Peringati HSN 2021, RMI-PBNU Dorong Transformasi Digital di Pesantren

Google News
Hari Santri 2021
Saiful Umam moderator, Sumanto Al-Qurtubi King Fahd University, Miftakhul Huda Nagoya University Jepang, dan Sidrotun Naim Harvard Kennedy School dalam Webinar Internasional RMI-PBNU hari kedua, Kamis (21/10).

Jakarta, Pewartanusantara.com – Rabithah Maahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) mengadakan Webinar Internasional selama dua hari, 20 dan 21 Oktober, untuk merayakan Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2021.

Dalam acara tersebut, Ketua Lembaga RMI-PBNU Abdul Ghofar Rozin menegaskan bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya webinar adalah supaya para santri segera melakukan transformasi digital di pesantrennya masing-masing.

“Yang terpenting di sini, yang menjadi pelaksana dari transformasi ini harus dari kalangan santri,” ungkap Gus Rozin, sapaan akrabnya, pada Kamis (21/10)

“Sebab pesantren itu memiliki kultur dan karakteristiknya sendiri. Hanya santri yang bisa memahaminya, sehingga ketika kendali transformasi digital dipegang pihak lain, maka akan sangat berbahaya,” imbuhnya.

Gus Rozin juga memaparkan bahwa untuk konteks perkembangan teknologi yang semakin tidak terbendung ini, peradaban yang akan menang adalah peradaban yang memiliki karakter.

Santri dan pesantren, ungkapnya, memiliki hal tersebut. Akibatnya, santri penting untuk menyadarinya dan lantas mampu untuk semaksimal mungkin mempertahankan karakter santrinya.

“Di mana pun berada, jadi apa pun juga, karakter santri harus selalu dibawa,” jelas Gus Rozin dalam Webinar Internasional hari kedua yang bertajuk Santri Membangun Negeri: Sudut Pandang Politik, Ekonomi, Budaya, dan Revolusi Teknologi ini.

Santri dan kelompok Islam baru

Dalam webinar yang dipandu oleh Saiful Umam ini,  Sumanto Al-Qurtubi Guru Besar Ilmu Sosial dan Humaniora Rahmania University Riyadh Saudi Arabia menengarai bahwa yang masih menjadi tantangan santri hingga hari ini adalah kelompok Islam baru.

Sumanto memaparkan beberapa alasan mengapa mereka atau kelompok Islam baru penting untuk santri menyikapinya secara serius.

Pertama, mereka adalah ancaman untuk pluralitas agama. Tidak saja itu, mereka pun anti terhadap kelompok lain dalam tubuh Islam sendiri.

“Jangankan pada pluralitas agama, pada keberagamaan dalam Islam sendiri, mereka tidak mau menerimnya. Mereka sangat mudah mengkafirkan yang sebab inilah kita harus punya sikap tegas pada mereka,” ungkap Sumanto.

Kedua, mereka adalah ancaman bagi tradisi dan kebudayaan Indonesia.

Menurut Sumanto, mereka demikian sebab yang dianggap kebudayaan adalah kebudayaan yang bagi mereka Islami.

Adapun yang di luar itu, semuanya kafir, sehingga perlu dimusuhi dan jika memungkinkan dimusnahkan.

Ketiga,  mereka mengancam eksistensi kebangsaan atau nasionalisme.

Bagi mereka nasionalisme tidak memiliki dalil, sehingga haram dan tidak bisa diterima bagaimana pun juga.

Meski demikian, untuk yang terakhir Sumanto menunjukkan adanya kontradiksi yang akut di benak mereka.

Satu sisi, keluh Sumanto, mereka menolak Nasionalisme Indonesia, tetapi pada sisi lain mereka membela nasionalisme bangsa lain, seperti Palestina.

“Lha ini bagaimana? Sebenarnya, soal nasionalisme ini apakah mereka benar-benar menolak atau ini hanya strategi karena memang pada dasarnya mereka tidak suka pada Indonesia?” jelasnya geram.

Bicara kontradiksi, Sumanto juga menjelaskan paradoks dalam diri mereka berkenaan dengan penggunaan teknologi.

Untuk menyebut budaya barat misalnya kafir, mereka tidak gamang, tetapi di waktu yang sama mereka menggunakan produk barat untuk menebarkan informasi-informasi keagamaan yang menyudutkan.   

“Yang jelas, mereka adalah ancaman. Tidak saja untuk minoritas, tetapi juga untuk kalangan santri dan NU. Sebab, seperti sudah terjadi di beberapa negara lain, ketika mereka berkuasa, mereka akan menyingkirkan dulu kelompok Islam moderat layaknya NU,” ungkap Sumanto.

Santri dan Teknologi

Lebih jauh, berhubungan dengan teknologi, Miftakhul Huda Designated Assistant Professor Graduate School of Engineering, Nagoya University, Jepang mengandaikan pada para santri untuk tidak ragu kuliah di jurusan teknologi.

“Tidak perlu khawatir. Di S1, nanti kita belajar mulai dari awal lagi,” katanya.

“Soal teknologi, harus diakui ya, Indonesia tertinggal dengan negara-negara lain dan ini adalah celah sekaligus PR bagi santri untuk mengisinya. Jadi, jangan ragu,” imbuh Huda.

Perlu diketahui, Webinar Internasional untuk hari kedua ini—selain Sumanto dan Huda—dihadiri pula oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nadiem Anwar Makarim, Sidrotun NaimDirector of Partnership & Academic Development IPMI Business School and Research Afiliate Harvard Kennedy School, M. Rodlin Billah Ketua Dewan Syuriah PCI NU Jerman The Karlsruhe Institute of Technology, dan Novi Basuki Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo Sun Yat-Sen University.

Sebelumnya, di hari pertama, kegiatan ini dimeriahkan oleh kehadiran Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, Ahmad Sholahuddin Kafrawi Hobart and William Smith Colleges New York, Eva Fachrunnisa Dosen Kajian Islam dan Asia ANU Colleges Canberra, Abdul Ghofur Maimoen Rektor Sekolah Tinggi Al-Anwar Rembang, dan Nadirsyah Husein Monash University Australia.