Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Yustina Ogeney Pimpin Perjuangan Perempuan Dapatkan Akses Kelola SDA yang Berkelanjutan dan Berkeadilan

Jakarta, Pewartanusantara.com – Perjuangan perempuan untuk mendapatkan akses dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang berkelanjutan dan berkeadilan tidaklah mudah, kata salah satu tokoh perempuan adat Papua, Yustina Ogoney pada Senin (14/3).

Perempuan yang berasal dari Suku Moskana itu bercerita bahwa ia beberapa kali mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia mengatakan, perempuan dipandang sebelah mata tidak hanya dari eksternal perusahaan atau bahkan pemerintah setempat, tetapi juga dari internal masyarakat adat.

“Paham patriarki di suku saya, itu masih sangat kental. Saya sendiri untuk dapat menempati kepala distrik, mendapatkan penolakan. Saya mengalami penolakan dari saudara-saudara saya,” kata Yustina.

Sebagai Kepala Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, Yustina Ogoney mengatakan dalam pertemuan yang membahas izin HPH pengelolaan perkebunan sawit di daerahnya, baik pihak perusahaan, pihak pemerintah dan masyarakat sama sekali tidak melibatkan masyarakat.

“Perempuan sudah di rumah saja. Dalam hasil pertemuan, sudah menghasilkan uang, maka perempuan hanya dikasih paling tertinggi 1 juta, paling rendah 500 ribu,” katanya.

Yustina menjelaskan bahwa banyak yang beranggapan perempuan dianggap tidak mampu untuk memimpin dan tidak mampu mengambil keputusan. Namun, Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw melihat bahwa posisi perempuan di birokrasi sangat kurang, apalagi posisi-posisi sebagai kepala distrik.

Petrus Kasihiw kemudian mengakat 4 perempuan menjadi kepala distrik. Tetapi, keempat perempuan itu harus membuktikan dalam tiga bulan bahwa perempuan dapat memimpin. Jika tidak, maka mereka harus mengundurkan diri.

Dalam tiga bulan itu, Yustina mengatakan dalam tiga bulan pihaknya pertama kali mempelajari tentang kebutuhan yang sangat penting di wilayahnya, merujuk pada jalan, jembatan, bandar udara, dan program-program lain seperti rumah sosial.

“Kami melakukan itu bertahap, karena kami berada di wilayah yang terisolasi. Tidak bisa dijangkau apapun selain jalan kaki, itu pun berhari-hari,” kata Yustina.

Yustina menyesalkan bahwa dalam setiap musyawarah adat maupun izin pengelolaan SDA dengan perusahaan, perempuan sering tidak dilibatkan lantaran setiap pengambilan keputusan itu selalu berada di tangan laki-laki. “Kalau perempuan itu hadir pun tidak terlalu dianggap. Perannya tidak berpengaruh,” tutur Yustina.

Menanggapi itu, Yustina tidak tinggal diam. Ia mendorong para perempuan untuk berani memperjuangkan akses dalam mengelola hutan adat. Meskipun tidak mudah dilakukan dan butuh proses panjang, Yustina menegaskan hal itu penting dilakukan oleh perempuan untuk beradi mengusulkan dalam musyawarah agar hutan adat di wilayahnya mendapat pengakuan negara dan para perempuan pun punya akses untuk mengelola SDA dengan berkelanjutan dan berkeadilan.

“Paham patriaki ini sudah ada semenjak kita masih di kandungan ibu. Kayaknya seperti itu. Jadi, perempuan itu malu sekali untuk berbicara, menyampaikan pendapatnya di hadapan umum,” jelas Yustina.

Yustina juga menceritakan bahwa sering terjadi konflik di daerahnya terkait dengan masalah hak-hak antara laki-laki dan perempuan, misalnya terkait dengan pembayaran dari perusahaan. Selama ini, pembagian pembayaran hak itu tidak rata antara laki-laki dan perempuan dan lebih banyak laki-laki yang dapat, dimana perempuan biasanya hanya mendapatkan sekitar 10-20 persen saja, kata Yustina.

“Saya menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki punya hak yang sama, dibagi secara rata. Saya menggunakan kapasitas saya sebagai kepala distrik untuk mediasi supaya persoalan pembagian itu sama rata, itu dengan cara pembaarannya di hadapan pemerintahan distrik, yang dihadiri oleh Polsek, Koramil, juga dihadiri perempuan dan laki-laki, supaya tahun semua berapa nominalnya,” tegasnya.

Selain konflik terkait hak-hak perempuan, Yustina pun mengatakan bahwa terdapat juga konflik masyarakat adat dengan perusahaan. Masyarakat, khususnya marga Ogoney, menolak perusahaan untuk mengambil hasil alam yang ada di wilayahnya.

“Masyarakat semua pada melakukan aksi penolakan terhadap perusahaan, bahwa ‘Ambil batas di sini. Sudah tidak bisa masuk di komunitas kami.’ Karena ini adalah tempat kami mencari makan, mencari hidup. Dan ketika terjadi kerusakan alam, kami yang kena bencana,” ucapnya.

Dalam prosesnya, perjuangan Yustina dan para perempuan Teluk Bintuni untuk mendapatkan akses mengelola SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan mulai mendapatkan pengakuan dari kaum laki-laki. Yustina menjelaskan dalam meyakinkan pentingnya perempuan dalam mengelola SDA, mereka menggunakan pendekatan keibuan.

“Dalam proses saya, itu mungkin lebih kepada pendekatan seperti seorang ibu. Saya tidak pernah meyakinkan seseorang di jalan. Tapi dari rumah ke rumah. Saya kunjungi itu satu- persatu. Dan harus dengan pendekatan keibuan supaya bisa didengarkan,” katanya. https://www.youtube.com/watch?v=j4QYmcJKNeA&t=126s

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

221