Pewarta Nusantara
Menu Menu

Op-ed

Adha Ginanjar Adha Ginanjar
2 tahun yang lalu 07/05/23

Pandangan Max Weber tentang agama dapat kita lihat dalam salah satu karyanya yang sangat terkenal berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme), dalam karyanya dia lebih menitik beratkan agama sebagai sumber tindakan dalam etika ekonomi. Namun demikian meskipun masalah etika ekonomi merupakan pusat perhatiannya, ruang lingkup kajiannya begitu luas sampai menjangkau seluruh hubungan yang mungkin terjadi antara berbagai corak masyarakat dan agama. Untuk mengikuti alur pemikirannya, cara yang paling sederhana untuk memulainya adalah menganalisis argumen yang dikemukakannya dalam karyanya Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme tersebut, dan kemudian memperhatikan bagaimana hal ini bisa mengantarkannya kepada kajian komparatif terhadap agama-agama dan berbagai struktur sosial yang lain yang akan penulis bahas dalam artikel kali ini, tentu melalui beberapa sumber.

Karl Emil Maximilian Weber, lahir pada tanggal 21 April 1864 di Erfurt dari keluarga kelas menengah. Ayahnya berturut-turut menjadi anggota Dewan Kota Berlin dan wakil rakyat di Reichstag dari Partai Liberal Nasional, seorang birokrat yang suka kehidupan mewah, sedangkan ibunya perempuan yang saleh, ibu rumah tangga biasa yang menaati gaya hidup sederhana dan disiplin kaum Protestan masa itu.

Tahun 1882-1886 Weber belajar di banyak universitas seperti Universitas Heidelberg, Universitas Strassburg, Universitas Berlin dan Universitas Gottingen dengan minat khusus pada hukum, sejarah dan teologi.

Tahun 1886 sampai 1889 Weber mengambil studi doktor di Berlin, berpartisipasi di seminar Profesor Ludwig Goldschmidt tentang hukum dagang, dan di seminar August Meitzen tentang sejarah agraria. Setelah itu Weber mendapat gelar Ph.D. dari Universitas Berlin dengan disertasi ‘Zur Geschichte der Handelsgesselschaften im Mittelalater’ (The Medieval Commercial Associations). Dan mulai mengajar di fakultas hukum Universitas Berlin. Sedangkan tesisnya, ‘Habituasi’, difokuskan pada sejarah agraria Romawi dan implikasi-implikasinya bagi hukum publik dan swasta.

Tahun 1893 dia diangkat menjadi Profesor Hukum Dagang dan Hukum Jerman di Universitas Berlin. Dan kemudian tidak lama setelah itu dia juga diangkat menjadi Profesor Ekonomi Politik di Universitas Freiburg.

Kemudian di tahun 1905, mulailah Weber menulis esai paling terkenalnya yang sampai sekarang masih dikaji terus menerus di berbagai perguruan tinggi diseluruh dunia, Die Protestantische Ethic und der ‘Geist des Kapitalismus. Atau The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme).

Karya Weber yang terkenal berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang diterbitkan pada tahun 1904, mengawali karirnya sebagai sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. dalam karya inilah, yang merupakan langkah awal baginya untuk memasuki bidang kajian sosiologi agama, Weber membahas masalah hubungan antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat Barat sejak abad ke-16 hingga sekarang. Persoalan ini, dalam konteks agama-agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-berbeda, tetap menjadi perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap agama Yahudi Kuno, dan terhadap berbagai agama di India dan Cina, serta agama Yunani-Romawi dan Kristen sektarian, seluruhnya terkait dengan masalah tersebut.

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism dalam konteks sosial, agama Kristen adalah paling banyak mendominasi penelitiannya, Weber berpendapat bahwa kelas menengah yang rendah, yang dianggap Weber memainkan peranan strategis dalam sejarah agama Kristen, “melihatkan suatu kecenderungan yang pasti ke arah “congregational religion” ke arah agama keselamatan, dan akhirnya ke arah agama etika rasional.” [O’Dea, 1985: 109]

Tugas pertama yang dilakukannya adalah menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme. Dia mengemukakan contoh terkenal di Belanda pada abad-abad ke-16 dan 17, mengenai pemilikan bersama dalam usaha kapitalis di kalangan keluarga huguenots dan orang-orang Katholik di Perancis pada abad-abad ke-16 da 17, di kalangan Puritan di Inggris, dan lebih dari itu juga di kalangan para penganut cabang Puritanisme Inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan wilayah New England. Dia tertarik contoh-contoh ini karena menurutnya contoh-contoh ini mewakili berbagai kejadian di mana berbagai sikap baru dalam kegiatan ekonomi secara dramatik menghancurkan tradisionalisme ekonomik yang lama. Pandangan Weber mengenai hal itu bahwa penolakan terhadap tradisi, atau perubahan sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomi politik seperti itu, tidak akan mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama. [Scharf, 1995: 177]

Namun dia juga mengajukan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dalam cara yang ditempuh oleh berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada masanya sendiri.

Di Jerman, Perancis dan Hongaria, dia menyatakan dengan tegas bahwa distribusi pekerjaan dan persiapan pendidikan bagi mereka menunjukan bahwa para penganut Kristen Protestan Calvinis lebih besar kemungkinannya untuk melaksanakan pekerjaan di berbagai organisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut Katholik atau Protestan Lutheran. Kedua kelompok yang disebut belakangan ini lebih cenderung tetap menekuni pekerjaan di bidang pertanian, dalam bidang-bidang usaha kerajinan berskala kecil,  atau dalam berbagai profesi humanistik seperti hukum dan pemerintahan.

Dalam pandangannya, agama dan masyarakat terjadi saling mempengaruhi. Tidak seperti Marx yang melihat sedikit sekali sumbangan agama bagi lahirnya institusi ini, Weber melihat bahwa institusi agama sangat besar peranannya dalam membentuk sistem perekonomian di eropa. Tegasnya ‘agama adalah penyebab, sedang sistem ekonomi adalah efek dari pengaruh agama itu. Weber menjelaskan argumennya dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Teologi Calvin sebagai bagian dari Kristen Protestan, besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan kapitalisme ini. Dalam denominasi ini Tuhan dilukiskan sebagai pemilik segala hal, dan dengan demikian Ia pemelihara kontrol total terhadap alam semesta. Eksistensi manusia semata-mata adalah anugerah dari kemahakuasaan Tuhan, dan manusia tidak bisa mempertanyakan keputusan Tuhan, mereka cukup menerima saja ha itu dalam iman. Setiap manusia Kristiani tidak dianjurkan untuk hidup dalam asketis, akan tetapi harus bekerja keras dan menanam modal atas simpanan mereka sebelumnya agar kehidupan mereka menjadi sejahtera. [Lubis, 2015: 100]

Setelah meyakini adanya hubungan antara agama Protestan Calvinis dan kapitalisme ini, Weber lebih lanjut berusaha membahas dan mengidentifikasikan berbagai corak organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dan beberapa versi lain agama Kristen. Mengenai masalah yang pertama, dia tidak membantah bahwa para perintis kapitalisme lebih tamak atau lebih rakus dibandingkan dengan para pendahulunya di kalangan masyarakat bukan-kapitalis, dan yang disebut belakangan inipun tidak menyadari bahwa jalan menuju kemakmuran terletak pada pengumpulan modal, menurutnya. Menurut Weber “ketamakan kapitalistik sebagai suatu petualangan sudah dikenal baik di kalangan semua corak masyarakat ekonomik yang sudah mengenal perdagangan dengan menggunakan uang dan yang telah menawarkan berbagai kesempatan melalui commenda, yakni dengan memanfaatkan pajak, pinjaman negara, biaya perang, pengadilan-pengadilan istimewa dan para pemegang jabatan. [Scharf, 1995: 179]

Setiap pihak yang terlibat dalam kapitalisme modern, baik sebagai pengusaha, manager atau buruh, menurut pendapat Weber, sama sekali bukan orang yang menyimpang dari tradisi yang menghalangi perubahan teknis maupun organisatorik, dan yang sama sekali menentang pengumpulan kekayaan yang baru, dia adalah orang yang percaya akan adanya etika yang mengajarkan perlunya bekerja keras, pengembangan sarana secara sistematik untuk mendapatkan produksi dan perdagangan yang lebih besar, pengetatan dalam konsumsi pribadi, dan perlunya tanggung jawab individual, bukan kelompok, dalam kehidupan ekonomi. [Scharf, 1995: 180]

Lanjut, Weber berpendapat bahwa “doktrin panggilan” dalam agama Kristen Calvinis merupakan landasan esensial nilai-nilai baru, dan doktrin takdir (predestination) yang menjadi sebab munculnya kekuatan kehendak diperlukan untuk mengubahnya menjadi praktek (kegiatan) nyata. Kedua aspek dari doktrin panggilan ini, yakni kesungguhan dalam bekerja dan hak setiap individu untuk memilih bidang kegiatannya, jelas akan membantu perkembangan ekonomi bila keduanya tidak hanya diajarkan, tetapi dipraktekkan secara aktual. Weber berkeyakinan bahwa kedua aspek tersebut secara merata dipraktekkan dimana saja doktrin Calvinisme tentang takdir dipegangi secara sungguh-sungguh. Dogma ini ditampilkan oleh para penganut Calvinisme sebagai deduksi logik dari kemahakuasaan Tuhan dan perasaan berdosa manusia. Secara adil, semua manusia menerima kutukan abadi tetapi Tuhan dengan kemahakuasaan-Nya, melalui Kristus, telah memilih sejumlah manusia untuk diselamatkan. Semua manusia harus berjuang untuk menaati perintah-perintah Tuhan di muka bumi ini, tanpa prasangka dengan kondisi mereka untuk memilih atau menentang. “Tujuan utama manusia adalah mengagungkan Tuhan,” demikian bunyi syahadat Calvinis, dan ini merupakan perintah yang ditujukan kepada semua orang.

Dalam karyanya weber juga mengatakan bahwa secara khusus peranan kepercayaan agama tidak dimaksudkan untuk membentuk kapitalisme, dari sesuatu yang tidak ada, melainkan memadukan dengan faktor-faktor teknis, politik dan lain-lainnya yang memang sudah mendukung perkembangan ke arah itu. [Scharf, 1995: 182]

Weber melihat reformasi Protestan menyebabkan perusahaan ekonomi yang merupakan  gejala unik di dalam sejarah manusia. Mengapa unik? Karena tenaga pendorongnya adalah  karena jiwa pengabdian dan tanggung jawab atas pekerjaannya. Menurut Weber, penganut Protestan mempunyai suatu etika kerja yang luar biasa. Karena etika kerja yang luar biasa, Weber mendalilkan adanya suatu hubungan antara etika Protestan dengan jiwa kapitalisme. [Abdullah, 1997: 32]

Dalam kajiannya terhadap etika Protestan dan Calvinisme, Weber seringkali menggunakan dua istilah yang makna pastinya memerlukan penelaahan lebih lanjut. Kedua istilah itu adalah “asketisme dunia batin” (inner-worldly asceticism) dan “rasionalisme” atau “rasionalisasi” yang bersifat umum. [Scharf, 1995: 186]

Dalam konteks agama Kristen, Weber memperkenalkan istilah “asketisisme dunia batin” untuk mengimbangi para aktivis Puritan dengan pendeta Katholik. kedua-duanya mempraktekkan hidup asketik, yang pertama dengan membuktikan kepada dirinya sendiri akan pilihannnya pada kehidupan pribadi, sedangkan yang lainnya dengan maksud agar mendapatkan keselamatan bagi dirinya. Dalam hal apapun keyakinan agama mengilhami mereka untuk menuju ke suatu pandangan hidup dimana dorongan nafsu ditundukan di bawah suatu pola kegiatan, godaan-godaan yang menuju kepada pemuasan nafsu birahi diperkecil, dan disiplin pribadi dilaksanakan sedemikian rupa sehingga semua perbuatan ditujukan untuk mendapat tujuan terakhir, yaitu keselamatan. Tetapi para pengikut Calvinisme justru percaya bahwa semua kajian ini apabila ditata dan dikoordinasikan secara baik, dapat membantu pemenuhan kehendak Tuhan, dan merupakan tugas utama manusia. Weber membuat perbedaan antara asketisisme duniawi dan ukhrawi ini tidak hanya diantara persoalan keagamaan Katholik dan persoalan kemanusiaan Calvinis, melainkan juga antara agama Kristen disatu pihak dan agama-agama Hindu, Buddha, dan Tao di pihak lain. Kesamaan dalam pandangan Katholik tampak paling mencolok dalam kasus agama Hindu, karena agama ini juga agama yang menekankan monatisisme dan membedakan antara keterlibatan penuh para biksu dan keterlibatan tidak penuh para pemeluk Hindu awam. Lanjut, Weber mengatakan bahwa asketisisme agana Buddha sebagai “asketisisme ukhrawi” dengan ditemukannya beberapa vihara Buddha di Cina yang berubah menjadi tuan-tuan tanah besar, dan di Tibet yang menjadi pusat-pusat kekuatan politik, karena semuanya ini merupakan penyimpangan-penyimpangan dari tujuan agama Buddha itu sendiri, sama sebagaimana keterlibatan para anggota Bennedictin dalam politik abad pertengahan, atau para anggota ordo Jesuit dalam politik pasca-Reformasi, yang juga merupakan penyimpangan dari tujuan semula. [Scharf, 1995: 188]

Agama Hindu meskipun tidak mengenal monatisisme formal para penganut agama Buddha, memiliki asketisissme ukhrawi yang mirip dalam filsafat dan etikanya. Kegiatan-kegiatan itu bukan aspek kegiatan yang paling penting. Upaya untuk memahami dunia dan menguasai diri sendiri senantiasa terletak pada jurusan asketisisme ukhrawi, dan ini, berbarengan dengan berbagai unsur magik (sihir) yang kuat dalam agama Hindu dan berbagai efek kasta yang divisif, menurut Weber merupakan kendala-kendala yang menghalangi perkembangan kapitalisme yang ditampilkan oleh masyarakat India. [Scharf, 1995: 188]

Dalam agama Tao, Weber berpendapat bahwa ada satu cara atau jalan alami yang dapat juga diikuti oleh manusia, asalkan dia membatasi ketamakannya untuk diri sendiri, persaingan dan sikap permusuhannya. Dia dapat melaksanakannya sebaik-baiknya dengan cara meninggalkan semua kegiatan yang mendatangkan godaan-godaan ini, bukan dengan menilainya sebagai bagian dari jalan yang dapat memenuhi kehendak Tuhan. Dengan demikian, godaan , menjauhkan diri dari politik, kemandirian, bukan ketamakan, sebagai tujuan ekonomik, bersumber dari pandangan Taois. [Scharf, 1995: 189] Dan ini juga merupakan penghalang bagi kapitalisme menurut Weber.

Dalam agama Islam, Weber berpendapat bahwa agama ini pertama-tama sebagai petualang, yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukan dan perampokan yang bersifat duniawi. Petualang itu bersifat fatalistik (Jabariah), tidak metodik dan berdisiplin pribadi, dan asketisisme jenis apapun tidak sesuai dengan agama ini. Walaupun Weber mengakui dalam beberapa tarekat sufi Islam di kemudian hari terdapat sekte-sekte asketik yang sama dengan sekte-sekte kelas rendah dalam Kristen, tetapi kelompok sufi ini tidak cukup kuat untuk mendorong  perkembangan ekonomi secara efektif.

Berbeda dengan agama Yahudi, Weber berpendapat bahwa adanya pandangan “pariah” yang dimiliki oleh agama tersebut, dan karena menurut pendapatnya juga , agama ini merupakan agama yang relatif rasional, maka agama Yahudi dari masa ke masa senantiasa memainkan peranan penting dalam kemajuan ekonomik dan perkembangan kapitalis. Namun karena tidak adanya nilai-nilai asketik, agama Yahudi hanya mampu mengembangkan sejenis kapitalisme politik atau kapitalisme petualangan yang, sebagaimana sudah kita ketahui, diangap oleh Weber sebagai kapitalisme tipikal pada kurun waktu abad pertengahan, dan tidak tipikal kapitalisme Eropa dan Amerika modern. [Scharf, 1995: 189]

bibah pidi bibah pidi
2 tahun yang lalu 07/05/23

Pagi telah sampai, matahari tergesah-gesah terik. Kota Malang yang berhenti beranak pinak, kini bangun dan bergerak. Berbeda dengan hari sebelumnya, nenek tua yang biasanya meratapi nasib di bawah jembatan layang Arjosari itu kini berani memakai lipstik merah merona. Tukang becak yang biasanya bangun kesiangan kini menjemput ayam yang usai subuhan. Seperti juga aku yang mulai mengusap-usap bekas embun di kaca spion sepedaku. Setiap pagi kaca itu selalu mengingatkanku untuk berhati-hati melewati jalan yang asing sama sekali.

Sudah sekitar dua bulan aku berpura-pura menjadi seorang yang pintar. Aku hanya ingin mengatakan berpura-pura hingga aku lupa bahwa ini semua hanya sandiwara. Aku masih belum bisa menemukan kata yang sesuai dengan profesi yang sedang aku tekuni ini. Aku masih berjalan sambil mencari tau seluk beluk hingga yang paling kolong dari tempatku bekerja. Bahkan kalau perlu aku ingin menjelajahi diriku sendiri, apa ada relung yang lupa ku maknai. Semoga saja tidak terlalu lama untukku belajar mengeja

Beberapa jam setelah bel masuk sekolah, aku masih tenang menyampaikan materi di buku paket biasanya kepada anak-anak yang berseragam putih biru. Disela-sela jam istirahat aku selalu menyempatkan menengok kawan baruku di ruang konseling. Entah kenapa aku lebih suka bermain di ruang konseling ketimbang duduk di meja kerja. Bukan karena aku gencar-gencarnya mencari tahu tentang Abhiseva, teman baruku itu, namun aku hanya ingin membaca banyak orang dari ruang yang paling sempit.

Matahari sudah mulai terik dan terus terang. Panasnya terasa sejengkal di atas kepala. Darah anak-anak kian mendidih hingga bising terdengar di mana-mana. Dari kejauhan lelaki paruh baya tergesah-gesah menyeret dua anak laki-laki dengan lebam di dahi dan pipi. Dari bilik ruang konseling wajahnya semakin nampak terbakar. Aku melihatnya semakin jelas, ia menjelaskan semakin keras. Dua anak laki-laki yang dibawanya itu bertikai nyaris mati.

“Mereka sudah kelewatan bu Sheva, belum genap satu semester saja sudah tercatat sepuluh kali mereka membuat pelanggaran. Sebaiknya kita kembalikan saja mereka kepada orang tua di rumah” suara Pak Sarno lantang dan menantang sistem yang ada di ruang konseling.

Abhiseva yang terhitung masih baru sepertiku, ia begitu bingung, masih banyak yang harus ia pelajari. Kemudian Pak Hendrik yang tubuhnya tak sebesar Pak Sarno namun suaranya sama-sama lantang ikut turut melerai. Pak Hendrik adalah senior Abhiseva yang cukup disegani di lingkungan kerja ini. Namun nampaknya permasalahan kedua anak tadi bukan malah membaik, malah membuat gaduh pak Sarno dan pak Hendrik. Sejatinya memang kalau menurutku, kenakalan dua anak ini sudah begitu menguji kesabaran para guru di sekolah ini. Reno, tahun ini sudah tidak naik kelas karena poin pelanggarannya sudah lebih dari seratus. Ia tercatat lima kali berkelahi, tiga kali mencuri, dan berkali-kali merokok di lingkungan sekolah. Sedangkan Satrio, walaupun ia adalah siswa baru, namun sudah tercatat tiga kali berkelahi dan membawa rokok ke sekolah. Selain itu, keduanya terkenal tidak sopan dan sering menantang para guru.

Siang ini terlewati dengan cerita yang cukup menantang. Namun pada akhirnya pak Hendrik berhasil memenangkan pertarungan antara guru konseling dan tim tata tertib. Dengan begitu, Abhiseva memiliki perkerjaan baru untuk melakukan home visit ke rumah Reno dan Satrio. Untuk kasus ini, aku sungguh masih belum tau apa yang harus aku lakukan. Aku takut salah arah, sehingga aku mulai belajar dengan mengamati yang ada. Aku sedikit malu dengan Abhiseva yang cukup berani untuk menangani sesuatu yang penuh delima.

Beberapa hari berlalu setelah dilakukan home visit, di ruang yang gaduh, guru-guru dikumpulkan. Ini adalah kenyataan hidup dan semuanya dituntut adil dalam menangani masalah. Argumentasi pertama disampaikan oleh pak Sarno. Beliau begitu menggebu-gebu karena takut masalah Reno dan Satrio menjadi-jadi.

“Mohon maaf bapak kepala sekolah dan guru-guru sekalian, saya terpaksa harus menjelaskan serinci mungkin. Saya rasa Reno sudah tidak bisa lagi diberi kesempatan. Bagaimana mungkin Sekolah ini memelihara seekor ular? Jelas sekali sudah satu tahun Reno diberi kesempatan. Tapi pada akhirnya melahirkan Reno-reno yang baru. Buktinya, Satrio, Rehan, dan Deni sekarang juga melakukan hal serupa. Saya takutnya nanti banyak siswa yang ikut-ikutan berbuat pelanggaran. Mau jadi apa sekolah ini? Saya rasa bukan rahasia lagi kenakalan Reno, poinnya juga sudah terlalu banyak.”

Sedangkan Pak Hendrik memiliki pendapat yang jauh berbeda dengan apa yang telah diungkapkan oleh Pak Sarno. Menurutnya dalam menangani kasus Reno, tidak perlu lagi melambungkan masalah di tahun pelajaran lalu. Karena kesalahan di tahun pelajaran sebelumnya Reno sudah diberi hukuman berupa tidak naik kelas. Oleh karena itu, sekarang poin pelanggaran yang dihitung adalah yang tahun ini. Pak Hendrik menjelaskan prosedur dengan nada yang lembut tapi tegas.

Dengan adanya pendapat Pak Hendrik, ruang guru menjadi seperti sidang DPR. Semua mempertahankan pendapatnya masing-masing. Aku hanya menyimak dan menyimpulkan ketidakpastian. Aku rasa aku perlu banyak belajar filsafat hukum. Lihat saja di ruangan ini, kepala sekolah seperti hakim, petugas tata tertib ibarat jaksa, dan guru Bimbingan Konseling layaknya pengacara. Tapi untuk menjadi bijaksana, semua itu perlu proses yang panjang, melihat senior yang sudah keriput saja masih banyak terpelanting pendapatnya sendiri.

Hari yang cukup melelahkan, aku pulang larut malam setelah mampir ke rumah tante di dekat sekolah sambil menemani anak tante belajar. Saat aku sudah mulai tidak fokus dengan jalanan, di persimpangan jalan aku melihat Reno yang tadi siang menjadi pokok pembicaraan. Reno yang bertubuh kecil itu sedang menjadi supeltas. Kebetulan aku menggunakan masker sehingga ia tidak menyadari aku sedang memperhatikannya. Melihat Reno, hatiku sungguh gelisah di sepanjang jalan. Aku rasa banyak sekali faktor yang mungkin mendorong Reno untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran di sekolah. Hidupnya terlihat berat jika pagi harus sekolah dan malam bekerja di jalanan yang keras.

Ke esokan harinya, aku yang masih tersentuh oleh apa yang ku lihat dari Reno tadi malam, mencoba untuk membagi ceritaku kepada jaksa di sekolah. Kemudian sentak semuanya menceramahiku dengan nada setengah kesal.

“Dik, kamu jangan muda terperdaya dengan yang kamu lihat. Reno memang sering bekerja atau bahkan membawa dagangan ke sekolah. Tapi dia itu kelakuannya sudah tidak bisa ditoleransi. Haduh, sudah tidak cocok dengan kelakuan buruknya itu. Lagipula hasil dari ia bekerja kan kita tidak tau dipakai untuk apa?”

Mendengar banyak sekali perkataan yang tidak-tidak tentang Reno akhirnya pikiranku turut terkontaminasi. Ditambah lagi waktu aku sedang menjelaskan di kelas, Reno dengan santainya tidur. Ketika ku tanya kenapa dia tidur? Apa yang dilakukannya malam tadi? Dia dengan berani menjawab main game hingga larut. Akhirnya perasaan ibaku luntur seketika.

Sidang ke dua penentuan nasib Reno di sekolah dimulai. Stigma negatif terhadap Reno sudah menyebar kemana-mana, termasuk dalam benakku. Saking banyaknya, pada akhirnya kepala sekolah memutuskan untuk mengembalikan Reno kepada kedua orangtuanya. Wajah penuh lega terlihat di setiap senyum guru-guru. Di pikiran mereka seperti merasa sekolah menjadi aman tanpa ada lagi yang membuat ricuh. Reno dianggap sebagai virus yang apabila tidak segera dibinasakan akan menyebar kepada anak-anak yang lain. Jujur sedikit terbesit di hatiku dan Abhiseva sebuah kelegaan pula. Entah kejahatan apa yang meracuni hati dan pikiranku.

Aku terlalu jenuh dengan hari ini, saat bel tanda penjara telah usai, aku langsung bergegas pergi. Alih-alih berharap ingin menghindari turunnya hujan malah jadi basah-basahan di tengah jalan. Walaupun sudah kepalang tanggung aku coba berhenti saja di kerumunan bapak tukang becak yang sedang berteduh. Tak seperti biasanya, aku diam saja, hanya melihat keringat yang bercampur semangat. Kemudian salah seorang tukang becak menegurku.

“mbak ini guru yah? Bagus yah masih muda sudah jadi guru. Tapi semoga ndak seperti guru-guru anak saya”

Aku yang masih muda ini hanya mendengarkan bapak tukang becak yang kurasa lebih paham mengenai diriku sendiri. Tanpa memberi jeda, bapak itu langsung bercerita banyak hal dengan mata berkaca-kaca.

“Saya punya anak yang sekarang masih sekolah di tingkat menengah pertama. Kata guru-guru di sekolah itu anak saya nakal dan bodoh. Dengan entengnya mereka menganggap anak saya ini sudah tidak layak lagi berada di sekolah tersebut karena nanti akan mempengaruhi anak-anak yang lain. Saya ini sudah sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk anak saya. Dulu sejak masih di bangku sekolah dasar saya sudah putus sekolah karena orang tua saya tidak mampu membiayai sekolah saya. Sekarang walaupun saya pas-pasan, saya berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak saya. Kalau saya baca tulis saja masih gelagapan, kemudian anak saya dikembalikan kepada saya, lalu siapa yang akan mengubahnya dari bodoh menjadi pintar mbak?”

Mendengar perkataan bapak itu, aku diam seribu bahasa. Aku masih tertahan di pangkalan becak sedangkan hujan sudah tertahan di tangan Tuhan. Aku sadar, Ya Tuhan, kenapa aku begitu picik menilai Reno. Apa fungsi sekolah jika bukan mengubah anak yang kurang pintar menjadi pintar dan anak nakal menjadi bermoral. Bukankah seharusnya itu juga yang harus aku lakukan sebagai guru. Jika muridku sudah pintar dan bermoral lalu untuk apa diriku jadi guru?

Aku yakin Reno ini adalah korban. Ia adalah korban dari pengusaha yang tamak, penguasa yang seenaknya saja, sistem yang bobrok, dan guru yang kurang ajar. Kemudian ia melakukan pemberontakan dan merevolusi dirinya sendiri menjadi tersangka. Di seluruh penjuru dunia ia bersalah. Padahal ia hanya tidak tahu bagaimana caranya mengatakan pada dunia bahwa dia sedang menjadi korban. kini aku baru sadar, aku ini mengabdi menjadi guru, bukan bekerja. Sehingga sampai kapanpun aku tidak pernah bisa menamai semua ini menjadi sebuah profesi.

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
2 tahun yang lalu 07/05/23
Menjamurnya Dai kualitas KW di masyarakat menjadi perbincangan dan kecemasan banyak pihak. Sebenarnya apa yang menjadi latar belakang merebaknya fenomena ini? Dari dapur mana mereka diramu? Bahkan hingga mengusik hegemoni, hingga memaksanya berbenah diri? Merekalah seorang ilusi atau solusi?

Perbincangan tentang Perda’ian di Indonesia memang bukan menjadi konsen pergulatan isu yang menarik. Sesekali saja isu ini ditarik ke permukaan tatkala Pak Mentri Agama mewacanakan sertifikasi Da’i. Hingga-hingga muncul guyon sarkas yang menceritakan tentang Khotib yang berhalangan hadir pada suatu Jum’at, lalu yang lain saling lirik dan tunjuk. “Pak ustadz sana gantiin pak khotib!”, seru salah seorang, lalu dijawab “kaga! Gua kan ga punya sertifikat.” Jawaban bernada alergetik dengan wacana Pak Mentri. Maka bubarlah suatu sholat Jum’at, tanpa terlaksana.

Saya tidak akan lebih jauh membahas tentang sholat Jum’at, akan tetapi saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk merenungkan tentang Da’i Pop yang marak semacam ini. Sikap alergetik yang muncul pada penggalan di atas adalah salah satu contoh saja respon unik dari pergulatan ustadz/da’i di masyarakat. Yang akan kita bahas adalah kenapa para Da’i Pop ini cenderung alergertik dengan wacana tersebut?

Kasus hangat beberapa minggu yang lalu berkaitan dengan salah tulis ayat seorang da’iyah pop akan mengantarkan kita pada suatu indikasi. Kenapa ya kok bisa seorang da’i bisa salah tulis, padahal menulis ayat adalah hal yang sangat elementer, terlebih ayat adalah dalil pertama dalam hukum syara’ Islam. Kok bisa? Padahal kalau dalam pendidikan diniyyah keagamaan, insya’ atau tulis menulis menjadi hal yang pertama diajarkan selain memcaba huruf hijaiyyah. Sekali lagi, kok bisa?

Lalu, fenomena da’i pop yang membuat testimoni, tentang akan gantung peci (red: pensiun ngustadz) jika syarat menjadi da’i adalah wajib bisa membaca kitab kuning. Aduh, ini semakin ngawur saja. Berarti dia beranggapan kalau menjadi da’i boleh tanpa kualifikasi pemahaman bahasa arab yang mumpuni? Ya ngawur. At least, untuk dai yang sifatnya regional kecil dan tidak mempunyai daya influence yang besar masih bisa dimakhlumi. Namun bila sudah diikuti dan mampu memberikan dampak bagi khalayak umum, gimana bisa kalo tanpa penguasaan bahasa arab yang baik? Lalu dari mana mereka menyandarkan pemahaman akan teks, metode penggalian? Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana mereka menjawab pertanyaan dari hadirin majelis, mengingat gaya dakwah sekarang selalu ada tanya jawab?

Bicara soal pemahaman bahasa, memang sedari lahir orang Indonesia tidak terbiasa dengan bahasa Arab dan tidak menjadi bahasa ibu. Dari warna vokalpun berbeda dengan apa yang ada di bahasa Arab dan yang ada di bahasa kita, bahasa Indonesia dengan segala kearifan budayanya. Misal saja ni, dalam bahasa Arab ada huruf ‘ain, oleh orang Indonesia khususnya jawa maka akan susah diucapkan. Maka ditariklah bahasa tersebut kearah jawa-jawaan. Alhamdulillahi robbil ngalamin... misal lain orang sunda, maka akan susah mengucapkan huruf fa’. Alip laam miim... begitulah, secara vokal kebahasaan memang sudah mempunyai halangan dalam mempelajari bahasa Arab.

Memang sih, untuk belajar bahasa Arab membutuhkan ketekunan yang lebih, mengingat untuk menguasainya beserta gramatikanya ada banyak displin ilmu yang perlu dipelajari. Dari nahwunya, shorofnya, nanti untuk lebih expert bagaimana ‘arudnya, baharnya, balaghahnya untuk memahami teks kuno, misal hadist, qoul sohabi, dll. Tapi, apakah untuk menjadi orang yang akan banyak ditanya tentang agama yang bersumber dari bahasa arab boleh lalai dengan bahasa pengantarnya (bahasa arab)? Saya rasa, utopis bagi mereka yang tidak paham bahasa Arab lalu ‘ndakik ndakik’ bahkan nyalahin orang yang mempunyai amalan berbeda.

Kembali kepada persoalan awal, lalu kenapa si mereka cenderung alergetik dan resisten pada wacana ini? Padahal sedari kompentensi terindikasi dari beberapa sampel sudah di bawah rata-rata. Atau mereka malu jikalau nantinya mereka terbongkar jika banyak yang tidak menguasai dirosah islamiyyah beserta bahasa pengantarnya? Kalau memang takut adanya penyeragaman, santai saja, jikalau memang ikhtilaf terus lempeng saja namun tetap dengan dalil otoritatif. saya kira wacara sertifikasi da’i penting adanya, jangan sampai da’i berbicara ngawur dan lebih bersifat spekulatif. Untuk menjadi operator crane saja butuh sertifikasi, dan program pelatihan intensif dan berbiaya mahal. Lalu apakah untuk menjadi da’i bisa hanya dengan halaqoh seminggu sekali selama 2 tahun? Oke well, saya rasa orang itu punya ilmu laduni.

Menutup, paragraf ini saya ingin bernostalgia dengan dawuh seorang guru saya di pesantren, “jangan harap kesuksesanmu datang dengan mudah, untuk mendapat madu saja harus rela tersengat lebah.”

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
2 tahun yang lalu 07/05/23
Refleksi yang akan saya hantarkan kali ini mencoba menyajikan sosok Kyai yang tetap bertahan di tengah deru derasnya Dai Pop dan faham trans-nasional, dengan kealiman dan kecerdasan lokal yang luar biasa serta dibarengi pendayagunaan teknologi masa kini.

(Baca: Episteme Dai Pop)

Gus Mus - Siapa yang tidak mengenal sosok Gus Mus? Sosok kyai zaman now yang turut andil besar dalam dunia pendidikan Islam, baik secara formal, in-formal maupun non-formal. Pendidikan yang saya maksud adalah bagaimana beliau secara ajeg mampu mengedukasi khalayak umum, tidak terbatas pada santri yang berada di lingkungan pondoknya diseputaran, Leteh Rembang. Bahkan, tidak melulu seorang muslim, orang non-muslim pun saya yakin pasti ada pula yang mengidolakan beliau

Bermuaranya tiga aspek sentral yaitu: globalisasi, demokrasi, dan teknologi menuntut khalayak ramai mulai beralih kepada penggunaan moda baru dalam hidup bermasyarakat dan juga beragama. Muara inilah yang disebut dengan era disruptif, yang mana bisa diartikan pula sebagai era dimana mulai ditinggalkannya moda, gaya, dan model lama dan digantikan dengan yang lebih fresh dan acceptable. Banyak orang mulai berbondong-bondong beralih dari pengunaan surat dan sms ke penggunaan pengiriman pesan instan, semisal whats app, facebook, dan aplikasi sosial media lainnya. Hadirnya era disruptif ini sudah mulai merubah tatanan sosial, yang dahulunya harus bertegur sapa secara langsung, namun saat ini cukup dengan mengirim pesan instan, atau misal mengunggah foto undangan walimah kita, maka orang yang dituju sudah bisa menerima pesan kita.

Hal yang sama juga terjadi untuk urusan beragama, khalayak ramai sudah dimanja dengan mudahnya belajar agama melalui youtube, tanya jawab “Mbah Gugel”, mereka tidak perlu lagi pergi ke surau/langgar untuk bertemu pak ustadz untuk tanya bagaimana cara berwudhu dengan benar. Ibu-ibu sudah tidak payah mengajari anaknya untuk membaca huruf hijaiyyah karena sudah ada boneka yang mampu menuntun anaknya belajar ngaji. Sah-sah saja hal tersebut dilakukan terlebih terjaminnya ‘kebebasan’ di era demokrasi yang didukung dengan teknologi ini. siapapun boleh menyediakan informasi (red; internet), dan siapapun pula bisa mengaksesnya.

(baca: Disseminating Values On Social Media)

Gus Mus Turun Gunung
Lalu, apakah yang dilakukan Gus Mus sehingga saya merasa penting untuk menulis ini? beliau adalah salah satunya sosok yang tentunya well-informed di bidangnya yaitu keagamaan, yang mampu momong khalayak ramai dengan penggunaan akses ini. Saya rasa magnit beliau tidak kalah kuat untuk menarik santrinya untuk hadir ke padepokannya sehingga bisa ngaji talaqi langsung dengan beliau. Namun beliau memberikan ruang kepada khalayak umum untuk bisa menjadi santri online melalui medium teknologi (i.e. twitter, facebook, instagram).

Ibaratnya, ada barang yang wes kadung jadi (red; teknologi, wa khususon internet), tentunya perlu ada perhatian sehingga tidak menjadi pisau yang matanya mengarah kepada kita. Namun bisa kita arahkan sehingga bisa tepat guna dan penuh manfaat. Mungkin ini yang saya baca dari apa yang dilakukan Gus Mus. Daripada internet dipenuhi konten dari orang trans-nasional, atau Dai Pop yang kurang well-informed, maka beliau dengan sangat bijaksananya berkenan turun gunung untuk menjadi salah satu pengisi ruang teknologi tersebut.

Gus Mus dan Kecerdasan Lokal

Dari sekian post yang dilakukan beliau tentunya tidak melulu santri online, atau sekedar orang mampir baca yang setuju dengan gagasan beliau serta orang yang memang alergetik dengan beliau. Entah memang tidak setuju atau berangkat dari kurang mampunya mencerna subtansi apa yang beliau ungkapkan. Ketidak setujuan ini banyak tertuang dengan bentuk nyi-nyiran, kalimat sarkas, dlsb. Bahkan beberapa ada yang tega menfitnah beliau, atau mencatut guna tujuan yang buruk. Namun, apa yang menjadi respon beliau? Beliau selalu menyikapi dengan teduh, kalimat yang santun dan dialogis, serta penuh dengan roma tawadhu. Bahkan sesekali malah beliau yang meminta maaf dahulu, meskipun tidak bersalah.

Gus Mus Sebagai Role Model Kyai Zaman Now

Dari beberapa karakteristik Gus Mus ini tentunya diharapkan mampu menjadi pendorong semangat daripada santri calon penerus. Menjadi pemantik para mutakhorij pondok yang sedang terjerembab pada sikap tawadhunya. Menjadi inspirasi bagi ustadz-ustadzah lainnya untuk mampu menjadi Dai yang well-informed, santun, dan lihay dalam pendayagunaan teknologi. Sehingga harapannya, orang yang mengisi database internet khususnya rubrik keagamaan adalah kalian, santri dan ustadz yang ga mungkin salah tulis Al-Quran.

Apabila ada salah dan khilaf mohon maaf,

2 tahun yang lalu 07/05/23

Ibarat sebuah pertandingan, pilkada 2018 merupakan semifinal  kontestasi panjang pertandingan politik menuju helatan final: pilpres 2019. Pilkada 2018 juga menjadi pembuktian sejauh mana mesin sebuah partai bekerja. Semakin banyak ‘jago’ sebuah partai menang di kontestasi pilkada, tentu akan berpengaruh pada bargaining position parpol tersebut di koalisi pilpres 2019.  Ada 171 gelaran pilkada yang dilangsungkan sepanjang 2018 di 17 provinsi. Pemilih pilkada di 171 wilayah di Indonesia itu mencerminkan sekitar 70% pemilih di 2019.

Di negeri asalnya, kemajuan demokrasi menjadikan negara-negara yang menganut sistem politik ini kuat secara ekonomi, politik, budaya dan militer. Nyatanya,  di Indonesia ‘gulali-gulali’ tersebut demokrasi masih jauh panggang dari api. Reformasi yang melahirkan demokrasi nyatanya masih sebatas legalistik-formalistik, belum menyentuh aras substansi. Pilkada yang membuka keran  potensi lahirnya tokoh-tokoh lokal yang berkualitas, nyatanya justru mengekalkan banyak masalah: politik dinasti atawa politik kekerabatan atau yang terbaru menguatnya politik identitas seperti yang terjadi di jakarta.  Pertanyaannya, dengan perbedaan karakteristik masyarakat yang heterogen (majemuk) dan budaya politiknya, jangan-jangan Indonesia memang tidak cocok dengan pilihan sistem politik demokrasi ini?

Tantangan Kompleksitas proses demokrasi di Indonesia dapat digambarkan dengan peralihan kewenangan dari satu Pemerintah Pusat yang sangat dominan ke lebih dari 400 pemerintahan lokal (kabupaten/kota). Dinamika politik di daerah menunjukkan masih kuatnya budaya paternalistik yang pada akhirnya melestarikan tumbuh-semainya politik dinasti. Politik dinasti diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Memang, tidak semua fenomena ini menghadirkan praktek yang jelek karena adanya kemajuan dan kesinambungan pembangunan di daerahnya. Namun, tidak sedikit justru menimbulkan persoalan baru karena adanya hegemoni atas berbagai sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat.

Fenomena inilah yang kemudian menjadi kritik masyarakat atas berbagai fakta di lapangan yang mengarah pada terciptanya sebuah dinasti politik di daerah. Meskipun cara seperti itu tidak dapat disalahkan, baik secara aturan (sebelum UU No 8/2015 lahir) maupun secara proses demokrasi, faktanya persoalan politik dinasti tersebut telah mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Ari Dwipayana pernah  menyatakan bahwa tren politik kekerabatan atau politik dinasti itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

Gejala ini menunjukkan budaya politik (political culture) tidak sejalan dengan prilaku politik (political behavior). Nilai-nilai demokrasi berlawanan dengan prilaku politik uang, pilkada di banyak daerah justru dijadikan komoditas dan gambaran paling nyata hubungan mutualisme masyarakat dan calon pemimpinnya. Entah lupa,  pendek ingatan atau amnesia, senyatanya,  praktek ‘demokrasi’ stempel ini masih dan terus berlangsung. Fenemena tersebut, entah merupakan bentuk keengganan, kecuekan atau justru menjadi  pilihan sadar yang menyindir sistem politik demokrasi, bahwa rakyat sebenarnya tidak peduli dengan ragam sistem politik apapun, selama urusan politik‘perut’ mereka beres.

 

Kegagalan parpol, gagalnya demokrasi substansial?

Konteks membangun demokrasi yang substansial, seharusnya mengedepankan pertimbangan etika dan kepantasan politik ketimbang mencari celah atas norma undang-undang yang tidak bisa mengatur secara rinci dan akan tetap memiliki celah untuk disiasati. Dalam konteks membangun demokrasi yang substansial, seharusnya kita harus mengedepankan pertimbangan etika dan kepantasan  politik ketimbang mencari celah atas norma undang-undang yang tidak bisa mengatur secara rinci dan akan tetap memiliki celah untuk disiasati. Dinasti politik yang kita temukan di sejumlah provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa suara rakyat semakin tak berharga. Niat untuk berkuasa selamanya sejatinya sudah bersifat anti demokrasi (undemocratic) karena menghambat hak orang lain untuk menjalankan pemerintahan. Dalam dinasti politik, partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Politik Dinasti dapat membuat orang yang tidak berkompeten memiliki kekuasaan, tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Membiaknya politik dinasti, politik uang, politik identitas dan lain sebagainya itu dibanyak gelaran pilkada juga menjadi penanda tidak bekerjanya sistem partai politik. Partai-partai cenderung pragmatis. Partai berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh kekuasaan dan melaksanakan kekuasaan tersebut dengan mengamankan orang-orangnya di banyak posisi stategis, calon-calon dalam pilkada itu seringkali bukanlah kader yang emniti karir dari bawah. Repotnya, partai memengaruhi kekuasaan dan melancarkan ‘tekanan-tekanan’ atas kekuasaan yang sedang berjalan.

Terlebih dalam kultur yang masih bersifat primordial-paternalistik, parpol gemar memainkan emosi masyarakat demi meraih tampuk kekuasaan, sehingga tujuan dan program kerja partai sebagaimana dituangkan dalam UU NO. 2 Tahun 2008 bukanlah isu utama yang harus diimplementasikan.

Walhasil, praktek laju demokratisasi ternyata tidak selalu mulus dan berjalan sebagaimana teori dalam handbook dan ruang perkuliahan. Realitas di lapangan, membuktikan terjadi dialektika dan benturan kepentingan yang menyumbat proses demokrasi. Contoh nyata adalah bagaimana massifnya pragmatisme politik yang dipertontonkan dalam pilkada, semakin menyeruak kesadaran kita. Ah, barangkali tidak keliru jika ada yang mengatakan, terkadang, demokrasi itu mati, justru melalui proses-proses yang demokratis?  Wallahu A’lam.

Ahmad Ali Adhim Ahmad Ali Adhim
2 tahun yang lalu 07/05/23

“Jangan Sia-siakan Masa Mudamu, Belajar yang Rajin dan Sungguh-sungguh. Perihal Cinta Pasrahkan Saja Sama Allah, Umat Sedang Menantimu.”

Itulah penggalan kalimat motivasi dari Ning Biyati Ahwarumi, direktur Perekonomian Pesantren Sunan Drajat Lamongan, yang berhasil mengajak santri-santri nya untuk mandiri, ia selalu mengajarkan semangat juang juga sikap optimis terhadap kejayaan ekonomi Islam di masa yang akan datang, sebuah kejayaan yang mempunyai proyeksi besar untuk membantu dakwah Islam yang mulia, mensejahterahkan masyarakat dalam ruang bercahaya yang bernama ekonomi Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin.

Perempuan kelahiran 12 Juli 1989 ini adalah putri dari Prof. Dr. KH. Abdul Ghofur, seorang Ulama yang mengasuh 12.000 santri di Pesantren Sunan Drajat Lamongan. Sejak kecil ia berbeda dengan saudara-saudaranya, ia mencintai musik, maka tidak mengherankan ketika diundang oleh komunitas Semesta Maiyah Lamongan 2017, ia lihai memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu Islami. Masa remajanya ia habiskan di Pesantren yang didirikan oleh Abahnya sendiri. Ketika beranjak dewasa, ia memilih melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun 2007, selain itu ia juga mengenyam pendidikan di Wearnes Education Center tahun 2009.

Saat menjadi mahasiswa di UIN Maliki Malang, ia merupakan seorang aktifis yang dikenal santun dan rendah hati. Beberapa organisasi yang pernah ia jadikan tempat berproses dan mengabdi adalah; BEM Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang, PMII UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, SESCOM, dan LKP2M UIN MALIKI Malang. Data itu ada pada dari riwayat Hidup yang ia cantumkan dalam Skripsinya yang telah ia pertanggung jawabkan di kampus kenamaan di Kota Malang. Dengan keseriusannya dalam belajar, juga tak lepas dari doa orang tuanya Pada 24 Maret 2011 ia menyelesaikan studi nya dengan predikat Cumlaude.

Ketika berhasil menyelesaikan pendidikan nya di malang, Biyati Ahwarumi tidak kebingungan akan kemana ia harus mengabdi? Perusahaan atau lembaga mana yang akan menampungnya? Allah tidak pernah menyia-nyiakan hambanya yang “selalu semangat menuntut ilmu” dan memperjuangkan Agama. Iapun kembali ke pesantren yang didirikan oleh Abahnya di Desa Banjaranyar Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

Di daerah itulah pada tahun 1485 Masehi, Sunan Drajat dicatat dalam sejarah sebagai tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam yang ada di wilayah Lamongan. Raden Qosim atau Sunan Drajat mendirikan pondok pesantren di satu petak tanah di Kampung Jelak, saat ini peninggalan Sunan Drajat itu terletak di areal Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat. Diceritakan oleh Kiai Abdul Ghofur bahwa Sunan Drajat pernah mengatakan “barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur.” Karena do’a Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat Raden Qosim, hingga saat ini Pesantren Sunan Drajat masih menerima ribuan santri dari seluruh Indonesiauntuk menimba Ilmu.

Biyati Ahwarumi sebagai seorang sarjana juga seorang pengabdi masyarakat yang selalu haus terhadap aktifitas sosial, ia memutuskan untuk mengikuti perjuangan Abahnya, ia mengetahui bahwa perjuangan menghidupkan kembali Pesantren peninggalan Wali Songo yang sempat nyaris terkubur oleh sejarah bukanlah pekerjaan mudah. Mulailah ia mengabdikan dirinya di Toserba Pesantren Sunan Drajat. Di sana ia mulai belajar bagaimana menjadi seorang pengusaha yang sukses, bagaimana agar kesuksesan itu tidak semata-mata untuk dirinya dan keluarganya sendiri. Selain itu, ia juga belajar bagaimana menjadi seorang manajer yang baik bagi rekan-rekan kerjanya yang juga merupakan santrinya.

Karena pada saat Toserba Sunan Drajat dipimpin Perempuan yang sering disapa “Ning Betty” itu mengalami banyak perubahan dan perkembangan, pada tahun 2014 datanglah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya untuk melakukan penelitian terhadap gaya kepemimpinan Biyati Ahwarumi. Model kepemimpinan seperti apakah yang biyati Ahwarumi gunakan? Dalam penelitian yang ditulis oleh Fathiyatuz Zahroh itu dikatakan bahwa Biyati Ahwarumi seorang wanita yang dermawan, gesit dan berwawasan luas, ia mempunyai gaya kepemimpinan situasional teori dari Hersey dan Blanchard, merupakan gaya kepemimpinan yang paling efektif dilaksanakan secara berbeda-beda sesuai dengan kematangan karyawan. Lebih jauh lagi peneliti dari UIN Sunan Ampel Surabaya itu mengatakan bahwa gaya kepemimpinan direktur Toserba Sunan Drajat ini sangat religius dan selalu memotivasi karyawan dengan hikmah-hikmah dan kearifan “bahwa ibadah yang paling tinggi adalah ketulusan dan kejujuran dalam bekerja.”

Dalam Majalah SAINS Indonesia edisi 18 pun mengatakan bahwa Biyati Ahwarumi selalu memikirkan bagaimana keberlangsungan kehidupan santri di masa yang akan datang. Di majalah itu tertulis “Paling tidak, setelah keluar dari Pondok Pesantren Sunan Drajat ini mereka (santri-karyawan) sudah mempunyai bekal, terutama dalam pengolahan produksi Garam konsumsi.” dalam Majalah SAINS Indonesia itu dikatakan bahwa Pesantren Sunan Drajat mengelolah produksi Garam Beryodium Samudera itu bekerjasama dengan Balitbang KP dan Universitas Hang Tuah.

Manakala Biyati Ahwarumi bersama tim Perekonomian Sunan Drajat, ia mulai membuka pembicaraan.

“Bergembiralah, Allah telah menganugerahkan sebuah nikmat untuk engkau.” Kata Biyati Ahwarumi

“Apa Itu Ning?” tanya santri (tim Perekonomian Sunan Drajat)

“Masa Muda kalian habiskan di Pesantren untuk belajar Ilmu Agama juga belajar berbisnis, semoga kelak kalian menjadi pengusaha yang sukses dan mampu menciptakan lapangan kerja di masyarakat, jika kalian tetap istqomah di jalan Allah, insya Allah masa depan ekonomi Islam ada di Pesantren”

Masya Allah, alangkah indahnya dialog antara Bu Nyai (Direktur) dan Santri (Karyawan) ini, mengindikasikan sebuah ungkapan yang diam-diam menyimpan harapan juga doa, diliputi cinta yang tulus. Mereka saling mendoakan kebaikan agar aktifitas dan usaha yang mereka lakukan tidak melulu hanya berorientasi kepada dunia.

Di usia nya yang terhitung muda, kini ia membidangi beberapa Unit Usaha Pesantren Sunan Drajat. Diantaranya adalah; dalam bidang Industri (PT. SDL, CV. Air Mineral Aidrat, Jus Mengkudu Sunan, Kemiri Sunan, Garam Samudra, Konveksi, Percetakan, Kecap Ikan Srikandi, SANDARA Alas kaki ala santri) bidang Bisnis Retail/Perdagangan (Toserba Sunan Drajat, Toko Buku Sunan Drajat, Kantin Sunan Drajat, Foodcourt Sunan Drajat, Rumah Makan Sunan Drajat, Bakso Ikan Jasudra) di bidang Bisnis Jasa (Laundry Sunan Drajat, Fotocopy, Warnet) di bidang Media (Persada TV, Radio Persada) di bidang Peternakan (Peternakan ayam petelor, Peternakan kambing, Peternakan Sapi). Semua Unit usaha bisnis pesantren dikelola dan dikembangkan oleh santri Pondok Pesantren Sunan Drajat (santripreneur), mereka bercita-cita Membangun “Entrepeneur Rahmatan Lil Alamin” motto yang dijadikan prinsip adalah Excellent Service With Spirituality”.

Perempuan yang sering mengisi seminar entrepreneur di berbagai tempat ini mengelolah Perekonomian Pesantren Sunan Drajat sambil menyelesaikan Program Magisternya nya di UNAIR jurusan Akuntansi, dan kini ia sedang menyelesaikan Program Doktoralnya di Pascasarjana UNAIR Jurusan Ekonimi Islam. Saat kami mengumpulkan data dari berbagai sumber dan langsung wawancara bersama Wanita Inspiratif  jaman Now ini. Beliau berpesan agar “sebagai seorang pemuda jangan terlalu larut dalam Cinta, mikirin cinta itu buang-buang waktu, ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan, yaitu merintis karier hingga sukses, ingat pesan Abah, hidup sekali harus Sukses dan Berguna bagi yang lain. Biarlah yang ngurus cinta Gusti Allah saja, ummat masih banyak yang perlu dibantu. Boleh mikirin jodoh, tapi jangan baper-baperan, baper itu menghabiskan energi, menghabiskan nasi hehe“

Alngakah indah dan bijaksananya ucapan Perempuan yang tergila gila dengan Siti Khadijah ini, seorang muslimah yang tak pernah gentar dengan resiko yang akan ia hadapi tatkala menomerduakan Cinta demi Agama. Sebagaimana Rabiah Al-Adawiyah (Ikon Cinta Tuhan), diceritakan oleh KH. Husein Muhammad dalam karyanya yang berjudul “Memilih Jomblo, kisah para intelektual muslim yang berkarya hingga akhir hayat.” Rabiah Al-Adawiyah tak menikah dan tak ingin menikah dengan laki-laki siapapun. Ia menolak lak-laki yang datang kepadanya, sekaya, sebesar dan setinggi apapun keilmuan dan kehebatan laki-laki itu. Seluruh hidupnya diliputi oleh gairah cinta kepada Tuhan.

Sedangkan Biyati Ahwarumi? Ia teguhkan hatinya dan mental santri-santrinya untuk menyongsong masa depan dengan penuh keyakinan kepada Allah, karena ia tahu, “asalkan semuanya lillah, tak ada lelah yang tak menjadi berkah.” Benarlah sabda Nabi SAW : “Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim). Lihatlah keberkahan Wanita Sholihah, motivasinya agar santri-santri yang menimba ilmu di Pesantren berkeinginan mengabdikan dirinya untuk Agama Allah.

Wanita Shalihah meraih surga dengan mengabdi kepada Orang tua dan Agamanya, kemudian kepada suaminya kelak. Manakalah wanita shalihah sudah mempunyai suami, ia akan memotivasi suaminya agar menjadikan akhirat sebagai cinta tertinggi. Ahlaq wanita adalah Inner Beauty, sampai kapanpun tidak akan bisa tertandingi oleh fisik yang lebih sering dihargai dengan materi, bukankah kecantikan fisik itu fana? Memang Biyati Ahwarumi tidak mengandalkan nama besar Abah nya, ia pula tidak pamrih dengan kesuksesan yang ia miliki, namun ia adalah Ratu Sejati di Istana Pesantren Sunan Drajat menggantikan Almarhummah Ibunya (Nyai. Hj. Ummi Kamilah)

Begitulah perjalanan Hidup Wanita Inspiratif dari Pesantren Sunan Drajat Lamongan. Lalu bagaimana dengan prinsip hidup kita sekarang? Masihkah kita secara buru-buru untuk menerima  dan menyatakan Cinta atau memutuskan untuk segera menikah? padahal masih banyak ruang-ruang di Masyarakat yang membutuhkan kontribusi nyata kita. “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 90).

Wallahu A’lam.

*Artikel ini pernah diterbitkan di Majalah Media Santri NU Edisi VI-2017

Adha Ginanjar Adha Ginanjar
2 tahun yang lalu 07/05/23

Ini aku, dengan segala daya

Kala mengawal hati nan suci

Menggema seantero negeri

Beri kau tubuh air di hati kami

Aku sang pembawa pesan perdamaian

 

Indah dalam takjub do’a Ah! Ku ingin hidup sekali lagi

Angin memelukku menghantarkan padanya

Dulu senyum itu mati, kini hidup kembali

Rindu bersemi hari, tatkala muram tak membekas

Memupuk harapan hilang seindah cakrawala

Gelas kosong itu telah terisi

Mata angin mutiara peradaban: Kupersembahkan

 

Kemanusiaan termaktub dalam rumah kami: Untukmu

Rasakan benih cinta sang pengembara bumi

Izinkan aku terlahir kembali

Sirna, seteguk nikmat terobati

Kulantunkan syair keagungan

Terakhir kali kau menari

Dalam sujudku bersyukur kembali ke rahim Ibu Pertiwi

Ahmad Murjikin Ahmad Murjikin
2 tahun yang lalu 07/05/23

Kata filsafat diadopsi dari bahasa Yunani filosofia yang berasal dari kata filosofein yang artinya mencintai kebijaksanaan. Filsafat juga berasal dari kata philosophis (Yunani), yang jika diuraikan menjadi dua suku kata philein (kata kerja) yang artinya mencintai, atau philia yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kearifan. Pemahaman mendasar secara harfiah ini melahirkan sebuah kata dalam bahasa Inggris Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan“.

Pemaknaan kata filsafat di atas belum sampai pada pemahaman terminologi, sebab pengertian “mencintai” belum memperhatikan keaktifan seorang filosof untuk memeperoleh kearifan dan kebijaksanaan. Pengertian yang lazim berlaku di Timur (Tiongkok dan India), seseorang dikatakan sebagai filosof jika dia telah mendapatkan atau meraih kebijaksanaan. Sedangkan menurut pengertian yang lazim di Barat, kata “mencintai” tidak harus mendapat kebijkasanaan karena itu adalah elemen integral pada filosof atau “orang bijaksana”.

Ada beberapa definisi yang telah diberika oleh pemikir atau filossof:

Plato (427 SM – 348 SM): “Filasafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli”.

Aristoteles (382 SM – 322 SM): “Filasfat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandugn didalamnya ilmu – ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika”.

Al Farabi (870 M – 950 M): “ Filasfat adalah ilmu pengetahuan tentang alam bagaimana hakekat sebearnya”.

Descartes (1590 M – 1650 M): “Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan”.

Immanuel Kant (1724 M – 1804 M): “Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang menckup di dalamnya beberapa persoalan:
Apakah yang dapat kita ketahui? (Jawabnya: Metafisika)
Apakah yang harus kita kerjakan? (Jawabnya: Etika)
Sampai dimanakah harapan kita? (Jawabnya: Agama)
Apakah yang dimanakan manusia? (Jawabnya: Atropologi)

Harun Nasution: “Filasafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dan bebas (tidak terikat tradisi,agama atau dogma) dan dengan sedalam–dalamnya sehingga sampai ke dasar – dasar (akar) persoalan”.

I.R Poedjaeijatna: “Filsafat adalah ilmu yang mencari sebab yang sedalam – dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada”.

W.M Bakker SY: “Filsafat adalah refleksi rasional atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakekat dan memperoleh hikmah".

Hasbullah Bakry: “Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu”.

Memaknai filsafat sebagai “cinta akan kebijaksanaan”, maka muncul pertanyaan: apa sih "kebijaksanaan" itu? Yang jelas kebijaksanaan itu bertali-temali dengan mengerti (know) dengan pengetahuan (knowledge). Namun, tidak setiap “mengerti” itu kebijaksanaan atau bahkan bisa dikatakan sebagai filsafat.

Refleksi manusia terhadap realitas mungkin berawal dari berbagai ekspresi yang menuntut untuk mempertanyakan, seperti ketakjuban atau keheranan, ketidakpuasan, keraguan atau kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan (ketidakberdayaan). Disadari maupun tidak, ada upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut secara sistematis, logis dan mendasar, Plato dan kawan-kawan menyebutnya sebagai filsafat.

Filsafat secara objektif dapat dipandang dari dua segi: pertama, dilihat dari segi hasil pengetahuan. Kedua, filasafat dilihat dari segi aktifitas budi manusia. Dilihat dari segi pengetahuan, filasfat adalah jenis pengetahuan yang berusaha mencari hakikat dari segala sesuatu yang ada.

Jadi, berbicara tentang filsafat, ada dua kemungkinan perspektif yang perlu dipahami. Pertama, berbicara tentang jenis pengetahuan yang disebut filsafat, atau Kedua, aktifitas budi manusia dalam mencari keterangan yang terdalam tentang segala sesuatu yang ada.

Mungkin sampai disini dulu pemahaman awal kita menganai filsafat sebagai bekal dasar kita berdiskusi. Jika teman-teman sudah mulai merasa kebingungan, berarti saya sudah berhasil mengajak berfilsafat. Pembahasan selanjutnya mungkin akan menguraikan objek dan ruang lingkup filsafat.

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
2 tahun yang lalu 07/05/23

Suatu fenomena masa kini ditandai dengan merebaknya ustadz ustadzah di masyarakat, dengan menggenggam pengakuan atas kelihay-an retorikanya, merangkai terjemah ayat-Nya demi meraih ridho-Nya.

------

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya (Baca: Pendekatan Kontras pada Pendidikan, Relevankah?) yang ingin mencoba melihat benang merah fenomena yang terjadi di Negeri ini. Telah dibahas pada tulisan saya sebelumnya yaitu ringannya dalam memberikan label ekstrim kepada orang lain, yang mana tidak memiliki pemahaman yang berbeda akan teks yang sama. Label-label bi’dah, musyrik, bahkan kafir mudah untung terucap secara tidak sadar oleh mereka. Tidak hanya itu, bahkan ada seorang yang ringan sekali berbicara “...tumpahin darahnya”. Secara analisa linguistik perkataan yang keluar layaknya murni dari benak yang terdalam. Ini tandanya internalisasi pendekatan kontras dalam pendidikan sudah tidak terbendung, dan memberikan dampak sikap yang universal. Daya dampak yang dirasakan tidak hanya melulu pada bagaimana manhaj/paradigma mereka berfikir, namun juga qouliyah/ perkataan dan fi’liyyah/ perbuatan, serta taqrir/kebijakan. Tentu ini sudah kebablasan dan sudah kurang sesuai untuk berkembang di Indonesia yang lebih moderat dalam manhajnya.

Sebelumnya, Dai Pop itu apa sih? Istilah ini bukan murni saya yang menemukan, melainkan dari beberapa pemaparan ahli, dosen STAI ternama di Sumatra. Dai Pop diartikan sebagai Dai/ Pendakwah yang mempunyai popularitas dan memberikan dampak pada masyarakat menuju arah populis. Indikator kepopuleran mereka dapat dilihat dari tingkat popularitas di masyarakat, seringnya muncul di televisi nasional, berparas menjual, memiliki akun sosial media seperti twitter, instagram, youtube yang diikuti banyak orang. Lalu siapakah sebenarnya Dai Pop itu? Bagaimana latar belakangnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya mencoba melihat sample purposive, misal saja Ustadz Slmd, Ustadz TW, Ustadzah OSD, dll. Dari beberapa ini menjadi keperihatinan saya. Kegelisahan saya ini tentunya berlandaskan, bagaimana bisa hal yang sifatnya prinsipil akan dijabarkan oleh orang yang tidak memiliki otoritas. Otoritas yang dimaksud adalah kualifikasi kemampuan sesuai dengan standart dan bidangnya sehingga mampu memberikan penjelasan yang tepat. Namun bilamana kurang memiliki kualifikasi biasanya akan ngawur adanya, atau hanya membuat lelucon yang dibuat-buat dan jauh dari spirit dakwah nabi. Masih ingat kan dengan jargon, “jamaah... oh jamaah..?”.

Ini menjadi tugas pendidikan baik itu yang bersifat formal, non-formal atau informal yang mana akan menyuplai Dai-dai masa depan. Seharusnya pendidikan mampu memberikan jaminan akan outputnya sehingga mampu memenuhi standart minimal yang diperlukan untuk menjadi seorang dai, lebih-lebih ustadz. Misal, pondok pesantren ya setidaknya bisa mengkhatamkan machali atau minhaj (nama buku literasi yang membahas islamic jurisprudence, familiar dengan sebutan kitab kuning) sebelum dilepas ke masyarakat.

Lalu bagaimana dengan dai yang belajar otodidak? Ya, meskipun saya sebenarnya tidak setuju dengan prinsip ini, karena menurut kepercayaan saya dan insyaAllah sahabat-sahabat saya pasti akan mengatakan jika belajar itu wajib dengan guru. Namun, secara kasuistik juga tidak menutup kemungkinan ada ustadz yang memang memiliki kemampuan lebih karena giatnya belajar mandiri. Atau mungkin memiliki kemampuan istimewa yang mana sering santri sebut ilmu laduni. Ya boleh saja, namun apakah kuantitas orang yang memiliki kualitas dan karakteristik seperti ini banyak? Hanya segelintir orang yang mampu memiliki keistimewaan ini.

Ditambah dengan kasus tempo hari yang sempat menggegerkan jagad Indonesia, tentang salahnya tulis ayat pada acara kajian Islam yang disiarkan televisi nasional. Tentu hal-hal seperti ini harus segera dikendalikan. Jika memang memiliki kemampuan atau kekuatan yang bisa diharapkan, dan etos belajar yang tinggi, boleh saja dai pop ini diberikan pembekalan lebih sehingga bisa mengupgrade kompetensinya. Namun apabila memang sudah tidak ada peluang kesana lebih baik menjadi profesi yang lain.

Pada sisi yang sama ini menjadi pertanyaan kepada pemegang otoritas; santri, kyai dan pendakwah ulung bagaimana menyikapi tantangan ini?

Begitulah uneg-uneg saya sembari menunggu pesawat delay.
(Semarang, 27 Des 2017)
Bersambung... (Kyai di Era Disuptif)

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
2 tahun yang lalu 07/05/23

Libur Natal telah tiba. Saya berubah menjadi pembenci hari libur. Tentu saja karena ada masa depan yang melayang-layang dan harus saya tangkap di sekolah.

Masa depan itu bukan tentang karir atau obrolan kepandaian mencari uang. Masa depan yang saya cari adalah kebahagiaan yang tak terdeposito di bank, karena kebahagiaan saya berupa rasa puas dan bangga saat mampu mbahagiakan Putri binti Kasturi.

Liburan ini sangat menyesakkan. Dari pagi sampai entah matahari kini berusia berapa, tidak ada yang saya lakukan, hanya bisa menggeliat ke kanan dan ke kiri seperti ular yang baru makan tikus. Lebih parahnya, saya tidak bisa melihat keagungan tuhan di wajah putri.

Semoga saja putri punya inisiatif untuk mencurahkan kerinduannya. Karena saya takut kerinduan putri mulai menggelembung dan menghambatnya beraktivitas.

"Tapi apa yang sekarang bisa saya lakukan?" Gumamku dalam hati. "Oh iya, saya siapkan puisi saja untuk pertemuan setelah libur panjang" jawabku tanpa berfikir jernih, hanya kegilaan yang menuntun karena tak punya solusi.

Ehm,.... Tes satu dua. Apa yah... Ehm.
Putri
Wanitaku titipan semesta
Bidadari nyata yang tersisa
Mawar merah tak berduri
Purnama tak berbintang

Apa lagi yah? Hmm... Ternyata membuat puisi tidak segampang membuat tugas pak Johan. Mungkin karena liburan ini terlalu panjang, wajah dan pesona putri berhenti di imajinasi saya yang terkapar di tempat tidur.

Sambil melamun memandang foto putri di atas meja dan barisan semut di depannya yang bergotong royong memikul sisa makanan saya di piring yang tidak dicuci karena kepedulian saya pada semut, saya terus mencari diksi sambil memetik gitar bernuansa minor.

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar pagiku tak seterang siang
Agar senjaku tak segelap malam

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar terisi perutku dengan makanan
Agar terisi paru-paruku dengan udara

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar tetap terbuka mataku tanpa binar
Agar tetap terdengar bising kegaduhan semesta

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar tanah masih bisa kuinjak
Agar langit masih bisa kutatap

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar tersisa untuk kau simpan
Agar masih harus kau curahkan

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar kelak kita duduk bersama
Agar kelak kugandeng anak-anak kita

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Hingga saat nafasku mulai terbata
Dengan kerinduan sepenuh hati kau meng-eja.

Saya masih terus memetik gitar dengan mata terpejam dalam, berfikir keras untuk titik klimaks dari puisi ini. Saya eratkan pejaman mata, namun tetap tidak bisa menemukan kata-kata lagi. Akhirnya saya ulang bait terakhir dengan petikan pelan dan intonasi yang sok keending-endingan.

Sampai saat nafasku mulai terbata, dengan sepenuh hati kau rela di sampingku untuk meng-eja.

Jereeeeeeeeng...