Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Gus Nadir Singgung Santri Berpolitik dan Menjaga Tradisi Intelektual

Hari Santri 2021

Jakarta, Pewartanusantara.com – Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa di Australia, Nadhirsyah Husein mengaku setuju bahwa santri harus terlibat politik, tapi tradisi intelektual tetap harus dijaga di pesantren.

“Saya setuju kita harus terlibat partai politik, seperti yang disampaikan Mbah Ghofur. Tapi, [...] tetap saja tradisi intelektual itu harus dijaga di pesantren. Jadi pesantren tetap terus melahirkan berbagai kitab menulis,” ujarnya saat menjadi pemateri dalam Webinar Internasional Peringatan Hari Santri 2021, Rabu (20/10).

Dalam prakteknya, tradisi intelektual itu bisa terwujud juga dalam sikap berdemokrasi para santri. Karena itu, meskipun para santri sepakat dengan demokrasi tapi Gus Nadir juga mengingatkan untuk tidak melupakan kritik terhadap demokrasi di Indonesia.

“Sistem pemilu kita mahal, sehingga kekuatan oligarki menguasai Indonesia. Jadi sehebat-hebatnya, misalnya Mbah Ghofur, kalau mau mencalonkan diri sebagai anggota DPR, misalnya, itu kalau tidak punya 5M atau 10M itu akan susah untuk terpilih. Belum lagi money politic,” kritiknya.

Gus Nadir mengkritik bahwa proses pemilihan umum di Indonesia itu terlalu lama dan terlalu banyak tahapan, dan itu “menguras energi” dan “memicu polarisasi.”

“Partai Islam dan Partai Nasionalis, salah satu pilar dalam demokrasi kita, itu juga menghadapi persoalan internal. Kita ingin demokrasi tapi partai islamnya tidak demokratis,” imbuhnya.

Karena itu, tradisi intelektual para santri di pesantren itu sangat penting untuk diperhatikan. Sikap kritis para ulama menjadi kunci untuk mensejahterakan masyarakat.

Gus Nadir juga mengatakan bahwa Imam Al Ghazali menekankan pesan keadilan kepada para penguasa, Imam Al Ghazali ‘berani’ mengkritik para sejawatnya dan para ulama sebagai ‘biang kerusakan rakyat dan penguasa’.

“Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu, kecuali dengan kerusakan penguasa. Dan tidaklah rusak para penguasa, kecuali dengan rusaknya para ulama,” kata Gus Nadir mengutip kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali.

“Dalam bagian lain Al Ghazali juga mengingatkan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan,” imbuhnya.

Gus Nadir juga menekankan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) juga harus bisa independen terhadap penguasa dan pengusaha karena jika tidak independen, NU sulit untuk bisa mewujudkan keadilan dan nilai-nilai kesejahteraan sosial yang abstrak itu secara konkrit di masyarakat.

“Perdamaian tanpa keadilan itu hanya sebuah ilusi,” ujarnya dengan mengutip Gus Dur.

Belajar dari Taliban

Berkaca dari kemenangan Taliban dan kekalahan Islam moderat di Afghanistan, Gus Nadir menyebut bahwa salah satu penyebabnya adalah diamnya para ulama saat melihat kejahatan dan korupsi terjadi di Afghanistan.

“Beberapa alasannya adalah Islam moderat di Afghanistan itu membiarkan negara superpower mengeksploitasi kekayaan alam mereka, kemudian memaksakan demokrasi ala Barat, dan banyak sekali pejabat yang korupsi, serta ulamanya diam terhadap ketidakadilan,” ujarnya.

Karena itu, Gus Nadir mengingatkan para santri bahwa demokrasi di Indonesia harus dijaga dan dirawat.

“Kalau demokrasi di Indonesia tidak bisa mengikis korupsi, tidak bisa mendatangkan keadilan, tidak bisa memberikan kesejahteraan, maka rakyat akan berpaling dan terus mencari alternatif sistem lain,” tegasnya.

Salah satu usaha merawat demokrasi itu antara lain adalah dengan membuka dialog dan ruang publik. Karena itu, Gus Nadir sangat mengapresiasi acara Webinar Internasional yang diselenggarakan oleh Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU).

Bertajuk Sudut Pandang Politik, Ekonomi, Budaya, dan Revolusi Teknolog, webinar itu dihadiri juga oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Ketua RMI- PBNU Abdul Ghofar Rozin, Rois Syuriah PCI NU Amerika Serikat Ahmad Sholahuddin Kafraw, PCI NU Australia Eva Fachrunnisa, dan Pengasuh Pesantren Al-Anwar Sarang Abdul Ghofur Maimoen.

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

234