Saat aku masih SD, Sekolah selalu menjadi aktifitas yang paling menyebalkan. Bagaimana tidak, setiap malam waktu nonton sineteronku terbuang untuk memikirkan PR, setiap pagi disibukkan bermain petak umpet dengan sepatu yang entah tersangkut dimana, dan karena penggaris bu Sarmijah selalu mendarat di telapak tangan. Semua itu terjadi karena aku sekolah. Kebencianku dengan aktifitas belajar mengajar bukan identitas pemalas, melainkan karena betapa adilnya aku, bahkan pada diriku sendiri.
Bayangkan, hampir satu tahun penuh, jantungku dipaksa berdetak kencang saat melihat penggaris kayu bu Sarmijah sepanjang 1 meter. Otakku yang konon terdiri dari kanan dan kiri dipaksa berpikir dari pagi sampai malam karena bu Sarmijah selalu menitipkan PR. Telingaku yang kata teman sebangku selalu menyisakan buih sampo setiap pagi, dipaksa mendengarkan pelajaran sejarah yang entah zaman nenek moyang angkatan berapa. Kedua kaki emasku yang tidak kalah keren dari kaki Cristiano Ronaldo, terkurung seharian di dalam kaos kaki bercitarasa terasi nenek.
Itu semua jelas bentuk intimidasi yang tersistem. Mentalku dihancur leburkan oleh pihak yang mengatasnamakan lembaga pendidikan. Dan lebih parahnya, mereka mengaku mengemban tugas negara, guna mencerdaskan anak bangsa. Bulsit.
Untungnya aku adalah nasionalis sejati sejak TK O kecil. Mana mungkin negara yang aku cintai dituduh sebagai biang kerok dari kaos kaki berbau terasi nenek. Aku meyakini keruwetan ini adalah “kahanan” dalam istilah Jawa dan dipopulerkan Didi kempot yang berarti keadaan. Seberapapun kuat, berduit, ganteng, mencuci kaos kaki setiap Minggu, Sekolah tidak mungkin kita hindari, dan aroma terasi adalah keniscayaan.
Semua kebencianku pada sekolah berubah saat memasuki masa SMA. Ada kerinduan yang harus kutunaikan pada sosok cantik putri dari bapak Kasturi. Aku tidak pernah melupakan Putri sejak masa perkenalan. Waktu itu aku datang terlambat memasuki ruangan ekskul, karena harus berurusan dengan bapak Sarjohan guru killer reingkarnasi bu Sarmijah.
Memasuki ruang ekskul, mataku terhipnotis pada sosok cantik yang membukakan pintu. “Silahkan mas,”.
Benar jika nabi Musa tidak mampu melihat Tuhan secara langsung, bahkan cahayaNya. Melihat Putri binti Kasturi membukakan pintu, untung saja aku tidak hilang kesadaran seperti nabi Musa melihat cahaya Tuhan. Karena wajah putri seolah sangat bercahaya kala itu.
Dia menjulurkan tangan, spontan langsung aku gapai dan jabat erat tangan putri, agar dia tau betapa perkasanya aku jika dilihat dari eratnya genggaman tangan.
“Aku putri” katanya memperkenalkan diri.
Aku tidak mendengarkan apa yang keluar dari mulut Putri selain namanya. Aku hanya diam memandang wajah putri dengan senyuman, dan membatin “Tuhan, kau ciptakan makhluk seindah ini, dan Kau pertemukan dia denganku, apa yang Kau rencanakan?” Seperti kata kiyai Jarkoni “kenapa tidak husnudzon saja pada Tuhan?” Sebelum mendengar nasehat itupun dari dulu aku selalu husnudzon pada Tuhan. Saat itu aku meyakini, Putri adalah bentuk kepedulian dan kasih sayang Tuhan padaku yang jomblo ini.., eh, maksudku single sejak TK 0 kecil.
Aku hanya membatin, “secepat itu dia memperkenalkan diri. Tidak mungkin kalau tidak punya motif dibalik perkenalannya yang cepat.” Di dalam gumam, aku sempat menggumam lagi “dia jatuh cinta sama kamu pret!”. ”Oo.., pantas saja baru ketemu langsung minta kenalan, ternyata menyebutkan namanya cuma pancingan, supaya aku mau memperkenalkan diri juga. Kamu memang pintar, Putri. Sangat pantas jadi ibu untuk anak-anakku kelak”
Perkenalannya hanya aku balas dengan senyuman, agar dia tau ada harga untuk cinta, bukan sekedar menyetorkan nama untuk mendapatkannya. Meskipun ingin sekali aku membalasnya dengan nada macho “aku Kupret”
Aku tidak menyebutkan nama, tentu saja karena aku berusaha mendewasakan Putri, calon ibu dari anak-anakku haruslah tegar, tidak semua yang diinginkan di dunia ini bisa begitu saja didapat dengan mudah, baik harta maupun jabatan perlu proses untuk mendapatkannya, begitu juga dengan cinta. “Sabar putri, tidak usah terburu-buru” kataku dalam hati.
Sebagai pemuja anak kasturi, aku merasa harus punya nilai lebih dibanding teman teman satu kelas dan satu ekskul untuk menarik perhatian Putri, khususnya pesaing terkuatku, Saryogi bin Sarjohan. Si tampan anak musuh bebuyutan, Borjuis paling bersinar di sekolah, pemilik rambut klimis yang tidak mungkin rusak jika terkena badai tropis selatan, jelas dia menggunakan lem kayu untuk melapisi rambutnya.
Aku tidak mungkin kuat membeli lem kayu meskipun cuma satu kilo. Untuk itu aku sadar, point ketampanan dan kekayaan sudah mutlak milik Yogi yang memiliki trah darah PNS. Tapi cinta tidak mungkin dimenangkan hanya dengan garis keturunan berdarah PNS, paras tampan, maupun kualitas lem kayu yang mampu ia beli. Karena cinta adalah anugrah dan kasih saying, sebuah kisah perjuangan yang dimainkan dua insan, dengan Tuhan sebagai sutradara yang Maha melankolis. Alur cerita cinta tentu bukan sekedar milik pemodal, melainkan kesungguhan dan perjuangan dari pemeran utama. Dan aku percaya, bahwa pemeran utama drama ini adalah aku dan Putri binti Kasturi.