Beberapa orang datang bergantian memadati sela di belakang punggungku. Sudah pukul sembilan malam, hanya pemilik foto kopian ini yang masih menyalakan lampunya. Foto kopian terdekat, dengan tarif murah perlembarnya, seratus lima puluh rupiah saja.
Urusanku dengan tukang foto kopi sudah sebelas menit lalu selesai. Tapi enggan aku beranjak menuju pulang. Udara malam berisik di telingaku, menari-nari, mengarang melodi, hingga disampaikannya sesuatu; jangan pulang dulu.
Nikmati kami, nikmati kami.
Tapi tidak ada boks rokok di kantung kemejaku, hanya materai enam ribu.
Kukeluarkan dia itu dari saku yang baru berpindah tangan dari sang penjual kepada pembeli yang belum mapan. Secara hangat, baik-baik, dan bersahabat. Pecahan uangku pas, sehingga dia tidak perlu repot-repot mengambil kembalian dan mendapatkan kesenangan kecil karena bisa lebih cepat tiga detik melayani pelanggan baru.
Seorang bapak-bapak tambun mengisi ruang di belakang punggungku. Aku maju sedikit dengan tumit bawah yang kugeser kecil-kecil.
Materai enam ribu itu sekarang di tanganku. Kumiliki untuk keperluan administrasi yang merepotkan sekali. Angka 6000-nya yang dibuat dari bahan berbeda dengan permukaan lainnya berkilauan disorot cahaya lampu jalanan, yang kalau kutatap ia, cahayanya mau beradu sengit dengan kacamataku.
Kutangkupkan dia, si materai enam ribu di tangan. Rasanya seperti menjebak seekor kupu-kupu dengan sayapnya yang rapuh.
“Hei, apa yang kau tunggu?”
Seorang anak muda, sebayaku, terlihat bicara dengan mulutnya yang dipenuhi segala macam ide tentang dia dan caranya menghabisi malam –mungkin setelah pergi dari sini. Dia terlihat melotot ke arahku, atau matanya memang begitu. Membuat jeda antara pertanyaannya dan jawabanku yang selain itu juga disekat oleh udara.
Aku belum kepikiran tentang apa yang kujawab padanya. Apakah berkas yang masih difoto kopi, file yang di-print, atau recehan kembalian. Jadi aku hanya menunjuk etalase yang kelihatannya dari sini sang tukang foto kopi tengah memeluknya. Atau menguncinya dengan tangan yang bertumpukan di atas etalase kaca itu.
“Bisa geser sedikit?” Katanya mencoba beramah tamah.
Kugoyangkan lagi tumitku. Rasanya tidak terlalu nyaman, tapi ini yang harus kubayar karena aku-Ingin-tetap-di-sini.
Angka 6000 itu masih berkilat. Menyadarkanku, bahwa di carik sekecil itu ada konsekuensi mahal yang hidup dan siap menerkam manusia dan segala urusannya, kapan saja.
Ingatanku terguncang ketika anak tadi barusan tidak sengaja menyenggol tengkuk-ku dengan betisnya yang kulitku rasai kenyal, seolah hanya terdiri dari air dan sekelumit daging saja.
Aku pernah berpikir untuk menyalin obrolanku dengan seseorang pada sebuah kertas bermaterai, sehingga akan kupaksa ia membubuhkan tanda tangan, setelah milikku, karena tentunya aku yang akan menggores duluan
Tujuannya waktu itu, ya hanya agar omong kosong aku dan dirinya yang ketinggian, harapanku yang diam-diam diselipkan di tiap rencananya yang digelontor tanpa beban…
…kesampaian.
“Iya, kamu nanti buat lirik lagu, biar aku yang mengirimu bernyanyi.”
Ingin kusalin kata-katanya selalu.
Tentang karya yang ingin kami selesaikan. Yang bahkan waktu itu belum dimulai.
Aku bermimpi sejuta kali tentang sesuatu yang bisa mengabadikan kami dalam sebuah ide yang direalisasi. Rasa, cita, persembahan kami yang barangkali bisa dikecup di permukaan sebuah batu. Pikiran kami yang segar, yang meskipun usang akan tetap kami sayang. Kalau kami beruntung, orang-orang juga akan menikmatinya, kan?
Malamnya, setelah ia bilang begitu, menerbangkan mimpiku mengenai hal-hal yang tidak perlu kami tiru –karena kami bisa menciptakannya. Aku memikirkan lirik lagu. Kucungkil pemikiran terdalam, yang jarang, yang kuharap siapapun tidak terluka ketika mendengarnya. Karena itu menyinggung rahasia. Aku mempertaruhkan kerahasiaan suatu hal. Dalam lirik lagu itu. Dalam sajak-sajakku yang rencanya akan temanku lagukan.
Aku benci omong kosong bernama rencana.
“Aku udah buat sebait liriknya…” Kataku di obrolan santai kami, jam dua siang.
“Udah? Selesai?”
Aku mengangguk. Kumantap-mantapkan anggukan itu.
“Nanti ya aku liat.”
“Ini lho kertasnya, nggak jauh-jauh.” Aku menyodorkan pemikiranku, yang kuharap akan ia bungkus rapih-rapih dengan instrumennya.
“Wah, bagus. Tapi aku nggak begitu ngerti sih maksud liriknya apa hahahaha.”
“Nggak penting ngerti apa nggak.” Sangat penting baginya mengenai maksud. Dia eksekutornya. Semua ini di tangannya.
“Sok, tancep.”
“Aku nggak bawa gitar nih. Nanti ya, lagian baru makan siang.”
“Oke.”
Tidak. Harus sekarang dilakukan. Makan siang kami sudah tertinggal satu jam yang lalu. Acara ini (kalau memang pantas dibilang acara), harus secepatnya diselesaikan. Mimpiku menggantung di sana, rahasiaku mengendap di dasarnya.
Akan kuambilkan gitarmu.
Jangan, kesannya aku terlalu buru-buru.
Gimana kalau sekarang saja? Besok aku nggak bisa.
Bukan begitu, alasannya terlalu dibuat-buat.
“Aku punya ide.”
“Apa?” Katanya mendongak malas, mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang kupikir kontrasnya terlalu terang.
“Rencana ini akan kutulis di kertas. Keinginan kita membuat lagu akan kelihatan. Tanda tanganku, tanda tanganmu, di atas materai enam ribu. Biar kesampaian. Biar riil kedengaran ke telinga orang-orang. Iya, kan?”
“Brilliant.” Katanya tanpa menatapku.
“Aku serius.”
Dia menoleh, tertawa. Lama.
“Hey.”
“Tapi ini nggak seserius itu. Jangan terlalu mengikat, Andrea. Rencana bisa tertiup angin kapan saja. Kadang-kadang kita butuh obrolan tentang masa depan sebagai selingan.” Dia menyentuh mulutnya seperti mengelap sisa tawa yang baru saja tumpah.
“Apa?”
“Iya, maksudku nggak begitu. Materai? Memang ini apa, perjanjian yuridis, bersifat hukum? Kenapa nggak dibawa santai aja, sih, Andrea?”
Aku terlalu sering membawanya jauh melewati santai-santai yang kamu maksud. Tapi hal yang kusadari setelahnya adalah impian yang hilangnya tanpa bekas.
“Begitu, ya?”
Dia tidak menjawab lagi. Earphone yang menggeliat nyaman di kantung celananya dia paksa keluar, mengalihkan kegiatannya yang sedang tiduran agar buru-buru menyumpal telinga. Jelas, temanku butuh setembang lagu.
__
Baru sekarang kupegang materai setelah terakhir kali ide itu menggelitik kepalaku.
Ketidaksetujuannya dan tawanya yang tidak penuh –karena hanya terisi heran mengapa aku bisa begitu bersungguh-sungguh.
Tawa itu memenuhi akhir pekanku, mendesakku untuk segera melakukan praktek kontemplasi, hingga suatu hari aku mendapat kesimpulan; dia memang terbiasa membangun harapan.
Kuingat-ingat bagaimana harapan ditumbuhkan di banyak tempat, kemudian dia yang tidak pernah menuai. Lucu ya, kubayangkan seorang petani wortel menebar bibit banyak sekali tapi ia tidak pernah mau memanennya.
Hingga pagi.
Hingga pagi esoknya lagi.
Hingga aku berpikir begini, di sebuah tempat foto kopi.
Mesin foto kopi berderit-derit, rupanya masih ada yang menginginkan berkasnya diperbanyak. Kutebak, mesin foto kopi itu pasti mulai menghukum dirinya sendiri kenapa ia mau-maunya ditakdirkan jadi demikian.
Sekian tahun berlalu. Ideku tentang materai itu hanya angin lalu, tapi pikiran kadang bisa menguarkan apa saja. Seperti sekarang. Dan kudapati materai enam ribu itu mengambang di udara. Mendengung malu. Menjauh. Menanggalkan ikatan-ikatan tak kasat mata yang selama ini tumbuh dalam dirinya.
Terbang terus dia. Lebih tinggi di atas lampu jalan.
Memperjauh jaraknya denganku. Hingga aku beranjak pulang dengan ingatan yang berserakan.