Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

H Hasan Gipo: Sang Tanfidziyah NU Pertama yang Hilang dari Peradaban

Hasan Gipo

HASAN GIPO - Fenomena zaman now sudah merebak tidak kenal siapapun jua. Tiap insan yang tak punya benteng yang kukuh, maka akan tesandera pula dengan fenomena ini. Salah satu indikator zaman now adalah lunturnya adab, dan mengenali pendahulunya. Rupa-rupanya hal ini terjadi pula di kalangan Nahdliyin. Sebuah adagium “Bangsa yang hebat adalah bangsa yang menghargai pahlawannya” atau ekstrimnya “kacang ora lali lanjare” bisa kita ditarik menjadi renungan untuk situasi NU saat ini. Salah satu tokoh sentral yang akan saya ingatkan adalah H. Hasan Gipo. Sudah mulai ingatkah panjenengan? Oke kalau belum nyambung, atau bahkan baru dengar, mari kita bahas bersama-sama.

Banyak dari kalangan masyarakat yang tidak tahu sosoknya dan kiprahnya dalam organisasi masyarakat yang dikenal selama ini. Dari sebagian pun, banyak pula yang hanya mengetahui nama dan jabatanya saja dalam organisasi tersebut. H. Hasan Gipo merupakan sosok yang sangat berpengaruh kiprahnya dalam Nahdlatul Ulama, namun sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui sejarah kehidupanya lebih jauh. Beliau merupakan ketua Tanfidziyah NU pertama sejak awal berdirinya NU, beliau juga merupakan orang yang selalu mendampingi K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengurus NU.

Baca Juga : Kiai, Santri dan Nasionalisme

Terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi terhadap sejarah kehidupan H. Hasan Gipo, mengapa beliau seperti menghilang dari peradaban manusia di era sekarang ini maupun dari kalangan NU sendiri. Pertama, ketokohan H. Hasan Gipo sebagai ketua Tanfidziyah NU tenggelam oleh kharisma K.H. Hasyim Asy’ari dan atau K.H. Wahab Hasbullah pada waktu itu, sehingga beliau luput dari pandangan atau perhatian masyarakat. Kedua, kemungkinan lain yang terjadi adalah, H. Hasan Gipo lebih memilih menjadi tokoh yang tidak perlu dikenal oleh generasi-generasi sesudahnya atau lebih lanjutnya di zaman sekarang ini, dengan berbagai pertimbangan tertentu. Dapat disimpulkan juga bahwa H. Hasan Gipo hanya ingin menjadi tokoh yang biasa-biasa saja dengan ketawadhu’annya.

Catatan sejarah menyajikan informasi dan dokumentasi yang amat sedikit tentang beliau, seperti yang ada di Museum Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur. Sosok yang satu ini, memang sangat jarang sekali terdengar desas desus ceritanya dari kalangan masyarakat, baik dari yang umum maupun dari kalangan NU sendiri. Selain tidak begitu masyhur, sosok ini lebih senang tidak begitu dikenal, meskipun dengan segudang kiprah dan pengaruhnya dalam perkembangan dan kemajuan NU. Tapi sangat disayangkan bahwa keberadaan beliau, atau informasi dan dokumentasi beliau tidak berbekas.

Menjelang Harlah NU ke-85 tauhun 2011, usaha penggalian informasi berkenaan beliau dilakukan. Namun hasil yang didapat tidak begitu memuaskan. Keturunan beliau di seputaran Tendes dan Nyamplungan Surabaya, juga tidak mempunyai cukup dokumentasi untuk menguak sejarah beliau. Hanya ditemukan Makam Beliau diseputaran Masjid Ampel Surabaya (sisi tenggara), dan foto mungil berukuran 3x4 yang terpasang pada SK Pengesahan Pemerintah Hindia Belanda, yang dulu bernama bernama Statueten HBNO 1926, lengkap beserta tulisan jabatannya yaitu Ketua Tanfidziyah.

Hasan Gipo yang memiliki nama lengkap Hasan Basri, dilahirkan di Kampung Sawahan pada tahun 1869, tepatnya di Jalan Ampel Masjid, yang kini menjadi Jalan Kalimas Udik. Beliau merupakan keturunan keluarga besar dari “ Marga Gipo” sehingga nama Gipo diletakkan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari Sagipodin dari bahasa Arab Saqifuddin, Saqaf ( pelindung) dan al-dien (agama). Jika diruntut silsilahmya beliau tersebut, H. Hasan Gipo masih mempunyai hubungan keluarga dengan K.H. Mas Mansur karena K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) masih keturunan dari Abdul Latief Gipo yang merupakan salah seorang dari marga Gipo tersebut. Dari beberapa keterangan tersebut, bisa ditarik pemahaman juga bahwa keturunan Sagipodin mempunyai akar kuat di Kalangan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah.

Apabila ditelusuri melalui jalur silsilah keluarga, didapati bahwasannya beliau merupakan generasi kelima dari dinasti Gipo. Ayahnya bernama H. Marzuki, kakeknya H. Alwi, buyutnya bernama H. Turmudzi yang memperistri Darsiyah. Canggahnya Abdul Latief Sagipuddin merupakan awal dinasti Gipo yang memperistri Tasirah dan memiliki 12 anak.Dari silsilah itulah kita jumpai seorang Hasan Basri di Ampel yang berpusat di kota Surabaya dan lebih akrab dipanggil dengan H. Hasan Gipo. Beliau yang terlahir dari kalangan ekonomi mapan, berhasil mngenyam pendidikan ala Belanda, tanpa mengesampingkan pendidikan kepesantrenanya, jiwa-jiwa santri juga mendarah daging di urat nadinya. Terbukti kepemimpinan ekonomi di kawasan bisnis Pabean masih dijabat oleh dinasti Gipo hingga masa jabatan H. Hasan Gipo.

Penunjukan H. Hasan Gipo sebagai  Ketua Tanfidziyah NU Pertama mendapati perlakuan khusus, seperti halnya terbentuknya NU waktu itu. pasalnya sosok H. Hasan Gipo ini merupakan sosok yang limited edition, dimana beliau menguasai ilmu umum yang didapatinya sewaktu mengenyam pendidikan di Belanda dan juga beliau dikenal sebagai satu-satunya orang dari komunitas K.H Wahab Hasbullah yang cakap dan terampil dalam membaca dan menulis tulisan latin. Beliau pun akrab dengan masyarakat di sekelilingnya.

Pemilihan H. Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah mulanya berawal dari musyawarah kecil pembentuk pengurus NU yang hanya melibatkan sebagian tokoh-tokoh dari daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, dan daerah sekitar semuanya dari Surabaya. Dalam forum musyawaroh itulah disebutkan nama H. Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah yang pertama. Meskipun pada masa itu, Nahdlatul Ulama masih berbentuk embrio dimana tokoh utama yang menjadi Rois Syuriah NU adalah K.H. Said dari Paneleh, Surabaya. K.H.Hasyim Asya’ri dipilih sebagai Rois Akbar Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dengan K.H. Wahab Hasbullah sebagai Katib ‘Am. H. Hasan Gipo menjabat kurang lebih 3 tahun dan pada muktamar ke-3 di Semarang K.H. Noor dari Sawah Pulo, Surabaya menggantikanya.

Sebagai ketua Tanfidziyah, beliau bersama K.H. Hasyim Asya’ri, NU menunjukan diri sebagai gerakan sosial yang lebih dari sekedar usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis, terutama yang tinggal di Surabaya pada tahun 1910-an yang didalangi oleh pedagang Minangkabau bernama Faqih Hasyim. H. Hasan Gipo selain menjadi aktivis pergerakan juga menjadi seorang pedagang yang tinggal di kawasan elite Surabaya, dan hal itu sangat membantu pergerakan Kiai Wahab dan beliau yang selalu mengantar Kiai Wahab menemui aktivis pergerakan di Surabaya seperti HOS Cokroaminoto, Dr. Soetomo dan disitulah beliau Kiai Wahab dan H. Hasan Gipo berkenalan dengan Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti yang merupakan murid dari HOS Cokroaminoto sehingga disitulah para aktivis mulai merencanakan kemerdekaan Indonesia.

Hasan Gipo adalah orang yang enerjik, cekatan dan pemberani, pasalnya beliau pernah melabrak Muso (tokoh PKI) karena jengkel dengan kebanggaanya terhadap atheis, yang kemudian beliau menantang Muso untuk membuktikan adanya Tuhan dengan berdiri di atas rel kereta api hingga kereta datang menabrak mereka berdua. Begitulah keterangan yang didapat dari K.H. Saifuddin Zuhri. Kemudian beliau wafat pada tahun 1934 yang di makamkan di komplek pemakaman pribadidi di sebelah tenggara Masjid Ampel Surabaya.

 

Disadur dari The Founding Fathers of Nahdlatoel Oelama’ ( Rekaman Biografi 23 Tokoh Pendiri NU), dan buku-buku lain.

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

1369