Pahlawan Tanpa (tanda) Rasa
Pagi telah sampai, matahari tergesah-gesah terik. Kota Malang yang berhenti beranak pinak, kini bangun dan bergerak. Berbeda dengan hari sebelumnya, nenek tua yang biasanya meratapi nasib di bawah jembatan layang Arjosari itu kini berani memakai lipstik merah merona. Tukang becak yang biasanya bangun kesiangan kini menjemput ayam yang usai subuhan. Seperti juga aku yang mulai mengusap-usap bekas embun di kaca spion sepedaku. Setiap pagi kaca itu selalu mengingatkanku untuk berhati-hati melewati jalan yang asing sama sekali.
Sudah sekitar dua bulan aku berpura-pura menjadi seorang yang pintar. Aku hanya ingin mengatakan berpura-pura hingga aku lupa bahwa ini semua hanya sandiwara. Aku masih belum bisa menemukan kata yang sesuai dengan profesi yang sedang aku tekuni ini. Aku masih berjalan sambil mencari tau seluk beluk hingga yang paling kolong dari tempatku bekerja. Bahkan kalau perlu aku ingin menjelajahi diriku sendiri, apa ada relung yang lupa ku maknai. Semoga saja tidak terlalu lama untukku belajar mengeja
Beberapa jam setelah bel masuk sekolah, aku masih tenang menyampaikan materi di buku paket biasanya kepada anak-anak yang berseragam putih biru. Disela-sela jam istirahat aku selalu menyempatkan menengok kawan baruku di ruang konseling. Entah kenapa aku lebih suka bermain di ruang konseling ketimbang duduk di meja kerja. Bukan karena aku gencar-gencarnya mencari tahu tentang Abhiseva, teman baruku itu, namun aku hanya ingin membaca banyak orang dari ruang yang paling sempit.
Matahari sudah mulai terik dan terus terang. Panasnya terasa sejengkal di atas kepala. Darah anak-anak kian mendidih hingga bising terdengar di mana-mana. Dari kejauhan lelaki paruh baya tergesah-gesah menyeret dua anak laki-laki dengan lebam di dahi dan pipi. Dari bilik ruang konseling wajahnya semakin nampak terbakar. Aku melihatnya semakin jelas, ia menjelaskan semakin keras. Dua anak laki-laki yang dibawanya itu bertikai nyaris mati.
“Mereka sudah kelewatan bu Sheva, belum genap satu semester saja sudah tercatat sepuluh kali mereka membuat pelanggaran. Sebaiknya kita kembalikan saja mereka kepada orang tua di rumah” suara Pak Sarno lantang dan menantang sistem yang ada di ruang konseling.
Abhiseva yang terhitung masih baru sepertiku, ia begitu bingung, masih banyak yang harus ia pelajari. Kemudian Pak Hendrik yang tubuhnya tak sebesar Pak Sarno namun suaranya sama-sama lantang ikut turut melerai. Pak Hendrik adalah senior Abhiseva yang cukup disegani di lingkungan kerja ini. Namun nampaknya permasalahan kedua anak tadi bukan malah membaik, malah membuat gaduh pak Sarno dan pak Hendrik. Sejatinya memang kalau menurutku, kenakalan dua anak ini sudah begitu menguji kesabaran para guru di sekolah ini. Reno, tahun ini sudah tidak naik kelas karena poin pelanggarannya sudah lebih dari seratus. Ia tercatat lima kali berkelahi, tiga kali mencuri, dan berkali-kali merokok di lingkungan sekolah. Sedangkan Satrio, walaupun ia adalah siswa baru, namun sudah tercatat tiga kali berkelahi dan membawa rokok ke sekolah. Selain itu, keduanya terkenal tidak sopan dan sering menantang para guru.
Siang ini terlewati dengan cerita yang cukup menantang. Namun pada akhirnya pak Hendrik berhasil memenangkan pertarungan antara guru konseling dan tim tata tertib. Dengan begitu, Abhiseva memiliki perkerjaan baru untuk melakukan home visit ke rumah Reno dan Satrio. Untuk kasus ini, aku sungguh masih belum tau apa yang harus aku lakukan. Aku takut salah arah, sehingga aku mulai belajar dengan mengamati yang ada. Aku sedikit malu dengan Abhiseva yang cukup berani untuk menangani sesuatu yang penuh delima.
Beberapa hari berlalu setelah dilakukan home visit, di ruang yang gaduh, guru-guru dikumpulkan. Ini adalah kenyataan hidup dan semuanya dituntut adil dalam menangani masalah. Argumentasi pertama disampaikan oleh pak Sarno. Beliau begitu menggebu-gebu karena takut masalah Reno dan Satrio menjadi-jadi.
“Mohon maaf bapak kepala sekolah dan guru-guru sekalian, saya terpaksa harus menjelaskan serinci mungkin. Saya rasa Reno sudah tidak bisa lagi diberi kesempatan. Bagaimana mungkin Sekolah ini memelihara seekor ular? Jelas sekali sudah satu tahun Reno diberi kesempatan. Tapi pada akhirnya melahirkan Reno-reno yang baru. Buktinya, Satrio, Rehan, dan Deni sekarang juga melakukan hal serupa. Saya takutnya nanti banyak siswa yang ikut-ikutan berbuat pelanggaran. Mau jadi apa sekolah ini? Saya rasa bukan rahasia lagi kenakalan Reno, poinnya juga sudah terlalu banyak.”
Sedangkan Pak Hendrik memiliki pendapat yang jauh berbeda dengan apa yang telah diungkapkan oleh Pak Sarno. Menurutnya dalam menangani kasus Reno, tidak perlu lagi melambungkan masalah di tahun pelajaran lalu. Karena kesalahan di tahun pelajaran sebelumnya Reno sudah diberi hukuman berupa tidak naik kelas. Oleh karena itu, sekarang poin pelanggaran yang dihitung adalah yang tahun ini. Pak Hendrik menjelaskan prosedur dengan nada yang lembut tapi tegas.
Dengan adanya pendapat Pak Hendrik, ruang guru menjadi seperti sidang DPR. Semua mempertahankan pendapatnya masing-masing. Aku hanya menyimak dan menyimpulkan ketidakpastian. Aku rasa aku perlu banyak belajar filsafat hukum. Lihat saja di ruangan ini, kepala sekolah seperti hakim, petugas tata tertib ibarat jaksa, dan guru Bimbingan Konseling layaknya pengacara. Tapi untuk menjadi bijaksana, semua itu perlu proses yang panjang, melihat senior yang sudah keriput saja masih banyak terpelanting pendapatnya sendiri.
Hari yang cukup melelahkan, aku pulang larut malam setelah mampir ke rumah tante di dekat sekolah sambil menemani anak tante belajar. Saat aku sudah mulai tidak fokus dengan jalanan, di persimpangan jalan aku melihat Reno yang tadi siang menjadi pokok pembicaraan. Reno yang bertubuh kecil itu sedang menjadi supeltas. Kebetulan aku menggunakan masker sehingga ia tidak menyadari aku sedang memperhatikannya. Melihat Reno, hatiku sungguh gelisah di sepanjang jalan. Aku rasa banyak sekali faktor yang mungkin mendorong Reno untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran di sekolah. Hidupnya terlihat berat jika pagi harus sekolah dan malam bekerja di jalanan yang keras.
Ke esokan harinya, aku yang masih tersentuh oleh apa yang ku lihat dari Reno tadi malam, mencoba untuk membagi ceritaku kepada jaksa di sekolah. Kemudian sentak semuanya menceramahiku dengan nada setengah kesal.
“Dik, kamu jangan muda terperdaya dengan yang kamu lihat. Reno memang sering bekerja atau bahkan membawa dagangan ke sekolah. Tapi dia itu kelakuannya sudah tidak bisa ditoleransi. Haduh, sudah tidak cocok dengan kelakuan buruknya itu. Lagipula hasil dari ia bekerja kan kita tidak tau dipakai untuk apa?”
Mendengar banyak sekali perkataan yang tidak-tidak tentang Reno akhirnya pikiranku turut terkontaminasi. Ditambah lagi waktu aku sedang menjelaskan di kelas, Reno dengan santainya tidur. Ketika ku tanya kenapa dia tidur? Apa yang dilakukannya malam tadi? Dia dengan berani menjawab main game hingga larut. Akhirnya perasaan ibaku luntur seketika.
Sidang ke dua penentuan nasib Reno di sekolah dimulai. Stigma negatif terhadap Reno sudah menyebar kemana-mana, termasuk dalam benakku. Saking banyaknya, pada akhirnya kepala sekolah memutuskan untuk mengembalikan Reno kepada kedua orangtuanya. Wajah penuh lega terlihat di setiap senyum guru-guru. Di pikiran mereka seperti merasa sekolah menjadi aman tanpa ada lagi yang membuat ricuh. Reno dianggap sebagai virus yang apabila tidak segera dibinasakan akan menyebar kepada anak-anak yang lain. Jujur sedikit terbesit di hatiku dan Abhiseva sebuah kelegaan pula. Entah kejahatan apa yang meracuni hati dan pikiranku.
Aku terlalu jenuh dengan hari ini, saat bel tanda penjara telah usai, aku langsung bergegas pergi. Alih-alih berharap ingin menghindari turunnya hujan malah jadi basah-basahan di tengah jalan. Walaupun sudah kepalang tanggung aku coba berhenti saja di kerumunan bapak tukang becak yang sedang berteduh. Tak seperti biasanya, aku diam saja, hanya melihat keringat yang bercampur semangat. Kemudian salah seorang tukang becak menegurku.
“mbak ini guru yah? Bagus yah masih muda sudah jadi guru. Tapi semoga ndak seperti guru-guru anak saya”
Aku yang masih muda ini hanya mendengarkan bapak tukang becak yang kurasa lebih paham mengenai diriku sendiri. Tanpa memberi jeda, bapak itu langsung bercerita banyak hal dengan mata berkaca-kaca.
“Saya punya anak yang sekarang masih sekolah di tingkat menengah pertama. Kata guru-guru di sekolah itu anak saya nakal dan bodoh. Dengan entengnya mereka menganggap anak saya ini sudah tidak layak lagi berada di sekolah tersebut karena nanti akan mempengaruhi anak-anak yang lain. Saya ini sudah sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk anak saya. Dulu sejak masih di bangku sekolah dasar saya sudah putus sekolah karena orang tua saya tidak mampu membiayai sekolah saya. Sekarang walaupun saya pas-pasan, saya berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak saya. Kalau saya baca tulis saja masih gelagapan, kemudian anak saya dikembalikan kepada saya, lalu siapa yang akan mengubahnya dari bodoh menjadi pintar mbak?”
Mendengar perkataan bapak itu, aku diam seribu bahasa. Aku masih tertahan di pangkalan becak sedangkan hujan sudah tertahan di tangan Tuhan. Aku sadar, Ya Tuhan, kenapa aku begitu picik menilai Reno. Apa fungsi sekolah jika bukan mengubah anak yang kurang pintar menjadi pintar dan anak nakal menjadi bermoral. Bukankah seharusnya itu juga yang harus aku lakukan sebagai guru. Jika muridku sudah pintar dan bermoral lalu untuk apa diriku jadi guru?
Aku yakin Reno ini adalah korban. Ia adalah korban dari pengusaha yang tamak, penguasa yang seenaknya saja, sistem yang bobrok, dan guru yang kurang ajar. Kemudian ia melakukan pemberontakan dan merevolusi dirinya sendiri menjadi tersangka. Di seluruh penjuru dunia ia bersalah. Padahal ia hanya tidak tahu bagaimana caranya mengatakan pada dunia bahwa dia sedang menjadi korban. kini aku baru sadar, aku ini mengabdi menjadi guru, bukan bekerja. Sehingga sampai kapanpun aku tidak pernah bisa menamai semua ini menjadi sebuah profesi.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida