Sosdem, Sosialisme, Komunisme, Dijelaskan Dengan Sufisme
Salah satu perumpamaan untuk memahami perbedaan antara Sosial-Demokrasi (Sosdem), Sosialisme, dan Komunisme, paling mudah diambil dari ilmu tasawuf.
Tasawuf memperkenalkan Syari'at - Thariqat - Haqiqat.
Sosdem itu ibarat "Syari'at". Sosialisme ibarat "Thariqat". Komunisme itu ibarat "Haqiqat".
Sosdem itu kondisi ketika kehidupan sosial secara lahiriah tampak baik, karena demokrasinya berjalan. Tapi demokrasi itu masih borjuistik, kelas-kelas elite masih berkuasa, dan rakyat belum menguasai alat-alat produksi.
Ini analogis dengan level "Syari'at". Orang shalat, tapi masih riya' (pamer, "aleman"), masih digandoli "penyakit-penyakit hati". Luarnya bagus, tapi dalamnya masih bermasalah.
Sosialisme itu kondisi-kondisi ketika demokrasi lebih maju, rakyat mulai memegang kontrol atas alat-alat produksi, tapi kelas-kelas sosial juga masih kuat. Tapi sarana untuk mencapai demokrasi sejati pada segala bidang, mulai dicapai rakyat melalui penguasaan parlemen, melalui partai-partai politik milik rakyat (bukan partai-partai para pemodal), dan melalui mayoritas perangkat politik negara. Tapi, perang yang dilancarkan kaum elite borjuis yang tak menerima kondisi ini masih cukup sengit, sehingga rakyat masih harus mawas diri dalam menjaga kekuatannya.
Ini persis "Thariqat". Thariqat adalah sarana untuk mencapai kesadaran tertinggi akan Ilahi. Sarananya sudah ada, lengkap dengan metodenya, langkah-langkahnya, tinggal konsisten mengamalkan atau tidak. Di "Thariqat" ini paling banyak godaan, karena nafsu-nafsu yang buruk dan sifat-sifat tercela sisa-sisa kebiasaan buruk lama (feodalisme, kapitalisme) masih bercokol, tapi kabar baiknya, sifat-sifat yang baik dan terpuji (akhlak mahmudah yang bernuansa sosialistik) mulai mengisi relung kesadaran. Meningkatkan kesadaran menjadi wajib pada situasi ini, karena Setan masih suka mengganggu. Perjuangan pada Thariqat ini sama beratnya seperti perjuangan fisik pada Sosialisme.
Komunisme itu kondisi puncak ketika Sosialisme berhasil mengatasi kondisi-kondisi objektif dan subjektifnya, ketika antagonisme sosial menyusut, dan kemakmuran merata secara kolektif. Charles Fourier, seorang tokoh sosialisme utopis, menyebutnya "Tatanan Harmoni"; Marx-Engels menyebutnya "masyarakat tanpa kelas", dan berbagai sebutan lain. Komunisme itu dapat menjadi utopia atau kondisi riil, berbeda-beda menurut versi para pemikir kiri ini, tapi yang jelas, kondisi ini sulit dicapai, sama sulitnya seperti seorang sufi meraih Haqiqat (tentu jika melalui usahanya semata).
Haqiqat adalah kondisi kedekatan (taqarrub) tertinggi manusia dengan sang Ilahi, ketika sifat-sifat baik dan indah telah seluruhnya melingkupi kedirian hamba. Para sufi yang "nyentrik" dan kontroversial seperti Abu Mansur Al-Hallaj menyebutnya "al-ittihad", yaitu penyatuan absolut ketika diri telah melebur dalam keilahian. Para sufi yang lebih moderat tidak seberani Al-Hallaj dan lebih memilih menyebutnya dengan Cinta (Mahabbah) atau Kearifan (Ma'rifah), dan banyak sekali rujukan dan sebutan untuk menamai kondisi ini. Beberapa sufi sungkan menyebutnya secara vulgar, karena mudahnya kondisi ini disalahpahami.
Analog dengan Haqiqat, Komunisme adalah kondisi di mana hal-hal positif dari perjuangan rakyat yang demokratis mulai membuahkan hasil, secara nyata dan meyakinkan. Inilah kondisi di mana negara dan rakyat telah bersatu dalam menghambat tumbuhnya borjuasi, suatu situasi yang revolusioner, tapi dengan catatan, revolusi itu telah memberikan hasil nyata bagi rakyat yang memperjuangkannya.
Dari 1001 eksperimentasi komunisme, mungkin hanya 1 yang berhasil. Bahkan di negara-negara yang mengaku komunis, belum tentu berhasil mewujudkan komunisme, bahkan banyak di antaranya yang mundur kembali menjadi negara kapitalis. Dari 1001 penempuh jalan sufi, mungkin hanya 1 yang mencapai Haqiqat.
Jadi, kalau ada orang yang teriak-teriak anti-komunisme, kita bisa curiga, kondisi orang itu jangan-jangan masih Syari'at, atau satu level di bawahnya, level Maksiat. Orang yang suka maksiat diajak berbicara Haqiqat, tentu kagetnya tak ketulungan. Bisanya memfitnah, sama seperti kaum sufi yang difitnah sesat pada zamannya.
Atau jangan-jangan juga -- ini yang lebih penting -- memang karena kondisi objektif saat ini juga belum sampai pada perwujudan Sosdem itu sendiri. Reformasi 1998 adalah khas revolusi ala Sosdem, dan kita makin mundur dari cita-cita Reformasi.
Jika diibaratkan dengan ketiga hal itu, Pancasila ibarat "mursyid" atau guru sang sufi yang membantunya untuk melewati terjalnya Sosdem-Sosialisme-Komunisme itu. Pancasila diniatkan oleh para pejuang bangsa untuk menjadi pandu bagi perwujudan kemakmuran dan keadilan sosial kolektif tertinggi.
Tapi "quo vadis" Pancasila? Menuju sosialisme? Atau menuju komunisme? Atau menuju "maksiat-isme" kapitalisme neoliberal?
Bung Karno suatu saat mengatakan, "Pancasila itu Kiri". Pertanyaannya, masihkah kita ber-mursyid pada Pancasila yang Kiri ini, atau pada Pancasila Jadi-jadian, yang tak membawa bangsa ini maju kecuali terus berputar-putar di lubang yang sama?
Silakan dijawab sendiri.
Sumber: Muhammad al-Fayyadl (Gus Fayyadl)
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida