Terapkan TAKE, Kubu Raya Siap Menjaga Kawasan Hutan
Jakarta, Pewartanusantara.com – Sejak menerapkan skema Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE)untuk Alokasi Dana Desa (ADD) pada tahun 2020, Kabupaten Kubu Raya siap berperan menjaga kawasan hutan.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Bina Keuangan dan Aset Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Kubu Raya, Rini Kurnia dalam Podcast Seri 4: Belajar Dari Penerapan TAKE Kabupaten Kubu Raya, Selasa (12/10).
Skema tersebut mengingat Kubu Raya mempunyai potensi sumber daya alam yang besar: lebih dari 45% kawasannya adalah hutan, sekitar 374 hektar dan 75% mangrove di Kalimantan Barat itu adanya di Kubu Raya. Namun, Kubu Raya juga mempunyai kerawanan yang tinggi terkait kerusakan alam seperti kebakaran hutan.
Atas situasi tersebut, Rini Kurnia mengatakan bahwa skema TAKE sudah menjadi pilihan yang tepat untuk diterapkan di Kubu Raya.
“Pak Bupati sendiri, di dalam visi misi dan juga RPJM yang beliau susun, itu sudah memikirkan, bagaimana pun pengembangan daerah dan ekonomi tetap harus menjaga kualitas lingkungan yang ada, dengan potensi dan juga kemungkinan atau kerawanan yang berdaya hadapi,” kata Kepala Bidang Bina Keuangan dan Aset Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Kubu Raya, Rini Kurnia.
Diterangkan Rini, Kubu Raya mulai mengenal TAKE sejak akhir Desember 2019 melalui The Asia Foundation (TAF). Setelah melalui proses panjang, akhirnya skema ecological fiscal transfer (EFT) ini mulai diterapkan pada tahun 2020.
“Jelang akhir tahun 2020 kabupaten sudah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 101 tahun 2020. Ini menjadi solusi, bagaimana kemudian desa punya peran punya peran dalam menjaga alam,” katanya.
Dalam pelaksanaannya, TAKE Kubu Raya dilakukan melalui skema reformulasi ADD. Alokasi dasar dan alokasi formula. Alokasi dasar itu nilainya sama, sementara alokasi formula tergantung dengan kesulitan geografis, indeks penduduk miskin, dan lain-lain.
“Lha, Ayo kita mulai skema terbaru yaitu alokasi kinerja. Alokasi kinerja inilah yang kemudian indikatro0indikatronya berhubungan dengan ekologis,” terangnya.
Tantangan penerapan TAKE
Setelah setahun berjalan, Rini menyampaikan bahwa skema penerapan TAKE mempunyai tiga tantangan besar.
Pertama, terkait formulasi perhitungan. Hal ini lantaran masih baru diterapkan satu tahun sehingga pemerintah masih belum bisa mempunyai formulai perhitungan skema yang baik. Selain itu ada juga pertimbangan “bagaimana perhitungan pola yang berbeda ini tidak terlalu berdampak” sehingga “tidak ada penolakan dari desa yang berubah secara drastis”.
Kedua, terkait dengan ketersediaan data. Rini mengungkapkan bahwa data dari pemerintah rata-rata bersifat sektoral.
“Dari satu sektor ke sektor yang lain tidak sama lalu kita konfirmasi ulang ke desa kemudian juga mendapatkan kan masukkan yang berbeda. Ketersediaan data yang bersifat nya akurat time series. Padahal data itu penting untuk menghitung alokasi,” terangnya.
Ketiga, Porsi ADD. Desa sudah punya alokasi wajib yang hanya boleh diisi ADD. Karena itu, Rini mengatakan “Ruangnya sempit. Porsi alokasi kinerja TAKE menjadi belum bisa besar, ketika mungkin secara persentase, 3% untuk kinerja tahun ini.Tapi 3% itu itu setelah dikurangi alokasi wajib yang sudah mengambil mayoritas dari total ADD Kubu Raya.”
“Tapi sampai saat ini kami belum pernah mendapat komplainan dari desa. Kita di Kubu Raya punya skema bagaimana untuk memotivasi yaitu dengan memberi penghargaan kepada desa,” kata Rini.
“Skema TAKE mempunyai dampak yang sangat luas dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dan juga perbaikan tata kelola desa,” kata Rini. “Desa bergerak, Kubu Raya menanjak,” tutupnya.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida