Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Indonesia

Google News
Tradisi Dugderan Semarang menyambut bulan ramadan
Tradisi Dugderan Semarang menyambut bulan ramadan

Indonesia adalah negara dengan masyarakatnya mayoritas muslim (pemeluk agama Islam), berbagai macam acara atau tradisi menyambut bulan suci Ramadhan atau bulan Puasa banyak digelar di berbagai daerah.

Budaya dalam penyambutannya tentu berbeda-beda. namun, semangatnya tetap sama.

Penyambutan yang dilakakukan masyarata saat datangnya bulan ramadhan merupakan bentuk rasa syukur serta kegembiraan umat muslim akan datangnya bulan Ramadhan atau bulan Puasa.

Dalam kalender Islam, Sebelum bulan ramadhan atau bulan Puasa adalah bulan Sya’ban.

Pada bulan Sya’ban inilah biasanya banyak digelar upacara menyambut datangnya bulan Ramadhan di berbagai daerah di Nusantara.

Tradisi Unik Menyambut Bulan Ramadan tang Ada di Indonesia

Budaya menyambut ramadhan dari berbagai daerah di indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Munggahan menyambut ramadhan dari Tanah Sunda

munggahan
munggahan kumpul bersama keluarga Image by Dailymoslem.com

Munggahan adalah kegiatan berkumpul dalam suansana kebahagiaan menyambut ramadhan.

Budaya ini biasanya dilakukan oleh anggota keluarga, sahabat dan bahkan juga teman-teman kita untuk saling bermaaf-maafan.

Berkumpulnya mereka dalam satu kebersamaan dilengkapi dengan menikmati sajian makanan khas. Kegiatan ini juga melambangkan sebagai bentuk mempersiapkan diri masing-masing dalam menghadapi bulan Ramadhan.

Kegiatan ini merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang sunda dalam menyambut bulan Ramadhan yang akan datang. Biasanya, mungguhan dilakukan oleh hampir semua golongan masyarakat. meskipun kegiatannya diselenggarakan dengan cara yang berbeda-beda.

Namun pada dasarnya tetap sama, yaitu berkumpul bersama sambil menikmati sajian hidangan makanan yang disuguhkan.

Inilah kebiasaan yang dilakukan ditengah masyarakat sunda pada umumnya. Kegiatan ini secara turun temurun masih dipertahankan oleh masyarakat sunda.

2. “Nyorog” Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan / Puasa Ala Betawi

Tradisi nyorog Betawi
Tradisi nyorog Betawi

Tradisi “Nyorog” atau membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti Bapak/Ibu, Kakek/Nenek, Mertua, Paman, sudah menjadi sebuah kebiasan yang sejak lama dilakukan menjelang datangnya bulan Ramadhan atau bulan Puasa bagi masyarakat betawi.

Meskipun istilah “Nyorog” sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan hingga sekarang masih ada di Betawi.

Bingkisan yang diberikan tersebut biasanya berisi bahan makanan mentah. namun, ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, susu, kopi, sirup, gula, dan lain sebagainya.

Nyorog bagi masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan satu sama lain. Mereka mengingatkan bahwasannya, bulan suci Ramadhan akan segera datang.

Disamping itu, tradisi “Nyorog” juga sebagai pengikat tali silahturaim sesama sanak keluarga bagi masyarakat betawi.

3. “Padusan” Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan di Jawa Tengah

Tradisi Padusan Yogyakarta
Tradisi Padusan Yogyakarta

Masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta biasa melakukan tradisi berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air ditempat-tempat yang dianggap kramat.

Kegiatan ini disebut “Padusan”. Makna dari kegiatan ini adalah agar jiwa dan raga seseorang yang akan melakukan ibadah puasa bersih secara lahir maupun batin.

Selain itu, ritual ini bermakna sebagai pembersihan diri atas segala kesalahan dan perbuatan dosa yang telah dilakukan selama satu tahun.

4. “Balimau” Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan di Padang

Tradisi balimau Padang
Tradisi balimau Padang

Tradisi Balimau adalah ritual rutin yang dilakukan oleh masyarakat Padang. Budaya ini hampir sama dengan tradisi padusan, yakni kegiatan membersihkan diri dengan cara berendam atau mandi bersama-sama di sungai atau tempat pemandian setempat.

masyarakat Padang, Sumatera Barat, rutin melakukan Tradisi Balimau. Biasanya ritual ini dilakukan mulai dari matahari terbit hingga terbenamnya matahari dan dilakukan beberapa hari sebelum bulan Ramadhan tiba.

Hampir sama dengan “Padusan” yang dilakukan masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta, makna dari ritual Balimau ini bermakna melakukan pembersihan diri secara lahir dan batin, tujuannya agar seseorang siap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

5. Jalur pacu Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Riau

Festival Kora-kora Maluku
Hampir sama denagn Festival Kora-kora Maluku kemeriahan peserta lomba mendayung kora-kora

Tradisi “Jalur Pacu” adalah upacara penyambutan bulan suci Ramadhan atau bulan Puasa di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, kegiatannya mirip dengan lomba dayung.

Jalur Pacu ini diselenggarakan di sungai-sungai di Riau dengan menggunakan perahu tradisional Singingi, Masyarakat akan senantiasa menyaksikan dan menyambut acara Jalur Pacu.

Kegiatan yang hanya dilakukan setahun sekali ini akan ditutup dengan “Balimau Kasai”. Balimau Kasai adalah Ritual bersuci menjelang matahari terbenam hingga malam bagi masyarakat Singingi.

6. Meugang Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Aceh

Tradisi Meugang Aceh
Tradisi Meugang Aceh

Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) atau yang akrab disebut dengan kota “Serambi Mekah”, melakukan kebiasaan menyambut bulan suci Ramadhan yang berbeda dengan tradisi lainnya.

Warga Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan menyembelih kambing atau kerbau. Kegiatan yang dilakukan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) ini disebut dengan “Meugang”, Acara “Meugang” kabarnya sudah dilakukan sejak tahun 1400 M, atau sejak jaman raja-raja Aceh.

Kegiatan yang dimeriahkan dengan makan daging kerbau atau kambing bersama-sama ini biasa dilakukan oleh seluruh warga Aceh.

Semua warga akan bergotong-royong membantu, sehingga semua warganya dapat menikmati daging kambing atau kerbau sebelum datangnya bulan suci Ramadhan.

Meugang biasanya juga dilakukan saat hari raya Lebaran dan Hari Raya Idul Adha.

7. Dugderan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Semarang

Tradisi Dugderan Semarang
Tradisi Dugderan Semarang

Tradisi “Dugderan” adalah acara yang rutin dilakukan masyarakat kota Semarang, Jawa Tengah. “Dugderan” sendiri berasal dari kata “Dug” yang diambil dari suara dari bedug masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadhan atau bulan Puasa.

Sedangkan “Der” berasal dari suara dentuman meriam yang disulutkan. Kedua suara ini ber iringan sehingga jika disatukan terdengar seolah menjadi “Dug Der”.

Perayaan “Dugderan” diperkirakan sudah berumur ratusan tahun. kegiatan ini terus bertahan ditengah perkembangan zaman.

“Dugderan” biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum bulan Ramadhan. Karena sudah berlangsung lama, Acara Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat atau Festival kebudayaan.

Bahkan, pesta rakyat satu ini menampilkan berbagai rangkaian kegiatan sepertpa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug yang dilakukan oleh Walikota Semarang.

budaya “Dugderan” yang dulu menggunakan meriam, dentuman meriamnya kini diganti dengan suara-suara petasan atau bleduran.

Bleduran yang dibunyikan untuk menciptakan suara “der” terbuat dari bongkahan batang pohon yang dilubangi bagian tengahnya, hal ini bertujuan untuk menghasilkan suara seperti meriam.

Bleduran biasanya diberi karbit yang kemudian disulut api agar memiliki suara seperti dentuman meriam.

8. Dandangan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Kudus, Jawa Tengah

Tradisi Dandangan Kudus
Tradisi Dandangan Kudus

Tradisi “Dandangan” merupakan sebuah perayaan yang dilakukan masyarakat kota Kudus yang diadakan menjelang kedatangan bulan suci Ramadhan.

Perayaan “Dandangan” berupa pasar malam yang diadakan di sekitar Menara Kudus, sepanjang jalan Sunan Kudus, dan meluas ke beberapa di sekitarnya.

Tradisi “Dandangan” ini diperdagangkan beraneka ragam kebutuhan rumah tangga mulai dari peralatan rumah tangga, pakaian, sandal, hiasan keramik, sampai dengan makan dan minuman serta mainan anak-anak.

Perayaan “Dandangan” sudah ada sejak 450 tahu yang lalu atau tepatnya zaman Sunan Kudus (Syeh Jakfar Shodiq).

Waktu itu, setiap menjelang bulan Ramadhan atau bulan Puasa, Santri Sunan Kudus yang berjumlah ratusan berkumpul di Masjid Menara.

Mereka menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang awal Ramadhan atau bulan Puasa. Santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, melainkan juga dari daerah sekitarnya seperti Demak, Pati, Rembang, Kendal, Semarang, Jepara, bahkan sampai Tuban.

Orang berkumpul waktu itu sangat banyak, Perauaan “Dandangan” kemudian tidak sekadar menunggu pengumuman resmi dari Masjid Menara yang mengabarkan tentang awal puasa, namun juga dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di lokasi itu.

9. Malamang Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Sumatra Barat

Tradisi Malamang Sumatra Barat
Tradisi Malamang Sumatra Barat

Tradisi Malamang bagi masyarakat sumatra barat adalah tradisi berkumpul dan bergotong royong membuat nasi lemang pada ruas-ruas bambu yang telah dipotong-potong.

Malamang biasanya dilakukan dua hari menjelang bulan Puasa. Dan hasil lemang yang dimasak, akan dijadikan hantaran ke rumah mertua sebagai permohonan maaf untul membersihkan dosa yang telah lalu.

10. Nyadran Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Jawa

Tradisi nyadran
Tradisi nyadran

Nyadran biasanya dilakukan pada hari ke-10 di bulan Rajab. Acara ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin sesepuh desa setempat. Dalam doa tersebut, mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara mereka yang telah meninggal dunia.

Setelah berdoa, seluruh warga melanjutkan kegiatan dengan menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelar banyak tikar dan daun pisang. Setiap keluarga membawa makanan untuk dikumpulkan.

Uniknya, warga harus membawa makanan yang berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, mangut, sambar goreng ati, urap sayuran dengan lauk rempah, tempe tahu bacem, perkedel, dan lain sebagainya.

Tradisi “Nyadran” / “Sadranan” berasal dari kata “Sodrun” yang artinya adalah gila atau tidak waras. Pada waktu sebelum datangnya walisongo menyebarkan agama Islam, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.

Kegiatan penyembahan benda sebelum datangnya walisongo juga disertai dengan menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra yang diucapkan.

Kemudian para walisongo meluruskan ajaran mereka, dan mengajak masyarakat dan memberi tahu bahwa yang wajib disembah hanya Allah SWT.

Mantra-mantra yang dibaca orang terdahulu lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. Kemudian sesajinya diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga.

11. Perlon Unggahan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Banyumas, Jawa Tengah

Tradisi Perlon Banyumas
Tradisi Perlon Banyumas

Menjelang bulan puasa, sebagian warga di Banyumas akan mengadakan syukuran besar-besaran yang disebut dengan “Perlon Unggahan”. “Perlon Unggahan” adalah tradisi berkumpulnya warga desa guna mengungkapkan rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan atau bulan Puasa.

Kegiatan dalam tradisi “Perlon Unggahan” identik dengan aneka macam masakan tradisional yang disajikan, di antaranya daging serundeng sapi dan sayuran berkuah yang wajib dihidangkan. Uniknya, menu yang disajikan harus disuguhkan oleh para pria dewasa yang jumlahnya harus 12 orang.

12. Megengan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Surabaya, Jawa Timur

Tradisi-makan-Apem-magengan-ramadhan
Tradisi makan Apem magengan untuk menyambut bulan ramadhan / Puasa

Menjelang Ramadhan ada satu kegiatan adat yang disebut dengan ‘Megengan’ di Surabaya. Tradisi Megengan diceritakan berawal dari kawasan Ampel, di sekitar Masjid Ampel, Surabaya.

Perayaan ‘Megengan’ biasanya ditandai dengan makan apem, semacam serabi tebal yang memiliki diameter sekitar 15 senti dan dibuat dari tepung beras. Apem tersebut memiliki rasa tawar, seperti kue mangkok. namun, kue mangkok dipakai warga keturunan Tionghoa untuk sembahyangan menjelang hari raya Imlek.

Nama kue apem atau apam berasal dari bahasa arab yaitu afwan, dimana dalam bahasa Arab afwan berarti maaf. kegiatan makan apem ini untuk memaknai permintaan maaf kepada sesama saudara, kerabat, dan keluarga.

Sebenarnya, rangkaian adat Megengan bukanlah sekadar tradisi makan apem, akan tetapi juga bersama-sama melakukan selamatan atau tahlilan dengan hidangan apem dan pisang raja.

Hal ini ditujukan untuk mendoakan arwah saudara dan kerabat yang telah meninggal, dan sekaligus minta maaf. Usai tahlilan bersama, apem dan pisang dibagikan kepada semua keluarga dan tetangga dekat.