Author Archives: Agus S Efendi
Pewartanusantara.com – Setelah hampir 20 tahun perjuangan Taliban di pinggir kekuasaan, di bulan Agustus yang lalu mereka mulai mengambil alih beberapa kota penting di Afghanistan yang puncaknya adalah mereka berhasil menduduki ibu kota Kabul. Menyadari bahwa kekuasaanya segera berakhir, Ashraf Ghani tampil dihadapan publik dan meminta proses perlaihan kekuasaan tidak perlu disertai dengan pertumpahan darah. Ia lalu meninggalkan Istana Presiden dan terbang untuk mengungsi ke negara tetangga. Hal ini perlu dilakukan selain karena khawatir tentang keselamatan dirinya sendiri, Ia juga tidak ingin Afghanistan terjebak (lagi) dalam situasi perang sipil.
Pada titik tertentu, fenomena peralihan kekuasan itu mencerminkan kegagalan dari salah satu kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam upaya perang terhadap terorisme. Dalam dua dekade ke belakang, upaya intervensi Amerika di Afghanistan lebih bertumpu pada dua hal yaitu pembangunan kekuatan keamanan dan upaya demokratisasi. Untuk yang pertama, hal ini tampak dalam perekrutan dan pembentukan pasukan keamanan yang (diharapkan) loyal terhadap pemerintah yang berkuasa. Dari laporan tentang kapasitas keamanan, setidaknya ada sekitar 300 ribu lebih pasukan keamaan yang dapat dimobilisasi baik untuk mempertahankan kekuasaan ataupun untuk menekan militansi Taliban.
Di samping itu, demokratisasi di Afghanistan terlihat cukup jelas dalam penyelenggaraan pemilu dan penguatan kekuatan sipil lewat lembaga-lembaga donor. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pasukan keamanan yang telah disupport dana puluhan juta dollar seakan menyerah begitu saja? Dan bagaimana kekuatan sipil merespons perubahan drastis tersebut?
Meneropong TalibanSejauh ini, tidak sedikit pengamat yang telah membagikan pandangannya tentang apa yang bisa dipelajari tentang kemenangan Taliban. Paling tidak pandangan mereka mengarah pada dua tendensi. Yang satu cenderung berpandangan alarmist atau jadi penabuh genderang bahaya. Cara pandang ini selalu ditopang oleh kerangka berpikir essensialist yang mana Taliban adalah kelompok radikal-konservatif yang tampak banyak kejelekannya. Mereka kerap memanggil kembali memori kelam masa lalu sebagai dasar legitimasinya.
Tentu pandangan yang demikian tidak salah sama sekali, tapi kurang tepat dalam memahami sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk berubah. Dalam pandangan ini tidak muncul pertanyaan tentang apa perbedaan Taliban yang sekarang dengan Taliban yang dulu? Salah satu konsekuensinya adalah rasa khawatir yang bertumpuk-tumpuk baik itu tentang nasib perempuannya ataupun represi dari konservatisme.
Yang lainnya cenderung bersikap realist. Dalam cara pandang ini penilaian terhadap Taliban akan selalu mempertimbangkan peluang dan hambatan dalam gerak realitas sosial. Bagi seorang realist, Taliban tentu akan mengambil langkah-langkah pragmatis, berbeda jauh dengan apa yang dulu pernah mereka lakukan, karena tahu bahwa kekuasaan yang efektif butuh dari sekadar ideologi ataupun aparat yang siap bertindak represif. Artinya ada persolaan lain yang tidak kalah penting yaitu sumberdaya ekonomis, stabilitas politik, dan tingkat peluang-peluang sosial.
Tanah Para GerilyaRute sejarah bangsa Afghanistan dalam setengah abad terakhir digerakkan oleh kobaran api perjuangan. Di awal era 80an dunia telah menyaksikan bagaimana negara superpower Uni Soviet mengintervensi negeri ini dengan kekuatan militer sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu faksi politik yang berkuasa saat itu. Di lain pihak, kedatangan tentara merah ini mengundang perlawanan rakyat karena tidak ingin negera yang mereka cintai dijadikan negara boneka. Peperangan antar keduanya pun tak terelakkan. Dalam perang ini pasukan Mujahidin melakukan gerilya untuk mengimbangi persenjataan canggih milik tentara Soviet. Selama perang ini berlangsung diperkirakan lebih dari ratusan ribu nyawa melayang dan membuat jutaan orang mengungsi.
Setelah tentara Soviet ditarik mundur, gejolak di Afghanistan tidak menunjukkan tanda akan mereda. Alasannya pasukan Mujahidin masih meragukan legitimasi pemerintah saat itu karena memiliki hubungan yang erat dengan pihak Soviet. Pasukan Mujahidin pun bergerilya untuk menggulingkan kekuasaan yang bertempat di Kabul. Dalam perkembangannya antar faksi pasukan Mujahidin, yang dimobilisasi oleh pemimpin militant lokal (warlord), pun berperang satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain Afghanistan terjebak dalam perang sipil yang berlarut-larut.
Dalam situasi Afghanistan yang kacau-balau seperti itu Taliban muncul. Kelompok ini memiliki tujuan membebaskan rakyat dari kepeminpinan yang korup dan membentuk masyarakat islam yang asli. Dengan dukungan secara tidak langsung dari Pakistan, Taliban pun mulai melakukan pergerakan dan berusaha mengambil alih kota-kota penting. Sampai akhirnya mereka berhasil menduduki Kabul pada akhir September 1996.
Saat Taliban memegang kendali kekuasaan perdamaian masih tak kunjung datang. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya faksi oposisi yang menduduki wilayah utara Afgahnistan. Kedua kekuatan ini punya pendukungnya masing-masing. Yang satu di dukung oleh Pakistan dan Arab Saudi. Yang lainnya di dukung oleh NATO, Iran dan Russia. Dalam barisan pasukan Taliban terdapat kelompok militan Al-Qaeda yang terkenal sangat anti-Amerika. Ketika kelompok ini meneror Amerika lewat pengeboman bunuh diri menara kembar WTC, seluruh dunia mulai menyadari potensi aksi terorisme yang disertai paham radikal. Setelah peristiwa 9/11 itu, Amerika mengerahkan pengaruh dan kekuatan militernya untuk berperang melawan terorisme. Sebagai konsekuensi Taliban yang tengah berkuasa di Afghanistan harus bersiap menerima intervensi militer oleh kekuatan hegemonik global.
Dalam tempo yang relatif singkat tentara NATO mampu memaksa mundur pasukan Taliban ke daerah pinggiran. Dengan demikian Afghanistan juga mengalami kekosongan kekuasaan. Tidak lama berselang pemerintahan baru pun dibentuk. Merespon hal ini pasukan Taliban melakukan perlawanan kembali dengan bergerilya. Bagi mereka perlawanan ini adalah bentuk pembebasan Afghanistan dari cengkraman Amerika.
Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa sejarah bangsa Afghanistan diwarnai oleh perjuangan berdarah para gerilyawan melawan kekuatan asing yang beraliansi dengan rezim yang berkuasa. Namun ongkos yang harus dibayar begitu mahal. Langkanya stabilitas politik atau visi kesepahaman membuat rakyat Afghanistan menderita dan terteror oleh ketidakpastian. Hal ini membuat tingkat kesejahteraan, pendidikan dan layanan kesehatan masih kurang begitu berkembang. Lalu mampukah Taliban mengatasi persoalan yang berat ini?
Beberapa dewasa terakhir ini para ilmuwan politik disibukkan oleh isu mengenai apakah demokrasi yang jadi anak kandung modernitas sedang mengalami krisis baik secara teoretis maupun praktik. Beragam istilah dicetuskan untuk mengidentifikasi kenyataan politik di penghujung abad ke 20 seperti the burden, collapse dan death untuk dipasangkan dengan demokrasi. Ada apa gerangan dengan sistem demokrasi yang diagungung-agungkan tersebut? Sebagian pendukung demokrasi liberal mengatakan bahwa demokrasi sedang terancam oleh musuh yang bernama fundamentalisme agama, kelompok intoleran dan otoritarianism.
Sebagai konsep yang universal demokrasi selama ini lebih diartikan sebagai sistem politik yang beroperasi dalam negara. Implikasinya, lahir berbagai asumsi dogmatis yang menyebut negara itu berdaulat, memiliki kepentingan dan berlaku selamnya. Rupanya kedaulatan negara itu tidak mungkin akan terselenggara jika sebagian besar rakyat juga berdaulat atau paling tidak memiliki niat untuk memperjuangkannya. Tegangan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara tersebut yang menyebabkan demokrasi sebagai sistem menjadi krusial. Bahasa mudahnya hubungan oposisional antara negara dan rakyat sipil harus tetap bertegangan sama kuat.
Awal abad ke 21 situasi perpolitikan dunia bergejolak kembali dengan adanya konfrontasi barat dan timur (lebih diwakili oleh islam). Bagi barat islam adalah seorang anak dekil yang mengancam hegemoni modern. Peristiwa 9/11 merupakan titik balik diskursus global yang membawa islam lebih dikenal oleh peradaban modern meskipun secara simplistik maupun simpatik. Pengenalan barat terhadap islam yang bersifat simplistik membuahkan berbagai wabah seperti islamophobia dan fanatisme supremasi ras putih. Bagi mereka yang simpatik terhadap islam, berkembang suatu dialog yang hangat serta kerja sama untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam menangani isu-isu toleransi, terorisme dan ekstemisme.
Para ilmuwan politik lebih menyukai pendekatan institusional dalam membahas demokrasi karena praktis. Konsekuensinya pembahasan maupun analisis yang dihasilkan tidak akan jauh dari instruksionis, top-down efek dan rasional. Begitu pula yang dilakukan oleh Mietzner dalam artikel yang berjudul Fighting Illiberalism with Illiberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia yang terbit di Pacific Affairs edisi 91. Corak pembahasan yang institusionalis sangat meyakini akan peran negara dalam mempengaruhi lanskap perpolitian. Dengan demikian mereka juga mengandaikan suatu kondisi yang relatif stabil mengenai realitas politik dimana negara masih kuat. Kekuasaan negara itu sendiri dapat dikenali melalui kebijakan yang diambil dalam mengatur masyarakat.
Sesungguhnya potret realitas politik yang belakangan menjadi perhatian adalah kemunculan gerakan populisme islam di Indonesia. Menariknya fenomena populisme itu sering dipahami dalam kacamata demokrasi liberal yang mengagungkan hak-hak asasi manusia di atas asas-asas lain. Populisme dapat diartikan sebagai gerakan sosial anti kemapanan yang dimobilisasi untuk meningkatkan kekuatan pihak tertentu. Untuk konteks Indonesia, populisme digandengkan dengan islam karena secara demografis ia adalah mayoritas. Kenyataan tersebut mempengaruhi lanskap sosial-politik masyarakat yang mana para pihak yang berkepentingan selalu menjual isu-isu yang berkaitan dengan umat islam.
Genealogi populisme islam di Indonesia dapat ditelusuri hingga era 90 an ketika rezim orde baru membutuhkan dukungan umat islam untuk menstabilkan roda pemerintahannya setelah terjadi konflik di dalam tubuh militer. Saat reformasi digaungkan dan seluruh masyarakat sedang fanatik dengan kebebasan, kelompok islam fundamental mengambil kesempatan dengan membangun jaringan gerakan dan berupaya mempengaruhi keputusan pemerintah melalui jalan protes maupun tindakan intoleran, FPI misalnya. Di tengah gelombang populisme islam tersebut lahir label syariah dan halal. Hal tersebut telah mematahkan berbagai dogma sekularisme yang meyakini bahwa semakin modern suatu masyarakat maka agama juga semakin terdomestifikasi.
Respons pemerintah terhadap populisme yang dipandang mengancam proses demokratisasi dapat dikategorikan dalam tiga tipe kebijakan. Pertama militan, kebijakan yang bersifat radikal diambil tidak peduli terhadap pelanggaran terhadap hak-hak asasi warga negara. Contohnya dengan menerapkan pembubaran/pelarangan dan sangsi hukum. Kedua akomodasi, di sini pemerintah bersikap inklusif terhadap segala praktik politik termasuk intoleransi. Bagi penganut paham kedua ini menoleransi tindakan intoleran adalah hal yang niscaya. Mereka berasumsi bahwa perilaku intoleran akan berhenti dengan sendirinya melalui proses sosial tanpa ikut campur kekuasaan negara. Terakhir lokalisir, tidak lain adalah gabungan dari kedua tipe kebijakan di atas yang artinya pemerintah diperkenankan untuk mengintervensi sejauh itu dibutuhkan.
Populisme islam yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 2016 telah di respons oleh pemerintah dengan melalukan pendekatan militan. Pembubaran HTI, kriminalisasi kasus Rizieq Shihab dan tuduhan isu makar merupakan bukti yang bisa disodorkan. Jika dibandingkan dengan rezim sebelumnya kebijakan yang diambil jauh berbeda, SBY dalam menghadapi populisme lebih cenderung bersikap akomodatif. Sekarang, rezim Jokowi tampak garang menghadapi populisme dalam menegakkan demokrasi. Namun sayangnya langkah kebijakan tersebut hanya akan menghambat gerak populisme islam tidak pada gagasannya. Artinya kebijakan tersebut lebih bersifat jangka pendek yang hanya mengamankan rezim yang berkuasa. Dengan kata lain rezim Jokowi cenderung konservatif.
Terakhir, pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah populisme islam selalu mengancam demokrasi? Mengapa praktik populisme dikatakan illiberal? Dan bagaimana sebaiknya respons negara terhadap populisme?
Dalam tulisannya Populisme Islam in Indonesia and Middle East, Vedi Hadiz mengatakan bahwa fenomena menguatnya islam politik di Indonesia merupakan gejala yang umum jika dibandingan dengan fenomena politik di belahan dunia yang lain. Kalau di Indonesia sibuk dengan populisme islam lain halnya di eropa yang sedang bergulat dengan populisme kanan atau etnonasionalisme. Populisme itulah yang menentang kedatangan pengungsi dan getol mengukuhkan supremasi ras kulit putih.
Pupulisme merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kontestasi politik modern. Ia adalah manifestasi dari konflik sosial yang mengakar dalam sejarah, perbenturan ideologi serta perebutan sumber daya ekonomi. Para pengamat politik lebih mendekati fenomena populisme dengan dua cara. Pertama populisme sebagai dampak dari wacana ideologi dan yang terakhir sebagai organisasi atau gerakan sosial.
Pendekatan yang pertama lebih mengacu pada representasi gagasan yang menjadi landasan bertindak suatu kelompok tertentu. Pengalaman Indonesia merupakan contoh yang jelas ketika terjadi pembelahan ideologi antara nasionalis, islamis dan komunis. Nasnya setelah peristiwa 1965, komunisme dimatikan daya geraknya dan distigmatisasi sebagai ideologi yang berbahaya. Pendekatan yang kedua lebih cenderung membaca populisme sebagai corak berpolitik anti kemapanan yang di tampilkan dalam aksi-aksi massa untuk meningkatkan daya tawarnya di hadapan kekuasaan. Misal aksi bela islam 212 yang menuntut penista agama agar dipenjara. Dengan ungkapan lain populisme yang bercorak gerakan politik ini berperan sebagai kelompok penekan yang ingin mempengaruhi keputusan poliik.
Kemunculan populisme sendiri tidak dapat dilepaskan dari situasi dunia modern yang tengah terglobalisasi. Kapitalisme sering disebut sebagai pendorong utama modernitas yang membuat masyarakat semakin kompleks. Kapitalisme jangan sampai dibiarkan sendiri karena memiliki kontradiksi yang dibawanya sejak lahir. Kontradiksi adalah nama lain dari keadaan dimana perekonomian sedang mengalami krisis. Salah satu indikator yang dapat dijadikan acuan adalah tingkat ketimpangan (gini ratio).
Kalau melihat data statistik mengenai ketimpangan dunia selama beberapa dekade terakhir menggambarkan tren yang semakin meningkat. Artinya kapitalisme telah mencapai fase krisis yang akut. Salah satu cara yang cukup ampuh untuk mengobati penyakit endemik kapitalisme adalah mengontrolnya lewat kekuasaan negara. Intervensi negara dibutuhkan untuk mendistribusikan pemusatan modal ke kantong-kantong perekonomian. Jadi perubahan masyarakat akan ditentukan oleh tegangan antara peran negara dan pasar.
Penyederhanaan peran negara menjadi persoalan besar ketika yang diukur semata-mata adalah kinerja pemerintahan. Padahal peran negara yang paling mendasar adalah menjaga, melindungi dan melayani kepentingan setiap warga negara. Pemerintah memang eksekutor dalam setiap agenda politik yang dirumuskan oleh legislatif. Akan tetapi gambaran ideal tentang peran negara tersebut sering tidak sejalan dengan kenyataan. Misalnya para elite yang sering melakukan transaksi politik (klientisme). Praktik tersebut hanyalah upaya ingin menancapkan cakar kekuasaannya atau mengorupsi jatah rakyat.
Untuk saat ini populisme yang bisa tumbuh di indonesia adalah islamis dan nasionalis. Hal tersebut berkaitan dengan pembelahan ideologis yang sudah menyejarah dalam kehidupan bangsa. Nasionalisme sebagai perekat kebangsaan mendapatkan daya legitimasinya lewat pancasila yang dipandang mampu merangkum semua gagasan tentang keindonesiaan. Di samping itu, bayangan persatuan indonesia juga diperoleh dari islam. Istilah umat dapat memberikan suatu pandangan tentang imagined community yang diikat oleh kesamaan iman dan ajaran.
Perbandingan corak populisme di Indonesia dengan yang terjadi di Mesir dan Turki terletak pada skala aliansi yang terbentuk. Kasus di Mesir menggambarkan bahwa populisme islam yang dimotori oleh IM mampu menjaring aliansi dalam skala yang luas bahkan antar kelas. Kelompok pembaharu tersebut menerapkan strategi yang inklusif terutama pada orang-orang miskin dan marjinal maupun kelas menengah. Ketika eskalasi politik meningkat dan terjadi pergolakan, mereka bersatu untuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Begitu pula yang terjadi di Turki, Partai AKP yang menjadi platform sebagian besar masyarakat dari berbagai golongan.
Berbeda halnya dengan Indonesia, populisme islam menampilkan kesan yang eksklusif. Corak gerakan politik islam tersebut diperoleh lantaran hanya memanfaatkan kekuatan kelas menengah perkotaan. Di samping hambatan kultural dan kontestasi diantara kelompok islam, politik islam juga tidak memiliki sumber ekonomi yang cukup kuat. Hal tersebut secara tidak langsung membuat pilihan strategi politik terbatas. Jika ditinjau lebih dalam mengenai kelas menengah urban, komposisi utamanya adalah pengusaha, pedagang dan pegawai baik di sektor swasta maupun negeri. Keterbatasan tersebut juga dipengaruhi oleh struktur ekonomi yang terkonsentrasi di tangan negara. Untuk sektor swasta ekonomi lebih banyak dikuasai oleh etnis tionghoa. Dua kekuatan tersebut sering disebut sebagai oligarki karena keuntungan yang bersifat timbal balik.
Perkembangan teknologi informasi yang bersifat simultan membawa dampak yang signifikan terhadap situasi dan kondisi peradaban manusia di abad 21. Infrastruktur teknologi tersebut dibangun ketika umat manusia mulai mencurahkan sumber daya yang dimilikinya untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Penemuan radio dan televisi merupakan titik balik kehidupan modern yang mana informasi dapat disebarluaskan secara langsung. Namun alat komunikasi massal tersebut memiliki keterbatasan terutama dalam hal penyimpanan dan perekayasaan informasi. Lalu era digital datang memberikan solusi yang ditandai dengan penemuan komputer dan teknik jaringan dua arah (networking).
Jaringan internet menjadi wahana baru bagi masyarakat dunia (khususnya negara) untuk memenangkan persaingan. Mula-mula yang pertama kali menerapkan jenis jaringan ini adalah sektor keuangan. Jika menengok sejarah, klausul Breeton Wood yang menjadi titik awal kebijakan bercorak neo-liberal mendapatkan pijakannya yang berupa jaringan keuangan internasional. Kemudian hal tersebut memperoleh jalan mulus setelah blok komunis runtuh yang berarti gagasan mengenai globalisasi dan pasar bebas tidak bisa ditolak oleh dunia. Dengan begitu sebagai satu-satunya negara adidaya, Amerika memiliki hak untuk menetapkan kebijakan global terutama pada mata uangnya sebagai alat tukar internasional.
Konsentrasi kekayaan dunia yang berupa modal di negeri paman Sam telah menyuburkan daya inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak sedikit para ilmuwan avant-garde yang melakukan penemuan-penemuan penting dan membangun bisnis berteknologi tinggi di negara ini. Tidak salah kalau Silicon Valley sebagai pusat kendali sekaligus bengkel teknologi maju menjadi markas perusahan besar seperti Microsoft, Alphabet dan Facebook. Ketiga perusahaan tersebut menduduki posisi puncak dalam hal pendapatan. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir dominasi perusahaan teknologi informasi mulai diancam oleh perusahaan retail seperti Walmart, Amazon dan Alibaba namun kedigdayaan mereka masih sulit dilampaui. Alasannya cukup sederhana sebab teknologi informasi mampu menjangkau setiap aspek kehidupan masyarakat dibandingkan dengan teknologi retail yang hanya berurusan dengan komoditas yang dibutuhkan masyarakat. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah: apakah perkembangan masyarakat di abad 21 dengan corak teknologi informasi juga mengubah bentuk kapitalisme? Jika jawabannya positif maka seperti apa sebenarnya wajah kapitalisme di era digital dan menjadikannya berbeda dengan kapitalisme terdahulu?
Dalam menjawab dua pertanyaan diatas pertama-tama akan dibahas perubahan bentuk kapitalisme semenjak revolusi industri hingga masa kini secara umum. Tugas utama dari penjelasan ini tidak lain adalah untuk memberikan gambaran mengenai proses evolusi kapitalisme yang berdialektika dengan kondisi masyarakat dunia. Saya ingin membuktikan tesis yang mengatakan bahwa kapitalisme akan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Bagian kedua dari pembahasan dalam artikel ini akan lebih ditujukan pada fenomena kapitalisme digital yang beroperasi di era informasi. Shoshana Zuboff menjuluki fenomena tersebut dengan “Surveillance Capitalism” yang memiliki struktur logika tersendiri dan menjadikan pengalaman individu sebagai bahan bakunya.
Baca juga: Metamorfosis Kapitalisme
Sebetulnya sejarah peradaban eropa dapat didekati secara ekonomi dengan menggunakan konsep kapital. Kapital yang dimaksud di sini adalah semua jenis kekayaan yang muncul dari proses ekonomi baik dalam berupa penghasilan tenaga kerja maupun penghasilan modal. Kapitalisme sendiri pada dasarnya tidak terbatas pada segala upaya memperoleh keuntungan (utilitarianism) tetapi juga suatu proses akumulasi modal yang dilandasi prinsip kepemilikan pribadi. Seorang pedagang di zaman imperial belum dikatakan kapitalis jika belum mengakumulasikan keuntungannya untuk berekspansi. Akan tetapi mustahil jika ada seorang pedagang yang tidak berekspansi sebab pada saat itu kebanyakan dari mereka bekerja sama dan membentuk suatu korporasi seperti VOC. Jika membaca The Wealth of Nation karya Adam Smith, akumulasi kapital dilakukan untuk meningkatkan kekayaan negara. Dalam bayangan dia, kekayaan negara diraih pada saat produksi industri manufaktur dan perdagangan atar negara diserahkan kepada pasar. Smith mengatakan bahwa negara yang besar tidak akan pernah dimiskinkan oleh pemilik modal. Buku tersebut sering disebut sebagai kitab suci para kapitalis karena telah memberikan landasan teoretis bagi perkembangan sistem kapitalisme pasar. Mudahnya jenis penjelasan ini dapat dikatakan sebagai pembacaan liberal terhadap kapital. Pembacaan lain terhadap kapital diberikan oleh Karl Marx dalam karya monumentalnya Das Capital yang menelanjangi habis-habisan mekanisme penindasan kaum borjuasi terhadap kelas pekerja dalam struktur perekonomian industrial. Sebagai model pembacaan yang bertentangan dengan aliran liberal, Marxisme mampu memberikan daya emansipatif terhadap suatu gerakan politik internasional yang peduli terhadap kelas pekerja atau kaum tertindas. Titik kontras dari kedua aliran tersebut terletak pada asumsi dasar mereka dalam memandang kesejahteraan. Marx yang sering dianggap sebagai nabi bagi penganut sosialis maupun komunis lebih berorientasi pada kesetaraan bahkan tidak ragu untuk mengidealkan masyarakat tanpa kelas.
Dua model pembacaan diatas merupakan corak khas masyarakat industrial yang ditandai dengan berkembangnya teknologi produksi serta situasi kekuasaan politik kolonial. Abad ke 19 merupakan periode krusial dimana kapitalisme mulai menjadi sistem ekonomi yang mapan yang didukung oleh tumbuhnya gagasan politik negara bangsa. Pada awal abad ke 20 sistem ekonomi tersebut memasuki babak baru dengan proses pengintegrasian secara global. Masa ini dikenal sebagai kapitalisme modern (Taylorism/Fordism) yang memiliki ciri pokok standarisasi produksi massal serta konsumsi secara massal. Bentuk kapitalisme ini kemudian mengembangkan suatu teknik pengorganisasian secara efisien dalam industri manufaktur yang sekarang disebut sebagai manajemen. Para manajer produksi ini kemudian menjadi kelas menengah yang memperantarai pihak pemilik modal dan pekerja pabrik. Namun kapitalisme modern yang digawangi oleh negara eropa barat dan Amerika mendapatkan tantangan dari Uni Soviet yang menerapkan sistem sosialis. Anehnya, pada Perang Dunia II dua blok yang bertentangan tersebut malah bekerja sama dalam menghancurkan Fasisme.
Kepercayaan atas mekanisme pasar (laissez faire) yang dianut oleh kaum kapitalis runtuh seketika saat gelombang depresiasi besar pada 1930 menerpa perekonomian dunia. Salah satu tokoh yang muncul di saat itu adalah J.M Keynes yang memberikan rekomendasi kebijakan yang secara umum mendorong negara agar lebih mengintervensi pasar. Pemikiran yang bercorak keynessian sangat dekat dengan konsep welfare state yang menjadi andalan kelompok sosial demokrat. Tidak lama setelah PD II berakhir yang juga berarti dibutuhkan investasi kapital agar pasar dunia mulai menggeliat malah dihambat oleh intervensi negara. Untuk mengatasi persoalan tersebut pemikiran keynessian perlu direvisi dan disesuaikan untuk kelancaran arus modal. Salah satu tokoh sentral dalam masa penyesuaian ini adalah F.A. Hayek (seorang fanatik liberal-classic) yang menaruh keyakinan mendalam pada kekuatan pasar. Ia berpandangan bahwa peran negara seharusnya hanya menjaga aturan hukum tanpa ikut campur untuk mengintervensi pasar.
Perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme pada paruh kedua abad ke 20 menjadi milik neo-liberal. Meskipun masih terdapat sistem ekonomi tandingan yang diterapkan di Uni Soviet akan tetapi ia masih kalah jauh dalam daya kreasi dan inovasi dengan sistem kapitalis. Situasi politik yang totaliter dan perencanaan ekonomi terpusat membuat masyarakat jenuh dan mengakibatkan produktivitas stagnan. Kondisi sebaliknya dialami oleh Amerika yang menerapkan demokrasi dan liberalisme pasar, hal tersebut mampu menciptakan iklim perekonomian yang kompetitif. Selama masa perang dingin, blok barat sedang mengembangkan suatu bentuk kapitalisme keuangan yang memudahkan transaksi perdagangan maupun arus modal investasi antar negara. IMF dan Bank Dunia adalah perangkat institusi yang mengurusi persoalan tersebut. Setelah Soviet runtuh, Amerika mulai memperoleh status hegemonik dengan menyebarkan gagasannya mengenai perdagangan bebas secara global (mendirikan WTO). Arus globalisasi ini mendapatkan akselerasi berkali lipat dengan bantuan teknologi internet.
Awal abad 21 adalah masanya masyarakat global menerima konsekuensi pertama dari perkembangan teknologi informasi. Istilah disrupsi ekonomi muncul untuk menandai suatu masa ketika para newcomer mampu menawarkan suatu model ekonomi yang lebih efisien dari sebelumnya. Jika di abad sebelumnya yang merajai adalah bisnis transportasi maka sekarang gilirannya untuk bisnis teknologi komunikasi. Kehidupan masyarakat di masa kini tidak bisa dilepaskan dengan hadirnya alat berteknologi canggih seperti handphone dan komputer. Kedua alat tersebut telah mengubah hubungan pola relasi sosial yang juga berimplikasi pada terbukanya model ekonomi baru. Dengan dibangunnya infrastruktur jaringan internet yang berperan besar dalam mempercepat (efektifitas) relasi sosial secara langsung tanpa harus terkendala jarak ruang. Dalam kondisi yang seperti ini tumbuh corak baru kapitalisme yang beroperasi dalam teknologi informasi. Di sini apa yang dipandang bernilai tidak hanya sebatas pada barang dan jasa tetapi juga informasi. Informasi begitu penting karena akan mempengaruhi pengetahuan yang manusia miliki. Dalam informasi yang diproduksi maupun dikonsumsi terkandung apa preferensi, ketertarikan dan kecenderungan tertentu. Lah, satu-satunya pihak yang merekam atau mengawasi itu semua adalah platform teknologi informasi yang memiliki kuasa untuk mengakses dan memanipulasinya. Tidak ada hal yang rahasia dalam dunia internet kecuali bagi yang pertama kali menemukannya.
Masyarakat informasi secara tidak sadar dikontrol oleh suatu logika kekuasaan tertentu yang bahan bakarnya adalah tingkah laku keseharian di dunia maya. Logika tidak mungkin bisa berdiri sendiri tanpa disertai oleh motif atau jenis kepentingan tertentu. Dengan kata lain ia bersifat politis, dan tidak ada yang lebih politis daripada penguasaan ekonomi. Bagian selanjutnya akan membahas persoalan tersebut dengan mengacu pada konsep Surveillance Capitalism.
Metamorfosis Kapitalisme
Kapitalisme Industrial | Kapitalisme Modern | Kapitalisme Financial | Kapitalisme
Digital |
|
Konteks | Mekanisasi model produksi | Manajerialisasi struktur organisasi | Integrasi sistem dunia | Jaringan informasi global |
Karakter | Eksploitasi dan division of labor | Standarisasi dan consumerism
(Fordism) |
Privatisasi dan deregulasi
(Reaganomic) |
Innovative and Surveillance |
Perdebatan | Kapitalis vs Marxis | Liberalisme vs Keynessian | Globalisasi vs Anti-Globalisasi
|
Inequality-ecologi |
Baca juga: Surveillance Capitalism
Dari segi etimologis Surveillance berasal dari bahasa Prancis yang berarti pengawasan yang berlebihan. Pengawasan mungkin lebih dekat dengan badan intelligent yang memiliki kepentingan dalam mengamankan negara dari segala bentuk ancaman. Jika ditelusuri lebih lanjut, Surveillance sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gagasan M. Foucault tentang panoptic dalam bukunya Discipline and Punish. Ia mengatakan kalau modifikasi perilaku manusia dilakukan dengan proses pendisiplinan yang alat utamanya adalah pengawasan. Ia mengkritik masyarakat modern yang setiap harinya sangat disiplin tidak ubahnya seperti tahanan penjara. Pertanyaannya adalah apakah informasi digital juga merupakan salah satu jenis penjara yang membatasi kebebasan manusia? Kalau tidak maka apa arti kebebasan jika semua pilihan yang tersedia sudah ditentukan oleh pihak lain? Satu hal yang dapat dipelajari dari Foucault adalah bersikap reflektif, jangan-jangan banjirnya informasi dan semakin menghanyutkannya teknologi membuat diri kita semakin terkubur oleh arus zaman.
Buku penting yang menggelorakan kembali diskusi mengenai kapital adalah Capital in The Twenty-First Century karangan T. Piketty. Ekonom Prancis ini ingin berkata bahwa abad 21 merupakan abad yang tingkat ketimpangannya paling parah dalam sejarah peradaban umat manusia. Ia menunjukkan bahwa selama tingkat pengembalian modal lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan ekonomi maka ketimpangan akan semakin buruk (r>g). Mungkin bagi orang yang asing dengan statistika atau rasio ekonomi akan merasa asing namun analisis sejarahnya mengenai ketimpangan di negara-negara maju sangat mengagumkan. Poin utama yang dibawa Piketty adalah negara harus mengatasi ketimpangan dengan pemberlakuan pajak progresif.
Di awal tahun 2019, muncul kembali buku yang berjudul The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for Human Future at The New Frontier of Power tulisan Shoshana Zuboff. Berbeda dengan Piketty yang gelisah terhadap ketimpangan, Zuboff lebih menggelisahkan tentang nasib masa depan manusia di tengah perkembangan teknologi informasi yang dikuasai oleh korporasi seperti Google dan Facebook. Professor Harvard ini sebenarnya ingin bercerita tentang bagaimana mekanisme eksploitasi manusia dalam dunia digital. Dalam pengantar buku ia mengajukan sebuah pertanyaan “bisakah masa depan dunia digital menjadi rumah kita? Yang dimaksud dengan rumah itu tidak sebatas pada tempat yang ditinggali tetapi juga suatu lokus yang memicu pengalaman dan perasaan tertentu sebagai manusia. Di sini lah titik tolak Zuboff dalam menganalisis kondisi masyarakat informasi dan memunculkan Surveillance Capitalism sebagai suatu logika penghisapan para kapitalis digital. Kalau Marx dahulu menyebut kapitalisme sebagai vampir yang menghisap keringat pekerja maka sekarang kapitalisme sebagai pencuri yang memakan setiap aspek pengalaman manusia.
Dunia digital yang terbangun oleh dua fondasi dasar yaitu teknologi komunikasi dan informasi sekarang telah menjadi arena sekaligus pasar. Kehebatan teknologi digital dalam menciptakan realitas semu menyeret manusia untuk tinggal di dalamnya. Karakter menghanyutkan itulah yang menjadi langkah pertama para kapitalis digital dalam menciptakan suatu perilaku tertentu. Penggunaan istilah user (pengguna) di dunia internet sebenarnya berkonotasi dengan para pecandu narkoba. Para pengguna tersebut sudah ketergantungan secara psikologis akan sesuatu hal. Tidak berhenti sampai disitu saja, para pengguna akan merasa nyaman dan bahagia ketika memakai internet maupun narkoba dan akan mengalami gangguan psikologis jika tidak secara rutin mengonsumsinya. Dalam iklim informasi satu-satunya masa depan yang akan dituju adalah “pasar perilaku”. Belajar dari para penganut aliran constructivism yang meyakini bahwa situasi dan kondisi masyarakat akan mempengaruhi perilaku. Atau dunia objektif akan membentuk dunia subjektif selama si subjek tersebut berpartisipasi dan membiarkan dirinya diarahkan. Contoh kecilnya adalah ketika mengetikkan suatu kata tertentu di mesin pencarian atau mengunjungi situs tertentu di internet pada saat itu pula pengalaman kita sedang direkam dan perilaku sedang diarahkan. Bagi produsen informasi juga dapat menerapkan hal serupa dengan metode test case untuk mengukur respons massa. Meskipun polanya sama akan tetapi Surveillance Capitalism lebih jauh dari itu semua karena perbedaan sumber daya yang dimiliki.
Salah satu kekuasaan riil karena memiliki sumber daya teknologi dalam dunia digital adalah perusahaan platform. Google yang dikenal sebagai mesin pencarian paling populer di dunia pada dasarnya berbentuk platform, begitu juga dengan facebook, Instagram dan twitter. Platform adalah sebuah ruangan yang penuh informasi yang berjalan dengan struktur logika tertentu dimana seluruh aktivitas yang terjadi di dalam ruangan tersebut akan tersimpan di dalam data base yang aksesnya hanya dimiliki oleh penyedia (programmer). Di samping itu hal yang paling mencurigakan adalah bagaimana bisa perusahaan teknologi informasi menempati posisi tertinggi dalam hal pendapatan tahunan. Dari mana perusahaan tersebut mendapatkan uang dan jenis produk apa yang dijual oleh perusahaan ini dan siapa yang membelinya itu masih menjadi misteri.
Dalam kondisi yang seperti itu, Zuboff menemukan titik terang ketika memberikan penjelasan mengenai logika surveillance capitalism. Logika yang beroperasi di tangan penguasa teknologi informasi ini memandang bahwa pengalaman manusia adalah bahan baku pertarungan informasi. Dialektika antara pengalaman dan informasi akan membentuk suatu corak pengetahuan tertentu yang dimiliki oleh manusia. Hubungan antara pengalaman dan informasi diwadahi oleh platform teknologi informasi. Platform di sini juga berperan sebagai malaikat pencatat yang tidak kita ketahui keberadaannya. Para malaikat tersebut kemudian mengumpulkan data perilaku pengguna di suatu tempat khusus. Seluruh data yang terkumpul merupakan informasi yang memiliki nilai lebih (surplus). Kalau kita membaca kembali Marx nilai lebih adalah pencurian yang dilakukan oleh kapitalis terhadap buruh pekerja. Mengikuti logika tersebut maka nilai lebih dari informasi perilaku adalah penghisapan terhadap pengguna untuk keuntungan penyedia platform. Corak hubungan yang parisitis telah merendahkan harkat martabat manusia dengan memandangnya tidak lebih dari sebuah objek.
gambar
Meskipun penyedia platform komunikasi dan informasi telah meyakinkan publik bahwa kerahasiaan data pengguna dilindungi namun tidak menutup kecurigaan bahwa mereka tengah menerapkan suatu logika eksploitasi terhadap kehidupan manusia. Data pengguna yang didapatkan digunakan oleh para kapitalis digital untuk membuat suatu daya prediksi atau pengukuran futuristik melalui mekanisme pengolahan data. Artificial Intelligent yang berupa algoritma dan logika informasi adalah alat yang digunakan untuk memproses data perilaku pengguna. Pada kenyataannya proses tersebut terjadi secara real time yang artinya seluruh mekanismenya berjalan secara langsung tanpa membutuhkan waktu jeda.
Terakhir saya ingin mengkritisi apa yang dikatakan Zuboff dalam buku barunya tersebut. Jika berkaca pada karya pertamanya In The Age of Smart Machine yang kurang lebih memperhatikan hal yang sama yaitu kekuasaan teknologi informasi maka saya rasa ia telah kehilangan basis material. Mungkin ia mampu membedah mekanisme serta logika dibalik penguasaan industri informasi namun ia gagal dalam menjelaskan bagaimana karakter para pengguna yang sedang dieksploitasi. Di samping itu fokus dia pada perusahaan teknologi informasi telah mengacuhkan bagaimana peran kekuasaan negara dalam mengintervensi bisnis. Meskipun tengah menjadi perdebatan publik di dunia barat dan mampu menumbuhkan kesadaran akan sisi negatif dunia digital, Surveillance capitalism tidak belum mampu menjadi daya emansipatif masyarakat informasi kecuali hanya sampai pada tuntutan atas hak privat.
Untuk masyarakat yang tinggal di belahan bumi selatan apakah isu mengenai kapitalisme digital cukup menggairahkan pada saat iklim ekonomi-politik masih diwarnai oleh budaya korup, kekuasaan oligarki dan konflik identitas. Paling tidak utopia mengenai revolusi industri 4.0 masih akan menjadi milik para kapitalis digital seperti Nadiem Makarim dengan GO-JEKnya dan para startup yang bersaing menawarkan platform baru. Selama ada platform asing yang beroperasi di negeri ini selama itu pula revolusi mustahil dilakukan.
Arus perkembangan teknologi telah membawa umat manusia pada persilangan budaya yang semakin kompleks. Saat ini hampir seluruh kelompok masyarakat dapat terhubung dan terintegrasi satu dengan yang lainnya. Pembangunan sarana transportasi dan komunikasi telah membuka peluang bagi suatu masyarakat untuk berubah lebih maju sesuai arus zaman. Akan tetapi arah perubahan tersebut biasanya sudah ditentukan oleh pihak tertentu yang memandang bahwa masyarakat yang tertinggal tidak memiliki kapasitas, oleh sebab itu harus dibantu. Cara yang paling mudah ialah dengan menetapkan standar-standar kebudayaan yang berupa tingkat pendidikan, tingkat konsumsi dan juga angka pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, masyarakat mengalami kemandekan dalam dinamika sosial serta kreativitas kultural.
Keadaan yang berubah dengan cepat tersebut sangat tidak menguntungkan bagi posisi anak muda di dalam masyarakat. Mereka ini sebetulnya tengah belajar mengenali peran serta struktur kehidupan yang ada di sekelilingnya untuk ikut ambil bagian dalam regenerasi sosial maupun kultural di masa depan. Anak-anak muda memiliki potensi besar untuk melanjutkan warisan kebudayaan atau bahkan menggantinya dengan kebudayaan baru yang mereka kehendaki. Kendalanya hanya pada apakah kehendak perubahan mereka akan di akomodasi oleh orang-orang yang lebih dahulu hidup di dalam masyarakat atau mahal dihadang, itulah yang selalu terjadi dalam sejarah umat manusia. Dengan kata lain, generasi yang lebih tua lebih cenderung bersikap konservatif sedangkan generasi yang lebih muda lebih progresif dalam gerak perubahan masyarakat. Seberapa jauh perubahan yang dibawa oleh anak muda ini sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi sosial-ekonomi dimana ia tinggal.
Dalam tulisan ini saya ingin mengelaborasi kompleksitas persilangan budaya yang dialami oleh anak-anak muda di era revolusi industri 4.0 sekarang ini. Karakter progresif anak-anak muda tidak mungkin muncul begitu saja tanpa adanya peluang yang cukup besar yang diberikan oleh masyarakat. Kebebasan untuk berekspresi mesti dipandang sebagai suatu bentuk pencarian konfigurasi baru yang kreatif. Daya kreativitas anak muda ini sering dianggap bertentangan dengan tatanan norma seperti nilai-nilai budaya tradisi ataupun agama. Tetapi, norma masyarakat sendiri memiliki sifat yang lunak dan dapat berubah untuk menjaga relevansinya dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Kaum Muda dan Politik
Anak muda Indonesia atau sering kita sebut sebagai generasi millennial merupakan kelompok usia yang pertama kali merasakan berbagai bentuk kebebasan setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru. Generasi ini berbeda jauh dengan generasi sebelumnya yang telah merasakan pahitnya represi dan ancaman kekerasan dari moncong senjata penguasa. Generasi yang berusia antara 17-30 tahun adalah sebuah kelompok masyarakat yang sangat kreatif dalam mengembangkan sesuatu hal-hal yang baru baik itu dalam hal pemikiran, perilaku, nilai hingga bisnis industri.
Dalam hubungannya dengan struktur politik kenegaraan yaitu pemerintah, legislatif dan partai politik, mereka tidak terlalu antusias mengikuti bahkan bisa dibilang skeptis dalam urusan politik. Kalau kita telusuri bagaimana partisipasi politik anak muda dalam pemilu sejak pemilihan langsung pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004, angka partisipasinya menunjukkan kemerosotan yang tajam. Mungkin sikap dingin mereka terhadap politik ditimbulkan oleh akumulasi kemuakan kinerja pemerintah yang tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam mengelola masyarakat. Kasus-kasus korupsi yang meningkat tajam setelah era reformasi, kemudian kesenjangan ekonomi dan juga kemiskinan menjadi alasan utama anak-anak muda ini meragukan manfaat dari sistem perpolitikan yang tengah berjalan.
Generasi muda tampak kebingungan menjawab soal bagaimana mengubah tatanan politik sedangkan kekuatan mereka sebagai gerakan semakin dikerdilkan dan menjauh dari masyarakat. Sikap apatis terhadap politik sebenarnya hanya memperpanjang masa kebobrokan politik yang dipenuhi oleh klientisme dan transaksionalisme. Klientisme terjadi apabila pemerintah memandang posisinya lebih tinggi (sok berkuasa) daripada masyarakat sehingga menimbulkan sikap sewenang-wenang bukan pelayanan atau pengabdian. Kalau transaksionalisme itu bisa diartikan sebagai sebuah pandangan tentang kekuasaan yang hanya didapatkan (dipertukarkan) dengan investasi modal, biasanya berbentuk uang atau proyek-proyek. Pemilu tidak lain adalah bazar suara rakyat yang dimonopoli oleh para pemodal besar. Suara bukan lagi soal pilihan untuk masa depan yang lebih baik namun jatuh pada soal siapa yang sanggup membeli paling tinggi.
Peran generasi muda dalam usaha mengubah keadaan masyarakat melalui struktur politik kerap dihadang oleh kelas elite penguasa yang menancapkan pengaruhnya dalam partai-partai politik. Pemikiran progresif anak muda tidak jarang berseberangan dengan sikap konservatif para elite yang ingin melestarikan dominasinya. Pertentangan ini kerap muncul ke permukaan ketika anak muda yang kurang sabar ingin memaksakan perubahan dengan cepat, mungkin istilahnya revolusi saat ini juga. Di sisi lain para elite yang telah lama menikmati privilese lebih memandang perubahan harus dilakukan secara bertahap dan dalam jangka yang panjang. Alasan mereka cukup meyakinkan yaitu masyarakat harus siap lebih dahulu sebelum mengalami perubahan, kalau tidak akan memicu konflik-konflik sosial dan itu adalah hal yang buruk. Pada tataran tertentu kelas elite memang merepresentasikan kepentingan masyarakat tetapi mereka juga sedang membangun kekuatan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Kapasitas Budaya Generasi Muda
Anak-anak muda sering disanjung sebagai generasi penerus ataupun harapan masa depan bangsa. Seringkali mereka ke-geer-an dan melupakan bahwa mereka tidak memiliki modal atau kapasitas apapun untuk menjalankan tugas tersebut. Generasi penerus sekarang sedang asyik-asyiknya mengkoleksi berbagai jenis pengetahuan dari bangku sekolah hingga terbang jauh-jauh ke luar negeri. Saat kembali ke masyarakat mereka merasa terasing karena jarak yang terlalu jauh antara kenyataan dengan pemikiran mereka. Bahkan ada semacam anggapan bahwa semakin lama duduk di bangku sekolah maka semakin tinggi pula posisi mereka dalam masyarakat dan orang harus menghormati mereka. padahal kehormatan itu tidak dicari melainkan hasil dari peran dan fungsi yang telah teruji di dalam masyarakat.
Generasi harapan bangsa telah terkontaminasi sejenis virus yang merabunkan pandangan sejarah sehingga kabur akan asal-usulnya sendiri. Virus tersebut ingin mematikan warisan tradisi, norma budaya serta solidaritas kebangsaan. Kemunculan virus tersebut berbarengan dengan keruntuhan penjajahan melalui penguasaan teritorial. Dengan semangat nasionalisme bentuk penjajahan teritorial dapat diusir keluar dari tanah air dan mengukuhkan kedaulatan bangsa. Kemudian bentuk penjajahan berevolusi menjadi lebih lunak dan semakin canggih sejalan dengan perkembangan teknologi informasi. Salah satu tujuan bentuk penjajahan jenis baru ini adalah dengan mengubah orientasi budaya suatu bangsa, terutama soal bahasa. Saat ini, preferensi bahasa yang dipilih oleh anak-anak muda adalah bahasa internasional daripada bahasa daerah. Pandangan tentang budaya barat lebih tinggi daripada budaya lokal secara tidak langsung telah membawa mereka pada krisis identitas.
Sebagai seorang anak yang dilahirkan dalam sebuah masyarakat tertentu, identitas sangatlah penting untuk perkembangan kepribadian diri. Dari sana muncul nilai-nilai solidaritas karena kesamaan identitas. Pengalaman bersama yang ditempa melalui partisipasi dalam sebuah masyarakat berguna untuk menjaga keberlangsungan kebudayaan. Mungkin kita butuh refleksi diri sebagai sebuah bangsa serta perlu mengevaluasi orientasi budaya yang tengah berjalan di tengah masyarakat. Ini bukan soal boleh atau tidaknya menerima budaya asing, tetapi lebih pada bagaimana keadaan budaya yang diwariskan oleh orang terdahulu ketika kita memilih preferensi budaya yang lain.
Setiap generasi sudah pasti mewarisi suatu budaya tertentu, hanya saja proporsinya yang berbeda-beda. Di negeri ini sudah sejak dahulu terkenal dengan ragam budaya yang biasa ditengarai dari banyaknya suku-suku bangsa. Suku-suku bangsa tersebut memiliki corak budaya, pola perilaku hingga tatanan nilai yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Hanya ada satu alasan mengapa suku bangsa dapat dikenali hingga sekarang yaitu adanya orang yang mewarisi dan melestarikannya. Dengan kata lain generasi yang lebih muda akan melanjutkan apa yang sudah ditemukan dan dicapai oleh generasi yang lebih dahulu.
Prinsip keberlanjutan inilah yang membuat manusia tidak perlu mengulang-ulang sejarahnya dari awal karena telah tersedia sarana untuk menyimpan pengalaman masa lalu dalam bentuk tatanan masyarakat. Masyarakat dalam lingkup komunitas adalah tempat yang paling penting untuk menempa pengalaman bersama. Di sini pengalaman bertransformasi menjadi pengetahuan yang disimpan dalam memori bersama. Generasi muda dari komunitas akan belajar kepada masyarkat untuk mengenali peran, posisi dan identitas budaya sendiri. Dalam menghadapi persilangan budaya karena menjadi jalur perdagangan internasional, orang-orang nusantara telah memiliki kecerdasan yang unik untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Seolah-olah mereka memiliki kelenturan tertentu yang diwariskan oleh leluhur dalam menghadapi perubahan. Meskipun kondisi sosial-ekonomi berubah mereka tetap menjaga identitas mereka sebagai orang-orang nusantara.
Fungsionalisasi Generasi Muda
Penjelasan diatas mengandaikan bahwa komunitas masyarakat masih cukup eksklusif dan independen. Kondisi sekarang sangat berbeda jauh, terutama setelah kemenangan ide-ide abstrak terhadap kenyataan konkret dalam mengonsep masyarakat. Negara adalah salah satunya, ia lahir sebagai bentuk kekuasaan yang mengatur masyarakat. Dari sini kita bisa bertanya apakah negara Indonesia lahir dari pengalaman bersama ataukah sebuah ide abstrak yang telah diterapkan oleh dunia barat? Atau begini apakah kerajaan-kerajaan dahulu bisa disebut negara atau tidak? Yang pasti bentuk kekuasaan yang beroperasi dalam struktur politik tidak akan mungkin bisa berjalan tanpa struktur budaya yang berlaku dalam masyarakat. struktur budaya yang saya maksudkan di sini adalah tradisi, pengalaman, pemikiran yang memiliki makna bagi kehidupan itu sendiri.
Generasi muda bangsa yang tengah sibuk memikirkan ide-ide besar di bangku sekolah dan kampus sudah saatnya mulai belajar kepada masyarakat. Institusi pendidikan memang menjadi tempat yang sangat baik untuk menempa pengalaman bersama dengan teman seusia. Mungkin pengamalan bersama itu bermanfaat untuk menyuburkan proses dinamika pemikiran bagi anak muda. Bagaimanapun juga anak-anak muda tidak bisa terus-terusan mengurung diri dengan keasyikan di lingkup mereka saja, mereka juga harus mulai mengambil peran di dalam masyarakat. Paling tidak mereka mesti belajar mengenali gejala sosial serta kompleksitas permasalahan yang dialami oleh bangsa ini. Mungkin persoalan tersebut telah ditemukan bahkan sudah dirumuskan, yang menjadi masalah bagaimana strategi solusinya dan siapa yang akan melaksanakannya. Kalau anak muda hanya berpangku tangan pada intervensi pemerintah, apa gunanya pendidikan yang telah diberikan?
Baru-baru ini juara keviralan dapat dinominasikan pada sebuah video seorang ustad yang mengatakan “Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi adalah sesat”. Pernyataan yang diungkapkan oleh ustad muda tersebut bagi saya cukup menarik untuk ditanggapi atau diproblematisir lebih dalam. Bagi sebagian umat islam yang memahami kalau nabi Muhammad itu seorang yang ma’sum (terbebas dari dosa) pasti akan langsung menghakimi pernyataan si ustad tadi sebagai tuduhan atau penghinaan. Jika tuduhan itu tidak bisa dibuktikan atau dijelaskan maka akan jatuh dalam perbuatan fitnah. Bagaimana bisa seorang ustad memfitnah nabinya sendiri? Cepat saja pernyataan tersebut direspon oleh otoritas agama yang sudah mapan dan menyatakan ketidaksependapatannya. Mereka menuntut si ustad agar meminta maaf kepada seluruh umat muslim.
Memang menjadi sifat dasar media sosial yang selalu mengeksploitasi emosi serta tenaga kita untuk memikirkan hal-hal yang remeh temeh dan kecil. Kerap kita diseret oleh hasrat reaktif untuk segera menanggapi sesuatu yang sedang viral media sosial. Adakalanya kadar keviralan sebuah informasi juga dipengaruhi oleh “framing” dengan penggunaan kata-kata yang provokatif. Tujuan utama aksi provokasi tersebut adalah untuk mencuri perhatian, waktu dan tenaga kita untuk kepentingan tertentu. Bisa berupa mencari popularitas, mendulang receh, memantapkan posisi, memecah belah atau jenis kepentingan lain yang hubungannya tidak jauh dari perebutan kekuasaan dan ekonomi.
Secara tidak sadar kita menggunakan media sosial bukan untuk kegiatan komunikasi yang menghubungkan dan mempererat ikatan sosial tetapi lebih pada pencarian pengakuan akan keberadaan diri. Dalam bidang psikologi orang yang haus akan pengakuan dapat dikatakan proses perkembangannya agak nganu. Ia belum menemukan kerangka referensi identitas dan nilai yang stabil.
Media sosial memungkinkan pertukaran informasi berubah menjadi sangat radikal. Sebuah informasi bisa digandakan dan disebarkan sampai ukuran yang tak terbatas. Hal ini menjadikan media sosial sebagai ruang belajar yang kebanjiran materi informasi. Tidak sampai di situ saja, pengguna media sosial juga bisa berbicara, menanggapi atau menyatakan apapun tanpa perlu takut aturan nilai dan norma. Jagat media berprinsip setiap orang bebas mengekspresikan dirinya sendiri. Kebebasan yang tanpa disertai batasan ini seringkali menimbulkan ke-gagap-an dan guncangan-guncangan psikologis. Meskipun begitu, pengguna media sosial tetap saja masih betah berlama-lama berada di dalamnya.
Untuk tujuan pembelajaran media sosial memang tidak efektif karena terlalu banyak hal yang berseliweran. Kalau ada orang yang berniat mencari informasi atau pengetahuan di media sosial, saya bisa memastikan tidak akan pernah sampai pada tataran yang mendalam. Mereka hanya menangkap gejala-gejala dari arus informasi yang dikendalikan oleh industri pengetahuan.
Sifat lain yang dimiliki oleh media sosial adalah membuat para penggunanya menikmati kecanduan, kebahagiaan, dan kesenangan. Dengan kata lain dunia itu tidak lain daripada wahana permainan anak-anak manja yang sedang mengalami kegalauan, depresi dan keterasingan.
Kembali pada persoalan, pernyataan ustad muda yang kontroversial diatas bisa dipahami sebagai model beragama baru. Model ini lebih menekankan pentingnya kembali pada Al-Quran dan Hadist dengan penafsiran literal yang bebas. maklum saja ustad-ustad kota hanya mampu memahami sumber ajaran agama dengan cara yang demikian karena mereka tidak memiliki kapasitas yang diisyaratkan oleh otoritas lama. Paling tidak syarat menjadi penafsir harus menguasai tata bahasa, hadis dan ilmu-ilmu al-Quran. Dengan syarat itu mereka pasti tidak memilik kompetensi apa-apa.
Bagi mereka kompetensi tersebut tidak menjadi hal utama, yang menjadi prioritas adalah menyampaikan kebaikan (dakwah). Asalkan mampu mengartikulasikan ayat-ayat al-Quran dalam bahasa yang menarik, kekinian dan disertai selera humor setiap orang boleh ceramah. Tidak penting bagaimana latar belakang pendidikan dan perilaku kesehariannya. Yang lebih penting adalah daya tariknya terhadap audience. Dengan kata lain ceramah mereka mirip dengan marketing hiburan yang menggunakan konten keagamaan.
Peristiwa ini tidak bisa lepas dari perubahan kesalehan religius yang menemukan bentuk barunya dalam atmosfer kehidupan modern yang terglobalisasi. Dalam kajian-kajian terbaru, kesalehan tidak lagi berbentuk perilaku-perilaku yang sederhana dan elegan. Ia berubah menjadi kesalehan yang simbolik yang mencoba mengakomodasi pola perilaku modern yang konsumtif.
Ada yang menyebut corak kesalehan baru ini sebagai perpaduan antara nilai-nilai agama dengan sistem kapitalis. Kita dapat memperhatikan bagaimana seorang yang hidup di kota memiliki semangat religiositas yang tinggi. Antusiasme terhadap materi yang berbau agama berbanding lurus dengan jumlah pengajian atau kajian yang diselenggarakan di masjid-masjid perkotaan. Fenomena ini dipengaruhi oleh arus kehidupan modern yang menjadikan manusia terpecah-pecah dalam memahami sesuatu. Hal ini membuat diri mereka terasing karena tidak mampu mencari makna-makna kehidupan. Akhirnya mereka lari dan menemukan oase makna dari bahasa-bahasa agama.
Kebutuhan muslim kota akan makna religius ini terbentur oleh keadaan yang sudah terpapar pola kehidupan mekanis. Alih-alih mencari makna religius yang substantif, mereka lebih memilih mencari religiositas dengan cara yang pragmatis dan instan. Kemunculan ustad-ustad dadakan yang bermunculan di televisi serta ceramah di masjid-masjid kota dapat kita pandang sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Pendekatan yang dipilih berbeda dalam menghadapi muslim kota. Dari segi materi ceramah, ustad-ustad ini lebih memilih tema-tema yang menarik kalangan yang masih berusia muda seperti cinta, hijrah dan pernikahan.
Di satu sisi saya merasa senang, dalam artian muslim kota masih mau mempelajari ajaran agama meskipun dengan cara yang kurang tepat. Pernyataan kontroversial diatas malah menimbulkan pergolakan dalam pikiran yang berbentuk sederet pertanyaan. Pertama, yang dimaksud sesat itu apa dan bagaimana? Saya menduga kesesatan yang dituduhkan kepada nabi Muhammad itu lebih pada persoalan kebingungan. Sebelum diangkat menjadi rosul, Muhammad gelisah dengan keadaan masyarakat Quraisy yang penuh ke-jahil-an. Muhammad sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan hingga beliau memutuskan untuk berkhalwat di gua Hira.
Kata sesat sendiri tidak akan pernah bisa berdiri sendiri tanpa ada suatu tujuan dan cara menuju. Ada cerita menarik untuk menggambarkan kesesatan. Suatu hari saya bertemu dengan seorang gadis muda dan cantik di terminal. Kemudian ia saya tanyai mau pergi ke mana? ia menjawab ke jakarta. Akan tetapi ada hal yang aneh kenapa kok ia malah naik bus rute ke solo bukannya cari rute ke jakarta. Kemudian saya menyimpulkan bahwa si gadis sedang salah jalan (sesat). Padahal bisa saja ia ke jakarta naik pesawat dari solo.
Pengetahuan tentang cara lain dan tujuan inilah yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Kita sering menuduh orang sesat tanpa pernah tahu apa tujuan dan bagaimana cara menempuhnya. Dalam beragama pun juga begitu, kita terlalu kaku dalam memandang persoalan sehingga menganggap pemahaman agama kitalah yang paling benar. Menuduh orang sesat berarti menilai proses keagamaan orang dengan cara pandang kita terhadapnya.
Saya kok malah lebih suka sebaliknya yaitu merasa bersalah atau sesat. Orang yang merasa bersalah akan lebih hati-hati dalam bertindak dan menyadari bahwa ia sedang berproses mencari kebenaran. Dengan begitu, kesesatan atau tidak berlangsung dinamis tergantung konteks ruang dan waktu, ia tidak statis dan mandek.
Satu lagi pelajaran yang bisa diambil, dalam ruang publik masyarakat, ada sesuatu yang lebih baik dipendam dan menjadi rahasia daripada diungkapkan. Sekarang kita telah kehilangan rahasia (privasi) dengan mencurahkan segala perasaan, emosi dan hasrat di jagat media sosial. Konsekuensinya, masalah-masalah pribadi berubah menjadi masalah sosial dan ini kontraproduktif terhadap perkembangan masyarakat. Ruang publik disesaki oleh persoalan-persoalan individu atau kelompok sehingga meminggirkan permasalahan sosial yang menjadi landasan utama perdamaian. Maksud permasalahan sosial di sini adalah pola hubungan antar kelas, distribusi ekonomi dan kesempatan mobilitas sosial.
Terakhir, berkembangnya masyarakat modern yang disertai kemajuan teknologi menciptakan suatu kebudayaan baru yang sama sekali berbeda dengan kebudayaan lama. Meskipun ada banyak lapis persinggunganannya, arah perubahan budaya masih condong ke masyarakat modern. Salah satunya adalah model keagamaan di kota dan media sosial yang merumuskan kriteria baru tentang otoritatis. Kecenderungan orang modern yang pragmatis membuat ekspresi keagamaan mereka bernuansa simbolis dan liberal.
Bagi mereka, agama bisa menjadi milik setiap orang yang mempercayainya. Mereka tidak bisa lagi bergantung pada otoritas lama yang terkenal kaku karena tidak bisa mengakomodasi semangat religiositas mereka. Di pihak lain, cara beragama mereka ini dituduh sebagai penyimpangan dan perlu diluruskan.
Perebutan otoritas keagamaan sedang berlangsung dan menarik untuk dicermati lebih dalam. Penting untuk ditekankan di sini adalah Agama memiliki caranya sendiri untuk terus hidup di tengah masyarakat. Meskipun masyarakat dikepung oleh sistem kapitalisme, Agama terus hidup dalam bentuk barunya. Hal ini telah membantah tesis yang menyatakan bahwa agama akan terasing dan tidak relevan di tengah masyarakat modern.
Baca juga Episteme Dai Pop
Yogyakarta, 9 Agustus 2018