Dalam tulisannya Populisme Islam in Indonesia and Middle East, Vedi Hadiz mengatakan bahwa fenomena menguatnya islam politik di Indonesia merupakan gejala yang umum jika dibandingan dengan fenomena politik di belahan dunia yang lain. Kalau di Indonesia sibuk dengan populisme islam lain halnya di eropa yang sedang bergulat dengan populisme kanan atau etnonasionalisme. Populisme itulah yang menentang kedatangan pengungsi dan getol mengukuhkan supremasi ras kulit putih.
Pupulisme merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kontestasi politik modern. Ia adalah manifestasi dari konflik sosial yang mengakar dalam sejarah, perbenturan ideologi serta perebutan sumber daya ekonomi. Para pengamat politik lebih mendekati fenomena populisme dengan dua cara. Pertama populisme sebagai dampak dari wacana ideologi dan yang terakhir sebagai organisasi atau gerakan sosial.
Pendekatan yang pertama lebih mengacu pada representasi gagasan yang menjadi landasan bertindak suatu kelompok tertentu. Pengalaman Indonesia merupakan contoh yang jelas ketika terjadi pembelahan ideologi antara nasionalis, islamis dan komunis. Nasnya setelah peristiwa 1965, komunisme dimatikan daya geraknya dan distigmatisasi sebagai ideologi yang berbahaya. Pendekatan yang kedua lebih cenderung membaca populisme sebagai corak berpolitik anti kemapanan yang di tampilkan dalam aksi-aksi massa untuk meningkatkan daya tawarnya di hadapan kekuasaan. Misal aksi bela islam 212 yang menuntut penista agama agar dipenjara. Dengan ungkapan lain populisme yang bercorak gerakan politik ini berperan sebagai kelompok penekan yang ingin mempengaruhi keputusan poliik.
Kemunculan populisme sendiri tidak dapat dilepaskan dari situasi dunia modern yang tengah terglobalisasi. Kapitalisme sering disebut sebagai pendorong utama modernitas yang membuat masyarakat semakin kompleks. Kapitalisme jangan sampai dibiarkan sendiri karena memiliki kontradiksi yang dibawanya sejak lahir. Kontradiksi adalah nama lain dari keadaan dimana perekonomian sedang mengalami krisis. Salah satu indikator yang dapat dijadikan acuan adalah tingkat ketimpangan (gini ratio).
Kalau melihat data statistik mengenai ketimpangan dunia selama beberapa dekade terakhir menggambarkan tren yang semakin meningkat. Artinya kapitalisme telah mencapai fase krisis yang akut. Salah satu cara yang cukup ampuh untuk mengobati penyakit endemik kapitalisme adalah mengontrolnya lewat kekuasaan negara. Intervensi negara dibutuhkan untuk mendistribusikan pemusatan modal ke kantong-kantong perekonomian. Jadi perubahan masyarakat akan ditentukan oleh tegangan antara peran negara dan pasar.
Penyederhanaan peran negara menjadi persoalan besar ketika yang diukur semata-mata adalah kinerja pemerintahan. Padahal peran negara yang paling mendasar adalah menjaga, melindungi dan melayani kepentingan setiap warga negara. Pemerintah memang eksekutor dalam setiap agenda politik yang dirumuskan oleh legislatif. Akan tetapi gambaran ideal tentang peran negara tersebut sering tidak sejalan dengan kenyataan. Misalnya para elite yang sering melakukan transaksi politik (klientisme). Praktik tersebut hanyalah upaya ingin menancapkan cakar kekuasaannya atau mengorupsi jatah rakyat.
Untuk saat ini populisme yang bisa tumbuh di indonesia adalah islamis dan nasionalis. Hal tersebut berkaitan dengan pembelahan ideologis yang sudah menyejarah dalam kehidupan bangsa. Nasionalisme sebagai perekat kebangsaan mendapatkan daya legitimasinya lewat pancasila yang dipandang mampu merangkum semua gagasan tentang keindonesiaan. Di samping itu, bayangan persatuan indonesia juga diperoleh dari islam. Istilah umat dapat memberikan suatu pandangan tentang imagined community yang diikat oleh kesamaan iman dan ajaran.
Perbandingan corak populisme di Indonesia dengan yang terjadi di Mesir dan Turki terletak pada skala aliansi yang terbentuk. Kasus di Mesir menggambarkan bahwa populisme islam yang dimotori oleh IM mampu menjaring aliansi dalam skala yang luas bahkan antar kelas. Kelompok pembaharu tersebut menerapkan strategi yang inklusif terutama pada orang-orang miskin dan marjinal maupun kelas menengah. Ketika eskalasi politik meningkat dan terjadi pergolakan, mereka bersatu untuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Begitu pula yang terjadi di Turki, Partai AKP yang menjadi platform sebagian besar masyarakat dari berbagai golongan.
Berbeda halnya dengan Indonesia, populisme islam menampilkan kesan yang eksklusif. Corak gerakan politik islam tersebut diperoleh lantaran hanya memanfaatkan kekuatan kelas menengah perkotaan. Di samping hambatan kultural dan kontestasi diantara kelompok islam, politik islam juga tidak memiliki sumber ekonomi yang cukup kuat. Hal tersebut secara tidak langsung membuat pilihan strategi politik terbatas. Jika ditinjau lebih dalam mengenai kelas menengah urban, komposisi utamanya adalah pengusaha, pedagang dan pegawai baik di sektor swasta maupun negeri. Keterbatasan tersebut juga dipengaruhi oleh struktur ekonomi yang terkonsentrasi di tangan negara. Untuk sektor swasta ekonomi lebih banyak dikuasai oleh etnis tionghoa. Dua kekuatan tersebut sering disebut sebagai oligarki karena keuntungan yang bersifat timbal balik.