Jakarta, Pewartanusantara.com – Salah satu anggota Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Pangkalan Gondai. Kab. Pelalawan, Riau, Kachyani menyampaikan bahwa pihaknya harus melewati jalan terjal untuk mendapatkan akses informasi terkait perusahaan-perusahaan yang ada di lingkungannya.
Seperti ia katakan dalam webinar bertajuk Agenda Pasca Pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia, Rabu (2/2), ada sembilan (9) perusahaan di desanya.
Perusahaan-perusahaan ini aktif beroperasi, tetapi seolah-olah tidak ada sinergi—atau upaya untuk melakukan kolaborasi antara mereka dan warga desa, khususnya kelompok perempuan.
Dari situ, Kachyani merasakan adanya keganjilan dan akhirnya memutuskan untuk mencari tahu ihwal apa saja yang bisa perusahaan-perusahaan tersebut berikan untuk desa.
“Saya mencari tahu, apa sih yang bisa kita ambil manfaatnya dari mereka,” katanya dalam diskusi yang dimoderatori oleh Grita Anindarini ini.
Kachyani lantas berkonsultasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terdekat dan mendapatkan saran untuk pergi ke dinas-dinas terkait di kabupaten.
Dengan semangat ia melakukan apa yang disarankan. Namun setelah dua kali mencoba meminta informasi ke dinas terkait, Kachyani tidak mendapatkan apapun kecuali penolakan.
Di usahanya yang ketiga, ia justru mendapatkan pertanyaan balik bahwa apa tujuan utama dari seorang perempuan yang bertanya soal informasi perusahaan.
“Kami malah mendapatkan lontaran seperti ini, untuk apa perempuan punya informasi ini? Ini pun kami harus ke sana kemari karena dioper-oper oleh pihak dinas,” ungkapnya.
Meski demikian, pada akhirnya Kachyani mendapatkan apa yang dia harapkan, yaitu bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendorong pembangunan desa tempat perusahaan berdiri.
“Selepas proses 3 bulan, kami dapat juga yang kami butuhkan,” sahutnya.
Perempuan bukan penonton
Advokasi yang Kachyani lakukan bukan tanpa pijakan. Kachyani beranggapan bahwa menjadi perempuan bukan berarti harus menjadi penonton, khususnya menyangkut lingkungan.
Perempuan, jelasnya, penting untuk memiliki pengetahuan dan informasi tentang apa saja yang terjadi di sekitarnya. Sebab jika tidak demikian, maka perempuan akan selalu menjadi pihak yang paling terdampak, termasuk menjadi korban dari perusahaan yang ada di desanya.
“Misal, jangan sampai ketika ada perusahaan di lingkungan kita, kita hanya menerima dampak negatifnya saja. Jadi kita harus sadar untuk dapat informasi tentang mereka. Kalau tidak kita, mau siapa lagi dan siapa yang akan menolong kita?,” paparnya.
Perempuan dan pemberdayaan
Selain aktif untuk melakukan advokasi, Kachyani juga aktif di bidang pemberdayaan.
Berdasarkan penuturannya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Gender Focal Point (GFP), The Asia Foundation (TAF), dan Beritabaru.co ini, Kachyani selalu mengajak para ibu di desanya untuk menanam sayuran.
Hal tersebut sudah ia mulai sejak mendapatkan Surat Keputusan (SK) Hutan Desa pada April 2017, tapi baru berjalan efektif ketika pandemi.
Ia mengisahkan, ketika pembatasan sosial berlangsung, Kachyani rutin mengajak ibu-ibu yang tidak memiliki kesibukan di rumah untuk ikut menanam sayur.
Tujuannya sederhana, yaitu agar ada peningkatan ekonomi di rumah tangga. “Setidaknya untuk sayuran, nanti kami tidak usah beli lah ya,” terangnya.
Kendati begitu, seiring istikamahnya Kachyani dan kelompoknya, usahanya pun memancing perhatian dari berbagai pihak. Ada pula bahkan yang memberi bantuan untuk menunjang produksi sayur.
“Kemudian dari kelompok kecil perempuan ini mendapatkan perhatian sekaligus bantuan dari berbagai pihak, untuk membuat rumah bibit, alat-alat pertanian, sehingga kami bisa memperluas lahan pertanian,” jelasnya.
Tidak disangka, dari inisiatif kecilnya tadi, selepas beberapa bulan berjalan, produksi sayur meningkat dan bisa dijual.
“Ya akhirnya kan bisa kami jual juga dan kami mendapatkan nilai tambah ekonomi dari sini,” katanya.
Dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah, Kachyani dan kelompoknya berharap bahwa pihak bisa mendapatkan pengakuan dari pemerintah.
“Harapan kami yakni adanya pengakuan dari pemerintah terhadap upaya-upaya kelompok perempuan dalam menjaga lingkungan, khususnya di kawasan hutan melalui pemanfaatan lahan. Karena biasanya program atau bantuan hanya buat laki-laki. Untuk sekarang ini, perempuan bisa melakukannya,” pungkasnya.
Webinar ini menghadirkan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra sebagai pembicara utama. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama para perempuan pemimpin yaitu Ester Bolango anggota Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Desa Malitu, Kec. Poso Pesisir Selatan, Kab. Poso, Sulawesi Tengah; Asmia anggota LPHD Damaran Baru, Bener Meriah, Aceh; dan Suin dari Hutan Kemasyarakatan Hutan Lindung (HKm HL) Sungai Wain Kelurahan Karang Joang, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Adapun penanggap diskusi terdiri dari Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Suyus Windayana; Perwakilan Ombudsman RI di Sulawesi Tengah, Nasrun; dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Haris Retno.
Acara ini disiarkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaru.co, dipandu Sartika Dewi, dibuka oleh Country Representative TAF Indonesia Sandra Hamid, dan ditutup oleh Director of Environmental Governance Unit TAF Indonesia Lili Hasanuddin.
Webinar ini merupakan rangkaian dari Festival Ibu Bumi yang telah dibuka pada Desember 2021 dan akan berlangsung hingga April 2022.