Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Episteme Dai Pop

Suatu fenomena masa kini ditandai dengan merebaknya ustadz ustadzah di masyarakat, dengan menggenggam pengakuan atas kelihay-an retorikanya, merangkai terjemah ayat-Nya demi meraih ridho-Nya.

------

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya (Baca: Pendekatan Kontras pada Pendidikan, Relevankah?) yang ingin mencoba melihat benang merah fenomena yang terjadi di Negeri ini. Telah dibahas pada tulisan saya sebelumnya yaitu ringannya dalam memberikan label ekstrim kepada orang lain, yang mana tidak memiliki pemahaman yang berbeda akan teks yang sama. Label-label bi’dah, musyrik, bahkan kafir mudah untung terucap secara tidak sadar oleh mereka. Tidak hanya itu, bahkan ada seorang yang ringan sekali berbicara “...tumpahin darahnya”. Secara analisa linguistik perkataan yang keluar layaknya murni dari benak yang terdalam. Ini tandanya internalisasi pendekatan kontras dalam pendidikan sudah tidak terbendung, dan memberikan dampak sikap yang universal. Daya dampak yang dirasakan tidak hanya melulu pada bagaimana manhaj/paradigma mereka berfikir, namun juga qouliyah/ perkataan dan fi’liyyah/ perbuatan, serta taqrir/kebijakan. Tentu ini sudah kebablasan dan sudah kurang sesuai untuk berkembang di Indonesia yang lebih moderat dalam manhajnya.

Sebelumnya, Dai Pop itu apa sih? Istilah ini bukan murni saya yang menemukan, melainkan dari beberapa pemaparan ahli, dosen STAI ternama di Sumatra. Dai Pop diartikan sebagai Dai/ Pendakwah yang mempunyai popularitas dan memberikan dampak pada masyarakat menuju arah populis. Indikator kepopuleran mereka dapat dilihat dari tingkat popularitas di masyarakat, seringnya muncul di televisi nasional, berparas menjual, memiliki akun sosial media seperti twitter, instagram, youtube yang diikuti banyak orang. Lalu siapakah sebenarnya Dai Pop itu? Bagaimana latar belakangnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya mencoba melihat sample purposive, misal saja Ustadz Slmd, Ustadz TW, Ustadzah OSD, dll. Dari beberapa ini menjadi keperihatinan saya. Kegelisahan saya ini tentunya berlandaskan, bagaimana bisa hal yang sifatnya prinsipil akan dijabarkan oleh orang yang tidak memiliki otoritas. Otoritas yang dimaksud adalah kualifikasi kemampuan sesuai dengan standart dan bidangnya sehingga mampu memberikan penjelasan yang tepat. Namun bilamana kurang memiliki kualifikasi biasanya akan ngawur adanya, atau hanya membuat lelucon yang dibuat-buat dan jauh dari spirit dakwah nabi. Masih ingat kan dengan jargon, “jamaah... oh jamaah..?”.

Ini menjadi tugas pendidikan baik itu yang bersifat formal, non-formal atau informal yang mana akan menyuplai Dai-dai masa depan. Seharusnya pendidikan mampu memberikan jaminan akan outputnya sehingga mampu memenuhi standart minimal yang diperlukan untuk menjadi seorang dai, lebih-lebih ustadz. Misal, pondok pesantren ya setidaknya bisa mengkhatamkan machali atau minhaj (nama buku literasi yang membahas islamic jurisprudence, familiar dengan sebutan kitab kuning) sebelum dilepas ke masyarakat.

Lalu bagaimana dengan dai yang belajar otodidak? Ya, meskipun saya sebenarnya tidak setuju dengan prinsip ini, karena menurut kepercayaan saya dan insyaAllah sahabat-sahabat saya pasti akan mengatakan jika belajar itu wajib dengan guru. Namun, secara kasuistik juga tidak menutup kemungkinan ada ustadz yang memang memiliki kemampuan lebih karena giatnya belajar mandiri. Atau mungkin memiliki kemampuan istimewa yang mana sering santri sebut ilmu laduni. Ya boleh saja, namun apakah kuantitas orang yang memiliki kualitas dan karakteristik seperti ini banyak? Hanya segelintir orang yang mampu memiliki keistimewaan ini.

Ditambah dengan kasus tempo hari yang sempat menggegerkan jagad Indonesia, tentang salahnya tulis ayat pada acara kajian Islam yang disiarkan televisi nasional. Tentu hal-hal seperti ini harus segera dikendalikan. Jika memang memiliki kemampuan atau kekuatan yang bisa diharapkan, dan etos belajar yang tinggi, boleh saja dai pop ini diberikan pembekalan lebih sehingga bisa mengupgrade kompetensinya. Namun apabila memang sudah tidak ada peluang kesana lebih baik menjadi profesi yang lain.

Pada sisi yang sama ini menjadi pertanyaan kepada pemegang otoritas; santri, kyai dan pendakwah ulung bagaimana menyikapi tantangan ini?

Begitulah uneg-uneg saya sembari menunggu pesawat delay.
(Semarang, 27 Des 2017)
Bersambung... (Kyai di Era Disuptif)

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

1197