
Menjadi Pemuda Milenial Melawan Hoaks
Kehadiran media sosial membuka ruang komunikasi tanpa jarak. Semua orang bisa berkomunikasi satu sama lain tanpa perlu tatap muka secara langsung. Tak sedikit perubahan-perubahan diawali dari perbincangan-perbincangan di media sosial. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi ruang awal yang mampu memicu ketegangan di kalangan masyarakat.
Dalam satu dekade terakhir, dunia digital—baik Twitter, Facebook, Youtube, Instagram, bahkan aplikasi perpesanan seperti WhatsApp—menjadi tempat yang meresahkan karena peredaran berita-berita hoaks. Beberapa kelompok seperti sengaja memproduksi hoaks untuk menebar ketakutan. Tidak sedikit yang menganggap bahwa hoaks yang diterima adalah kebenaran. Jika kondisi ini dibiarkan, maka hoaks akan selalu menjadi senjata ampuh mencapai setiap tujuan.
Mulanya, tahun politik di era digital diprediksi akan menyenagkan dan menggembirakan. Namun, fakta berkata lain, tahun politik justru menjadi sarang hoaks yang berkelanjutan. Ketegangan sosial karena hoaks politik justru silih berganti dari tempat satu ke tempat yang lain.
Ya, jika dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, maka di era media sosial hari ini adagium itu berubah menjadi “jempolmu harimaumu”. Artinya, jempol menjadi aktor utama dalam menebar setiap kabar yang datang. Jika kita tidak melakukan verifikasi, maka kabar hoaks dengan mudah berkembang dan dianggap sebagai kebenaran. Dan, ini menjadi tugas berat pemuda milenial.
Kenapa Pemuda Milenial?
Generasi milenial memiliki ketergantungan akan media sosial semakin tak terelakkan. Bahkan, bisa dikatakan, generasi milenial adalah generasi yang tidak bisa lepas dari hiruk pikuk media sosial. Di Indonesia, penggunanya selalu mengalami lonjakan yang demikian dahsyat. Fakta ini kemudian membuat media sosial menjadi ruang yang efektif melakukan sosialisasi secara massif. Hampir setiap kepentingan menggunakan media sosial untuk memuluskan agendanya.
Mirisnya, kabar hoaks justru diproduksi oleh orang-orang yang mengenyam manisnya bangku pendidikan. Tingkat pendidikan bukan menjadi tolok ukur bahwa kita akan terlepas dari jeratan hoaks. Jika mengacu pada kasus-kasus termutakhir, suka tidak suka, hoaks justru muncul dari tangan-tangan sarjana, bukan petani yang setiap harinya mencangkul di sawah.
Nah, di sini pemuda milenial memiliki peran penting untuk menangkal hoaks agar tidak beredar di media sosial, yang kemudian muncul kepermukaan dan secara perlahan menyulut konflik sosial. Sadar atau tidak, akhir-akhir ini, media sosial justeru terlihat begitu menakutkan. Massifnya propaganda membuat media sosial menjadi ruang efektif untuk menyebar berita-berita hoaks. Bahkan, radikalisme pun memanfaatkan media sosial dalam menyebar pahamnya.
Lalu, bagaiamana generasi milenial melawan hoaks yang beredar massif di lini masa media sosial. Membiasakan jempol agar tidak asal memencet sembarangan adalah kunci menjadikan media sosial nyaman bagi semua orang. Dengan kata lain, sebelum melakukan verifikasi pantang untuk menyebar kabar yang datang.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan kaitannya menangkis agar berita hoaks tidak menyebar luas. Pertama, perhatikan sumber berita. Setiap berita yang datang, kita harus terlebih dahulu memastikan apakah berita itu berasal dari sumber terpercaya atau tidak. Kedua, melihat keaslian gambar dan video. Baik gambar atau video harus dipastikan bahwa bukan hasil dari manipulasi.
Ketiga, membaca secara keseluruhan. Jangan sampai hanya membaca judul atau paragraf awal semata lalu mem-forward dan meng-share seakan-akan berita itu benar. Keempat, kritis dalam membaca berita. Dalam membca berita, diperlukan berbagai perspektif agar kita tidak mudah percaya pada berita hoaks yang ada.
Sebagai genarasi yang dikenal dengan kreativitas tinggi, generasi milenial bisa menjadi corong untuk membuat konten-konten positif yang kemudian disebarluaskan di lini masa media sosial. Artinya, untuk melawan gempuran hoaks atau kabar-kabar bohong, cara yang efektif adalah dengan menebar hal-hal baik sebanyak mungkin hingga kebohongan itu tertutup dengan sendirinya.
Pemuda milenial haru mengkampanyekan pentingnya edukasi kepada khalayak luas tentang pentingnya literasi media, terkhusus media during. Sadar atau tidak, media during seringkali mengecoh dan hanya mengedepankan kecepatan semata demi memperoleh pengunjung sebanyak-banyaknya. Inilah yang kemudian mengesampingkan nilai-nilai jurnalistik yang ada. Di era gawai, pendidikan literasi menjadi penting agar kita tidak asal sharing tanpa terlebih dahulu melakukan saring.
Di balik canggihnya kemajuan zaman, hoaks menjadi penyumbang terbesar akan dampak negatif kehadiran teknologi. Karenanya, generasi milenial sudah semestinya hadir membawa energy positif di era digital yang tak terbendung ini. Pemuda milenial harus menjadi garda depan, tampil sebagai penggugah di tengah penebar-penebar fitnah yang telah membuat resah.
Bagaimanapun, peredaran berita hoaks—yang kerap megarah pada informasi provokatif—menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia. Karena kaehadiran hoaks akan mengganggu keragaman yang ada di Indonesia. Bangsa yang majemuk ini bisa terusik persatuannya jika hoaks dibiarkan berlalu begitu saja.
Karena hoaks telah menjadikan caci-maki sebagai alat untuk menghakimi, mem-bully dianggap sah karena perbedaan persepsi, menumpat dianggap sebagai cara terhormat, hingga menghina dianggap sebagai satu-satunya cara yang mulia. Karenanya, bagi pemuda milenial, melawan hoaks adalah keharusan.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida