kepada setiap kecamatan di Probolinggo dan Pasuruan, baik di kota maupun kabupaten, telah selesai dilakukan” (27/06/2023).
Jumlah hewan qurban yang dibagikan oleh AMY sebanyak 100 ekor, terdiri dari 20 ekor sapi dan 80 ekor kambing.
“Dalam tahun ini, AMY telah membagikan 80 ekor kambing dan 20 ekor sapi di seluruh Kabupaten/Kota Probolinggo-Pasuruan,” tambahnya.
Akiduddin juga memohon maaf karena Anisah dan Hilmy tidak dapat secara langsung ikut serta dalam pembagian hewan qurban.
“Mohon maaf kepada Ibu Nyai (panggilan akrab Anisah) dan Gus Hilmy karena mereka tidak dapat bergabung dalam pembagian ini, karena sedang menjalankan ibadah haji dan Gus Hilmy memiliki kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan,” ungkap Akiduddin.
Pembagian hewan qurban mendapat sambutan yang sangat antusias dari masyarakat, dan mereka berharap agar jumlahnya dapat ditingkatkan pada tahun depan.
Pewarta Nusantara, Jakarta – Penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1444 Hijriyah untuk Hari Raya Idul Adha kembali mengalami perbedaan antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Zulhijjah 1444 Hijriyah jatuh pada Selasa, 20 Juni 2023, sementara Muhammadiyah menetapkan tanggal tersebut jatuh pada Senin, 19 Juni 2023.
Perbedaan ini juga berdampak pada pelaksanaan Hari Raya Idul Adha 1444 H, di mana pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) merayakannya pada Kamis, 29 Juni 2023, sedangkan Muhammadiyah merayakannya sehari sebelumnya, pada 28 Juni 2023.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi berharap agar perbedaan ini tidak menonjolkan perbedaan di antara mereka yang merayakan Idul Adha.
Menurutnya, perbedaan ini harus disikapi dengan sikap toleransi dan saling menghargai untuk mencari titik temu persamaan yang dimiliki.
Zainut menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi bukanlah untuk saling mencaci, melainkan perbedaan tersebut perlu dihadapi dengan sikap tasamuh dan toleransi.
Muhammadiyah mengusulkan agar libur Idul Adha ditetapkan selama dua hari sebagai langkah mengantisipasi perbedaan penetapan hari raya antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Usulan ini disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Dia berharap agar usulan ini dapat disetujui oleh pemerintah sehingga umat Muhammadiyah dapat melaksanakan salat Id dengan tenang dan khusyuk.
Namun, keputusan mengenai opsi libur selama dua hari tersebut masih dalam tahap pembahasan oleh pemerintah.
Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi menyampaikan bahwa opsi libur selama dua hari untuk Idul Adha 2023 belum diputuskan oleh pemerintah.
Meskipun begitu, Menteri Agama Yaqut Cholil Basa mendengarkan aspirasi yang disampaikan masyarakat dan sedang berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait.
Keputusan mengenai libur bukan merupakan kewenangan Kementerian Agama, namun pihaknya berikhtiar untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan akan membawa masalah ini dalam rapat binmas yang lebih luas.
Sementara itu, belum ada arahan dari Presiden Joko Widodo terkait cuti bersama untuk merespons usulan tersebut. Perbedaan penetapan tanggal Hari Raya Idul Adha antara Muhammadiyah dan pemerintah menimbulkan beberapa pertimbangan dan reaksi dari berbagai pihak. Hal ini mengundang diskusi tentang harmonisasi dalam perayaan hari raya keagamaan di Indonesia.
Pemerintah dan Kementerian Agama bertanggung jawab atas penetapan tanggal Hari Raya Idul Adha berdasarkan metode hisab dan rukyat yang dipercaya untuk menentukan awal bulan Hijriyah.
Namun, perbedaan dalam penentuan ini tidak jarang terjadi dalam sejarah Indonesia. Meskipun ada perbedaan pendapat, baik Muhammadiyah, NU, maupun pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga kerukunan antarumat beragama.
Dalam menghadapi perbedaan ini, penting bagi masyarakat untuk menjaga sikap saling menghargai dan mengedepankan toleransi.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menekankan pentingnya mencari titik temu persamaan dalam perbedaan yang ada. Sikap tasamuh dan toleransi harus diterapkan agar perbedaan dalam penetapan tanggal tidak menjadi sumber konflik atau perpecahan.
Muhammadiyah mengusulkan agar libur Idul Adha ditetapkan selama dua hari sebagai langkah praktis untuk mengakomodasi perbedaan tersebut.
Usulan ini muncul dengan tujuan agar umat Muhammadiyah dapat merayakan Hari Raya Idul Adha dengan lebih khidmat tanpa harus terganggu dengan kewajiban bekerja.
Namun, keputusan mengenai libur tersebut masih dalam proses pembahasan oleh pemerintah dan belum ada arahan resmi terkait hal ini.
Pemerintah, termasuk Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, menyatakan perlunya pertimbangan yang matang dalam menetapkan kebijakan libur.
Faktor-faktor seperti efektivitas pelayanan publik, keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan sosial, serta arahan presiden menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan.
Perbedaan penetapan tanggal Hari Raya Idul Adha memperlihatkan dinamika dan kompleksitas dalam menjaga keharmonisan dan pluralitas di Indonesia.
Namun, melalui dialog dan kerjasama antara Muhammadiyah, NU, dan pemerintah, diharapkan dapat ditemukan solusi yang terbaik untuk kepentingan umat Islam dan masyarakat secara keseluruhan.
Semua pihak perlu berupaya untuk memperkuat toleransi, saling menghormati, dan memperdalam pemahaman tentang pentingnya kerukunan beragama dalam menjaga keberagaman yang ada di Indonesia. (*Ibs)