Efektifkah Sistem Seleksi CPNS Kita?
Dibukanya kesempatan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini, melalui beberapa kementerian, menjadi angin segar bagi para sarjana dan masyarakat luas yang menantikannya. Karena, di Indonesia sendiri, menjadi CPNS, termasuk salah satu opsi lapangan pekerjaan yang juga banyak dinanti dan diminati. Karena menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), seperti dua arah yang saling menopang, masyarakat memberikan pengabdiannya dan negara memberikan jaminan atas pengabdian tersebut.
Tetapi, dibalik pelaksanaan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini, tidak sekadar berbeda dari tahun-tahun yang sebelumnya, tetapi sekaligus menyimpan berbagai pertanyaan dan rasa pesimisme bagi masyarakat. Bagaimana tidak, sebagian besar instansi yang telah menyelenggarakan sistem seleksi, justru menunjukkan hasil yang mengejutkan.
Misalnya, beberapa Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang telah menyelenggarakan seleksi CPNS. Seperti di Kabupaten Bolaang Mongondow, yang diikuti oleh sebanyak 1.686 peserta, yang berhasil mencapai standar nilai (Passing Grade) sebanyak 15 orang. Demikian halnya, di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, diikuti sebanyak 1.656 peserta, dan yang berhasil mencapai nilai (Passing Grade) sebanyak 7 orang. Sedangkan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, diikuti peserta sebanyak 1.452, dan yang berhasil mencapai nilai (Passing Grade) sebanyak 10 orang, (akses, Bolmutpost.com).
Hal tersebut, juga terjadi hampir disebagian besar daerah lainnya seperti Papua, Gorontalo, bahkan berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatera hingga Kalimantan. Peserta yang lulus mencapai ambang batas nilai yang ditentukan sangat minim.
Fakta di atas, tidak hanya memunculkan perdebatan bagi kebanyakan orang, tetapi juga menjadi masalah baru bagi masyarakat. Pertanyaannya, ada apa dengan sistem seleksi CPNS kita. Apakah memang benar, bahwa kemampuan dari peserta yang tidak sesuai dengan standar yang diharapkan. Ataukah justru, sistem yang digunakan yang tidak tepat sasaran.
Pertanyaan tersebut, perlu untuk dipaparkan secara luas, apa yang menjadi faktor yang menyebabkan banyaknya peserta yang tidak berhasil mencapai standar nilai yang ditentukan (Passing Grade).
Di satu sisi, penggunaan sistem CAT (Computer Assisted Test) atau sistem pengerjaan tes berbasis komputer menjadi solusi yang efektif untuk menghindari terjadinya bentuk manipulasi hasil tes. Atau dengan sistem CAT, peserta bisa mengetahui secara langsung hasil tes yang mereka peroleh. Sehingga, sensitifitas terjadinya bentuk KKN tidak terjadi.
Akan tetapi, di sisi lain, problem dari sistem seleksi CPNS yang ada, justru terletak pada inti dari pelaksanaan tes itu sendiri (waktu dan inti soal). Di mana sebagian besar dari peserta yang mengikuti tes CPNS, sangat mengeluhkan antara durasi waktu yang ditentukan tidak seimbang dengan inti soal yang harus dikerjakan.
Peserta diberikan durasi waktu selama 90 menit untuk mengerjakan 100 nomor soal. Problem yang ada, antara rasio waktu dan inti soal yang dikerjakan tersebut tidak seimbang. Bentuk soal yang ada, dalam bentuk narasi soal yang sangat kompleks, sehingga peserta harus membaca narasi soal tersebut dan menganalisa pilihan jawaban yang tepat, sedangkan durasi waktu yang ada justru tidak memungkinkan peserta harus mengoptimalkannya. Sehingga, yang terjadi adalah irasional sistem dan paradigma dari proses seleksi CPNS yang ada.
Persoalan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita hingga saat ini, menjadi bagian penting yang juga menjadi fokus perhatian dari berbagai pihak. Jika dalam perspektif pendidikan sendiri, hal ini, apa yang disebut oleh tokoh pendidikan baik lokal hingga global, seperti Paulo Freire di Brazil, H.A.R. Tilaar, Mansour Fakih, Roem Topatimasang hingga Eko Prasetyo di Indonesia. Mereka banyak menyebutnya sebagai bagian dari bentuk industrialisasi sistem pendidikan. Di mana cara kerja pendidikan lebih bersifat mekanik atau seperti cara kerja industri. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan lagi pada kebutuhan manusia itu sendiri.
Dari kasus sistem seleksi CPNS yang berlaku di Indonesia saat ini, peserta harus mengerjakan soal yang kompleks dengan durasi waktu yang singkat, sehingga, masyarakat tidak ubahnya seperti mesin yang harus bekerja untuk memenuhi hasrat industri yang ada. Inilah yang dimaksud dengan bentuk industrialisasi sistem pendidikan yang lepas dari konteks masyarakat yang ada.
Jika demikian sistem pendidikan kita yang berlaku sampai dengan saat ini. Apa sebetulnya yang kita harapkan dari sistem pendidikan kita. Karena problem masyarakat bukan menjadi inti dari sistem yang ada. Sehingga, cara kerja pendidikan kita menghasilkan manusia mekanik, yang bekerja untuk memenuhi hasrat industri, tidak lagi mengakar pada apa yang menjadi problem inti dari kehidupan masyarakat. Sehingga, dunia pendidikan kita, untuk menghasilkan manusia baru dalam terminologi Paulo Freire, logis, humanis, yang berbasis pada kenyataan, tidak akan pernah terjadi secara utuh.
Lantas, seperti apa sistem seleksi CPNS kita. Sebagaimana problem di atas, perlu adanya perubahan paradigma dari sistem dan mekanisme dalam proses seleksi CPNS yang ada. Misalnya, antara durasi waktu dan inti soal yang dikerjakan harus seimbang dan menyesuaikan dengan konteks yang ada. Agar, proses seleksi CPNS benar-benar melahirkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai yang dibutuhkan. Hal ini, juga menjadi bagian penting sebagai bentuk evaluasi dari sistem pendidikan kita saat ini dan seterusnya.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida