Pandangan Max Weber tentang agama dapat kita lihat dalam salah satu karyanya yang sangat terkenal berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme), dalam karyanya dia lebih menitik beratkan agama sebagai sumber tindakan dalam etika ekonomi. Namun demikian meskipun masalah etika ekonomi merupakan pusat perhatiannya, ruang lingkup kajiannya begitu luas sampai menjangkau seluruh hubungan yang mungkin terjadi antara berbagai corak masyarakat dan agama. Untuk mengikuti alur pemikirannya, cara yang paling sederhana untuk memulainya adalah menganalisis argumen yang dikemukakannya dalam karyanya Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme tersebut, dan kemudian memperhatikan bagaimana hal ini bisa mengantarkannya kepada kajian komparatif terhadap agama-agama dan berbagai struktur sosial yang lain yang akan penulis bahas dalam artikel kali ini, tentu melalui beberapa sumber.
Karl Emil Maximilian Weber, lahir pada tanggal 21 April 1864 di Erfurt dari keluarga kelas menengah. Ayahnya berturut-turut menjadi anggota Dewan Kota Berlin dan wakil rakyat di Reichstag dari Partai Liberal Nasional, seorang birokrat yang suka kehidupan mewah, sedangkan ibunya perempuan yang saleh, ibu rumah tangga biasa yang menaati gaya hidup sederhana dan disiplin kaum Protestan masa itu.
Tahun 1882-1886 Weber belajar di banyak universitas seperti Universitas Heidelberg, Universitas Strassburg, Universitas Berlin dan Universitas Gottingen dengan minat khusus pada hukum, sejarah dan teologi.
Tahun 1886 sampai 1889 Weber mengambil studi doktor di Berlin, berpartisipasi di seminar Profesor Ludwig Goldschmidt tentang hukum dagang, dan di seminar August Meitzen tentang sejarah agraria. Setelah itu Weber mendapat gelar Ph.D. dari Universitas Berlin dengan disertasi ‘Zur Geschichte der Handelsgesselschaften im Mittelalater’ (The Medieval Commercial Associations). Dan mulai mengajar di fakultas hukum Universitas Berlin. Sedangkan tesisnya, ‘Habituasi’, difokuskan pada sejarah agraria Romawi dan implikasi-implikasinya bagi hukum publik dan swasta.
Tahun 1893 dia diangkat menjadi Profesor Hukum Dagang dan Hukum Jerman di Universitas Berlin. Dan kemudian tidak lama setelah itu dia juga diangkat menjadi Profesor Ekonomi Politik di Universitas Freiburg.
Kemudian di tahun 1905, mulailah Weber menulis esai paling terkenalnya yang sampai sekarang masih dikaji terus menerus di berbagai perguruan tinggi diseluruh dunia, Die Protestantische Ethic und der ‘Geist des Kapitalismus. Atau The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme).
Karya Weber yang terkenal berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang diterbitkan pada tahun 1904, mengawali karirnya sebagai sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. dalam karya inilah, yang merupakan langkah awal baginya untuk memasuki bidang kajian sosiologi agama, Weber membahas masalah hubungan antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat Barat sejak abad ke-16 hingga sekarang. Persoalan ini, dalam konteks agama-agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-berbeda, tetap menjadi perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap agama Yahudi Kuno, dan terhadap berbagai agama di India dan Cina, serta agama Yunani-Romawi dan Kristen sektarian, seluruhnya terkait dengan masalah tersebut.
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism dalam konteks sosial, agama Kristen adalah paling banyak mendominasi penelitiannya, Weber berpendapat bahwa kelas menengah yang rendah, yang dianggap Weber memainkan peranan strategis dalam sejarah agama Kristen, “melihatkan suatu kecenderungan yang pasti ke arah “congregational religion” ke arah agama keselamatan, dan akhirnya ke arah agama etika rasional.” [O’Dea, 1985: 109]
Tugas pertama yang dilakukannya adalah menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme. Dia mengemukakan contoh terkenal di Belanda pada abad-abad ke-16 dan 17, mengenai pemilikan bersama dalam usaha kapitalis di kalangan keluarga huguenots dan orang-orang Katholik di Perancis pada abad-abad ke-16 da 17, di kalangan Puritan di Inggris, dan lebih dari itu juga di kalangan para penganut cabang Puritanisme Inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan wilayah New England. Dia tertarik contoh-contoh ini karena menurutnya contoh-contoh ini mewakili berbagai kejadian di mana berbagai sikap baru dalam kegiatan ekonomi secara dramatik menghancurkan tradisionalisme ekonomik yang lama. Pandangan Weber mengenai hal itu bahwa penolakan terhadap tradisi, atau perubahan sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomi politik seperti itu, tidak akan mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama. [Scharf, 1995: 177]
Namun dia juga mengajukan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dalam cara yang ditempuh oleh berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada masanya sendiri.
Di Jerman, Perancis dan Hongaria, dia menyatakan dengan tegas bahwa distribusi pekerjaan dan persiapan pendidikan bagi mereka menunjukan bahwa para penganut Kristen Protestan Calvinis lebih besar kemungkinannya untuk melaksanakan pekerjaan di berbagai organisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut Katholik atau Protestan Lutheran. Kedua kelompok yang disebut belakangan ini lebih cenderung tetap menekuni pekerjaan di bidang pertanian, dalam bidang-bidang usaha kerajinan berskala kecil, atau dalam berbagai profesi humanistik seperti hukum dan pemerintahan.
Dalam pandangannya, agama dan masyarakat terjadi saling mempengaruhi. Tidak seperti Marx yang melihat sedikit sekali sumbangan agama bagi lahirnya institusi ini, Weber melihat bahwa institusi agama sangat besar peranannya dalam membentuk sistem perekonomian di eropa. Tegasnya ‘agama adalah penyebab, sedang sistem ekonomi adalah efek dari pengaruh agama itu’. Weber menjelaskan argumennya dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Teologi Calvin sebagai bagian dari Kristen Protestan, besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan kapitalisme ini. Dalam denominasi ini Tuhan dilukiskan sebagai pemilik segala hal, dan dengan demikian Ia pemelihara kontrol total terhadap alam semesta. Eksistensi manusia semata-mata adalah anugerah dari kemahakuasaan Tuhan, dan manusia tidak bisa mempertanyakan keputusan Tuhan, mereka cukup menerima saja ha itu dalam iman. Setiap manusia Kristiani tidak dianjurkan untuk hidup dalam asketis, akan tetapi harus bekerja keras dan menanam modal atas simpanan mereka sebelumnya agar kehidupan mereka menjadi sejahtera. [Lubis, 2015: 100]
Setelah meyakini adanya hubungan antara agama Protestan Calvinis dan kapitalisme ini, Weber lebih lanjut berusaha membahas dan mengidentifikasikan berbagai corak organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dan beberapa versi lain agama Kristen. Mengenai masalah yang pertama, dia tidak membantah bahwa para perintis kapitalisme lebih tamak atau lebih rakus dibandingkan dengan para pendahulunya di kalangan masyarakat bukan-kapitalis, dan yang disebut belakangan inipun tidak menyadari bahwa jalan menuju kemakmuran terletak pada pengumpulan modal, menurutnya. Menurut Weber “ketamakan kapitalistik sebagai suatu petualangan sudah dikenal baik di kalangan semua corak masyarakat ekonomik yang sudah mengenal perdagangan dengan menggunakan uang dan yang telah menawarkan berbagai kesempatan melalui commenda, yakni dengan memanfaatkan pajak, pinjaman negara, biaya perang, pengadilan-pengadilan istimewa dan para pemegang jabatan. [Scharf, 1995: 179]
Setiap pihak yang terlibat dalam kapitalisme modern, baik sebagai pengusaha, manager atau buruh, menurut pendapat Weber, sama sekali bukan orang yang menyimpang dari tradisi yang menghalangi perubahan teknis maupun organisatorik, dan yang sama sekali menentang pengumpulan kekayaan yang baru, dia adalah orang yang percaya akan adanya etika yang mengajarkan perlunya bekerja keras, pengembangan sarana secara sistematik untuk mendapatkan produksi dan perdagangan yang lebih besar, pengetatan dalam konsumsi pribadi, dan perlunya tanggung jawab individual, bukan kelompok, dalam kehidupan ekonomi. [Scharf, 1995: 180]
Lanjut, Weber berpendapat bahwa “doktrin panggilan” dalam agama Kristen Calvinis merupakan landasan esensial nilai-nilai baru, dan doktrin takdir (predestination) yang menjadi sebab munculnya kekuatan kehendak diperlukan untuk mengubahnya menjadi praktek (kegiatan) nyata. Kedua aspek dari doktrin panggilan ini, yakni kesungguhan dalam bekerja dan hak setiap individu untuk memilih bidang kegiatannya, jelas akan membantu perkembangan ekonomi bila keduanya tidak hanya diajarkan, tetapi dipraktekkan secara aktual. Weber berkeyakinan bahwa kedua aspek tersebut secara merata dipraktekkan dimana saja doktrin Calvinisme tentang takdir dipegangi secara sungguh-sungguh. Dogma ini ditampilkan oleh para penganut Calvinisme sebagai deduksi logik dari kemahakuasaan Tuhan dan perasaan berdosa manusia. Secara adil, semua manusia menerima kutukan abadi tetapi Tuhan dengan kemahakuasaan-Nya, melalui Kristus, telah memilih sejumlah manusia untuk diselamatkan. Semua manusia harus berjuang untuk menaati perintah-perintah Tuhan di muka bumi ini, tanpa prasangka dengan kondisi mereka untuk memilih atau menentang. “Tujuan utama manusia adalah mengagungkan Tuhan,” demikian bunyi syahadat Calvinis, dan ini merupakan perintah yang ditujukan kepada semua orang.
Dalam karyanya weber juga mengatakan bahwa secara khusus peranan kepercayaan agama tidak dimaksudkan untuk membentuk kapitalisme, dari sesuatu yang tidak ada, melainkan memadukan dengan faktor-faktor teknis, politik dan lain-lainnya yang memang sudah mendukung perkembangan ke arah itu. [Scharf, 1995: 182]
Weber melihat reformasi Protestan menyebabkan perusahaan ekonomi yang merupakan gejala unik di dalam sejarah manusia. Mengapa unik? Karena tenaga pendorongnya adalah karena jiwa pengabdian dan tanggung jawab atas pekerjaannya. Menurut Weber, penganut Protestan mempunyai suatu etika kerja yang luar biasa. Karena etika kerja yang luar biasa, Weber mendalilkan adanya suatu hubungan antara etika Protestan dengan jiwa kapitalisme. [Abdullah, 1997: 32]
Dalam kajiannya terhadap etika Protestan dan Calvinisme, Weber seringkali menggunakan dua istilah yang makna pastinya memerlukan penelaahan lebih lanjut. Kedua istilah itu adalah “asketisme dunia batin” (inner-worldly asceticism) dan “rasionalisme” atau “rasionalisasi” yang bersifat umum. [Scharf, 1995: 186]
Dalam konteks agama Kristen, Weber memperkenalkan istilah “asketisisme dunia batin” untuk mengimbangi para aktivis Puritan dengan pendeta Katholik. kedua-duanya mempraktekkan hidup asketik, yang pertama dengan membuktikan kepada dirinya sendiri akan pilihannnya pada kehidupan pribadi, sedangkan yang lainnya dengan maksud agar mendapatkan keselamatan bagi dirinya. Dalam hal apapun keyakinan agama mengilhami mereka untuk menuju ke suatu pandangan hidup dimana dorongan nafsu ditundukan di bawah suatu pola kegiatan, godaan-godaan yang menuju kepada pemuasan nafsu birahi diperkecil, dan disiplin pribadi dilaksanakan sedemikian rupa sehingga semua perbuatan ditujukan untuk mendapat tujuan terakhir, yaitu keselamatan. Tetapi para pengikut Calvinisme justru percaya bahwa semua kajian ini apabila ditata dan dikoordinasikan secara baik, dapat membantu pemenuhan kehendak Tuhan, dan merupakan tugas utama manusia. Weber membuat perbedaan antara asketisisme duniawi dan ukhrawi ini tidak hanya diantara persoalan keagamaan Katholik dan persoalan kemanusiaan Calvinis, melainkan juga antara agama Kristen disatu pihak dan agama-agama Hindu, Buddha, dan Tao di pihak lain. Kesamaan dalam pandangan Katholik tampak paling mencolok dalam kasus agama Hindu, karena agama ini juga agama yang menekankan monatisisme dan membedakan antara keterlibatan penuh para biksu dan keterlibatan tidak penuh para pemeluk Hindu awam. Lanjut, Weber mengatakan bahwa asketisisme agana Buddha sebagai “asketisisme ukhrawi” dengan ditemukannya beberapa vihara Buddha di Cina yang berubah menjadi tuan-tuan tanah besar, dan di Tibet yang menjadi pusat-pusat kekuatan politik, karena semuanya ini merupakan penyimpangan-penyimpangan dari tujuan agama Buddha itu sendiri, sama sebagaimana keterlibatan para anggota Bennedictin dalam politik abad pertengahan, atau para anggota ordo Jesuit dalam politik pasca-Reformasi, yang juga merupakan penyimpangan dari tujuan semula. [Scharf, 1995: 188]
Agama Hindu meskipun tidak mengenal monatisisme formal para penganut agama Buddha, memiliki asketisissme ukhrawi yang mirip dalam filsafat dan etikanya. Kegiatan-kegiatan itu bukan aspek kegiatan yang paling penting. Upaya untuk memahami dunia dan menguasai diri sendiri senantiasa terletak pada jurusan asketisisme ukhrawi, dan ini, berbarengan dengan berbagai unsur magik (sihir) yang kuat dalam agama Hindu dan berbagai efek kasta yang divisif, menurut Weber merupakan kendala-kendala yang menghalangi perkembangan kapitalisme yang ditampilkan oleh masyarakat India. [Scharf, 1995: 188]
Dalam agama Tao, Weber berpendapat bahwa ada satu cara atau jalan alami yang dapat juga diikuti oleh manusia, asalkan dia membatasi ketamakannya untuk diri sendiri, persaingan dan sikap permusuhannya. Dia dapat melaksanakannya sebaik-baiknya dengan cara meninggalkan semua kegiatan yang mendatangkan godaan-godaan ini, bukan dengan menilainya sebagai bagian dari jalan yang dapat memenuhi kehendak Tuhan. Dengan demikian, godaan , menjauhkan diri dari politik, kemandirian, bukan ketamakan, sebagai tujuan ekonomik, bersumber dari pandangan Taois. [Scharf, 1995: 189] Dan ini juga merupakan penghalang bagi kapitalisme menurut Weber.
Dalam agama Islam, Weber berpendapat bahwa agama ini pertama-tama sebagai petualang, yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukan dan perampokan yang bersifat duniawi. Petualang itu bersifat fatalistik (Jabariah), tidak metodik dan berdisiplin pribadi, dan asketisisme jenis apapun tidak sesuai dengan agama ini. Walaupun Weber mengakui dalam beberapa tarekat sufi Islam di kemudian hari terdapat sekte-sekte asketik yang sama dengan sekte-sekte kelas rendah dalam Kristen, tetapi kelompok sufi ini tidak cukup kuat untuk mendorong perkembangan ekonomi secara efektif.
Berbeda dengan agama Yahudi, Weber berpendapat bahwa adanya pandangan “pariah” yang dimiliki oleh agama tersebut, dan karena menurut pendapatnya juga , agama ini merupakan agama yang relatif rasional, maka agama Yahudi dari masa ke masa senantiasa memainkan peranan penting dalam kemajuan ekonomik dan perkembangan kapitalis. Namun karena tidak adanya nilai-nilai asketik, agama Yahudi hanya mampu mengembangkan sejenis kapitalisme politik atau kapitalisme petualangan yang, sebagaimana sudah kita ketahui, diangap oleh Weber sebagai kapitalisme tipikal pada kurun waktu abad pertengahan, dan tidak tipikal kapitalisme Eropa dan Amerika modern. [Scharf, 1995: 189]