Tepat menjelang senja menyapa, petang malam beriringan rembulan belum tampak juga. Pula disudut kedai kopi lesehan tampak tujuh sekawan yang tak asing lagi di dunia pewayangan, empat punakawan; Kyai Semar dengan ketiga murid terpercaya; Ki Bagong, Ki Petruk, dan Ki Nala Gareng, sedang tiga lainnya adalah bangsa wanara kiskenda; Hanoman si tetua kera, resi sugriwa, dan Anggada. Ketujuh tokoh besar tersebut berkumpul dalam satu majlis dalam rangka hari jadi Pewarta Nusantara Pertama, guna membincang dan berdialek mesra tentang penyikapan wacana prahara pralaya di Nusantara Hastina.
Sang mahaguru Semar mengawali dialog, “Salam atas kalian semua semoga senantiasa mendapat rahmat dan keberkahan dari Sang Hyang tertunggal. Selamat sore para tokoh-tokoh gila yang rela mencurahkan pemikirannya demi satu bangsa dan negara tanpa pembeda. Saya sebagai moderator akan memimpin jalannya sidang komisi ini, meskipun nyatanya sidang ini tak seperti sidang-sidang para pejabat dewan wakil rakyat di istana yang penuh gemerlap permadi permadani. Tapi toh bukan menjadi masalah karena kita memang telah terbiasa berdialek di alas lesehan dengan camilan ringan pasaran rakyat. Lalu yang tak kalah penting silakan di sruput kopinya”.
Nampaknya hanya hanoman yang tak meneguk kopi hitam didepannya, wajar saja karena memang dirinya hanya doyan air putih sesuai dengan fitrah dirinya si kera putih. Tiba-tiba Anggada menyahut pembicaraan dengan lantang, “Maaf, Bukankah kita bertiga bangsa wanara, mengapa kita harus diikutkan menanggung derita prahara di hastinapura ?”
“Anggada, bukankah Sang Hyang Tunggal menciptakan mahluk dengan satu kesatuan laksana simpulan tali berbentuk bulatan lingkaran yang kedua ujungnya saling terikat erat satu sama lain ?, Lalu bukankah bangsa kiskenda sejak kala juga telah ikrar dibawah Nusantara Ayodya yang bermetamorfsis menjadi Hastina ?, Lantas apa alasan untuk tidak berkontribusi pada negara kesatuan ini ?” Kata Sugriwa menayahut perkataan dari sepupunya sendiri.
Alhasil putra resi sakti Subali tersebut terdiam usai mendengar pamannya Resi Sugriwa. Disisi lain Ki Bagong dengan nada ceplas-ceplos, “Sudah hentikan perdebatan ini, Anggada jika engkau tidak berkenan untuk ikut persidangan maka Walk Out saja sana, toh engkau sudah mendapati keinginanmu yaitu kopi gratis kan”
Ketegangan suasana tercairkan gegara candaan dari Bagong, wajar karena memang Bagong dikenal mempunyai nuansa selera humor yang kerap mampu mengocok perut pendengar, apalagi dengan fisik gendutnya semakin menambah humoritas Bagong, karena memang Bagong tercipta dari bayangan gurunya- Kyai Lurah Smarasanta titisan Cahya Batara Ismaya. Sebab itu pula Bagong kerap menjadi yang terdepan dari dua punokawan lainnya (Ki Petruk dan Ki Gareng) dalam mendapatkan kepercayaan dari Gurunya Kyai Semar. Ketiganya juga kerap berlomba-lomba menujukkan abdinya pada Kyai Semar seperti saat berlomba-lomba merapikan sandal sang guru tartkala bersembahyang atau ketika membantu menyiapkan hidangan kopi panas dalam pertemuan.
Kembali ke persidangan komisi tujuh wayang, kembali Kyai Semar beropini tentang cakrawala pengetahuannya menyikapi fenomena, “ Semua khalayak mengetahui bahwa Jimat Jamus Kalimasada merupakan senjata yang tak terkalahkan dan popular di kalangan para tetua, rara-raja, hingga ksatria se jagat lil alamin. Barangsiapa yang memiliki Kalimasada maka dia akan menjadi seorang raja, inilah rahasia dibalik kekuatan Kalimasada yang kerap membuat para tetua dan ksatria sakti mandraguna mencoba mengkudeta Prabu Puntadewa dari kasta istana demi merebut Jamus Kalimasada. Sebelum akhirnya mustika ini pernah raip dicuri oleh Dewi Ning Mustakaweni dari kerajaan Imantaka dan direbut oleh Raja Welgeduwelbeh melalui siasat guraunya, bukankah demikian Ki Petruk ?”. Celoteh Kyai Semar menoleh kehadapan putra angkat sekaligus abdiya Ki Petruk.
Memang dulu Petruk pernah menjadi seorang raja Lojitengara pasca berhasil memanfaatkan kekacauan perebutan Kalimasada di negeri Imantaka dan mengambil secara Siri Kalimasada milik Prabu Puntadewa, Alhasil ia pun menjadi seorang raja Lojitengara dengan julukan Prabu Welgeduwelbeh sebelum akhirnya dikudeta tanpa darah oleh saudara seperguruan Ki Lurah Bagong hingga pada akhirnya pusaka Jamus Kalimasada dipulangkan kembali ke Prabu Puntadewa sang pemilik asli jimat sakti tersebut.
“Hahaha, dasar raja Welgeduwelbeh hobinya selalu mencuri barang hasil curian berdalih menegakkan keadilan, meski nyatanya ia menikmati barang haram bukan haknya itu pula”. Ungkap Ki Petruk membincang dirinya sendiri.
“Efeknya tahta yang diraihnya diambil lagi oleh Sang Hyang Maha Tunggal karena memang media Kalimasada yang ia gunakan bukanlah haknya alias berstempel curian”. Sahut Ki Bagong menyindir Ki Petruk, yang sebenarnya ia merupakan tokoh utama yang membuka kedok Ki Petruk dari singgasana Lojitengara kala.
“Sudah-sudah, kembali ke pembahasan utama. Kalian tahu mengapa para tetua negara Imantaka atau bahkan Prabu Welgeduwelbeh yang luhur bertahta tak lama tak seperti Prabu Puntadewa, walaupun mereka telah memiliki mustika Jamus Kalimasada yang memiliki keistimewaan bahwa penjaga mustika tersebut akan menjadi seorang raja atas sebuah tahta ?” Papar Kyai Smarasanta.
Semua tokoh pewayangan yang hadir di persidangan tersebut geleng-geleng kepala, termasuk Ki Petruk dengan wajah memerah efek sindiran bertubi-tubi dari Punakawan lainnya.
Kyai Lurah Semar kembali berwejang panjang; “Sebenarnya ada tiga pihak yang mengetahui rahasia Prabu Puntadewa terkait kesuksesannya memerintah Nusantara hingga ia mokhsa, meski ia telah kehilangan mustika Kalimasada yang telah dicuri oleh Ning Mustakaweni. Hal ini karena darma Kalimasada telah merasuk dalam qolbu Puntadewa, selain itu Prabu Puntadewa juga mempunyai mustika sakral sebagai penyempurna Kalimasada, selain Sang Prabu hanya daku dan Resi Kresna yang mengetahui rahasia ini, karena memang kita berdua merupakan dewan pertimbanan presiden Hastina dimasa kepemimpinan Prabu Puntadewa. Mustika tersebut bernama “Garda Panca Sirah” yang mempuyai keistimewaan sebagai pelengkap Kalimasada. Barang siapa yang mempunyai dua mustika sakti tersebut ; Kalimasada dan Garda Panca Sirah dan mengamalkan amalan darma dari mustika tersebut maka ia akan menjadi titisan Sang Hyang Tunggal sebagai Khalifah Fil Ardh. Raden Prabu Puntadewa contohnya, beliau menjadi pemimpin yang luhur dan senantiasa dihormati rakyatnya hingga mokhsa di masa senja. Sedang Raja Welgeduwelbeh meskipun ia juga punya pondasil luhur tapi ia tidak cukup mumpuni mengamalkan darma Kalimasada, karena jimat mustika tersebut didapat tanpa restu pemilik aslinya, selain alasan bahwa ia juga tidak memiliki Mustika Garda Panca Sirah. Selain itu agar khasiat mustika Garda Panca Sirah keluar ketajiannya maka pemiliknya terlebih dahulu harus tirakat mengamalkan Panca Dharma sebagai syarat mutlak agar keistimewaan mustika tersebut keluar, ini letak kesulitan dari Garda Panca Sirah yang bukan hanya sebagai pusaka individu atau pun pusaka kemanusiaan melainkan juga berposisi sebagai pusaka kenegaraan.”
“Setelah wafatnya Prabu Puntadewa mustika tersebut raip entah kemana, menyisahkan Jimat Kalimasada yang juga tak lagi bertaji, imbas jimat tersebut hanya dipandang secara fisik saja tanpa darma pengamalan tersirat dari jimat jamus kalimasada. Tak adanya Garda Panca Sirah juga semakin membuat tuah Kalimasada semakin tak bertaji laksana pisau berkarat tanpa media asahan. Selain itu untuk menekan gejolak kemanusiaan hastina akhibat efek negatif senjata globalisasi yang sudah menjamur maka kita membutuhkan mustika Garda Panca Sirah sebagai penyempurna jamus Kalimasada”
“Lantas bagaimana kita harus menemukan mustika Garda Panca Sirah wahai Maha Guru Smarasanta ?, tanya Hanoman dengan penuh keseriusan.
“Browsing saja di Search Engine Google Hanoman Si Wanara Putih !!!”, Sahut Ki Gareng dengan menyodorkan tablet miliknya kearah Hanoman.
Disisi lain Kyai Semar tertawa ketika mengetahui bahwa Ki Gareng gagal menemukan dimana Mustika Garda Panca Sirah berada meski dirinya telah menggunakan berbagai aplikasi mulai Hostpot Shild hingga menjelajah Deep Net, namun dirinya tetap tak menemukan petunjuk dimana Mustika Garda Panaca Sirah itu berada. “Hahahaha, Gareng muridku engkau mencari di situs mana saja tentu engkau pasti tak akan menemukan petunjuk dimana Garda Panca Sirah berada, karena memang mustika itu bukan mustika biasa yang dapat digapai dengan cara instan melainkan tentu membutuhkan sebuah tahapan proses keseriusan dalam pencarian.”
“Menurut hipotesis penelitian disertasiku terkait mustika Garda Panca Sirah bahwasahnya daku hanya menemukan pemaparan bahwa burung Garuda-lah yang mengetahui dimana Prabu Puntadewa menyimpan mustika kenegaraan tersebut, hipotesis ini dikuatkan dengan fakta bahwa burung Garuda dijadikan maskot kenegaraan hastina”. Papar Kyai Semar sekali lagi.
“Garuda yah, sekali lagi Garuda menjadi pahlawan utama cerita karmapala. Dulu Garuda yang memberikan sandi pada Prabu Sri Rama tentang peristiwa penculikan Ayunda Dewi Sinta oleh Rahwana si Angkara murka. Garuda pula yang membantu pasukan aliansi Kiskenda – Ayodya dari serangan ular berbisa dari panah sakti Naga Saka kepunyaa Prabu Indrajit. Pantas jika Garuda mendapat amanat kepercayaan Prabu Puntadewa sebagai kunci utama mendapatkan informasi dimana mustika Garda Panca Sira berada.” Kata Wanara tua Resi Sugriwa yang memang merupakan salah satu ksatria yang pernah mengenal dekat dengan salah satu dari Garuda bernama Jatayu yang mokhsa akhibat bertempur melawan prabu Rahwana kala.
“Sidang para pewayangan ditutup dengan sebuah naskah baru “mencari garuda”, guna mencari kejelasan dimana mustika Garda Panca Sirah berada. Mustika kenegaraan yang diharapkan mampu mengatasi prahara kemanusiaan yang menerjang Hastina akhibat dampak negatif senjata bernama Globalisasi yang kerap membawa virus provokasi tanpa rasionalisasi.” Tutur Ki Gareng mengutip simpulan Mahaguru Kyai Lurah Semar dalam sebuah caption di akun instagram miliknya disertai dengan sebuah foto Gunungan yang menandai akhir sebuah sandiwara.
Oleh: Rizal Nanda Maghfiroh
Pembentukan karakter kebangsaan erat kaitannya dengan peranan sejarah. Figur-figur sejarah telah memainkan peran penting dalam menumbuhkan karakter kebangsaan. Salah satu figur sejarah yang patut menjadi teladan adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang juga dikenal sebagai Bapak TNI. Sosoknya yang semangat, pantang menyerah, tanpa pamrih, totalitas dalam memperjuangakan kemerdekaan, disiplin, berani namun tetap sederhana dan teguh dalam keimanan menjadikan Soedirman sebagai figur sejarah yang layak untuk diteladani. Pada sebuah kesempatan Soedirman berpidato di hadapan prajuritnya dan menyampaikan amanat yang berbunyi,
“
Kamu semua harus ingat,
Tidak ada kemenangan, kalau tidak ada kekuatan
Tidak akan ada kekuatan, kalau tidak ada persatuan,
Tidak akan ada persatuan, kalau tidak ada keutamaan
Tidak akan ada keutamaan,kalau tidak ada ajaran kejiwaan
yang mentasbihkan semua usaha kita kepada Tuhan
“
Kutipan amanat tersebut membuat kita bisa merasakan bagaimana sederhananya sosok seorang Jenderal Besar yang sangat disegani prajuritnya. Sifat rendah hati menunjukkan tingkat kesalehan yang di milikinya. Kemenangan yang ingin di raih semata-mata karena usaha bersama, terikat dalam persatuan yang menguatkan, menjadikan kepasrahan pada Tuhan sebagai landasan utama dalam perjuangan.
Amanat yang diucapkan kurang lebih 71 tahun yang lalu nyatanya masih relevan dengan keadaan bangsa saat ini, entah karena memang negeri ini masih belum sepenuhnya menerima kemenangan atau memang karena kesaktian ucapan Sang Jenderal dalam meramal masa depan. Amanat Soedirman menjadi semacam nasehat, khususnya bagi generasi milenial yang sedang bersiap melangkah menerima tampuk kepemimpinan.
Milenial menghadapi berbagai permasalahan mulai tembok kemenangan yang retak, dan perlahan-lahan runtuh karena isu SARA tumbuh subur layaknya lumut yang menggerogoti batuan. Tapi bukan hanya itu, gempa yang mengguncang “Yang Mulia”, membuat rakyat semakin khatam bahwa kekuatan hanya berpihak pada pemangku jabatan. Lantas bagaimana bisa ada persatuan jika kekuatan memenangkan kepentingan perorangan? Kaum milenial pula yang menjadi kuncinya.
Kaum milenial sedang menghadapi puncak kemenangan, bonus demografi melambungkan eksistensi mereka dalam era baru yang sedang mereka ciptakan. Memadamkan isu SARA demi menjaga persatuan Nusantara, menjadi tugas utama. Bukan hal yang mudah memang, akan tetapi bukankah Sang Jenderal berpesan,”Kejahatan akan menang bilang orang benar tidak akan melakukan apa-apa.” Kaum milenial memiliki kekuatan yang disebut sosial media, yang dapat menjadi senjata penumpas informasi hoax akan SARA, tapi akan menjadi bencana yang menyalakan api kebencian dan menghanguskan persatuan apabila tidak bijak menggunakannya. Jika dahulu Gajah Mada menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapa, rasanya memang sudah waktunya bagi kaum milenial menuangkan karya dalam berbagai tulisan di sosial media yang menyadarkan bahwa bangsa kita sedang sekarat. Mengembangkan minat masyarakat Indonesia dalam bidang literasi, merupakan salah satu bentuk dari penumpasan isu SARA untuk itulah Pewarta Nusantara hadir menjadi wadah pemersatu pemikiran-pemikiran milenial yang ingin menumpas isu peruntuh bangsa. Tugas yang berat, karena milenial bertaruh akan lebih tangguh daripada seorang Gajah Mada yang saat itu tak mengenal sosial media.
Penumpasan isu SARA, bukanlah satu-satunya tugas dari Sang Jenderal bagi kaum milenial, karena persatuan saja tidak akan cukup menggulingkan kekuatan untuk meraih kemenangan. Ada kekuatan lebih besar yang harus disadarkan pada jiwa setiap insan, tentang keutamaan melibatkan Tuhan dalam setiap langkah perjuangan. Menyadarkan makna sila pertama Pancasila, yang menjunjung tinggi arti Esa. Kekuatan tunggal yang menjadi penentu kemenangan di medan perang melawan kebatilan sang penguasa.
Pada akhirnya karakter kebangsaan bagi Soedirman bukan hanya serta merta berjuang melawan penjajahan ataupun sebatas mengisi kemerdekaan, melainkan lebih kepada mengutamakan Tuhan dalam menjalin persatuan, demi menggalang kekuatan untuk meraih kemenangan bagi Nusantara.
Amanat Jenderal Besar yang seharusnya kita laksanakan, karena jika bukan Tuhan yang kita utamakan, siapa lagi yang bisa menyatukan jiwa-jiwa yang saling berjauhan untuk dapat menghimpun kekuatan demi memenangkan sebuah harapan kemerdekaan dari kebatilan.
Hari Batik Nasional adalah salah satu perayaan untuk memperingati ditetapkannya batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Menurut definisi UNESCO, warisan budaya lisan dan non bendawi adalah “keseluruhan dari kreasi berdasar tradisi komunitas kultural yang dinyatakan oleh suatu kelompok atau individu-individu dan diakui sebagai cerminan harapan-harapan dari suatu komunitas sehingga mencerminkan indentitas sosial dan budaya.”
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang penuh dengan keragaman yang terdiri atas berbagai budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan dan perbedaan lainnya. Namun, rasa nasionalisme telah mampu mepersatukan bebragai keragaman itu. Hal ini selaras dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Salah satu bentuk keragaman yang menjadi simbol di berbagai daerah adalah batik. Kreatifitas membatik adalah warisan kesenian buadaya nusantara yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyang. warisan ini tumbuh diberbagai daerah, masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda antara daerah satu dan lainnya.
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat heterogenitas budayanya tinggi. Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kekayaan yang tidak semua negara memilikinya. Begitu juga dengan perbatikan nusantara yang begitu kaya, keragaman batik yang menjadi identitas daerah harus kita jaga kelestariannya.
Menjaga dan melestarikan batik adalah salah satu bentuk ungkapan kecintaan kita pada kesenian dan kebudayaan nusantara. Menurut suryani rektor Universitas Pekalongan melalui forum Kafe BCA VI sebagai mana dilansir KOMPAS.COM, ia menjelaskan bahwa kalangan akademisi juga memegang peranan penting dalam melestarikannya. Caranya, dengan menyelesaikan berbagai persoalan dalam industri dan melakukan riset mendalam. Selain itu bisa dengan dengan melakukan pelatihan kewirausahaan serta sosialisasi hak kekayaan intelektual dan persoalan lingkungan dari industri kerajinannya.
Selain pada sektor industrinya, pengenalan dan edukasi baik dari sisi filosofis maupun historisya adalah upaya strategis dalam menanamkan kecintaan masyarakat terhadap kekayaan budaya nusantara tersebut. Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki kebanggaan dan rasa tanggung jawab untuk melestarikannya sebagai sebuah warisan kebudayaan.
Hari Batik Nasional 2 Oktober mendatang, semoga menjadi momentum yang baik untuk mengingatkan kita akan kekayaan budaya batik nusantara. Meskipun bermacam-macam jenis, motif dan asalnya, namun kekayaan budaya batik adalah milik bangsa Indonesia harus kita lestarikan.
Hari Kesaktian Pancasila diperingati pada tanggal 1 Oktober dan dicetuskan oleh Jenderal Soeharto. Sejarah penetapannya tidak lepas dari peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Hari kesaktian pancasila adalah hari peringatan titik balik reaktualisasi pancasila sebagai dasar ideologi bangsa. (Sumber: Wikipedia)
Hari Kesaktian Pancasila juga diperingati untuk mengenang para jenderal yang gugur oleh keganasan pemberontakan G30S/PKI. Jenderal-jenderal yang gugur dalam peristiwa itu disebut dengan Pahlawan Revolusi. Pemerintah membangun Monumen Pancasila Sakti untuk mengenang mereka yang gugur dalam insiden tersebut.
Sejarah Pemberontakan G30S/PKI yang Melatarbelakangi Hari Kesaktian Pancasila
Gerakan yang mengatas namakan G30S/PKI melakukan pemberontakan pada tanggal 30-September-1965 tepatnya saat malam hari. Tragedi G30S/PKI sebenarnya masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan dan pengamat sejarah mengenai siapa dalang dan motif sebenarnya.
kelompok religi terbesar saat itu dan otoritas militer mengklaim dan meyakini bahwa Prtai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang keonaran yang ingin merubah ideologi bangsa. Sedangkan Menurut versi Orde Baru, G30S dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal presiden yang melakukan aksi penculikan dan pembunuhan kepada enam jenderal TNI AD.
Pada tanggal 30 September, pemberontak berhasil menguasai dua sarana komunikasi penting yakni RRI Pusat dan Pusat Telekomunikasi. Melalui RRI, pagi jam 07.20 dan jam 08.15. gerakan pemberontak yang mengatas namakan diri sebaga Gerakan 30 September, mengumumkan tentang “Dewan Revolusi” telah dibentuk di pusat dan di daerah-daerah. Setelah itu mereka juga mengumumkan pendemisioniran Kabinet Dwikora.
Pada Jam 14.00 diumumkan lagi bahwa Dewan Revolusi diketuai oleh Letkol Untung dengan para wakilnya. Mereka juga menyebutkan 44 orang lainnya yang masuk dalam anggota inti.
Para-putra terbaik bangsa yang meninggal dalam pemberontakan G30S/PKI yakni Letnan Jenderal A. Yani, Mayjen Haryono, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo, Mayjen R. Suprapto, Mayjen S. parman.
Ahmad Yani, MT Haryono, dan DI Panjaitan meninggal di tempat. Tiga Jenderal lainnya yakni Sutoyo Siswomiharjo, Soeprapto dan S. Parman di bawa oleh para pemberontak dalam keadaan hidup. Tiga jendral yang diculik dan dibawa dalam keadaan hidup, mereka disiksa dengan keji. setelah mereka dibunuh, Mayatnya dimasukan dalam satu lubang kecil setelah itu bagian atas lubang mereka tutupi dengan pohon pisang. Lubang tersebut kemudian di kenal dengan sebutan Lubang Buaya.
Jenderal TNI Abdul Haris Nasution (AH Nasution) juga menjadi salah satu sasaran utama pemberontak. Namun, AH Nasution dapat selamat dari peristiwa maut tersebut. Penggerebekan kediaman Jendral AH Nasution oleh kelompok pemberontak juga menuai korban jiwa, yakni putrinya yang bernama Ade Irma Suryani. Semula PKI mengira Pierre Tendean (Ajudan Jenderal AH Nasution) sebagai jenderal AH Nasution, namun ternyata salah. karena yang mereka bunuh adalah Ajudan sang jenderal.
Mayor Jendral Soeharto yang saat itu menjabat seorang jenderal, namanya tidak tercantum dalam daftar tokoh yang harus dieksekusi oleh pemberontak PKI. Sehingga, Soeharto memiliki kesempatan memegang kendali komando. Soeharto kemudian membuat beberapa kebijakan strategis, dan dalam tempo sehaari, Soeharto berhasil merebut kembali Jakarta dari para pemberontak PKI.
Beberapa jendral dan korban pemberontakan G30S/PKI antara lain:
- Panglima Angkatan Darat Letnan Jendral (Letjen) TNI Anumerta Ahmad Yani.
- Mayor Jendral (Mayjen) TNI Mas Tirtodarmo Haryono.
- Mayor Jendral (Mayjen) TNI Raden Soeprapto.
- Mayor Jendral (Mayjen) TNI Siswondo Parman.
- Brigadir Jendral (Brigjen) TNI Sutoyo Siswodiharjo.
- Brigadir Jendral (Brigjen) TNI Donald Isaac Panjaitan.
- Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun.
- Ade Irma Suryani Nasution (Putri Abdul Haris Nasution).
- Kapten Lettu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Abdul Haris Nasution).
- Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto (Korban G30S/PKI di Yogyakarta).
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Korban G30SPKI di Yogyakarta).
Tanggal 1 Oktober 1965 tepatnya pada jam 20.15 WIB, Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat melalui RRI memberitahukan, bahwa telah terjadi gerakan Kontra Revolusi yang berhasil menculik 6 jenderal senior Angkatan Darat (TNI AD). Namun, situasi dapat dikuasai kembali oleh pimpinan Angkatan Darat Mayor Jendral Soeharto.
Setelah itu Tepat pada jam 21.00 WIB di hari yang sama 1 Oktober 1965, pemerintah lewat Mayor Jendral Soeharto mengumumkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) telah berhasil di tumpas. Akhirnya sejarah mencatat bahwa tanggal 1 Oktober di kenang sebagai Hari Kesaktian Pancasila, dan untuk mengenang 7 jenderal yang meninggal karena pemberontakan G30S/PKI pemerintah membangun Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur.
Hari Kesaktian Pancasila berbeda dengan Hari Lahir Pancasila. Hari Lahir Pancasila adalah hari dimana Pancasila pertama kali diperdengarkan kepada halayak umum sebagai dasar negara. Hari Lahir Pancasila diperingati Pada tanggal 1 Juni. Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan nama dasar negara kita dengan nama Pancasila (bahasa sansekerta yang berarti: Lima Asas). Sedangkan Hari Kesaktian Pancasila adalah hari dimana ideologi Pancasila dianggap sebagai dasar negara yang tak tergantikan dan berhubungan dengan peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Presiden Republik Indonesia ke dua yakni Soeharto, menganggap Pancasila sebagai ideologi harus dikuatkan, mengingat ancaman dari ideologi lain yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa.
Terlepas dari perdebatan mengenai sejarah G30S/PKI, Penguatan ideologi pancasila tetap harus diaktualisasikan. Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimilikinya. Bangsa dengan karakter kuat akan mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat. Pancasila selain sebagai simbol karakter dan martabat, juga menjadi wadah kebinekaan Indonesia.
Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, tentunya banyak peristiwa sejarah yang telah dicatat. Mulai dari zaman kerajaan, penjajahan, hingga kemerdekaan. Semuanya terkumpul menjadi satu buku catatan sejarah yang tidak terlupakan. Salah satu bukti catatan sejarah yang sampai sekarang masih membekas adalah tragedi 10 November 1945 di Surabaya. Peristiwa tersebut merupakan bukti dari perjuangan bangsa Indonesia khususnya rakyat Surabaya untuk menuju kemerdekaan yang di cita-citakan. Semangat juang pahlawan untuk merebut hak kemerdekaan menjadikan nilai nasionalisme tersendiri yang tidak dapat dibayar dengan sejumlah uang. Mengokohkan persatuan meskipun banyak perbedaan bukan menjadi suatu alasan untuk terus berjuang di medan pertempuran. Berbagai kalangan mulai dari orang tua dan pemuda, semaunya bersatu untuk berjuang merebut kemerdekaan dari kaum kolonial. Namun, dalam peristiwa tersebut muncullah sosok pemuda yang bernama Bung Tomo. Melalui pidatonya, Bung Tomo bisa membakar semangat rakyat Surabaya untuk berjuang melawan penjajah. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, banyak pahlawan yang gugur dalam pertempuran. Maka dari itu, tepat pada tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari dimana kita sebagai masyarakat Indonesia mengenang perjuangan dan pengorbanan pahlawan Indonesia khususnya rakyat Surabaya.
Dewasa ini, banyak pemuda yang mulai lupa dengan sejarah bangsanya sendiri. Pemuda yang seharusnya menjadi penerus estafet kepemimpinan dari pendahulunya justru sekarang melempem karena dimakan zaman dan pudarnya pengetahuan tentang sejarah. Nilai-nilai sejarah yang harusnya tertanam dalam benak generasi bangsa, justru sekarang mulai hilang dan menggerogoti para pemuda untuk melupakan sejarah. Bukan hanya pemuda, bahkan anak kecil pun enggan untuk mengetahui atau mencari tahu tentang sejarah bangsanya sendiri. Semuanya hampir hilang dimakan derasnya arus globalisasi. Padahal, hal ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan pemuda di era kemerdekaan dulu. Semangat mereka untuk terus berjuang tiada henti dalam upaya mewujudkan kemerdekaan maupun upaya mempertahankan kemerdekaan merupakan bukti yang konkret dari pengorbanan mereka. Salah satu bukti nyata tersebut adalah berperannya seorang pemuda yang bernama Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi jika derasnya kemajuan teknologi merupakan penyebab banyak catatan sejarah yang mulai dilupakan, khususnya oleh pemuda. Kemudian, bagaimana kita meyikapi hal yang demikian agar kemajuan teknologi bisa meningkatkan pengetahuan kita tentang sejarah?
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah media. Kenapa media? Karena media merupakan segala bentuk informasi yang dapat kita peroleh dengan mudah dan cepat. Melalui media, manusia diberikan berbagai kemudahan untuk mengakses berbagai informasi yang diinginkan baik itu, pendidikan, kebudayaan, politik, sejarah, dan masih banyak lagi. Salah satu bentuk media yang saat ini sering digunakan oleh manusia adalah media online. Jenis media ini sangat viral digunakan karena memberikan kemudahan bagi penggunanya. Dengan akses yang begitu cepat dan efisien, membuat salah satu media ini selalu menjadi primadona tersendiri sehingga membuat beberapa media yang lain seperti media cetak sudah mulai ditinggalkan.
Salah satu media online yang masih tergolong baru adalah Pewarta Nusantara. Meskipun masih tergolong baru, Pewarta Nusantara sudah menyajikan berbagai informasi dan wawasan ilmu tentang Indonesia kepada masyarakat. Sentralnya peran media dalam tonggak kemerdekaan Indonesia diharapkan mampu diteruskan oleh Pewarta Nusantara. Dengan segala informasi yang ada, baik itu sejarah perjuangan maupun catatan sejarah lainnya bisa untuk disebarluaskan agar generasi penerus dapat mengingat kembali latar belakang bangsa Indonesia. Momentum ini tentunya selaras dengan hari jadi Pewarta Nusantara yang kebetulan bertepatan dengan hari pahlawan yakni pada tanggal 10 November 2017. Harapannya, Pewarta Nusantara bisa menjadi media pelopor bagi media yang lain untuk memberikan wawasan infromasi yang inspiratif dan terpercaya serta bisa meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap Indonesia.
Husnudzon kepada Alloh sangatlah penting. Sebagai umat Islam, tentu kita tidak asing dengan asma al-husna (Nama-nama kebaikan yang melekat pada Allah). Asmaul husna yang berjumlah 99, memberikan kita pemahaman bahwa Allah memiliki sifat kemuliaan dan maha segala-galanya, termasuk maha kasih sayang.
Maha kasih sayang yang dimiliki Allah sering kali kita lupakan. Meskipun sebagai umat islam kita tidak pernah lupa untuk mengucapkannnya setiap hari. Ar-rahmanir rahim dalam alfatihah selalu kita ucapkan minimal dalam shalat lima waktu. Namun pada praktiknya, ternyata kita tidak benar benar meyakini bahwa Allah ar-rahmanir rahim.
Salah satu bukti ketidak percayaan pada sifat penyayang Allah adalah saat kita melihat fenomena perbedaan islam. Klaim kita atas kebenaran dan menyalahkan golongan Islam lainnya menjadi bukti bahwa kita tidak konsisten dengan pernyataan ar-rahmanir rahim yang diucapkan setiap melakukan shalat. Kita beranggapan kebenaran kitalah yang diterima Allah, dan jika tidak seperti apa yang kita yakini dan lakukan maka dia masuk neraka.
Surga dan neraka adalah hak priogatif Allah, kita yang hanya sebata hamba tidak berhak menghukumi siapapun untuk masuk neraka. Seperti kata Cak Nun, “Kenapa kita tidak husnudzon saja kepada Allah?” “kita doakan saja agar mereka masuk surga, toh kalau mereka masuk surga kan masa iya, Allah tega memasukan kita keneraka?”.
Logika berfikir seperti ini memang terdengar seperti guyon. Namun, jika kita amati lebih dalam, hal ini merupakan salah-satu pembuktian keyakinan kita terhadap sifat Allah yang ar-rahmanir rahim (maha pengasih lagi maha penyayang). Sanagat disayangkan jika shalat tidak kita pahami arti dan maknanya. Tentu saja kita tidakmau shalat kita hanya menjadi latah rutinitas sehari-hari.
Husnudzon yang dimaksud Caknun juga menjadi resolusi terhadap fenomana banyaknya golongan-golongan atau organisasi-organisasi Islam yang terkesan carut marut atas klaim satu sama lain. Bukankah dengan kita berhusnudzon dan mendoakan satu sama lain akan lebih menentramkan daripada saling klaim dan saling menyalahkan, apa lagi sampai menyerobot ketentuan Allah dalam memberikan surga dan neraka pada makhluknya.
Lembaga pendidikan di Indonesia jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Badan Pusat Statistik mencatat, total jumlah sekolah mencapai 147.513 pada tahun 2015. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, yakni sekitar 255.461.700 jiwa, dan menempati posisi ke empat setelah China, India, dan Amerika Serikat. hal ini menunjukan, Jumlah sekolah di Indonesia terbilang fantastis, dibandingkan dengan sekolah di negara China yang berjumlah 124.404, Indonesia masih lebih unggul jumlah sekolah.
Di Asia Tenggara, Indonesia juga telah menjadi tujuan utama sekolah internasional yang jumlahnya mencapai 192. Data tersebut dikeluarkan oleh ISC Research menjelang event pameran dan konferensi GESS Indonesia, yang akan diselenggarakan pada tanggal 27-29 September 2017 di Jakarta Convention Center (JCC).
Indonesia kini menjadi pasar utama bagi operator sekolah internasional dan juga suplier pendidikan, karena perkembangannya di sektor pendidikan sangat pesat. Sebagaimana dilansir jakartakita.com, Matt Thompson, Event Director, F&E Education, penyelenggara GESS Indonesia dalam siaran persnya menjelaskan, “Indonesia di tingkat global menempati urutan ke 10 secara keseluruhan di antara negara-negara dengan jumlah sekolah internasional terbanyak,”.
Fenomena demikian tentu disebabkan karena pertumbuhan populasi siswa di Indonesia saat ini sedang dalam masa emas. Hal ini menunjukan bahwa, pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif di Indonesia mengalami peningkatan tajam. Jika situasi ini dimanfaatkan dengan baik, maka Indonesia sudah berada di julur yang benar menuju negara maju melalui Bonus Demografi.
Salah satu upaya mempersiapkan bonus demografi adalah dengan cara meningkatkan kualitas SDM. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam pengembangan SDM. Djoyonegoro (1995:5) menggambarkan relevansi pendidikan dalam bentuk link and match. SDM akan lebih bernilai jika memiliki wawasan, kemampuan, sikap, perilaku, keahlian serta keterampilan, sesuai dengan kebutuhan dalam bidangnya.
Peluang bonus demografi tentu tidak bisa berjalan secara optimal jika tidak ada keseriusan pemerintah dan masyarakat dalam mempersiapkannya. Yang harus dilakukan adalah menata dan mengoptinalkan faktor faktor penunjang, sehingga bonus demografi terkendali dan diraih sesuai dengan yang diharapkan.
Amerika sebagai negara maju yang pernah melalui bunos demografi, sangat minim dengan sumber daya alam. Tetapi, mereka mengoptimalkan moment bonus demografi dengan meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan sebagai investasi jangka panjang, sehingga mereka tumbuh menjadi negara maju seperti sekarang.
Hari Tani Nasional didasarkan pada hari kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), UUPA merupakan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Penetapan hari pertanian berangkat dari salah satu isi UUPA yang mengatur ketetapan hukum bagi pelaksana redistribusi tanah pertanian (reforma agraria). dengan dibentuknya UUPA, negara memiliki komitmen dan dasar keadilan bagi petani untuk menguasai sumber agraria, seperti tanah, air, dan kekayaan alam, demi mewujudkan kedaulatan petani.
Sejarah Marhaenisme
Berbicara petani, kita tentu ingat dengan sosok petani yang berdikari, representasi dari rakyat Indonesia, yaitu Marhaen. Sukarno dalam otobiografinya, menceritakan bagaimana awal mula ia menemukan Marhaenisme (paham yang memperjuangkan kaum Marhaen). Sebagai pemuda yang belajar Marxisme, ia meyakini bahwa dalam tatanan sosial, masyarakat terbagi menjadi dua kelas. Pertama, kelas proletar (kaum buruh yang digaji majikan). Kedua, kelas kapitalis atau borjuis (kaum majikan atau pemilik alat produksi usaha). Marhaen yang seorang petani ternyata tidak termasuk dalam 2 kelas tersebut. Di Indonesia, banyak masyarakat yang sehari-harinya hanya bisa mencukpi kebutuhan makan, namun seberapa pun miskin keadaannya, tidak sedikit yang mampu mencukupi kebutuhan tanpa menjadi buruh bagi orang lain. Ia sebagai majikan sekaligus buruh bagi dirinya sendiri. Seorang tukang becak, misalnya, adalah pemilik dari becak yang ia buat sendiri. Seorang nelayan, ia adalah pemilik kapal dan peralatannya sendiri. Begitu pula dengan petani. Apa yang mereka miliki tidak di kerjakan oleh orang lain, dia menjalankan alat usahanya sendiri.
Pertemuan Sukarno dan Marhaen terjadi ketika ia mengendarai sepedanya menuju daerah Bandung bagian selatan untuk melepas penat dari kesibukannya kuliah. Pagi itu banyak petani yang sedang beraktifitas menggarap sawah. Soukarno menghampiri seorang petani yang sedang mencangkul sawahnya, lalu ia menanyakan beberapa hal (konon ditanyakan dengan bahasa sunda).
“Lahan siapa yang engkau kerjakan?” tanya soekarno mengawali pembicaraan.
Petani itu menjawab
“Lahan saya sendiri, Juragan”
“Apakah lahan ini kau miliki bersama dengan orang lain?”
“Tidak juragan, saya sendiri yang punya”
“dari siapa kau beli tanah ini?”
“Saya tidak membeli, ini tanah warisan bapak”
“Cangkul itu kepunyaanmu juga?”
“Iya juragan”
“Bagaimana dengan bajak?”
“Bajak saya punya”
“Lalu hasilnya untuk siapa?”
“Untuk saya sendiri juragan”
“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”
“Sawah sekecil ini hanya cukup untuk kebutuhan makan, seorang istri dan 4 orang anak” jawab petani itu sambil mengankat bahu.
“Apakah kau mempekerjakan buruh?”
“Tidak, aku tidak mampu membayarnya juragan”
“Apakah kau pernah memburuh?”
“Tidak juragan”
“Gubuk itu juga kau punya?”
“Iya juragan, gubuk kecil tapi kepunyaan sendiri”
Setelah cukup puas, Sukarno menanyakan nama petani itu.
“Siapa Namamu pak petani?”
Petani itu menjawab
“Marhaen”
Setelah perbincangan itu, Soekarno pamit pulang. Dalam perjalanan pulang, di atas sadel sepedanya ia membatin. “Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia (marhaen)!” katanya.
“Marhaenisme adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil.. Pendek kata, kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil,” katanya. Marhaenisme, hampir sama halnya dengan proletar dalam bahasa marxisme-leninisme. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut golongan rakyat yang tertindas. bedanya, Marhaen tidak menjual tenaganya kepada orang lain.
Profesor Sejarah Universitas Passau, Jerman Barat, Bernhard Dahm dalam bukunya Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, mengkritisi marxisme yang di-Indonesiakan oleh Soekarno dalam marhaenisme. Pendekatan Soekarno terhadap marhaenisme, menurut Dham bukanlah marxis, meskipun bergaya marxisme. Sebaliknya, pendekatan Soekarno anti-marxisme. Soekarno bahkan tidak pernah menjadi marxis dan seorang materialis. Sejak semula, meski sering berprilaku sebagai marxis, Soekarno sebenarnya berada dalam kubu idealisme. Kekuatan yang menggerakkannya dalam marhaenisme adalah persatuan.
Pertemuan Sukarno dengan Marhaen menjadi sebuah refleksi baru, karena tatana sosial ternyata tidak mutlak pada pembagian dua kelas. Masyarakat Indonesia yang berada di garis kemiskinan, ternyata dia adalah pemilik modal dan usaha. Dengan keadaan mereka yang misikin, apakah mereka masuk dalam kategori proletar? jika berangkat dari pemahaman proletar sebagai kaum buruh, tentu Marhaen tidak termasuk di dalamnya. Marhaenisme yang dikait-kaitkan dengan marxisme selama ini adalah keliru. Marhaenisme adalah rekonseptualisasi dari inti gagasan persatuan yan bersumber dari filsafat Jawa.
Refleksi Hari Tani
Hari Tani yang diperingati setiap 24 September, bukan hari biasa. Hari tani adalah hari dimana kita harusnya mengingat dan menyadari pentingnya peran sektor pertanian. Bukan sekedar tentang pemenuhan pangan, lebih jauh dari itu, sektor pertanian mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam sektor agraria. Peranan tersebut diantaranya: meningkatkan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan pangan mandiri, bahan baku industri serta optimalisasi pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Hal ini dibuktikan oleh besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terutama pada masa kirisis ekonomi yang dialami negara, Sektor yang menjadi penyelamat perekonomian Indonesia pada tahun 1997-1998 hanyalah sektor agribisnis, dimana agribisnis memiliki pertumbuhan yang positif.
Hari Tani Nasional menyimpan harapan yang amat besar untuk kemajuan sektor pertanian. 24 September inilah hari bagi petani Indonesia, pada hari ini dibuat satu kebijakan UUPA yang mengatur hak-hak dan kewajiban kaum tani di Indonesia, hak atas tanah dan hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa. Selamat Hari Tani Naional.
Ki Hadjar Dewantoro adalah tokoh Nasional dalam bidang pendidikan. Melalui yayasan pendidikan Taman Siswa yang dikembangkan di tengah hegemoni sekolah kolonial, ia menjadi pelopor lembaga pendidikan pribumi bercita rasa nasionalisme yang tinggi. Sekolah Taman Siswa inilah yang kemudian dijadikan sebagai rujukan sekolah berkepribadian Nasional oleh Bung Karno.
Konsep pendidikan yang begitu melekat “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” kini menjadi slogan pendidikan Nasional. “Ing Ngarsa Sung Tulodho” artinya “di depan sebagai contoh atau panutan”, “Ing Madyo Mangun Karso” artinya “di tengah sebagai pelopor atau pemrakarsa”, dan “Tut Wuri Handayani” artinya “dari belakang berupaya penuh memberi dorongan dan arahan”. Konsep tersebut menjadi spirit pendidikan Nasonal khususnya dalam aspek kepemimpinan seorang pendidik.
Sebagai seorang pangeran dari Kadipaten Paku Alam Yogyakarta, Ki Hadjar dikenal supel dalam bergaul dan dekat dengan masyarakat. Sebagai tokoh Nasional Ki Hadjar juga dekat dengan Bung Karno. Kedekatannya Bung Karno tersirat dari sapaan mereka satu sama lain. Ki Hadjar memanggil Bung Karno dengan Panggilan “Dimas” (Istilah Jawa: Panggilan seorang kakak kepada adik dengan penuh kepedulian dan kasih sayang), dan Bung Karno Memanggil Ki Hadjar dengan panggilan “Kangmas” (Istilah Jawa: Panggilan seorang adik kepada kakak dengan penuh penghormatan dan kasih sayang).
Menjelang Rapat Raksasa Lapangan Ikada yang dilaksanakan pada 19 September 1945, saat Soekarno memberikan pidato singkat dalam rangka memperingati 1 bulan proklamasi kemerdekaan, Ki Hadjar berpesan kepad A.G. Pringgodigdo supaya menyerahkan jimat dari eyangnya kepada Bung Karno. Jimat tersebut merupakan cendera mata yang menjadi satu ungkapan kasih sayang seorang kakak kepada adiknya.
Pada Tahun 1959, Ki Hadjar sakit keras. Bung Karno yang menganggapnya bak seorang kakak, menyempatkan diri menjenguknya. Tergambar betapa sang kakak merasa sangat bahagia ditemui oleh Dimas Karno. Airmata yang berlinang adalah bukti kebahagiaan tengah tertuang kala itu. Sebagai kakak yang begitu peduli kepada adiknya, dan sebagai guru bangsa yang mengemban cita-cita pendidikan Nasional, seolah tersirat pesan dan amanat besar dalam tatapannya. “Jaga dirimu baik-baik, Aku titipkan bangsa ini padamu.” Begitu juga denga Bung Karno yang enggan melepaskan genggaman tangan Ki Hadjar dan seolah berkata “Terima kasih untuk semuanya, Aku dan rakyatku tidak akan pernah melupakan jasamu”.
Tes CPNS (pendaftaran PNS) tahun ini telah dibuka sejak 11 Juli – 31 Juli 2017 . Antusias para pelamar sangat tinggi, terbukti saat ini sccn.bkn.go.id per september telah menampung sekitar 6jt peserta, termasuk saya. Jumlah ini tentu tidak berhenti disini, pendaftaran masih dibuka sampai tgl 25 september. Semoga Indonesia mendapatkan tenaga kepegawaian yang kompeten dan menjunjung tinggi integritas.
Pendaftaran CPNS tahun ini termasuk pendaftaran yang paling ditunggu oleh para akademisi dan sarjana Indonesia. Pasalnya tahun sebelumnya tidak ada formasi untuk CPNS. Para sarjana tanah air seolah mendapatkan siraman hujan ditengah musim kemarau. Entah apa yang membuat posisi kepegawaian negeri sangat diincar, mungkin karena status PNS yang begitu mentereng sehingga menambah kepercayaan diri para pelamar, khususnya untuk menghadapi calon mertua heheh. semoga cuma saya yang memiliki latar belakan mengikuti tes dengan niat yang tulus untuk mertua, karena saya sadar indonesia tidak butuh menantu, melainkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi tinggi dibidangnya.
Melihat pelamar yang begitu membludak dan keniatan unik saya pribadi, jadi teringat lagu Bang Iwan, “sarjana begini bayakkah di negeri ini, tak ada bedanya dengan roti.” Lirik tersebut memang ditujukan bagi para sarjana yang TA-nya beli di toko sebelah, namun menyandang status sarjana yang berusaha mengabdi pada negara dengan niatan tidak jelas jadi merasa tersindir. Karena lagu tersebut juga menggambarkan seorang sarjana yang tidak mencerminkan kesarjanaannya.
Saking banyaknya pendaftar, situs resmi portal pendaftaran cpns ini sampai overload. saya melakukan pendaftara berjibaku dengan stabilitas server. Kata-kata mutiara punk rock jalanan tidak sekali dua kali saya ucapkan, semoga para tim seleksi tidak mendengar kata-kata pujian yang sangat mencerminkan akademisi itu. Kata-kata yang saya ucapkan bukan umpatan, melainkan kata-kata mutiara yang merdu untuk menghibur diri. Emosi seseorang jika ditahan tentu memberikan dampak negatif bagi psikis, mana mungkin negara mempekerjakan orang yang psikisnya terganggu. Jadi saya luapkan agar negara ini mendapatkan kandidat yang siap mental dan sehat jasmani dan rohani.
Setelah mencoba beberapa lama, dan saya juga merasa cape mengeluarkan kata-kata mutiara, saya merasa apa yang keluar dari mulut sangat-sangat unfaedah. Maka selang beberapa saat saya ganti dengan dzikir “astaghfirullaaaaah” saya berharap luapan emosi berubah menjadi amal ibadah, amin. Server yang merasa superior melawan saya, biarkan dia melawan Tuhan agar dia tahu bahwa “la khaula wala quwwata illa billah”.
Kejadian ini mengingatkan saya pada pembuatan website Revolusi Mental yang menghabiskan anggaran APBN sebesar 140 Milyar Rupiah. Jika dana pembuatan website Revolusi Mental sebesar itu, website CPNS ini juga sangat memiliki peluang untuk menjadi website yang power full, karena website sangat menentukan SDM yang mengabdi pada negara. Sehingga para “roti” tidak perlu mengucapkan kata-kata mutiara, atau memanggil tuhan mereka untuk turun tangan.