Problematisasi Islam Nusantara di Masyarakat
Pengarusutamaan nilai-nilai Islam Nusantara di masyarakat sebagai corak sosial-keagamaan menjadi hal yang menarik, tetapi sekaligus memunculkan perdebatan baik yang melahirkan dimensi kontra sosial, politik, pemikiran, ideologi, dan sebagainya.
Dalam berbagai informasi yang berkembang di sosial media, masyarakat ada yang saling klaim satu sama lain, ada yang pro dan juga kontra. Hal ini memunculkan berbagai spekulasi, mengapa pewacanaan Islam Nusantara itu sendiri melahirkan berbagai polarisasi dalam masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat akademik.
Diskursus mengenai Islam Nusantara sebetulnya telah banyak dikaji oleh para akademisi atau intelektual seperti Prof. Azyumardi Azra. Belum lama ini juga, Syafiq Hasyim meluncurkan buku yang berjudul Islam Nusantara. Esensinya, bahwa Islam Nusantara itu sebagai pendekatan atau corak Islam yang bisa beradaptasi dengan nilai-nilai lokalitas yang dapat menjadi penggerak sosial yang sejalan dengan perubahan sosial itu sendiri. Sehinga, ide mengenai Islam Nusantara bukan hanya terletak pada idealya saja, tapi pada cara kerjanya bagaimana terus beriringan dengan perubahan sosial.
Perdebatan bangunan konsep Islam Nusantara tentu tidak sesederhana di atas, namun sangat kompleks. Hal ini yang menjadi tugas berat bersama. Sejauh mana konsep Islam Nusantara itu mampu menjawab kompleksitas tantangan sosial secara luas dan terus berkelanjutan. Meskipun, sebagian ide Islam Nusantara telah berlangsung di masyarakat hingga saat ini. Tetapi, rumusan Islam Nusantara belum bisa dikatakan telah utuh. Karena masih banyak dimensi-dimensi lainnya yang masih terus dalam proses penggalian, pencarian dan pengembangan.
Problem dalam Wilayah Sosial
Ketika Islam Nusantara diwacanakan ke publik, konsekuensinya juga sangat beragam. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Beberapa Sarjana Muslim Indonesia memberikan respons mengenai hal tersebut.
Moch. Nur Ichwan misalnya, Dosen Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menanggapi, bahwa salah satu persoalan Islam Nusantara di masyarakat saat ini, karena masih ada anggapan masyarakat yang masih memahami bahwa Islam Nusantara sebagai upaya Pertikularisasi Islam, dalam pengertian pencabikan totalitas dan Universalitas Islam. Islam Nusantara dipahami berbeda dengan corak Islam pada umumnya.
Padahal, menurut Moch. Nur Ichwan, Islam Nusantara itu bukan partikularisasi, tapi universalisasi terkontekstualkan, dalam pengertian bahwa Islam Nusantara mengkontekstualisasikan Universalitas Islam dalam ruang geososial tertentu dengan segala karakteristik khasnya. Kontkestualisasi ini bukan dalam untuk memutus Islam Nusantara dari Universalitas Islam, tapi dalam rangka universalisasi lebih lanjut Islam dalam ruang dan waktu tertentu secara berkelanjutan dan dinamis.
Demikian halnya Munirul Ikhwan, Dosen Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memberikan pandangan. Menurutnya, bahwa orang bisa saja senang dan sangat menerima konsep Islam Nusantara. Karena dipahami Islam dengan corak yang sangat friendly dan cocok dengan kondisi masyarakat yang ada. Tetapi, masyarakat bisa juga tidak sejalan atau berbeda. Misalnya, karena melihat ada identitas tertentu yang sudah sangat melekat dengan Islam Nusantara.
Pandangan di atas, dapat menjelaskan paling tidak ada dua persoalan mendasar mengenai perbedaan pemaknaan konsep Islam Nusantara di masyarakat. Pertama, kontra ideologi, artinya seseorang yang sudah terbiasa dengan suatu ide atau pemahaman tertentu baik secara individu maupun kolektif, sangat menentukan persepsi mereka mengenai suatu ide atau pemahaman baru yang muncul. Di sini, terjadi proses saling mengetahui, adaptasi, dan memungkinkan terjadinya dialog atau perjumpaan. Kedua, kontra politik, artinya orang bisa berbeda tidak hanya karena berbeda organisasi, kelompok, ideologi, atau pilihan politik saja. Tetapi, kontra politik bisa terjalin luas dengan relasi kuasa lainnya. Misalnya, karena terjadi proses perebuatan wacana atau pengikut.
Jika dilacak, sebetulnya konsep Islam Nusantara adalah nilai-nilai yang ada di masyarakat nusantara sendiri. Misalnya, sejak Islam mulai berkembang di masyarakat, melalui para pembawa ajaran Islam seperti Wali Songo atau yang lainnya, tidak menghilangkan budaya atau tradisi masyarakat yang ada. Sampai saat ini, kita masih bisa menemukan nilai-nilai lokalitas tersebut berkembang di masyarakat.
Cara kerja itulah yang menjadi bagian dari spirit Islam Nusantara yang dikembangkan oleh organisasi sosial keagamaan seperti Nahdatul Ulama (NU) atau yang lainnya. Maka, perdebatan konsep Islam Nusantara tidak selalu berada pada wilayah perdebatan sumber atau ide besarnya. Tetapi, ada faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi.
Baca juga: Wajah Islam Milenial dan Masifnya Media Sosial
Problem Islam Nusantara dalam Wilayah Akademik
Dalam argumentasi lainnya, Moch. Nur Ichwan memberikan tanggapan, perdebatan tentang Islam Nuasantara saat ini lebih bersifat politik ketimbang akademis. Dulu, ketika Islam Nusantara masih menjadi wacana akademik, hampir tidak ada yang mempersoalkan. Beberapa akademisi menerbitkan buku dengan judul Islam Nusantara, seperti Prof. Azyumardi Azra dan M. Abdul Karim. Saat itu tidak ada masalah. Namun setelah NU mengadopsinya sebegai corak keagamaan, respon mulai bermunculan, baik itu respons positif atau sebaliknya.
Hal ini menjadi sebuah tantangan bersama. Bagaimana konsep Islam Nusantara menjadi sebuah pendekatan sosial keagamaan yang lebih mencair dan dinamis. Nilai yang terus hidup dan beriringan dengan kenyataan masyarakat yang ada. Tidak menjadi ide yang tertutup dan anti terhadap kritik.
Dalam wilayah akademik, diskursus Islam Nusantara terus dalam proses penggalian, pencarian, dan pengembangan. Pada tahun 2017, Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga, menyelenggarakan seminar yang mendiskusikan Arsitektur Islam Nusantara (AIN), yakni arsitektur (sains, seni dan tekhnologi) yang mewujud dalam ide, nilai, cita rasa, dan konstruksi yang berangkat dari ciri khas atau nilai yang ada di masyarakat Indonesia.
Tetapi, rumusan Islam Nusantara secara menyeluruh tentu tidak dapat berhenti hanya sampai di situ. Karena, sebagai suatu ide atau paradigma yang berlaku secara luas di masyarakat, maka rumusannya harus terus dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat yang ada.
Maka dari itu, proses ke depannya, tantangan Islam Nusantara baik yang ada di masyarakat umum maupun di wilayah akademik, tentu akan semakin kompleks. Bagaimana terus dikembangkan tidak hanya sampai pada menjawab problem sosial keagamaan pada umumnya. Tetapi, bisa mencakup problem sosial mendasar lainnya, seperti sosial-ekonomi, pengembangan masyarakat, sains, dan isu-isu kekinian.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida