Menjamurnya Dai kualitas KW di masyarakat menjadi perbincangan dan kecemasan banyak pihak. Sebenarnya apa yang menjadi latar belakang merebaknya fenomena ini? Dari dapur mana mereka diramu? Bahkan hingga mengusik hegemoni, hingga memaksanya berbenah diri? Merekalah seorang ilusi atau solusi?
Perbincangan tentang Perda’ian di Indonesia memang bukan menjadi konsen pergulatan isu yang menarik. Sesekali saja isu ini ditarik ke permukaan tatkala Pak Mentri Agama mewacanakan sertifikasi Da’i. Hingga-hingga muncul guyon sarkas yang menceritakan tentang Khotib yang berhalangan hadir pada suatu Jum’at, lalu yang lain saling lirik dan tunjuk. “Pak ustadz sana gantiin pak khotib!”, seru salah seorang, lalu dijawab “kaga! Gua kan ga punya sertifikat.” Jawaban bernada alergetik dengan wacana Pak Mentri. Maka bubarlah suatu sholat Jum’at, tanpa terlaksana.
Saya tidak akan lebih jauh membahas tentang sholat Jum’at, akan tetapi saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk merenungkan tentang Da’i Pop yang marak semacam ini. Sikap alergetik yang muncul pada penggalan di atas adalah salah satu contoh saja respon unik dari pergulatan ustadz/da’i di masyarakat. Yang akan kita bahas adalah kenapa para Da’i Pop ini cenderung alergertik dengan wacana tersebut?
Kasus hangat beberapa minggu yang lalu berkaitan dengan salah tulis ayat seorang da’iyah pop akan mengantarkan kita pada suatu indikasi. Kenapa ya kok bisa seorang da’i bisa salah tulis, padahal menulis ayat adalah hal yang sangat elementer, terlebih ayat adalah dalil pertama dalam hukum syara’ Islam. Kok bisa? Padahal kalau dalam pendidikan diniyyah keagamaan, insya’ atau tulis menulis menjadi hal yang pertama diajarkan selain memcaba huruf hijaiyyah. Sekali lagi, kok bisa?
Lalu, fenomena da’i pop yang membuat testimoni, tentang akan gantung peci (red: pensiun ngustadz) jika syarat menjadi da’i adalah wajib bisa membaca kitab kuning. Aduh, ini semakin ngawur saja. Berarti dia beranggapan kalau menjadi da’i boleh tanpa kualifikasi pemahaman bahasa arab yang mumpuni? Ya ngawur. At least, untuk dai yang sifatnya regional kecil dan tidak mempunyai daya influence yang besar masih bisa dimakhlumi. Namun bila sudah diikuti dan mampu memberikan dampak bagi khalayak umum, gimana bisa kalo tanpa penguasaan bahasa arab yang baik? Lalu dari mana mereka menyandarkan pemahaman akan teks, metode penggalian? Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana mereka menjawab pertanyaan dari hadirin majelis, mengingat gaya dakwah sekarang selalu ada tanya jawab?
Bicara soal pemahaman bahasa, memang sedari lahir orang Indonesia tidak terbiasa dengan bahasa Arab dan tidak menjadi bahasa ibu. Dari warna vokalpun berbeda dengan apa yang ada di bahasa Arab dan yang ada di bahasa kita, bahasa Indonesia dengan segala kearifan budayanya. Misal saja ni, dalam bahasa Arab ada huruf ‘ain, oleh orang Indonesia khususnya jawa maka akan susah diucapkan. Maka ditariklah bahasa tersebut kearah jawa-jawaan. Alhamdulillahi robbil ngalamin… misal lain orang sunda, maka akan susah mengucapkan huruf fa’. Alip laam miim… begitulah, secara vokal kebahasaan memang sudah mempunyai halangan dalam mempelajari bahasa Arab.
Memang sih, untuk belajar bahasa Arab membutuhkan ketekunan yang lebih, mengingat untuk menguasainya beserta gramatikanya ada banyak displin ilmu yang perlu dipelajari. Dari nahwunya, shorofnya, nanti untuk lebih expert bagaimana ‘arudnya, baharnya, balaghahnya untuk memahami teks kuno, misal hadist, qoul sohabi, dll. Tapi, apakah untuk menjadi orang yang akan banyak ditanya tentang agama yang bersumber dari bahasa arab boleh lalai dengan bahasa pengantarnya (bahasa arab)? Saya rasa, utopis bagi mereka yang tidak paham bahasa Arab lalu ‘ndakik ndakik’ bahkan nyalahin orang yang mempunyai amalan berbeda.
Kembali kepada persoalan awal, lalu kenapa si mereka cenderung alergetik dan resisten pada wacana ini? Padahal sedari kompentensi terindikasi dari beberapa sampel sudah di bawah rata-rata. Atau mereka malu jikalau nantinya mereka terbongkar jika banyak yang tidak menguasai dirosah islamiyyah beserta bahasa pengantarnya? Kalau memang takut adanya penyeragaman, santai saja, jikalau memang ikhtilaf terus lempeng saja namun tetap dengan dalil otoritatif. saya kira wacara sertifikasi da’i penting adanya, jangan sampai da’i berbicara ngawur dan lebih bersifat spekulatif. Untuk menjadi operator crane saja butuh sertifikasi, dan program pelatihan intensif dan berbiaya mahal. Lalu apakah untuk menjadi da’i bisa hanya dengan halaqoh seminggu sekali selama 2 tahun? Oke well, saya rasa orang itu punya ilmu laduni.
Menutup, paragraf ini saya ingin bernostalgia dengan dawuh seorang guru saya di pesantren, “jangan harap kesuksesanmu datang dengan mudah, untuk mendapat madu saja harus rela tersengat lebah.”