Tepat menjelang senja menyapa, petang malam beriringan rembulan belum tampak juga. Pula disudut kedai kopi lesehan tampak tujuh sekawan yang tak asing lagi di dunia pewayangan, empat punakawan; Kyai Semar dengan ketiga murid terpercaya; Ki Bagong, Ki Petruk, dan Ki Nala Gareng, sedang tiga lainnya adalah bangsa wanara kiskenda; Hanoman si tetua kera, resi sugriwa, dan Anggada. Ketujuh tokoh besar tersebut berkumpul dalam satu majlis dalam rangka hari jadi Pewarta Nusantara Pertama, guna membincang dan berdialek mesra tentang penyikapan wacana prahara pralaya di Nusantara Hastina.
Sang mahaguru Semar mengawali dialog, “Salam atas kalian semua semoga senantiasa mendapat rahmat dan keberkahan dari Sang Hyang tertunggal. Selamat sore para tokoh-tokoh gila yang rela mencurahkan pemikirannya demi satu bangsa dan negara tanpa pembeda. Saya sebagai moderator akan memimpin jalannya sidang komisi ini, meskipun nyatanya sidang ini tak seperti sidang-sidang para pejabat dewan wakil rakyat di istana yang penuh gemerlap permadi permadani. Tapi toh bukan menjadi masalah karena kita memang telah terbiasa berdialek di alas lesehan dengan camilan ringan pasaran rakyat. Lalu yang tak kalah penting silakan di sruput kopinya”.
Nampaknya hanya hanoman yang tak meneguk kopi hitam didepannya, wajar saja karena memang dirinya hanya doyan air putih sesuai dengan fitrah dirinya si kera putih. Tiba-tiba Anggada menyahut pembicaraan dengan lantang, “Maaf, Bukankah kita bertiga bangsa wanara, mengapa kita harus diikutkan menanggung derita prahara di hastinapura ?”
“Anggada, bukankah Sang Hyang Tunggal menciptakan mahluk dengan satu kesatuan laksana simpulan tali berbentuk bulatan lingkaran yang kedua ujungnya saling terikat erat satu sama lain ?, Lalu bukankah bangsa kiskenda sejak kala juga telah ikrar dibawah Nusantara Ayodya yang bermetamorfsis menjadi Hastina ?, Lantas apa alasan untuk tidak berkontribusi pada negara kesatuan ini ?” Kata Sugriwa menayahut perkataan dari sepupunya sendiri.
Alhasil putra resi sakti Subali tersebut terdiam usai mendengar pamannya Resi Sugriwa. Disisi lain Ki Bagong dengan nada ceplas-ceplos, “Sudah hentikan perdebatan ini, Anggada jika engkau tidak berkenan untuk ikut persidangan maka Walk Out saja sana, toh engkau sudah mendapati keinginanmu yaitu kopi gratis kan”
Ketegangan suasana tercairkan gegara candaan dari Bagong, wajar karena memang Bagong dikenal mempunyai nuansa selera humor yang kerap mampu mengocok perut pendengar, apalagi dengan fisik gendutnya semakin menambah humoritas Bagong, karena memang Bagong tercipta dari bayangan gurunya- Kyai Lurah Smarasanta titisan Cahya Batara Ismaya. Sebab itu pula Bagong kerap menjadi yang terdepan dari dua punokawan lainnya (Ki Petruk dan Ki Gareng) dalam mendapatkan kepercayaan dari Gurunya Kyai Semar. Ketiganya juga kerap berlomba-lomba menujukkan abdinya pada Kyai Semar seperti saat berlomba-lomba merapikan sandal sang guru tartkala bersembahyang atau ketika membantu menyiapkan hidangan kopi panas dalam pertemuan.
Kembali ke persidangan komisi tujuh wayang, kembali Kyai Semar beropini tentang cakrawala pengetahuannya menyikapi fenomena, “ Semua khalayak mengetahui bahwa Jimat Jamus Kalimasada merupakan senjata yang tak terkalahkan dan popular di kalangan para tetua, rara-raja, hingga ksatria se jagat lil alamin. Barangsiapa yang memiliki Kalimasada maka dia akan menjadi seorang raja, inilah rahasia dibalik kekuatan Kalimasada yang kerap membuat para tetua dan ksatria sakti mandraguna mencoba mengkudeta Prabu Puntadewa dari kasta istana demi merebut Jamus Kalimasada. Sebelum akhirnya mustika ini pernah raip dicuri oleh Dewi Ning Mustakaweni dari kerajaan Imantaka dan direbut oleh Raja Welgeduwelbeh melalui siasat guraunya, bukankah demikian Ki Petruk ?”. Celoteh Kyai Semar menoleh kehadapan putra angkat sekaligus abdiya Ki Petruk.
Memang dulu Petruk pernah menjadi seorang raja Lojitengara pasca berhasil memanfaatkan kekacauan perebutan Kalimasada di negeri Imantaka dan mengambil secara Siri Kalimasada milik Prabu Puntadewa, Alhasil ia pun menjadi seorang raja Lojitengara dengan julukan Prabu Welgeduwelbeh sebelum akhirnya dikudeta tanpa darah oleh saudara seperguruan Ki Lurah Bagong hingga pada akhirnya pusaka Jamus Kalimasada dipulangkan kembali ke Prabu Puntadewa sang pemilik asli jimat sakti tersebut.
“Hahaha, dasar raja Welgeduwelbeh hobinya selalu mencuri barang hasil curian berdalih menegakkan keadilan, meski nyatanya ia menikmati barang haram bukan haknya itu pula”. Ungkap Ki Petruk membincang dirinya sendiri.
“Efeknya tahta yang diraihnya diambil lagi oleh Sang Hyang Maha Tunggal karena memang media Kalimasada yang ia gunakan bukanlah haknya alias berstempel curian”. Sahut Ki Bagong menyindir Ki Petruk, yang sebenarnya ia merupakan tokoh utama yang membuka kedok Ki Petruk dari singgasana Lojitengara kala.
“Sudah-sudah, kembali ke pembahasan utama. Kalian tahu mengapa para tetua negara Imantaka atau bahkan Prabu Welgeduwelbeh yang luhur bertahta tak lama tak seperti Prabu Puntadewa, walaupun mereka telah memiliki mustika Jamus Kalimasada yang memiliki keistimewaan bahwa penjaga mustika tersebut akan menjadi seorang raja atas sebuah tahta ?” Papar Kyai Smarasanta.
Semua tokoh pewayangan yang hadir di persidangan tersebut geleng-geleng kepala, termasuk Ki Petruk dengan wajah memerah efek sindiran bertubi-tubi dari Punakawan lainnya.
Kyai Lurah Semar kembali berwejang panjang; “Sebenarnya ada tiga pihak yang mengetahui rahasia Prabu Puntadewa terkait kesuksesannya memerintah Nusantara hingga ia mokhsa, meski ia telah kehilangan mustika Kalimasada yang telah dicuri oleh Ning Mustakaweni. Hal ini karena darma Kalimasada telah merasuk dalam qolbu Puntadewa, selain itu Prabu Puntadewa juga mempunyai mustika sakral sebagai penyempurna Kalimasada, selain Sang Prabu hanya daku dan Resi Kresna yang mengetahui rahasia ini, karena memang kita berdua merupakan dewan pertimbanan presiden Hastina dimasa kepemimpinan Prabu Puntadewa. Mustika tersebut bernama “Garda Panca Sirah” yang mempuyai keistimewaan sebagai pelengkap Kalimasada. Barang siapa yang mempunyai dua mustika sakti tersebut ; Kalimasada dan Garda Panca Sirah dan mengamalkan amalan darma dari mustika tersebut maka ia akan menjadi titisan Sang Hyang Tunggal sebagai Khalifah Fil Ardh. Raden Prabu Puntadewa contohnya, beliau menjadi pemimpin yang luhur dan senantiasa dihormati rakyatnya hingga mokhsa di masa senja. Sedang Raja Welgeduwelbeh meskipun ia juga punya pondasil luhur tapi ia tidak cukup mumpuni mengamalkan darma Kalimasada, karena jimat mustika tersebut didapat tanpa restu pemilik aslinya, selain alasan bahwa ia juga tidak memiliki Mustika Garda Panca Sirah. Selain itu agar khasiat mustika Garda Panca Sirah keluar ketajiannya maka pemiliknya terlebih dahulu harus tirakat mengamalkan Panca Dharma sebagai syarat mutlak agar keistimewaan mustika tersebut keluar, ini letak kesulitan dari Garda Panca Sirah yang bukan hanya sebagai pusaka individu atau pun pusaka kemanusiaan melainkan juga berposisi sebagai pusaka kenegaraan.”
“Setelah wafatnya Prabu Puntadewa mustika tersebut raip entah kemana, menyisahkan Jimat Kalimasada yang juga tak lagi bertaji, imbas jimat tersebut hanya dipandang secara fisik saja tanpa darma pengamalan tersirat dari jimat jamus kalimasada. Tak adanya Garda Panca Sirah juga semakin membuat tuah Kalimasada semakin tak bertaji laksana pisau berkarat tanpa media asahan. Selain itu untuk menekan gejolak kemanusiaan hastina akhibat efek negatif senjata globalisasi yang sudah menjamur maka kita membutuhkan mustika Garda Panca Sirah sebagai penyempurna jamus Kalimasada”
“Lantas bagaimana kita harus menemukan mustika Garda Panca Sirah wahai Maha Guru Smarasanta ?, tanya Hanoman dengan penuh keseriusan.
“Browsing saja di Search Engine Google Hanoman Si Wanara Putih !!!”, Sahut Ki Gareng dengan menyodorkan tablet miliknya kearah Hanoman.
Disisi lain Kyai Semar tertawa ketika mengetahui bahwa Ki Gareng gagal menemukan dimana Mustika Garda Panca Sirah berada meski dirinya telah menggunakan berbagai aplikasi mulai Hostpot Shild hingga menjelajah Deep Net, namun dirinya tetap tak menemukan petunjuk dimana Mustika Garda Panaca Sirah itu berada. “Hahahaha, Gareng muridku engkau mencari di situs mana saja tentu engkau pasti tak akan menemukan petunjuk dimana Garda Panca Sirah berada, karena memang mustika itu bukan mustika biasa yang dapat digapai dengan cara instan melainkan tentu membutuhkan sebuah tahapan proses keseriusan dalam pencarian.”
“Menurut hipotesis penelitian disertasiku terkait mustika Garda Panca Sirah bahwasahnya daku hanya menemukan pemaparan bahwa burung Garuda-lah yang mengetahui dimana Prabu Puntadewa menyimpan mustika kenegaraan tersebut, hipotesis ini dikuatkan dengan fakta bahwa burung Garuda dijadikan maskot kenegaraan hastina”. Papar Kyai Semar sekali lagi.
“Garuda yah, sekali lagi Garuda menjadi pahlawan utama cerita karmapala. Dulu Garuda yang memberikan sandi pada Prabu Sri Rama tentang peristiwa penculikan Ayunda Dewi Sinta oleh Rahwana si Angkara murka. Garuda pula yang membantu pasukan aliansi Kiskenda – Ayodya dari serangan ular berbisa dari panah sakti Naga Saka kepunyaa Prabu Indrajit. Pantas jika Garuda mendapat amanat kepercayaan Prabu Puntadewa sebagai kunci utama mendapatkan informasi dimana mustika Garda Panca Sira berada.” Kata Wanara tua Resi Sugriwa yang memang merupakan salah satu ksatria yang pernah mengenal dekat dengan salah satu dari Garuda bernama Jatayu yang mokhsa akhibat bertempur melawan prabu Rahwana kala.
“Sidang para pewayangan ditutup dengan sebuah naskah baru “mencari garuda”, guna mencari kejelasan dimana mustika Garda Panca Sirah berada. Mustika kenegaraan yang diharapkan mampu mengatasi prahara kemanusiaan yang menerjang Hastina akhibat dampak negatif senjata bernama Globalisasi yang kerap membawa virus provokasi tanpa rasionalisasi.” Tutur Ki Gareng mengutip simpulan Mahaguru Kyai Lurah Semar dalam sebuah caption di akun instagram miliknya disertai dengan sebuah foto Gunungan yang menandai akhir sebuah sandiwara.
Oleh: Rizal Nanda Maghfiroh