
Islam Nusantara, Suatu Terugval Basic?
Ketika Majapahit mengalami pembusukan internal dan manusia Nusantara khususnya Jawa diambang keruntuhan peradaban, Walisongo hadir dengan menjadikan Islam sebagai tumpuan untuk membendung kehancurannya secara total. Kerajaan baru dibentuk, tanpa bermaksud meringkus masalalunya. Dan ketika konsolidasi Nusantara belum menemukan bentuknya yang mapan, bangsa Barat datang mengobrak-abrik tatatan yang baru dipancangkan oleh Walisongo. Kerajaan baru itu, yakni Demak, buyar dalam usia yang tak berlangsung lama. Dan apa yang tersisa?
Ketika penjajahan Barat berlangsung, rakyat Indonesia menjadikan Islam sebagai basis pertahanan dan perlawanan terhadap kolonialisme itu. Namun kolonialisme bukan semata penjarahan material, tetapi hegemoni nalar. Ketika Belanda menggulirkan politik etis yang membawa model pendidikan Barat, umat Islam kemudian terbelah menjadi dua. Yakni yang sibuk dengan semangat pembaharuan dengan purifikasi mendompleng padanya, dan yang satu lagi sibuk dengan kungkungan masa lalunya, berikut kekolotan yang melekat padanya. Namun toh titik temu itu bisa dicapai, sehingga ketika Indonesia dibentuk, ada kesepakatan untuk membentuk negara yang benar-benar berbeda dengan masalalu Nusantara.
Dan, sejarah kemudian mencatat, kesepakatan itu dipertahankan dalam semangat perang suci, sebagaimana termaktub dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, ketika harus mempertahankan negara yang sudah diproklamirkan pada Agustus 1945. Bangsa kemudian lahir, yang tentu bukan semata imagined communities sebagaimana dijalani dalam laku segelintir intelektual produk colonial, tapi bangsa terlahir dari suatu realitas bersama yang dialami, dengan bambu runcing, desing peluru dan serbuk mesiu. Bangsa merdeka terlahir dari proses yang keras (die gewalt), sebab disadari bahwa rupanya kemerdekaan bukan semata soal mengusir maling, tapi juga soal mengembalikan harga diri sebagai layaknya manusia bermartabat, berikut upaya keras melenyapkan belenggu yang sudah mengakar dan menjangkar dalam nalar dan laku masyarakat yang dipancangkan sepanjang proses kolonialisme. Lantas, apa arti semua itu jika dikaitkan dengan Islam Nusantara?
Normatif
Islam Nusantara secara klise sering dipahami sebagai suatu dialog antara Islam yang dari tanah Arab dengan tradisi Nusantara yang sudah berlangsung lama. Proses dialog yang menyejarah itulah yang membentuk model keberislaman yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Nusantara yang seperti saat ini, dengan seperangkat keunikannya.
Ketika Nusantara tengah Abad XX mengambil model bernegara nation-state ala Barat, Islam Nusantara menerima itu dengan memasukkan nilai-nilai keislaman di dalamnya, sehingga Indonesia bukan negara sekuler penuh sebagaimana Barat. Sebab itu, ketika Islam model baru yang transnasional masuk, Islam Nusantara yang paling getol menolak. Dan, atas dasar sejarah pergumulan itu, Islam Nusantara menolak kecenderungan purifikasi dalam Islam.
Sejarah kemudian menyodorkan Islam Nusantara dengan berbagai label, yakni Islam yang ramah, yang moderat, yang rahmatan lil alamin. Bukan Islam radikalis, fundamentalis, intoleran, atau Islam salafis jihadis. Artinya, Islam Nusantara punya musuh yang bisa dengan mudah dibayangkan, yakni kecenderungan purifikasi dan transnasionalisme.
Definisi di atas memang umum, tapi akan segera menjadi omong kosong, karena memang terlalu umum sehingga tak pernah dipahami mengapa bisa demikian. Seolah-olah sudah seperti itu adanya. Seolah-olah tidak ada suatu proses yang hebat yang sedang berlangsung, terkait pergumulan antara yang Islam dan yang Nusantara.
Apalagi jika Islam Nusantara sebagai wacana yang baru digemakan di Indonesia Abad 21 ini, bertemu dengan praktik politik. Yang berlangsung kemudian adalah kegaduhan demi kegaduhan. Suatu hal yang dalam ranah sosial sebenarnya wajar-wajar saja, alias tiada masalah, tapi di ranah politik kewajaran bisa diproblematisir untuk kekuasaan.
Polarisasi politik menyeret ranah keagamaan menjadi senjata baru yang siang ditembakkan ke lawan politik. Narasi kofar-kafir, togat-togut, dan segala tetek-bengeknya itu, kemudian memenuhi jagat politik yang dalam ranah masyarakat umum menemukan medan pertarungannya di media sosial. Sampah memang. Tapi toh harus kita telan tiap hari.
Maka sebab itulah, Islam Nusantara yang digemakan itu, harus dipahami sebagai suatu realitas yang membentuk dan dibentuk dalam bentangan sejarah. Dan untuk itu, perlu kiranya masuk ke akar sejarah, dengan segenap kerumitan dan kegelapannya.
Kembali ke Akar?
Ada literature-literatur yang membentang dalam sejarah keberislaman Nusantara, yang kini bisa kita warisi. Mulai dari era Walisongo, disusul tokoh-tokoh Islam era huruf pegon, kemudian era saat ini yang dipenuhi hiruk-pikuk pendapat akademisi, cendekiawan, dan orang-orang pintar produk sekolahan.
Kalau dilihat dengan jeli, naskah-naskah warisan itu membentuk suatu pola, yang dalam kehidupan sehari-hari punya basis pijakannya, baik dalam struktur social kelembagaan maupun dalam nilai keseharian.
Islam Nusantara memang akan menjadi kosong tanpa makna, atau sekedar menimbulkan kegaduhan belaka, sementara kehadiran kongkrit darinya kurang mampu menyentuk persoalan mendasar umatnya sendiri. Sejauh ini, pengusung Islam nusantara hanya sibuk urusan-urusan yang berkaitan dengan intoleransi, fundamentalisme, radikalisme, bahkan terorisme, apalagi hal itu memang isu yang cukup dirasakan oleh masyarakat urban dan masyarakat internasional.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah, basis material dari Islam Nusantara itulah yang musti digali lebih dalam agar menemukan penjangjangkarannya, dan mengerti kesinambungan sekaligus di titik mana keterputusuannya. Misalnya keterputusan nalar akibat kolonialisme yang berlangsung cukup panjang, hingga model Islam nusantara tersuruk ke pinggir peradaban, dan hanya sesekali muncul dalam wajah pemberontakan. Tapi apakah narasi itu juga bisa debenarkan lantaran suatu aksioma dalam sejarah yang selalu ditulis pemenang? Saya tidak tahu.
Yang pasti adalah, ketika saat ini Islam Nusantara dimunculkan, hendaknya ia bersuara tentang dirinya, bukan semata dibicarkan. Islam nusantara harus punya wibawa dan martabat untuk menjadi fa’il, alias subyek sejarah. Bukan menjadi maf’ul atas kenyataan yang ada. Hanya dengan itu, saya kira, Islam Nusantara bisa jadi terugval basic bagi kompleksitas kerumitan yang dihadapi bangsa ini dari hari ke hari, yang seperti menegaskan diri menuju kegelapan dan kehancuran.
Blandongan, 7 Mei 2019
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida