Liberalisasi Saudi Arabia; Harapan atau Malapetaka Jenis Baru?
Selain Korea Utara, Arab Saudi adalah negara abnormal lainnya yang hingga saat ini masih bercokol di muka bumi. Sejak kelahirannya, negara ini memendam kontradiksi internal secara mendasar yang tak bisa disembunyikan. Sebagaimana Korut yang mengaku komunis tapi malah nampak sangat feudalistik, Arab Saudi mengaku menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bernegara, tapi dalam beberapa kebijakannya malah bertolak belakang dengan keislaman itu sendiri. Jamak diketahui, Arab Saudi seolah berhubungan kakak-adikan dengan Israel, menyokong berbagai macam organisasi ekstrimis yang sebagian bermutasi menjadi teroris seperti Tandzim Al-Qaeda di Afghanistan dan ISIS di Suriah dan Irak, membombardir Yaman, menyokong pemberontak Suriah, dan seterusnya. Selain itu, berbagai kebijakan domestik digulirkan dengan mengatasnamakan syariat Islam, yang malah membuat Islam nampak sebagai suatu agama yang kaku, memenjara perempuan, anti kemajuan zaman, dan sangat menyeramkan.
Namun, akhir-akhir ini berbagai kabar bermunculan yang seolah menunjukkan bahwa Arab Saudi sedang berubah, dan angin perubahan itu kian kencang terutama sejak Salman naik takhta dan Muhammad bin Salman jadi putera mahkota. Bioskop mulai dihalalkan kembali. Dunia hiburan kian semarak. Pariwisata digalakkan. Kalender Hijri diganti dengan kalender Masehi. Hari Valentine banyak diperingati di kota-kota. Hak-hak perempuan mulai dikembalikan/diperluas, seperti hak mengemudi mobil, tidak pakai burqa di depan publik, kerja/bisnis tanpa izin resmi suami/mahram, boleh nonton bola di stadion, dan sebagainya.
Selain itu, Arab Saudi juga secara getol menyatakan perang terhadap radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Ribuan ulama yang dituduh ekstrimis dipecat dari jabatannya. Selain itu, Arab Saudi memantau berbagai situs maupun forum-forum di dunia maya yang dicurigai menjadi ladang subur bagi kelompok ekstremis. Kementerian MOIA (Ministry of Islamic Affairs, Endowments, Da'wah and Guidance, Saudi Arabia) juga secara ketat mengawasi pengisian materi untuk calon pendidik bidang keagamaan agar tidak disusupi ideologi ekstremis yang dikhawatirkan akan menyebar di kalangan generasi muda (Al-Hayat, 23 September 2013). Bahkan, Arab Saudi juga melakukan kerjasama terkait perang dengan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme dengan Rusia, suatu negara yang sekian lama dianggap “musuh” bagi Arab Saudi.
Pada intinya, pemerintah Arab Saudi hendak meruntuhkan anggapan dunia bahwa negara padang pasir tersebut adalah negara kental dengan citra konservatif dan penyokong ekstrimisme dan terorisme. Bahwa Arab Saudi sudah hendak kembali “normal” dengan memeluk kembali Islam moderat, setelah puluhan tahun “tidak normal” karena faham keagamaan yang konservatif. Tapi pertanyaannya, mengapa angin perubahan itu seolah menerpa sedemikian kencang?
Minyak dan Problem Kawasan
Arab Saudi adalah negara yang mengandalkan industri minyak sebagai penopang utama perekonomiannya. Sejauh ini, rata-rata industri minyak menyumbangkan sekitar 70% pendapatan nasional Arab Saudi. Pada 2017 misalnya, sektor minyak bumi menyumbang sekitar 87% dari APBN, 42% dari PDB, dan 90% dari pendapatan ekspor (Forbes, Desember 2017). Namun, dewasa ini stabilitas harga minyak dunia anjlok, yaitu pada pertengahan 2014 di atas US$ 100/barel, saat ini di kisaran US$ 50/barel, sehingga ekonomi Arab Saudi cukup terhantam (Al-Jazeera, 16 November 2017). Hal itu membuat Arab Saudi mencari cara untuk mengakhiri ketergantungannya atas minyak, demi menyelamatkan perekonomiannya.
Selain soal minyak, perebutan pengaruh di kawasan Timur Tengah akhir-akhir ini seperti tidak berpihak pada Arab Saudi. Kebijakan luar negeri Arab Saudi terkait Suriah atau Yaman, misalnya, malah menyulitkan negara padang pasir itu. Dukungan pada pemberontak (Free Syirian Army [FSA]) bersama negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris dan Perancis, dalam menumbangkan Bashar Assad, tidak membuahkan hasil. Bashar Assad, dengan dukungan Rusia, Iran dan Tiongkok masih berdiri kokoh. Bahkan, ketika pemilu berlangsung, Bashar Assad terpilih kembali menjadi presiden dengan suara hampir mutlak, sekitar 88,7% dengan tingkat partisipasi konstituen 73,47% (BBC, 5 Juli 2014). Begitu juga dengan agenda memerangi Kelompok Houthi di Yaman dengan menggalang aliansi negara-negara Arab yang sampai saat ini menemui kegagalan. Apalagi intervensi terhadap Yaman malah mendapat kecaman dari PBB. Sementara di sisi lain, baik Bashar Assad di Suriah maupun Houthi di Yaman, adalah sekutu Iran, negara yang menjadi rival Arab Saudi semenjak Revolusi meletus pada 1979 di Iran (BBC, 5 Januari 2016). Di tengah kondisi domestik yang menyulitkan akibat krisis, kekalahan dalam perebutan pengaruh di kawasan itulah yang membuat Arab Saudi melakukan berbagai gebrakan, baik yang menyangkut persoalan domestik maupun kebijakan luar negeri.
Visi 2030
Pada 2017, Arab Saudi mengumumkan suatu “Visi Arab Saudi 2030.” Suatu peta jalan jangka panjang menuju Saudi modern yang berkesejahteraan. Adapun beberapa poin penting dalam program reformasi tersebut antara lain: menjual sekitar 5% saham Saudi Aramco, BUMN minyak Arab Saudi yang nilai perusahaannya ditaksir US$ 2,5 triliun, kemudian hasil penjualan saham Aramco sebagian digunakan untuk dana investasi ke luar negeri sebanyak US$ 2 triliun; menggulirkan perubahan sistem visa baru yang memungkinkan orang asing muslim bekerja jangka panjang di Arab Saudi; diversifikasi ekonomi, mulai dari investasi di tambang mineral dan memproduksi peralatan militer; dan tak kalah pentingnya, menggalakkan perempuan untuk bekerja (The Guardian, 25 April 2016).
Pada awal 2018, perusahaan minyak Negara, Saudi Arabian American Oil Company (ARAMCO) sudah mulai dijajakan sahamnya oleh Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud, untuk dialih-investasikan, sebagai upaya pelepasan ketergantungan atas minyak (BBC, 26-4-2016). Selain itu, Arab Saudi mulai menggenjot sektor lainnya, seperti pariwisata (The Telegraph, 1 Agustus 2017). Beragam proyek investasi Saudi, tidak akan jalan jika negara tersebut masih punya perkara laten terkait konservatisme dan ekstremisme. Saudi perlu kestabilan politik. Apalagi Muhammad bin Salman sedang menyiapkan Neom, mega-proyek senilai $500 miliar berupa kota metropolis yang merentang hingga ke Yordania dan Mesir, yang hendak mengubah lahan seluas 26.500 km persegi menjadi peradaban urban modern. (BBC, 24 Oktober 2017).
Moderasi atau Depolitisasi?
Agar program-progam di atas tercapai, Arab Saudi menggulirkan suatu reformasi sosial demi terciptanya iklim sosial yang kondusif, terutama kampanye perang terhadap konservatisme dan ekstrimisme. Hal itu diperlukan agar investasi mengalir deras tanpa hambatan apapun. Untuk itulah, Pangeran Muhammad bin Salman, berjanji hendak mengembalikan Saudi ke jalur "Islam moderat" dan lebih terbuka. Lantas apa maksudnya moderat?
Sejak kelahirannya, Arab Saudi memang hasil dari persekutuan dua faksi, yakni faksi dakwah yang menekankan pemurnian Islam oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dengan faksi politik oleh Muhammad bin Saud. Aliansi keduanya kemudian menghasilkan negara yang kita kenal dengan Arab Saudi saat ini, yang menjadikan faham Salafi/Wahabi sebagai madzhab resmi yang dianut negara. Suatu faham keislaman yang dikenal konservatif dalam Islam.
Selanjutnya, Salafi/Wahabi berkembang menjadi berbagai friksi. Beberapa friksi yang ada, rupanya malah menjadi oposisi bagi pemerintah Arab Saudi. Seperti Salafi Surury alias “Salafi Politis” yang terinspirasi dari gerakan Ikhwanul Muslimun, dan dikenal kritis terhadap pemerintah. Selain itu, Salafi Takfiri dan Jihadis, yang bermutasi jadi teroris Al-Qaeda dan ISIS, juga cukup menyulitkan Arab Saudi. Apalagi terbongkar bahwa keduanya merupakan buah dari kebijakan Arab Saudi yang tidak diharapkan. Salafi/Wahabi jenis itulah yang diperangi oleh pemerintah dengan tuduhan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Sementara Wahabi yang fokus menekankan kesalehan individu, ditumbuhsuburkan.
Mengingat kebijakan tersebut, wacana kembali ke Islam moderat, sesungguhnya hanyalah cara pemerintah Arab Saudi untuk membungkam suara kritis warganya. Dari sinilah kita tahu, bahwa di Arab Saudi, jika warga tersebut kritis terhadap pemerintah, tak peduli dia Wahabi/Salafi atau bukan, bahkan Islam atau bukan, siap-siap disingkirkan. Bukankah itu malapetaka baru?
-Penulis aktif di Epistemic Institute, Yogyakarta
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida