PEWARTANUSANTARA.COM – Pergolakan panas Yerussalem antara Israel vis a vis Palestina dengan diserta bumbu Presiden Amerika Tramp masih menjadi santapan nikmat media pertelevisian. Dari pagi hari singgah di siang hari hingga petang menyongsong pun pemberitaan terkini tentang konflik politik tersebut masih menghiasi channel dunia pertelevisian. Apalagi terkini suasana semakin meruncing seiring dengan kebijakan pihak Israel melalui perdana menterinya yang mengecam hasil kongres luar biasa OKI yang salah satu hasilnya adalah pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibukota terbaru Palestina. Sebagaimana diketahui bahwa sepanjang kekalahan bangsa Arab dengan Israel di perang pasca proklamasi Israel 1948 dikatakan bahwa Palestina menjadikan kota Ramallah sebagai pusat administrasi pemerintahan, meski sebenarnya mereka terus berupaya mengupayakan Yerussalem Timur sebagai ibukota mereka dimasa mendatang. Yerussalem Timur sendiri mengacu pada bagian dari Yerussalem yang berhasil direbut tentara Arab (Yordania) saat perang Israel – Arab 1948. Tentu saja hal ini jelas bertentangan dengan kehendak Israel yang bermaksud untuk memonopoli Yerussalem secara Kaffah tanpa memperdulikan sekat Yerussalem barat atau pun Yerussalem timur.
Dengan demkian didapatlah sebuah simpulan bahwa membincang tentang pergolakan Israel melawan Palestina tentulah tak akan habis untuk dibicarakan. Apalagi jika dalam pembahasan tersebut dikaitkan dengan kota Yerussalem sebagai kota pemersatu tiga agama samawi. Dimana kini kota pemersatu telah bermetamorfosis menjadi kota pencemburu trilogi agama samawi yang sarat akan usaha penguasaan dalam rana politik ekspansi kedaerahan. Tak khayal Yerussalem kerap menjadi saksi akan panasnya gejolak perebutan antar elemen sosial di daerah itu. Dimulai sejak masa peradaban Israel lama di masa Nubuwwah Musa As, penjajahan Bizantium, ekspansi era Khalifah Umar Bin Khtattab, hingga gejolak Perang Salib antara Kekhilafahan Ustmaniyyah melawan para bangsa eropa (salib).
Kembali ke pembahasan awal terkait konflik Israel vs Palestina yang diobong dengan kontrofersi Donald Trump tentang pengakuan Yerussalem sebagai ibukota Israel. Dalam pidatonya Trump jelas-jelas tidak memilah penyebutan Yerussalem yang memang terbagai menjadi dua, Yerussalem Barat untuk Israel dan Yerussalem Timur atas Palestina. Namun pandangan Trump atas Yerussalem adalah satu kesatuan dimana menurutnya Israel memanglah berhak menguasai kota Yerussalem, tanpa ada embel-embel barat atau pun timur. Alhasil keputusan kontrofrsi Trump tersebut memicu pergolakan demontrasi besar-besaran di berbagai negara menuntut agar Trump mencabut keputusannya kala itu. Mayoritas suara berpendapat bahwa keberpihakan Trump pada Israel tentu perihal justifikasi Palestina akan memicu gelombang perdebatan alot yang sarat akan konflik kekerasan dan nihilisasi nilai kemanusiaan. Termasuk akan semakin memperuncing konflik pergolakan Israel vis a vis Palestina (Arab) yang diplot sebagai konflik terpanjang dalam sejarah dunia bahkan melebihi lamanya perang dingin AS – Soviet. Padahal sekitar satu bulan lalu konflik Israel – Palestina sedikit mencair usai akan dicanangkan persatuan fraksi HAMAS – FATAH dan setelah itu mereka akan mencoba mengambil jalan diplomasi dengan Israel terkait konflik berkepanjangan.
Namun alur cerita sedikit bergeser usai Amerika Serikat melalui Trump turut intervensi dalam cerita dua negara tersebut. Kekhawatiran sebagaimana diatas akhirnya terbukti benar, rencana bersatunya HAMAS – FATAH yang akan mencoba jalur diplomasi dengan Israel pun beralih kepada demonstrasi besar-besaran warga Palestina kepada pihak Israel yang memang mendukung kebijakan Trump atas keuntungan dari kebijakan tersebut. Alhasil bentrokan antara demonstran dan militer Israel pun kembali menghiasi sudut-sudut Gaza hingga Yerussalem sendiri, hingga tak jarang pula sebabkan kalangan demonstran yang gugur atau bahkan ditangkap otoritas militer Israel dengan dalih makar.
Terima Kasih Trump !!
Mengapa Amerika Serikat melalui Trump mendukung Israel ?, kata tanya yang maksudnya hanya diketahui oleh kedua belah pihak. Meskipun beberapa jurnalis online menganggap bahwa keputusan Trump memang sarat akan politis menggalang dukungan warga Amerika yang berdarah Yahudi. Apalagi pemberitaan di AS sebelumnya kental dengan isu negatif bahwa keberhasilan Trump menjadi orang nomor wahid di Gedung Putih dipengaruhi juga atas inetrvensi Presiden Rusia Vladimir Puttin. Nah, sebab itu pula akhirnya Trump berusaha untuk mengambil langkah yang sarat Pro warga Amerika kalangan Yahudi. Tentu dengan tujuan mengambil dukungan kalangan mereka yang memang memiliki pengaruh besar dalam kancah kenegaraan Amerika. Guna memuluskan langkah Trump untuk mempertahankan status orang nomor satu AS dalam pemilu mendatang dengan menggunakan alasan menaati konstitusi Kongres 1995 AS yang isinya tentang hubungan AS terkait dukungan pada Israel atas hak Yerussalem.
Estafet kontrofersi Trump yang kali ini tentang perihal Yerussalem disikapi dengan dingin oleh Indonesia, secara terang-terangan Presiden Jokowi mengecam keputusan Trump sebagaimana diatas. Bahkan pemerintah RI pun mulai mengambil langkah konkret seperti terus menekan OKI dan PBB agar segera mengadakan kongres luar biasa, hingga plesirannya Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri RI ke benua biru untuk mengambil dukungan negara-negara eropa beserta Uni Eropa untuk tetap mempertahankan status quo Yerussalem. Apalagi Palestina memang dikenal memiliki hubungan baik dengan Indonesia bukan hanya sebatas persaudaraan sesama negara mayoritas yang berpendudukan muslim, lebih dari itu Palestina bersama Mesir merupakan dua negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas proklamasi yang dikumandangkan 1945.
Luar biasa bukan, sontak kontrofersi Trump seakan mendogmakan presiden AS tersebut sebagai “Pemersatu Bangsa” termasuk pula semangat persatuan ke-Indonesiaan. Namun perlulah dicacat bahwa dogma Trump sebagai tokoh pemersatu bermakna sebaliknya, bukan ditujukan atas kontribusi si predikat (pelaku) melainkan berlaku bagi si Obyek (Sasaran) sebagai basis perlawanan atas sebuah kebijakan. Bagi Indonesia setidaknya keterlibatan AS dalam pergolakan Israel vs Palestina mampu menjadi sebuah Oase nilai persatuan khalayak umum rakyat Indonesia. Khususnya mengurangi tensi tinggi pergolakan perbedaan pemahaman antar berbagai ormas Islam sebagai ormas terbesar di Indonesia, yang mana dalam kurun waktu dua tahun terakhir kerap dihiasi bumbu-bumbu politik Identitas antar ormasi islam yang memang berbeda paradigma pola pikir hingga kerapnya penyekatan diri, “Siapa aku, siapa kamu, siapa kita, atau siapa kalian”.
Contoh kecil saja adalah perdebatan alotnya pandangan antara kalangan penggiat paradigma Islam ketat yang direpresentatifkan oleh FPI, MMI, atau bahkan HTI yang secara resmi menjadi ormas yang dibubarkan pemerintah beberapa waktu kemarin. Atau perlawanan kalangan penggiat paradigma “luwes” semacam Nahdlatul ‘Ulama yang dikenal I’tidal dalam berpijak. Belum lagi kalangan ormas Muhammadiyyah yang kerap kali diplot sebagai ormas “Abu-Abu” dalam menetukan kecondongan sikap organisasi. Beberapa ormas-ormas sebagaimana diatas sudah bukan menjadi rahasia lagi akan sebuah persaingan memperluas propaganda paradigma. Diantaraya ada yang kerap kali menyuarakan aksi opini demi tujuan memformilkan NKRI bersyari’at dari hal-hal yang dianggap sekuler. Ada juga yang kurang sepaham hal tersebut dengan landasan bahwa esensi Islam bersifat value dan tidak mungkin syari’at di formilkan. Perbedaan-perbedaan ini pula yang kerap kali menimbulkan gesekan sosial antar unsur masyarakat Indonesia, bahkan tak jarang yang malah menjerumus pada fanatisme buta dengan negative thinking pada semua pemikiran diluar yang diyakininya.
Nah, tatkala isu intervensi Donald Trump selaku presiden AS sebagaimana diatas semakin merebak ke penjuru dunia. Maka saat itu pula semua elemen masyarakat di penjuru dunia beramai-ramai mengecam AS atas langkah kebijakan yang tak didasari pertimbangan matang tentang dampak yang ditimbulkannya. Mayoritas diantara mereka bukan hanya menganggap konflik Israel – Palestina disebabkan atas pergolakan agama. melainkan lebih dari itu bahwa konflik keduanya sudah bermigrasi kearah pergolakan politik kekuasaan, siapa yang menguasai siapa yang dikuasai. Alhasil kontrofersi dari Trump pun membuat sekat-sekat antara berbagai ormas sebagaimana dicontohkan diatas sedikit mengendur. Jika beberapa waktu lalu kerap kali diadakan aksi demonstrasi angka keramat yang hanya diikuti oleh kelompok ormas tertentu yang sevisi, maka demontrasi kali ini lain ceritanya ketika kesemua ormas mampu bersama-sama ikut andil dalam demokrasi massal menentang kebijakan Donald Trump selau presiden Amerika Serikat. Bahkan Nahdlatul ‘Ulama yang terkenal dengan tingkat kesalafannya memutuskan merelakan untuk ikut kedalam gerakan aksi menentang AS. Tak terkecuali juga Muhammadiyyah sebagai salah satu organisasi “lawas” di era awal perhimpunan janin perjuangan. Kesemuanya berhasil untuk sejenak melepas baju kebesaran demi mengikat satu visi misi untuk menebar kecaman pada presiden Trump yang gemar berkontrofersi ria, terkhusus juga untuk membantu penderitaan Palestina dalam kerasnya pergolakan melawan Israel yang didukung oleh negara adidaya dibelakang. Terima kasih Trump !!, tanpa kontroversimu maka persatuan Islamiyyah dan Insaniyyah akan sulit bersatu padu menggerakkan semangat kemanusiaan sebagai warisan Tuhan untuk menumpas segala penyelewengan kekuasaan.