Hari Tani Nasional didasarkan pada hari kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), UUPA merupakan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Penetapan hari pertanian berangkat dari salah satu isi UUPA yang mengatur ketetapan hukum bagi pelaksana redistribusi tanah pertanian (reforma agraria). dengan dibentuknya UUPA, negara memiliki komitmen dan dasar keadilan bagi petani untuk menguasai sumber agraria, seperti tanah, air, dan kekayaan alam, demi mewujudkan kedaulatan petani.
Sejarah Marhaenisme
Berbicara petani, kita tentu ingat dengan sosok petani yang berdikari, representasi dari rakyat Indonesia, yaitu Marhaen. Sukarno dalam otobiografinya, menceritakan bagaimana awal mula ia menemukan Marhaenisme (paham yang memperjuangkan kaum Marhaen). Sebagai pemuda yang belajar Marxisme, ia meyakini bahwa dalam tatanan sosial, masyarakat terbagi menjadi dua kelas. Pertama, kelas proletar (kaum buruh yang digaji majikan). Kedua, kelas kapitalis atau borjuis (kaum majikan atau pemilik alat produksi usaha). Marhaen yang seorang petani ternyata tidak termasuk dalam 2 kelas tersebut. Di Indonesia, banyak masyarakat yang sehari-harinya hanya bisa mencukpi kebutuhan makan, namun seberapa pun miskin keadaannya, tidak sedikit yang mampu mencukupi kebutuhan tanpa menjadi buruh bagi orang lain. Ia sebagai majikan sekaligus buruh bagi dirinya sendiri. Seorang tukang becak, misalnya, adalah pemilik dari becak yang ia buat sendiri. Seorang nelayan, ia adalah pemilik kapal dan peralatannya sendiri. Begitu pula dengan petani. Apa yang mereka miliki tidak di kerjakan oleh orang lain, dia menjalankan alat usahanya sendiri.
Pertemuan Sukarno dan Marhaen terjadi ketika ia mengendarai sepedanya menuju daerah Bandung bagian selatan untuk melepas penat dari kesibukannya kuliah. Pagi itu banyak petani yang sedang beraktifitas menggarap sawah. Soukarno menghampiri seorang petani yang sedang mencangkul sawahnya, lalu ia menanyakan beberapa hal (konon ditanyakan dengan bahasa sunda).
“Lahan siapa yang engkau kerjakan?” tanya soekarno mengawali pembicaraan.
Petani itu menjawab
“Lahan saya sendiri, Juragan”
“Apakah lahan ini kau miliki bersama dengan orang lain?”
“Tidak juragan, saya sendiri yang punya”
“dari siapa kau beli tanah ini?”
“Saya tidak membeli, ini tanah warisan bapak”
“Cangkul itu kepunyaanmu juga?”
“Iya juragan”
“Bagaimana dengan bajak?”
“Bajak saya punya”
“Lalu hasilnya untuk siapa?”
“Untuk saya sendiri juragan”
“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”
“Sawah sekecil ini hanya cukup untuk kebutuhan makan, seorang istri dan 4 orang anak” jawab petani itu sambil mengankat bahu.
“Apakah kau mempekerjakan buruh?”
“Tidak, aku tidak mampu membayarnya juragan”
“Apakah kau pernah memburuh?”
“Tidak juragan”
“Gubuk itu juga kau punya?”
“Iya juragan, gubuk kecil tapi kepunyaan sendiri”
Setelah cukup puas, Sukarno menanyakan nama petani itu.
“Siapa Namamu pak petani?”
Petani itu menjawab
“Marhaen”
Setelah perbincangan itu, Soekarno pamit pulang. Dalam perjalanan pulang, di atas sadel sepedanya ia membatin. “Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia (marhaen)!” katanya.
“Marhaenisme adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil.. Pendek kata, kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil,” katanya. Marhaenisme, hampir sama halnya dengan proletar dalam bahasa marxisme-leninisme. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut golongan rakyat yang tertindas. bedanya, Marhaen tidak menjual tenaganya kepada orang lain.
Profesor Sejarah Universitas Passau, Jerman Barat, Bernhard Dahm dalam bukunya Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, mengkritisi marxisme yang di-Indonesiakan oleh Soekarno dalam marhaenisme. Pendekatan Soekarno terhadap marhaenisme, menurut Dham bukanlah marxis, meskipun bergaya marxisme. Sebaliknya, pendekatan Soekarno anti-marxisme. Soekarno bahkan tidak pernah menjadi marxis dan seorang materialis. Sejak semula, meski sering berprilaku sebagai marxis, Soekarno sebenarnya berada dalam kubu idealisme. Kekuatan yang menggerakkannya dalam marhaenisme adalah persatuan.
Pertemuan Sukarno dengan Marhaen menjadi sebuah refleksi baru, karena tatana sosial ternyata tidak mutlak pada pembagian dua kelas. Masyarakat Indonesia yang berada di garis kemiskinan, ternyata dia adalah pemilik modal dan usaha. Dengan keadaan mereka yang misikin, apakah mereka masuk dalam kategori proletar? jika berangkat dari pemahaman proletar sebagai kaum buruh, tentu Marhaen tidak termasuk di dalamnya. Marhaenisme yang dikait-kaitkan dengan marxisme selama ini adalah keliru. Marhaenisme adalah rekonseptualisasi dari inti gagasan persatuan yan bersumber dari filsafat Jawa.
Refleksi Hari Tani
Hari Tani yang diperingati setiap 24 September, bukan hari biasa. Hari tani adalah hari dimana kita harusnya mengingat dan menyadari pentingnya peran sektor pertanian. Bukan sekedar tentang pemenuhan pangan, lebih jauh dari itu, sektor pertanian mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam sektor agraria. Peranan tersebut diantaranya: meningkatkan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan pangan mandiri, bahan baku industri serta optimalisasi pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Hal ini dibuktikan oleh besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terutama pada masa kirisis ekonomi yang dialami negara, Sektor yang menjadi penyelamat perekonomian Indonesia pada tahun 1997-1998 hanyalah sektor agribisnis, dimana agribisnis memiliki pertumbuhan yang positif.
Hari Tani Nasional menyimpan harapan yang amat besar untuk kemajuan sektor pertanian. 24 September inilah hari bagi petani Indonesia, pada hari ini dibuat satu kebijakan UUPA yang mengatur hak-hak dan kewajiban kaum tani di Indonesia, hak atas tanah dan hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa. Selamat Hari Tani Naional.