Quo Vadis Aswaja
Diskursus ini adalah upaya untuk menempatkan Aswaja dalam realitas empiris, sehingga aswaja tidak mengalami distorsi idiologi, yang mana dalam beberapa diskursus sebelumnya, aswaja hanya ditempatkan pada lokus historis, atau semacam doktrin-doktrin an sich, yang pada akhirnya membuat pemahaman Aswaja terjatuh dalam jurang “reduksinonisme madzhabis”. Aswaja adalah ruang terbuka yang tidak hanya menyentuh inti landasan berfikir (Manhaj Al-Fikr), tetapi juga menyentuh inti landasan bertindak dalam mengorganisir kebenaran (Manhaj al-Nidhami), bahwa empat pokok landasan aswaja – tawasuth, tasamuh, tawazun, ta’adul – adalah konsep besar yang memiliki makna mendalam sebagai landasan bergerak secara terorganisir.
Diskursus ini sama sekali tidak berupaya melakukan kritik, akan tetapi lebih pada menentukan arah transisi, yakni setelah aswaja dijadikan sebagai Manhaj Al-Fikr, kemanakah Arahnya?. Pada situasi ini, Aswaja tidak hanya dapat dipahami sebagai didaktik-metodik, akan tetapi implementatif-transformatik. Hal ini, penegasan bahwa pengetahuan tidak hanya terletak pada kecerdasan rasional-konseptual, akan tetapi harus menyentuh pada ranah implementasi idiologi dalam realitas-polemik-problematik. Mengutip ide Dan Brown dalam inferno bahwa Neraka hanya diciptakan untuk manusia yang hanya berpangku tangan melihat keadaan yang mulai kacau. Maka, implementasi dari pengetahuan adalah cara menyelamatkan diri dari Neraka.
Selanjutnya, untuk kepentingan sistematisasi pembahasan agar mencapai pengetahuan yang komprehensif, maka diskursus ini akan menela’ah empat pokok besar dalam idiologi aswaja sebagai berikut :
Pertama, konsep tawasuth. Dalam diskursus sebelumnya tawsuth diartikan sebagai sikap moderat. Lebih dari pemahaman tersebut, jika diambil dari dasar kata bahasa Arab tawasuth berarti tengah-tengah. Hemat penulis, tengah-tengah tidak hanya bermakna leksikal pada makna asalnya, secara ruh pengetahuan tengah-tengan dapat berarti abad pertengahan, yang mana segala bentuk informasi pengetahuan teramat sangat mudah didapatkan. Dengan demikian, tawasuth lebih menekankan pada kecerdasan emosinal psikologis, yang tidak hanya berhenti dalam dimensi konseptual teks, melainkan juga kecerdasan membaca realitas sosial emperik abad pertengahan (atau bahkan abad millenials).
Surah al-‘alaq adalah wahyu pertama yang turun kepada Muhammad. Didalamnya terdapat kata iqro’ yang Tuhan ulang dua kali. Jika dikaji secara harfiyah melalui qorinah ayat tersebut, maka perintah iqro’ terhadap teks terdapat pada iqro’ yang kedua dengan qorinah ayat “Alladzi ‘allama bil qolam”. Sedangkan iqro’ yang pertama memiliki qorinah “Robb” yang disandingkan dengan teori penciptaan. Secara eksplisit ayat ini menujukkan bahwa iqro’ yang pertama merupakan perintah membaca eksistensi diri dan realitas empiris, sehingga manusia dari yang sekedar air mani, yang setiap orang merasa jijik melihatnya, segumpal darah yang setiap orang enggan meminumnya, atau butiran debu yang setiap orang menginjaknya, atas nama Tuhan, menjadi lebih dari sekedar mani, segumpal darah dan butiran debu.
Selanjutnya, al-Qur’an QS. Al-Baqoroh : 143, yang didalamnya terdapat kata wasathan yang memiliki tujuan kecerdasan dan penegasan abad pertengahan – dimulai dari letupan aufklarung, renaissance, revolusi prancis, dan revolusi eropa – telah menjadikan pengetahuan dan rasionalitas diatas segala-galanya. Al-Qur’an Qs. Al-Hajj: 52, di dalamnya terdapat kata “ilm” yang disandingkan dengan kata “Haq”, yakni pengetahuanlah yang dapat mengantarkan manusia pada kebenaran Tuhan. Maka secara landasan teoritis, makna tawasuth tidak semata-mata bersikap netral (moderat) melainkan juga harus melek terhadap realitas dengan kacamata pengetahuan epistemologis.
Kedua, konsep tasamuh, yang mengandung pengertian toleran. Tentu saja, toleransi bukanlah obrolan renyah yang begitu saja dilumat kata-kata. Toleransi adalah prinsip untuk menyikapi keberbedaan dan kemajemukan, baik suku, kebenaran agama-agama, ataupun ras. Toleransi adalah sikap mental untuk mengakui relativisme kebenaran dengan kompleksitas perbedaan yang tinggi, bahwa orang lain bisa berdiri dengan kebenarannya sendiri, yang mungkin tidak sama dengan kebenaran yang dianut satu kelompok tertentu.
Rosulullah pernah menggambarkan sikap toleransi ketika kedatangan tamu dai nashara najran yang mengajak dialog tentang Agamanya. Ungkapan pertama yang Rosulullah sampaikan adalah “Inna aw iyyakum la ‘ala hudan aw fi dlalalin mubiin” . Dalam situasi tersebut, sekalipun Muhammad telah mendapat jaminan kebenaran Agama islam dari Tuhan, Muhammad tidak lantas mengklime bahwa Agama islam adalah paling benar, namun justru memperlakukan sama antara agama islam dan agama yang dianut oleh kaum nasrani tersebut, dengan membuka ruang discus-dialektis untuk saling beradu argument mempertahankan kebenarannya sesuai dengan dimensi theologisnya. Situasi ini menunjukkan bahwa toleransi bukanlah untuk menghancurkan kebenaran lain, melainkan sikap mental secara prinsip untuk menghargai kebenaran yang dianut kelompok lain.
Secara organisasi kenegaraan, Muhammad menggambarkan sikap toleransi dengan memproklamerkan piagam madinah[1] (charter of city state) yang secara tegas melindungi Agama lain untuk hidup berdampingan dan mendapat perlakuan hukum dan suaka yang sama rata. Piagam Madinah[2] mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi keberagamaan - yang oleh ahli-ahli politik moderen kebijakan Muhammad tersebut disebut sebagai manifesto politik pertama dalam Islam.
Ketiga, konsep Tawazun, Tawazun, secara etimologis berasal dari dasar kata wazana, bermakna ukuran, dan tawazana, yang mengandung makna seimbang. Artinya, tawazun adalah kemampuan seorang individu untuk menyeimbangkan kehidupanya dalam berbagai dimensi, sehingga tercipta kondisi yang stabil, aman dan nyaman.
Secara konseptual, dalam ruang lingkupnya, setidaknya tawazun menyentuh dua inti kemanusiaan dalam teori penciptaan; Fitrah Kauniyah, bahwa Tuhan dengan segala kuasa-Nya telah menciptakan dunia ini dengan keseimbangan yang sangat teratur. Dan Fitrah Insaniyah, bahwa karunia Tuhan tentang pencipataan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk adalah keseimbangan yang dirasakan secara langsung oleh manusia. Tawazun mengajarkan keseimbangan dalam memelihara eksistensi kemanusiaan yang terdiri dari unsur al-jasad (jasad), al-‘aql (akal), dan ar-ruh (roh).
Pada landasan berikutnya, tulisan ini akan mengulas mengenai hak-hak kolektif sebagai individu dan sosial yang berdasar pada hadist Nabi.
إن لربك عليك حقا ولجسدك عليك حقا ولأهلك عليك حقا، فأعط كل ذي حق حقه
Secara implementatif, tawazun mengarahkan manusia agar memperhatikan ketiga unsur tersebut diatas secara seimbang. Al-jasad membutuhkan al-ghida (Gizi) al-jasadiy, yakni dimensi analisis diri dan analisis sosial. Maka, pada situasi ini, gizi ragawi tidak hanya bermakna makanan dan minuman, bahwa ragawi bukan semata onggokan daging mentah, melainkan resonansi jiwa yang bersinggungan dengan realitas sosial. al-‘aql membutuhkan al-ghida al-‘aqliy. Disinilah gizi pengetahuan dan kecerdasan mental sangat dibutuhkan. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa kecerdasan manusia tidak hanya terletak pada pengelihatan mata terhadap teks, melainkan pengetahuan hati terhadap realitas empiris. dan ar-ruh membutuhkan al-ghida al-ruhiy, dimensi ini adalah dimensi hubungan manusia dengan Tuhan. Asupan gizi pada bagian ini adalah asupan yang dibutuhkan oleh hati (Pure reasion, dalam bahasa Kant), yang pada akhirnya akan melahirkan kebijaksanaan (Shopia, dalam tradisi Yunani), keutamaan (Summum Banum dalam bahasa pelato) dan moralitas-etik. Tawazun adalah upaya untuk mencapai keseimbangan hablumminallah, hablumminannas dan hablumminal’alam.
Keempat , konsep Ta’adul, secara sederhana bisa diartikan sebagai sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamatsul). Secara Prinsip ta’adul adalah sikap tanpa keberpihakan yang berat sebelah atau melakukan perbedaan yang inkontitusional menurut hukum yang berlaku. Keadilan juga merupakan keselarasan sikap antara pandangan dan kenyataan.
Dalam pandangan filsafat, Plato menggagas konsep keadilan dengan menggunakan istilah “Dikaiosune”. Istilah tersebut memiliki cakupan yang lebih luas, yakni mencakup moralitas individual dan sosial. Penjelasan mengenai keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil dalam hal ini adalah menyangkut relasi manusia dengan yang lain, baik antar individu maupun dalam memperlakukan realitas yang mengelilinginya. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, “fiat jutitia bereat mundus”. Yang pada akhirnya keadilan akan melahirkan kebahagiaan dan kebijaksanaan hidup.
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis, sehinga sangat terbuka untuk menentukan arah aswaja setelah menjadi landasan berfikir rasional. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan dalam makna tertentu, aswaja dalam diskursus manhaj al-fikr menuju manhaj an-nidhamiy, tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Akan tetap tulisan ini merupakan tawaran konsep aswaja dalam landasan rasional-epistemik-implementatif, dengan pendekatan teknikalitas untuk mencapai prosedur yang teliti dan nyaris pasti sesuai realitas empiris abad millenials, suatu keadaan yang sangat menjunjung tinggi kecerdasan rasionalitas dan kecerdasan moral. Pada akhirnya, secara prinsip, tulisan ini adalah upaya mencapai koherensi logis dari genuine Islam yang rahmatan lil ’alamin (kebaikan universal).
[1] Secara lengkap piagam madinah diriwayatkan oleh Ibn Ishaq [w. 151 H] dan Ibn Hisyam [w. 213 H], dalam penelitian Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu. Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.
[2] Diantara penulis-penulis klasik yang menukil Piagam Madinah secara lengkap antara lain: Abu Ubaid Qasim Ibn Salam dalam Kitab Al-Amwal, Umar al-Maushili dalam Wasilah al-Muta’abbidin dan Ibn Sayyid dalam Sirah al-Nas. Sementara itu, beberapa penulis klasik dan periwayat lainnya yang menulis tentang Piagam Madinah antara lain: Imam Ahmad Ibn Hambal (w. 241 H) dalam Al-Musnad, Darimi ( w. 255 H) dalam Al-Sunan, Imam Bukhori (w. 256 H) dalam Shahih-nya, Imam Muslim ( w.261 H) dalam Shahih-nya. Tulisan-tulisan lain tentang piagam tersebut juga bisa dijumpai dalam Sunan Abu Dawud (w. 272 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H), Sunan Tirmidzi (w. 279 H), Sunan Nasa’i (w. 303 H), serta dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk milik al-Thabari.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida