Pencabutan Izin Belum Akomodir Laporan Masyarakat
Jakarta, Pewartanusantara.com – Kebijakan pencabutan sejumlah izin yang dilakukan pemerintah beberapa waktu yang lalu belum mengakomodir suara masyarakat. Pencabutan izin tersebut hanya dilakukan terhadap perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan administratif dan tidak aktif, sementara laporan dari masyarakat belum ditindaklanjuti oleh pemerintah dan dijadikan rujukan dalam proses untuk pencabutan izin.
Hal ini disampaikan Director of Environmental Governance Unit TAF Indonesia Lili Hasanuddin dalam catatan penutup Webinar yang bertajuk “Agenda Pasca-pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia” yang diselenggarakan Gender Focal Poin (GFP) dengan dukungan The Asia Foundation (TAF) pada Rabu (02/02/2022) yang disiarkan di Channel Youtube Beritabaru.co.
“Pencabutan izin ini masih belum mencoba mengakomodasi sebenarnya hal-hal yang selama ini disuarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Itu terbukti bahwa pencabutan izin lebih banyak dilakukan kepada perusahaan-perusahaan yang secara administrasi tidak memenuhi persyaratan dan kemudian tidak aktif. Sementara laporan-laporan dari masyarakat itu tidak termasuk di dalam proses pencabutan izin ini,” catat Lili mengutip hasil penelitian Dosen Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.
Dalam catatan Lili, proses pencabutan izin ini juga menimbulkan pertanyaan baru, yaitu terkait dengan apa yang akan dilakukan pemerintah setelah pencabutan izin dilakukan.
“Apakah kemudian ini akan diberikan atau dialokasikan untuk kelompok-kelompok masyarakat, ataukah ini justru akan direalokasi kepada perusahaan-perusahaan lain? Jadi proses pencabutan izin ini pada satu sisi banyak yang mengapresiasi, kita semua mengapresiasi bahwa ada political will untuk kemudian melakukan penataan ulang terhadap agraria, tetapi kemudian juga ada pertanyaan lanjutan yang kita sampaikan,” terang Lili.
Selain itu Lili juga mencermati peluang masyarakat khususnya kelompok perempuan untuk memanfaatkan areal pertambangan yang telah dicabut izinnya, sekaligus bagaimana mekanisme pemulihannya. Hal itu mengingat kondisi lahan tersebut telah rusak setelah dieksploitasi untuk kegiatan pertambangan. “Apakah bisa dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat, terutama kelompok-kelompok perempuan? Apakah ini kemudian akan menjadi tanggungjawab bagi kelompok-kelompok masyarakat yang mendapat akses kelola wilayah-wilayah tersebut?,” tuturnya menyampaikan catatan.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida