Generasi Milenial dan Prospek Revolusi Industri 4.0 : Cyber-Space dan Transformasi Sosial
Globalisasi telah mendorong lahirnya sebuah era baru yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Fenomena perkembangan ini menjadi massif di seluruh belahan dunia, terlebih setelah berkembangnya jaringan internet (internetwork). Perkembangan teknologi informasi maupun dunia digital yang didukung oleh internet, telah menciptakan cyber-space atau sebuah ‘dunia baru’ yang bersifat artifisial. Adapun era perkembangan ini disebut juga dengan era revolusi industri 4.0. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan dunia digital, dampaknya telah mengakibatkan transformasi sosial yang diikuti oleh perubahan perilaku masyarakat, generasi milenial serta nilai-nilai yang ada secara global.
Kemajuan Teknologi Informasi dan Revolusi Industri 4.0.
Saat ini dunia memasuki era baru yang dilengkapi dengan tingkat kemajuan teknologi informasi dan digital yang tinggi. Salah satu temuan yang memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan informasi adalah jaringan internet (internetwork). Perkembangan teknologi informasi pada era revolusi industri 4.0. telah menciptakan ‘ruang baru’ yang bersifat artifisial, yaitu cyber-space. Dewasa ini cyber-sapce telah mengalihkan berbagai bentuk aktivitas yang dilakukan manusia (politik, sosial, ekonomi, budaya, spiritual dan seksual) di ‘dunia nyata’ ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisialnya, sehingga hampir segala aktivitas manusia dapat dilakukan ke dalam bentuk dimensi virtual dan artifisialnya di dalam cyber-space.
Realitas kehidupan yang berkaitan dengan sosial-budaya pada ‘dunia nyata’ kini mendapatkan saingannya. Kemajuan teknologi informasi telah menciptakan cyber-space yang terbentuk oleh jaringan-jaringan komputer dan informasi, sehingga dapat menawarkan bentuk ‘komunitas’ sendiri (virtual community), ‘realitas’ sendiri (virtual reality) dan ‘ruang’ sendiri (cyberspace).
Hemat penulis kehidupan manusia telah mengalami migrasi dari aktivitas konvensional menuju aktivitas kehidupan di ruang maya. Migrasi humanitas yang terjadi, menimbulkan dampak besar terhadap sosial masyarakat terlebih pada nilai-nilai, relasi-relasi sosial serta pemaknaan dalam menjalani kehidupan.
Era revolusi industri 4.0. muncul ditengah era desruptif menjadi warna tersendiri. Industri 4.0. menurut otto hermann (Design Principles for Industry 4.0 Scenarious: 2016) adalah nama tren otomasi dan pertukaran dataa terkini dalam teknologi pabrik, istilah ini mencangkup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan dan komputasi kognitif. Setidaknya ada empat prinsip dalam industri 4.0, yaitu: Pertama, interoprabilitas (kesesuaian) atau kemampuan dalam berkomunikasi dengan satu sama lain dengan media internet. Kedua, transparansi informasi yaitu kemampuan sistem informasi dalam menciptakan salinan data kedalam bentuk virtual. Ketiga, bantuan teknis yaitu kemampuan sistem dalam membantu manusia dengan mengumpulkan serta mem-visualisasikan informasi. Keempat, keputusan mandiri yaitu, kemampuan sistem dalam membuat keputusan serta melakukan tugas dengan mandiri.
Cyberspace dan Transformasi Sosial
Awalan cyber adalah awalan yang dipakai untuk hampir segala hal yang melibatkan komunikasi melalui sistem komputasi. Cyber-space adalah tempat maya di mana komunikasi terjadi. Istilah cyber-space diperkenalkan oleh novelis sains-fiksi William Gibson dalam bukunya yang berjudul Neuromancer. Pada saat itu, tahun 1984 dia melihat semacam integrasi antara komputer dan manusia. Jelasnya, cyber-space merupakan ‘ruang imajiner’ yang melibatkan semua kegiatan sosial dalam kehidupan dengan cara artifisial, yaitu mengandalkan peran serta fungsi kemajuan teknologi informasi melalui sistem komputasi. Sehingga hampir segala kegiatan seperti; berdebat, diskusi, kritik, protes, bermesraan serta bercinta dapat dilakukan di dalamnya.
Dewasa ini cyber-space telah mempengaruhi norma-norma, cara-cara dan perilaku dalam kehidupan sosial serta menimbulkan transformasi sosial yang cukup signifikan. Sehingga kondisi tersebut dapat menggiring pada persoalan yang lebih parah, yaitu ‘kematian sosial’ (Death of the social) yang meliputi tiga tingkat persoalan; individu, antar - individu dan komunitas.
Pertama, tingkat individu yang mencangkup konsep diri (self) dan identitas diri (self identity). Cyber-space telah membuka ruang yang sangat lebar bagi setiap individu untuk menciptakan konsep diri dan identitas tak terbatas. Kondisi seperti ini menjadikan konsep diri dan identitas menjadi tanpa makna. Sehingga, hakikat konsep diri dan identitas menjadi tidak ada, serta menimbulkan masalah yang berkaitan dengan krisis identitas. Kedua, interaksi antar individu. Cyber-space menciptakan ruang yang penuh dengan rekayasa, kepalsuan dan semu, maka hal tersebut dapat memicu tindak pencemaran nama baik sampai pada pelecehan seksual di dunia maya (cyberporn). Ketiga, tingkat komunitas. Persoalan yang terjadi adalah persoalan normatif, pengaturan dan kontrol. Sehingga, dalam cyber-space setiap orang seakan-akan mampu menjadi pemimpin yang dapat mengatur dan mengendalikan orang lain, maka timbulah isu-isu provokasi, propaganda dan hal-hal yang berkaitan dengan cybercrime.
Antara Generasi Milenial dan Cyberspace
Di era digital, generasi milenial lebih menyukai serta memiliki kecenderungan untuk mengekspose diri kepada informasi visual dan grafis melalui media internet. Menurut data yang berhasil dikumpulkan, bahwa populasi pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 mencapai angka 83,7 juta orang. Angka yang berlaku untuk setiap orang yang mengakses internet setidaknya satu kali dalam sebulan, telah memposisikan Indonesia sebagai pengguna internet terbesar ke-6 di dunia.
Bagi generasi milenial, sudah lazim terjadi jika mereka terbiasa terlibat dalam berbagai aktivitas dalam waktu bersamaan, karena memanfaatkan teknologi informasi. Menurut Dresang dan Kyungwon (2009) generasi milenial memiliki kecenderungan penggunaan teknologi informasi dengan karakteristik yang meliputi; (a) mengekspresikan pendapat bagi diri mereka sendiri, (b) memperlihatkan identitas dan menciptakan informasi, (c) potret fleksibelitas dan multiple identitas, (d) menghadapi informasi berbagai prespektif.
Menurut Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017 memaparkan hampir separuh pengguna teknologi internet adalah milenial (49,52 persen). Menurut hasil survei tersebut, artinya hampir semua milenial di Indonesia dapat mengakses penggunaan cyber-space. Tetapi, problematika yang terjadi adalah maraknya cybercrime, yaitu tindakan kejahatan dan penyalahgunaan internet pada cyber-space.
Sering kali generasi milenial rentan menjadi pelaku, bahkan korban dalam cyber-space yang menjadi ruang untuk bermain dalam berbagai bentuk fantasi kelompok (group fantasi) yang bersifat virtual. Cyber-space secara cepat dapat membentuk komunitas-komunitas global lewat berbagai bentuk aktivitas untuk merealisasikan fantasi mereka, termasuk fantasi-fantasi liar yang berkaitan dengan ancaman, teror, kekerasan, seksual dan pemaksaan. Pada akhirnya, edukasi, kebijakan pemerintah, pengawasan hukum pidana mengenai UU TI serta pemanfaatan teknologi informasi pada cyber-space yang bijak yang dapat menjawab akan transformasi sosial serta tantangan antara generasi milenial dan cyber-space.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida