Op-ed
Pendekatan Kontras menjadi salah satu metode pendidikan yang banyak dilihat oleh beberapa kalangan pendidik, baik dari segi pelaku, pemerhati, dan bahkan orang yang tidak begitu setuju dengan model tersebut.
Pendidikan kali ini memasuki era baru, yaitu era disruptif, Era dimana tantangan menjadi lebih komplek. Kompleksitas ini terjadi karena tiga arus utama zaman ini sebagaimana telah saya singgung pada tulisan sebelumnya (Diseminating Values…) yaitu globalisasi, demokrasi, dan teknologi bermuara bersama. Dari sini membawakan kita pada babak baru yaitu terbukanya jendela secara lebar. Ada banyak warna baru yang masuk ke Pendidikan Indonesia, baik yang memang asli budaya Indonesia atau yang diimport masuk ke Indonesia.
Pendekatan Kontras, salah satu yang sedang digandrungi Guru Agama Muda dan Dai Pop akhir ini. Pendekatan ini adalah bagaimana memberikan penjelasan kepada murid atau jullas pada sebuah majlis taklim dengan menyuguhkan dua perspektif, yaitu yang baik atau buruk, haq atau batil. Paradigma yang dibentuk adalah mengarahkan para murid untuk mampu menerima dan menginternalisasi hal yang baik, dan menegasikan seluruh hal selain baik (buruk). Pendekatan kontras apabila dilakukan menerus, maka akan membuat para murid mempunyai keteguhan hati dalam menggenggam hal yang baik dan disertai dengan sikap tidak setuju dengan hal yang buruk. Sikap ini acapkali diwujudkan dengan perjuangan oleh para murid kepada orang yang mereka anggap buruk untuk mengikuti mereka.
Pada sisi ini, pendekatan kontras pada pendidikan mempunyai dampak baik. Karena mampu mengarahkan murid yang bisa memegang teguh prinsip. Tujuan pendidikan meliputi muatan-muatan nilai dapat tercapai, tercermin dari muridnya yang mulai menunjukkan perubahan. Misal saja, temen-temen putri yang sebelumnya belum berjilbab, saat ini berjilbab, yang sebelumnya tidak jamaah di masjid, sekarang sudah sebaliknya. Ini menjadi indikator keberhasilan pendidikan karena kompetensi sikap mulai ada perubahan.
Pada sisi lain, pendekatan kontras juga memberikan efek samping. Pendekatan kontras yang semula sudah ada sejak tahun 1912an, lalu menjadi tumpah ruah, riuh setelah gulingnya orde baru sebagai akibat dari terbukanya demokrasi serta jebolnya kran arus informasi dari luar negeri, ini membawa dampak yang juga bisa membahayakan. Pendekatan kontras ini bah pisau bermata dua, karena boleh jadi kalau digunakan tidak tepat bisa kebablasan atau tidak tepat guna. Misal saja, pada kali ini banyak kalangan muda newbie menjadi murid yang berani untuk “beraksi”. Pemahaman yang mengendap dalam diri mereka akan kontrasnya suatu hal mengantarkan suatu problematika tersendiri. Karena terbiasa disuguhi dengan hal yang baik dan selainnya tidak baik, mereka menjadi antipati pada hal yang mereka anggap tidak baik.
Antipati ini berwujud gagasan, dan gerakan. Mereka akan menolak tentang hal yang tidak sesuai dengan mereka. Misal saja pada suatu jamaah keagamaan di SMA favorit di Jogja, pernah menutup artis yang sedang manggung di acara pensi sekolahnya dengan jaket. Mereka menilai pakaiannya terlalu terbuka, terjadi pemaksaan gagasan mereka kepada orang lain, Saya kira ini masih wajar. Namun ada indikator lain yang lebih fatal, seperti fenomena takfiri. Fenomena takfiri adalah gerakan hate speech kepada orang yang tidak sepaham, dan menjustifikasi mereka tidak akan mendapatkan nikmat setelah hari akhir. Gampangannya, mereka tidak menjadi golongan mereka lagi dan akan masuk neraka. Padahal sisi irisan mereka dalam beribadah masih lebih banyak daripada sisi perbedaannya. Bahkan perbedaan ini hanya terjadi pada hal-hal yang cabang, bukan dasar yang mempunyai dampak besar. Misal saja, lelaki yang menggunakan celana lebih dari mata kaki, maka akan masuk neraka, dlsb. Mereka tidak berkompromi dengan hal yang sekiranya tidak sesuai dengan paham mereka, meskipun masih disandarkan pada sumber yang sama.
Tentu, ini tidak sehat. Munculnya fenomena takfiri berdasar dari pendekatan kontras tentu tidak diharapkan oleh para pelaku, pengamat pendidik yang sudah mapan. Sehingga menyebabkan polarisasi dan saling melempar tuduhan kesalahan. Dua kutub ini saling menyalahkan dengan membabi buta, lihat saja fenomena Koh Felix dan Abu Janda. Tentu ini tambah tidak sehat. Munculnya pendekatan ini harusnya bisa mendorong produktifitas dari murid, tanpa harus membawa efek sampingnya.
Atau mungkin apabila memang sudah menjadi darah daging baik dari guru, murid dan seluruh jullas yang menjadi simpatisan, seharusnya para pendidik itu mampu menyajikan fakta alternatif. Meskipun mereka menggenggam kebenaran versi mereka, mereka juga perlu menahan diri untuk tidak melakukan aksi atas dasar prinsip mereka dan mengakui kebenaran dari sumber lain, mengajarkan tentang hal Tamasuh, Tawazzun, dan i’tidal. Atau setidaknya tidak mengusik orang lain yang tidak sepaham. Seperti pelajaran fiqh, hukum tidak hanya ada haram dan halal. di tengah nya ada makruh atau mubah. Kalau memang belum haram ya jangan dianggap haram.
Jadi relevan ga kira-kira? Temen-temen pembaca aja yang menyimpulkan deh, hehehe.
Pada suatu malam Minggu……,
Tepat pukul 11:00, saya masih terjaga, melamun di atas tempat tidur, memikirkan putri binti kasturi.
Saya merasa telah mengecewakan jutaan bintang karena tidak bisa mengajak putri malam mingguan, duduk di alun-alun, melihat bintang di atas danau, atau bercanda unfaedah yang umumnya dilakukan sepasang kekasih kelas teri.
Sebagai filsuf musiman (baca: setiap malam Minggu), saya biarkan imajinasi tentang putri mencumbu pikiranku, mencari kebenaran di atas khayalan. Saya anggap putri menemani setiap detik malam Minggu ini, berbincang dan saling mencurahkan kerinduan, meski hanya sebatas di alam pikiran.
Sesekali obrolanku dengan putri dalam hati, tidak sengaja keluar dari mulut, terdengar lantang di setiap sudut kamar. Tentu saja saya keceplosan karena terlalu bersemangat menjawab berondongan pertanyaan dari putri, karena kerinduan-nya yang tidak bisa tercurahkan.
“Jelas saya merindukan mu jelitaku, jika saya menuruti rasa rindu untuk bertemu dan mengajak kamu pergi malam ini, saya takut bapak kasturi menilai saya bukan cowok baik baik, ” jawaban saya kepada putri yang menanyakan “apakah kamu rindu kepadaku?”
Saya mengatakannya dengan keras dan ekspresi wajah tersenyum serius ala drama Korea. Tanpa disadari, kata-kata itu terdengar di setiap sudut kamar yang di desain seperti barak pengungsian ini. Tentu saja jawaban itu juga didengar oleh setiap binatang di kamar.
Kamar saya memang cukup ramah lingkungan. Ekosistem bagi binatang borjuis yang mampu bertahan hidup di berbagai situasi dan kondisi alam. Setidaknya tidak seperti dihutan, yang setiap detiknya selalu bising dengan deru mesin-mesin pembangunan dan lama kelamaan menggusur tempat tinggal mereka. Di kamar saya, Meskipun terkadang mereka tersiksa oleh suara tangis saya waktu nonton drama Korea, tapi mereka benar-benar merdeka secara defacto.
Salah satu binatang yang mendengar percakapan saya dengan putri adalah Jangkrik. Dengan lantang jangkrik memaki dan berkata “woi edan! Sekarang jam berapa? Tidur!!”
Sontak saya kaget dan mencari sumber suara melengking mirip suara pak Johan.. “hah, siapa?”
“Edan!! ini saya Jaliteng jangkrik hitam!! Didepan foto cewek yang kamu gunting dari foto bersama ekskul musik!!” Kata jangkrik sambil metenteng.
S: bardiman!! Darimana kamu tau, kalau saya mendapatkan foto putri dari menggunting?
J: saya Jaliteng bukan bardiman!! Jelas saya tau, spesies saya penghuni disini sejak nenek moyang angkatan ke 12, apapun yang kamu lakukan saya tau. Bahkan saat saya belum lahir, ayah hingga nenek saya menceritakan detail apa saja yang kamu lakukan disini. Ini tradisi keluarga, saya juga akan menceritakannya ke anak cucu saya!!
S: bardiman itu plesetan dari bajingan!! Negara ini sedang trend plesetan. Makanya ikutin trend, jangan hanya dikamar saja!!!. Oo.., jadi selain binatang berisik, kamu juga penggunjing, dan suka mengintip? Memang bardiman betul kamu!
J: kalau penggunjing dan berisik iya, lalu kenapa?
S: Ternyata betul pepatah “jangan jadi seperti jangkrik, binatang berisik yang jika berkumpul hanya menghasilkan permusuhan. Jadilah lebah, binatang yang jika berkumpul bisa menghasilkan madu yang bermanfaat”..
J: Kalian manusia ini memang tidak ada syukurnya! Kalian adalah makhluk sempurna, bisa berjalan dengan dua kaki, makan dengan tangan, menulis di Pewarta Nusantara, sampai menggunting foto bersama untuk disimpan sendiri dan diletakan di atas meja.. -_- loser.. Seperti itu masih ingin jadi lebah? Jika kamu jangkrik atau lebah, Lalu kamu menggunting foto anak kasturi dengan cara apa prett?
S: bardimannnn!!! Ternyata memang benar pepatah itu, bertemu jangkrik hanya menghasilkan permusuhan..
J: Ok, kamu benar, setidaknya saya berani mengakui kesalahan. Sedangkan kamu pret? edan, tidak bersyukur, tidak tau diri, kata-kata yang keluar unfaedah, bahkan suara saya yang kamu bilang berisik lebih bermakna dari apa yang keluar dari mulutmu, bardiman.. bardijan.. atau siapapun itu, jelas itu adalah umpatan. Seberapa halus pun kamu memelesetkannya, mereka tetap tidak pantas mendapatkan posisi sebagai ungkapan kebusukan hatimu prett!!
S: oke.. oke.., fine.., saya akui, saya adalah semua itu, saya berhati busuk! Apa ruginya tuduhan yang sangat perspektif, apalagi hanya dari jangkrik. Karena orang yang ada di foto itu tidak mungkin pernah berfikir seperti kamu. Dan itu yang terpenting krik!
J: -_- looooooooser.
S: apa maksudmu? Hmm.. kamu iri sama saya? Ya, memang manusia punya cinta untuk menciptakan kebahagiaan. Tentu saja kamu tidak memilikinya bukan??? 😛
J: saya heran, sifat pengecut saja kamu banggakan??? Lalu kamu pikir jangkrik tidak memiliki cinta prett? Terus didasari dari jalinan apa saya dilahirkan pret!! Apa orang tua dan nenek saya bertengkar untuk memadu kasih mereka? Apa mereka memukul satu sama lain untuk saling kenal dan saling menjaga? Lalu bagaimana cara mereka melestarikan spesiesnya jika yang mereka lakukan adalah permusuhan dan kehancuran? Seharusnya mereka punah prett!! Tapi tidak kan? Itu bukti bahwa kami juga memiliki cinta dan kasih sayang. Dan yang terpenting spesiesku tidak pengecut untuk sekedar mengungkapkan cinta.., 😛
S: proses jangkriiiik!!!
J: ya sudah terserah saja!!! tapi tolong, sekarang sudah hampir lewat tengah malam, sudahi monolog bodohmu!! Banyak kehidupan lain disini, hargai mereka prett!! Saya juga mau malam mingguan, tolong jangan diganggu!!.
Yang jadi pertanyaan kamar ini milik saya atau mereka?
“jiiaangkrik!!”
Singkat cerita..
Jangkrik itu melompat dan entah pergi kemana. Dan saya melanjutkan ngobrol sama putri di alam pikiran.
Dalam wacana orientalis, studi kritis al-Qur’an merupakan ‘menu utama’, sekaligus merupakan kajian paling sensitif dibandingkan dengan kajian lainnya. Para sarjana barat mengkritik al-Qur’an dalam berbagai aspek, dari mulai terjemahan al-Qur’an, teks al-Qur’an hingga ulum al-Qur’an.
Richard Bell misalnya, yang menganggap al-Qur’an bukanlah risalah teologi, bukan pula kitab perundang-undangan ataupun kumpulan khutbah, tetapi kiranya al-Qur’an lebih merupakan ramuan (medley) ketiga itu, dan ditambah berbagai ‘mutiara’ yang bertebaran di dalamnya. Pewahyuannya, tentang selama kurang lebih dua puluh tahun, di saat Nabi Muhammad saw bangkit dari posisi seorang pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya.
Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan kaum muslimin selama masa-masa tersebut, maka wajar kalau gaya kitab suci al-Qur’an berubah-ubah pula. Lebih dari itu, ia juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-orang muslim setelah kematian Muhammad saw.
Menurut Bell, al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad saw sebagai sumber yang kedua. Unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian pendek al-Qur’an, sebab pandangannya yang menempatkan Muhammad sebagai revisor al-Qur’an, walaupun dalam koridor inisiatif ilahi. Bentuk revisi tersebut mungkin merupakan pengulangan wahyu dalam bentuk yang telah direvisi.
Doktrin nasakh misalnya, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an. Dalam diskursus sarjana barat, bahwa definisi nasakh tidak berbeda dengan definisi yang telah diberikan oleh para ulama Muslim. Thomas Patrick Huges dalam Dictionary of Islam, menerjemahkan kata nasakh dengan to demolish (menurunkan), render void(salinan atau terjemahan), dan to destroy(membinasakan).
Sebagaimana dikatakan oleh John Wansbroug, John Burton mengatakan bahwa secara etimologis nasikh berarti replacementatau exchange (tabdil), suppression (ibthal), dan abrogation. Dengan berdasarkan kepada QS al-Baqarah: 106, an-Nahl: 110, dan al-Hajj: 52.
Dalam arti terminologi, para sarjana barat di atas menyepakati bahwa nasakh adalah proses pergantian, perubahan dan pengalihan ketentuan suatu ayat terdahulu oleh ketentuan ayat yang akan datang kemudian. Richard Bell berpendapat bahwa berpijak pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu revisi al-Qur’an telah terjadi, bukan hanya sebatas perubahan. Ia mengatakan:
Berdasar pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat disangkal bahwa revisi al-Qur’an telah terjadi. Hal ini telah diakui oleh para cendikiawan muslim dalam doktrin Nasikh-Mansukhnya. Gagasan yang mendasari doktrin ini adalah penerapan perintah-perintah tertentu bagi orang-orang muslim dalam al-Qur’an yang bersifat sementara, dan ketika suatu berubah, perintah-perintah tersebut diubah atau diganti oleh perintah lainnya. Namun, perintah-perintah itu merupakan kalam Allah, ia harus dibaca sebagai bagian al-Qur’an.
Menurut Bell, walaupun mengakui adanya doktrin nasikh adalah al-Qur’an, karena umat Islam memandang al-Qur’an sebagai kalam logos Allah, tidak mungkin adanya revisi (perbaikan) al-Qur’an atas kemauan Muhammad sendiri. Hal ini dijelaskan dalam sejumlah ayat, misalnya:
Ketika tanda-tanda (atau ayat-ayat) kami dibacakan kepada mereka sebagai bukti-bukti, maka orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: “datangkanlah :”tidak patut bagiku untuk mengubahnya atas kemauanku sendiri; aku hanya mengikuti apa-apa yang telah diwahyukan kepadaku, seandainya aku mendurhakai Tuhan, maka aku takut adzab besar.” (QS. Yunus:15)
Menurut Bell, arti proses revisi al-Qur’an dan naskh al-Qur’an, ada kaitannya asbab an-nuzul, dan hal ini tidak bisa dipisahkan pada persoalan yang pada akhirnya sulit bagi kaum muslim dalam menentukan mana yang dahulu dan mana yang terakhir ayat yang diturunkan. Dengan mempertimbangkan sebab-sebab nuzul-nya, hal tersebut memiliki proses yang sama, yaitu berulang penurunan ayat al-Qur’an sebagai pengganti terdahulu dan proses perbaikan teks serta konteks al-Qur’an.
Para insider dari klasik hingga kontemporer dalam memahami arti nasikh, ada yang menyakini dan ada yang tidak menyakini. Pada umumnya mereka juga mengakui adanya naskh. Lain halnya menurut Bell yang memahami tentang makna naskh ini cenderung menyimpang, karena makna nasikh sebenarnya bukan ditendensikan untuk menghapus atau merubah ayat-ayat al-Qur’an.
Namun persoalan naskh lebih diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan situasi dan kondisi dengan ketentuan sementara yang sesuai dengan zaman dan pelakunya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan kebanyakan ulama kontemporer. Sedangkan makna naskh yang dikonstruk oleh Bell tidak lain adalah sebuh proses perbaikan (revisi) dan penambahan ayat-ayat oleh Muhmmad saw.
Penentuan tentang unit-unit wahyu di atas menurut penulis adalah hanya suatu gaya (genre) yang didasarkan pada anggapan bahwa sejumlah besar surat yang ada di dalam al-Qur’an mengandung bahan-bahan dari berbagai periode pewahyuan. Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian minimal, yakni pengumpulan unit-unit induvidual wahyu ke dalam surat.
Lebih lanjut ia melihat asumsi perevisiannya yang lebih jauh melihat dalam proses pengumpulan tersebut dalam wahyu-wahyu al-Qur’an yang secara konstan menurutnya tengah mengalami revisi, hingga pada akhirnya memicu ketidak-orisinalitas al-Qur’an, melalui penggantian unit-unit wahyu lama dengan bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupa penyesuaian rima atau sekadar sisipan, dan lainnya.
Masalah yang pertama yang diajukannya, mengenai penyusunan al-Qur’an yang dipersepsikan dilakukan oleh Nabi saw, secara keilmuan bukanlah hal yang baru. Para ulama sepakat bahwa susunan ayat adalah tauqifi (bersumber dari petunjuk Rasul). Sedangkan susunan surat telah menimbulkan polemik di kalangan ulama, polemik ini berkembang luas di kalangan ulama muslim, yang dalam aplikasinya menghasilkan beberapa pendapat yaitu:
Pertama adalah sebagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada adalah tauqifi. Kedua adalah bagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada sekarang adalah ijtihadi (berdasarkan ijtihad para Sahabat).
Ketiga adalah pendapat moderat; mengatakan bahwa sebagian susunan ayat ditetapkan oleh Rasulullah dan sebagian lagi merupakan ijtihad para sahabat. Persepsi inilah yang diadopsi Bell yang kemudian dikonfirmasikannya melalui proses lafaz jam’u.
Dengan demikian masing-masing generasi mempunyai kemungkinan sendiri untuk membangun konstruksi dan pemahamannya tentang teks al-Qur’an. Lalu bagaimana bila semua itu digunakan untuk membaca al-Qur’an dengan pemikiran-pemikiran lainnya? Ya, tentu saja akan memunculkan ‘reading text’ dan pemahaman yang berbeda.
Prolog
Jika kita mendengar istilah “Jombang” tentulah hal pertama kali yang terlintas dibenak kita tiada lain adalah penisbatan “Kota Santri” sebagai jargon utama kota Jombang. Selain efek menjamurnya berbagai Pondok Pesantren di berbagai penjuru kota Jombang, sebutan kota santri juga kerap kali bersinggungan dengan asal usul salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di penjuru dunia; “Nahdlatul ‘Ulama” yang berdirinya juga tak lepas dari kontribusi para ‘Ulama legendaris Jombang sepertihalnya sosok; Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Masyayikh Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Masyayikh Tambakberas), KH. Bisri Syansuri (Masyayikh Denanyar). Ketiga tokoh ini kerap kali dijuluki penikmat opini bebas sebagai Tiga Serangkai Nahdlatul ‘Ulama, karena memang kontribusi ketiganya sangat luar biasa dalam mendirikan, menggerakkan, hingga mengorbitkan organisasi tradisionalis-moderat Nahdlatul ‘Ulama ke kancah Nasional.
Selaintiga tokoh tersebut masih banyak tokoh-tokoh legendaris lintas zaman lainnya yang asal muasal atau napak tilasnya terkait daerah Jombang, diantaranya seperti; Syekh Sayyid Sulaiman (Betek, Mojoagung) yang konon pernah satu angkatan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Gresik), KH. Tamim Irsyad (Pendiri Ponpes Darul ‘Ulum Peterongan Jombang), Pahlawan Nasional KH. Wahid Hasyim (Tebuireng Jombang) yang berperan besar dalam perumusan Pancasila melalui panitia Sembilan, Presiden Keempat Republik Indonesia; Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang sangat mendunia, hingga cendikiawan nasionalis Nur Cholis Madjid (Pendiri Universitas Paramadina Jakarta).
Dari Shorof Hingga Falaq
Tunggu sebentar, tampaknya ada nama yang kerap terlupa dari berbagai perbincangan tentang ulama yang bernapak tilas di kota santri Jombang. Jika kita pernah belajar tentang ilmu shorof maka tentulah tak asing dengan sebuah kitab kuning bernama Amstilah Tashrifiyyah yang berisikan rumus rujukan mentashrif (merubah struktur kata sesuai kondisi) yang secara garis besar terdiri dari dua macam; Istilakhi (mentashrif secara mendatar berdasarkan bentuk fi’il) dan Lughawi (mentashrif secara menurun berdasarkan padanan dhomir). Bagi kalangan yang teliti dalam mempelajarinya maka tentu akan mengenal pula dengan sosok bernama “Kyai Haji Ma’sum Bin Ali (w 1933 M)” sebagai mushanif (pengarang) kitab shorof legendaris tersebut. Nah, perlu juga diketahui bahwa tokoh tersebut ternyata merupakan salah satu tokoh yang bernapak tilas diJombang, meskipun sebenarnya Kyai Ma’sum Bin Ali lahir di kota Pudak Gresik, hingga pada akhirnya beliau nyantri kepada Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, sebelum akhirnya beliau diberi mandate Sang Guru untuk mendiami daerah Seblak (Utaranya Tebuireng) untuk mengembangkan dan mensyiarkan ajaran agama Islam.
Meskipun nama beliau terbilang popular di kalangan penikmat ilmu shorof melalui salah satu karya besar Amtsilah Tashrifiyyah. Sebenarnya sosok Kyai Ma’sum Bin Ali bukanlah spesialis ilmu gramatikal tata bahasa arab (Shorof, Nahwu, Balaghah, Mantiq, dsb), melainkan beliau merupakan master dari ilmu tentang perbintangan dan perhitungan (Falaq) bahkan tiga karya lainnya merupakan kitab yang bercorak pada ilmu falaq, sebut saja; Fathul Qadir (Berisikan takaran Arab ala Indonesia), Ad Duratus al Falakiyyah (beriskan pedoman falaq seperti logaritma, almanak masehi-hijriyyah, posisi matahari dan hilal, dsb), dan Badi’atul Mitsal (Berisikan teori Geosentris) yang konon ditulis oleh beliau saat mempelajari ilmu falaq alamiyah dari seorang nelayan.
KelihaianKyai Ma’sum Bin Ali ilmu anstronomi dengan cara falaq (Hisab) inilah yang akhirnya kerap kali membuat Pondok Seblak dirian beliau berbeda pandangan dengan Pondok Tebuireng dalam hal menentukan hilal awal Ramadhan mengingat Seblak menggunakan full ilmu Hisab sedang Hadratussyaikh dengan Tebuireng-nya masih mempertimbangkan metode Ru’yat dalam pencarian hilal. Namun perbedaan keduanya bukan menjadi penghalang ketawadhu’an beliau pada sang guru besar.
Sang Sufistik
Disisi lain kemonceran sepak terjang Kyai Ma’sum Bin Ali dengan beberapa kitab warisan retorika ilmu perbintangan (Falaq) dengan tambahan ilmu gramatikal pula (Shorof) ternyata masih cukup banyak pula yang tidak mengenal siapa sebenarnya beliau. Meskipun sebenarnya untuk mencari profil beliau di era peradaban virtual sekarang ini memanglah mudah sekali cukup sekali “klik” di mesin pencari tentu akan mudah mendapatkan informasi pula. Namun hal instan seperti itu haruslah dikroscek kebenarannya pula guna mencari sebuah kebenaran rill dalam peradaban nyata terlepas dari bayang-bayang informasi virtual yang sarat hal-hal instan tanpa rujukan.
Menurutbeberapa literatur online yang memang terbatas dalam membincang siapa sosok Kyai Ma’sum Bin Ali-nya Jawa Timur ini memang dikatakan bahwa beliau merupakan sosok yang sufistik lebih condong menafikan diri seputar godaan dunia yang menurut Al Ghozali dalam Kitabnya digambarkan sebagai “Wadon nini-nini”. Puncaknya bahkan ketika hendak wafat, beliau berwasiat pada keluarganya untuk membakar semua dokumentasi terkait praupan beliau baik foto atau lukisan. wasiat lainnya yaitu agar dimakamkan secara sederhana seperti makam pada umumnya, tanpa asesoris sakral makam seorang tokoh ternama.
Nah, ketika pribadi berkunjung plesiran ke beberapa makam para masyayikh tempo dulu di daerah Jombang. Terlintas pula sejenak untuk mencari makam sosok ahli falak bernama KH. Ma’sum Bin Ali yang merupakan pendiri Pondok Seblak Jombang sekaligus menantu Hadratus Syaikh atas putri pertama beliau; Nyai Hj. Khairiyyah Hasyim. Ternyata diluar dugaan tak banyak masyarakat setempat yang mengenal dimana makam beliau, ntah karena memang benar nama Kyai Ma’sum Ali tak membumi hingga banyak yang tak mengerti atau mungkin pribadi salah memilih objek. Begitu pula saat bertanya pada seorang pengawas makam tebuireng dan beberapa santri disana ternyata jawabannya sama alias tak banyak yang mengetahui dimana makam beliau, beberapa santri bahkan menjawab mungkin dimakamkan di pemakaman keluarga pondok seblak atau mungkin bahkan di daerah komplek makam Kyai Asy’ari di daerah Keras.
Sejenak saat melihat nama-nama masyayikh Tebuireng yang dimakamkan di komplek pemakaman Tebuireng yang tercantum di sebuah batu ukir, ternyata dalam salah satu batu tersebut terdapat nama KH. Ma’sum Bin Ali yang jelas-jelas merupakan tokoh pendiri Pondok Seblak. Saat pribadi kroscek dengan nomor urut masyayikh yang berada di batu ukir ternyata tepat sekali dugaan semula bahwa KH. Ma’sum Bin Ali memang memiliki kesufian yang tinggi. Kondisi makamnya tak sama seperti beberapa makam masyayikh Tebuireng lainnya. Sangat terlihat sederhana hanya berupa gundukan tanah yang terletak di bagian pojok, bahkan dalam batu nisannya sama sekali tak tertulis nama KH. Ma’sum Bin Ali. Dengan kata lain memang Kyai Ma’sum Bin Ali merupakan seorang ‘ulama yang memiliki tingkat sufisme yang tinggi bahkan melewati taraf wajar manusia pada umumnya; ingin dikenang akan sebuah peninggalan. Allahumaghfur lahu..
Wallahu ‘A’lam Bi Showab
SEREM!
Kata itulah yang ada di benakku ketika melewati Gerbang Belakang Kampus UIN Malang ini. Ya jalan itu, jalan yang sore harinya ramai, tempat nongkrong para aktifis kampus membicarakan proyek mereka sembari menggoda gadis-gadis kampus yang lewat disitu. Semua orang yang lewat situ terkadang sebel ketika moment wisuda seperti sabtu kemaren, jalan yang luas menjadi begitu sempit dan sesak dipenuhi asap kenalpot berwarna hitam. Acapkali di jalan itu juga sering aku saksikan, sepasang kekasih berpelukan mesrah di atas motor. Jalan ini tentu indah bagi mereka. Tapi tidak untukku!
Kejadian malam itu benar-benar membuatku kehabisan air mata, tidurku tidak nyenyak, pagi harinya harus kusesali lagi, kenapa nasibku sesial itu. Ah menyebalkan!
“Sudahlah Mblo, lupakan, anggap kejadian itu tak pernah menimpa dirimu.” Ucapan Monyet sangat ringan, seperti kejadian itu hanya ada di film.
“Ini nyata Nyet.!”
“Bisa-bisanya kamu bilang, aku harus melupakan kejadian malam itu. Kamu kan nggak tau bagaimana susahnya aku nabung uang untuk beli barang itu” geramku
Aku diam, mengalihkan pandangan ke arah lain, muak campur sesak melihat jalan raya yang kini ada di hadapanku itu.
“Memangnya betapa pentin barang itu bagimu Mblo?” sekonyong-konyong suara Monyet mencairkan suasana yang sesaat hening. Suara monyet tak lagi terdengar olehku, karena tiba-tiba ingatanku berada pada kejadian malam itu. Malam itu memang sedang gerimis, saking asyiknya tak terasa aku bertamu di Rumah Kecantikan itu hingga larut malam. Setelah membungkusnya dengan kresek warna hitam.
“Makasih ya Mbak Jomblo, hati-hati di jalan, kalau bisa jangan lewat belakang UIN sebab di situ sering terjadi penjambretan, korban-korban nya kebanyakan perempuan, Mbak Kan Jomblo, harus ekstra hati-hati kalau kemana-mana”
“Ah sampean ini nakut-nakutin aja Jeng,” balasku dengan sunging senyum.
Mata ku meliriknya dengan perasaan penasaran campur takut, “Jeng gak bercanda kan, ohya kok tau kalau saya Jomblo?”
Tanyaku meyakinkan, sambil senyum-senyum kaku karena dikatain Jomblo.
“Sudah-sudah lupakan, aku cuman bercanda kok, cuman iseng aja. Cuman nebak juga, kalau Mbak Gak Jomblo kenapa kesini gak minta anterin Cowoknya” Jeng Kupu menutup tawanya yang serak dengan tangan kirinya.
“Sudahlah. Tidak baik buruk sangka sama orang lain.” Nasehat wanita yang berhidung mancung itu sembari mengantarku ke halaman rumah kecantikannya.
Sebelum menacapkan kunci di motorku, sekilas aku sempat melihat raut khawatir di wajah Jeng Kupu sebelum pintu rumahnya membawanya hilang dari pandanganku.
Dengan kecepatan 20 Km motor Bebek yang ku kendarai tiba-tiba menjadi berat, aku menengok ke belakang ternyata ada tangan yang menarik motorku dari belakang. Tepat di belakang Gerbang Kampus UIN.
“Berhenti.!”
“Woy jangan ngebut.” Belum sempat kujawab ancaman Manusia bertopeng hitam itu, seketika di depan motorku ada mobil Jeep Penjahat yang gagah dan besar, Jeep itu berasal dari Utara, Pintu Jeep terbuka oleh ujung tembak yang panjang. Sementara aku hanya bisa ketakutan dan gemetaran.
“Serahkan Tas Nya, atau nyawamu melayang malam ini juga.”
“Apa tidak ada dispensasi Om? Saya kan sendirian? Sedangkan Om berlima, beginikah cara perampok menunjukkan kejantanan nya? Kenapa Om gak sendirian aja? Kalau sendirian pasti kukasihkan tas ku beserta isinya.” Jawabku polos
“Kamu ini mau dirampok malah nawar, sudah, serahkan tasmu, segera.!”
Om Om yang betopeng itu mempunyai sorot mata yang tajam, aku benar-benar takut, tak ada dialog lagi, aku hanya memegang erat tas ku yang berwarna merah muda pemberian Ayah ku itu. Aku kira tas ku gak jadi diambil, karena Om yang ada di hadapanku sedikit agu-ragu, mungkin dia punya anak perempuan seumuranku, jadinya gak tega.
Tak lama kemudian, ternyata Dugaanku salah, ternyata Om yang narik motorku dari belakang tadi dengan gesit merampas tasku, lalu Om itu kabur.
“Tolong-Tolong.” Tak ada satu pohonpun yang peduli dengan teriakanku, sementara di jalan itu hanya ada aku dan motorku yang Pantatnya sudah ternodai oleh Tukang jambret,
“Dasar jambret beraninya main dari belakang.”
Mereka kabur membawa tasku yang isinya Kresek Hitam dari Rumah kecantikan Jeng Kupu tadi. Malam ini sungguh Tuhan tidak adil, kenapa ia biarkan Jambret-jambret itu merampokku, entah mengapa hati ini gelisah memikirkan ketidak pedulian tuhan kepadaku. Dalam hitungan menit telah berlabuh, bak layar proyektor yang memutar kejadian beberapa minggu lalu.
“Nyet, mana makanan nya? Kamu belum pesan ya?”
“Lha kamu, sejak tadi melamun aja Mblo, “ jawab monyet ketus
Monyet menjelaskan kepadaku kalau tadi sudah ditanya sama yang punya rumah makan, mau pesan makanan apa. “Mbak, mau makan apa? Minum apa? sejak tadi kok diem aja, mas yang ada di samping mbak juga mantengin hp aja, kalian ini lagi ngambekan ya?!”
“Mbak, jawab dong, apa mbak juga ngambek sama saya? Salah saya apa mbak?”!
Simonyet yang sejak tadi asyik main game tiba-tiba nyletuk “Sukurin, emang enak dicuekin, aku sejak tadi juga dicuekin Mas.”
“Kalian ini sama aja, kalau gak mau beli makan jangan nongkrong di sini, dasar mahasiswa jaman Now, gak punya uang, seenaknya sendiri nongkrong di rumah makan saya.” Bentak Pak Gajah
Monyet menjelaskan itu kepadaku dengan wajah kesal, mungkin dia lelah. “yaudah kita pesan nasi tempe aja ya nyet, minum air es aja.”
“Oke,! Pesen nasi tempe aja pakek melamun segala, huh dasar Jomblo.”
“Iya, iya maaf,” mulutku seakan tercekat
Mana mungkin Monyet tau kalau aku tadi inget kejadian malam itu, ya, namanya juga Monyet, yang dia tau hanya Pisang. Makanan sudah datang, kami berdua menghabiskan tempe dan nasi sepiring itu bersama-sama. Tak peduli kata orang, kami memang konyol, beteman serupa sama-sama gila, tak ada kata gengsi jika memang sedang kere.
“Sumpah lucu banget Nyet kejadian malam itu, untungnya dompet dan HP ku gak ada di dalam tas, sengaja kumasukkan ke dalam kresek Indomart yang kudapat ketika membeli Jajan.” Kulanjutkan cerita itu agar Monyet tau, kenapa aku menyesali tas ku yang berisi bedak dan lipstik itu hilang dibawa jambret.
“Kalau gitu kamu masih beruntung Mblo, gak semua yang kamu bawa malam itu dibawa kabur jambret.” Monyet mencoba menghiburku
“Iya Sih Nyet, mungkin Allah tak menginginkan aku menjadi cantik, lagipula kalau aku pakai bedak yang ku beli di Rumah Kecantikan itu, rasanya mustahil aku mau berteman sama kamu. haha”
“Alah, dasar kePD an, lagipula meskipun kamu pakai bedak dan lisptik, gak berubah jadi cantik.” Monyet lagi-lagi ngomel tanpa filter.
“Begini loh nyet, aku menyesal karena telah menuduh Tuhan tidak sayang kepadaku malam itu, kenapa Tuhan hanya diem aja ketika mengetahui aku dijambret. Malam itu aku sempat bilang, Tuhan Macam apa yang rela hambanya hidup sengsara” hmmmmmm
“Masya Allah, kelewatan kamu Mblo, dasar manusia gak pernah bersyukur, Tuhan itu maha Asyik, selain itu juga maha Misterius, apa yang kamu kira buruk untukmu belum tentu buruk bagi Tuhan. Katanya kamu ini lulusan pesantren, bab tasawuf kayak gini sangat bodoh ahahaha”
Aku tertegun mendengar ucapan Monyet yang mulutnya bau asap rokok itu. Sesal merambati dada ini, aku telah keliru menilai tuhan selama ini. Apalagi setelah mendengar cerita Monyet sebelum ia pamit ke Toilet, Monyet bilang setelah ramai warga kampus membincangkan tragedi penjambretan yang menimpaku malam ini, tiga hari selepas itu di koran ada berita wanita yang terserang penyakit gatal gara-gara salah pakai bedak.
“Maafkan aku Tuhan, maaf telah salah menilaimu. Maafkan aku juga Nyet, ternyata kamu jauh lebih mengenal Tuhan“ lirihku seraya memandang punggung Monyet hingga menghilang di antara pengunjung rumah makan yang berdatangan.
# Kisah ini terinspirasi dari (QS. Al-Baqarah : 216)
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Tulisan ini tidak akan di-present-kan dengan media bahasa Inggris, mengingat my English little little… cuman judulnya aja yang dibikin wah, biar berasa zaman now gituuh..
Tema ini sejatinya sudah ada beberapa yang mengulas dengan masing-masing sudut pandang. Pada kesempatan ini saya tertarik mencoba membaca fenomena meme yang banyak mengudara/ menghalus (apa ya yang pas..? maklum saya miskin diksi hehe) pada waktu-waktu ini menggunakan perspektif penumbuh kembang ulang nilai melalui Media Sosial (tuh kan ga asik pake bahasa).
Kebebasan yang ada Indonesia selepas orde baru mengantarkan warganya untuk bisa melakukan hal apapun di negeri ini tanpa harus takut akan pemerintah –selagi tidak menabrak hukum. Kebebasan ini memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya juga untuk bersosmed (social media) ria. konsekuensinya siapapun boleh mengutarakan pendapat. Riuh kasus Pak Setn*v misalnya, langsung mendapat atensi dari warga net yang beragam. Mulai dari komentar, pembuatan lagu, dan juga meme. Ini sudah menjadi wajar, karena menjadi bagian dari konsekuensi demokrasi, globalisasi, dan teknologi.
Tapi apa sih values yang bisa kita dapat disini? Dialog, ya dialog. Hadir sosmed memberikan peluang kepada kita dapat berkomunikasi dua arah dengan sosok yang mungkin tidak terjangkau kita pada masa-masa lalu. Semudah gerakan jempol saja, kita bisa me-mention orang yang kita tuju. Namun, tidak berhenti disitu, hadirnya sosmed terkadang membuat user-nya lupa, bahwasannya pesan-pesan yang diutarakan juga terbaca oleh user lain. Sehingga dapat memberikan daya pengaruh terhadap society pengguna jagad maya. Lihat saja, hanya dengan sekali ketuk pesan-pesan kita dapat dibagikan ulang oleh user lain, yang boleh jadi tidak mempertimbangkan atau memberikan ulasan/evaluasi dahulu. Dampaknya, banyak hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan muncul di sosmed, baik itu yang bersifat opini, atau pesan yang disampaikan tertuju pada seseorang. Lebih dari itu, hadirnya sosmed acapkali digunakan oleh bad-user untuk melakukan pelemahan, pendiskreditan, rasial, superiori terhadap orang lain, atau golongan lain. Tentu ini sudah mulai tidak sehat dan dapat berdampak domino terhadap user-user lain yang seperti saya sebutkan diatas –kurang melakukan ulasan dan evaluasi akan konten.
Tren ini seharusnya bisa lebih diperbaiki, karena sejatinya hadirnya sosmed harus bisa mendukung produktivitas kita, bukan justru sebaliknya. Seharusnya ada batasan-batasan etika dalam bersosmed, sehingga arah dari penggunanya juga jelas. Ini penting, karena idealnya, kita bisa mengarahkan pesan positif kita sehingga bisa berdampak pada orang yang kita tuju, atau orang lain yang juga menikmati. Sebut saja meme, dan lagu berkaitan Pak Setn*v yang sedang naik daun belakangan ini. Seharusnya meme-meme yang hadir bisa menkritik sekaligus menggugah orang yang dituju sekaligus para pembaca untuk bisa saling mengingatkan pada kebaikan –taawun ala birri wa taqwa. Bukan justru menggunakan kata satir yang kurang produktif, yang mana justru mencerminkan usernya.
Penanaman nilai melalui sosmed ini penting dilakukan, tidak hanya kasuistik pada satu kasus Pak Setn*v tersebut, namun juga secara general khalayak umum sehingga dapat memberikan daya dampak perubahan di saat dekadensi moral seperti ini. Seperti posting tentang kejujuran, kedisiplinan, daya juang, motivasi dlsb. Boleh berangkat dengan kutipan-kutipan, blog hingga vlog, dlsb, Sehingga ada warna baru di sosmed kita, dan tidak melulu pada romansa fana remaja saja. Tidak apalah sekali kita memposting tentang karya kita, pencapaian kita, sehingga menimbulkan konflik produktif senada dengan spirit Al-Quran Fastabiqul Khairot, yaitu memicu penikmat/pembaca untuk dapat produktif juga dalam karya, bukan hanya sekedar gaya.
Suatu yang didambakan, pada suatu saat sosmed kita bergelimang hal positif, sehingga mampu memberikan dampak, sekali lagi dampak kepada pembaca. Ya you know so well lah, setiap waktu dari khalayak saat ini hampir 1/4 nya (sudah akumulasi dengan tidur loh ya) hanya habis untuk melulu scrool instagram, facebook dlsb. Lihat saja, di warung kopi, hingga forum diskusi semua gitu-gitu aja. Harapannya semakin banyak konsumsi posting positif melalui sosmed, maka akan terinternalisasi secara otomatis oleh users sehingga ada perubahan positif yang bisa dirasakan. Tapi semua kembali kepada kita lah ya, doyan kaga sama hal yang begono, kalo ga doyan yaudin, yang penting jangan salahin mang udin aja, karena mang udin nya lagi keliling dunia, udin sedunia.
Tulisan ini, merupakan hasil pengembangan dari forum diskusi yang diselenggarakan oleh ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam forum tersebut, mendiskusikan bagaimana peran budaya populer dalam pembentukan identitas, digital ekonomi dan kesenangan. Dilihat dari fenomena sosial yang ditampilkan oleh Ria Ricis seorang Youtubers yang eksis dalam video-video vlog yang banyak ditonton oleh masyarakat terutama generasi muda dan dijadikan sebagai potret hiburan, gaya hidup hingga pembentukan identitas.
Tema ini, merupakan hasil penelitian dari Wahyudi Akmaliah, merupakan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Posisi sosial media saat ini, masyarakat tidak hanya berperan sebagai konsumen juga sebagai produsen. Pada tahun 1990-an, internet baru dapat berjejaring antara sarjana dan aktivis pegiat demokrasi misalnya melalui via email.
Pasca orde baru, berbagai kelompok blogger mulai menunjukkan perannya dalam publik. Pada saat yang bersamaan media sosial seperti Friendster menjadi salah satu jejaring sosial. Pada tahun 2009, Facebook muncul sebagai media sosial yang cukup dominan, kemudian memunculkan sosial media yang lain, seperti Twiitter, Instagram, Path dan sebagainya.
Fenomen budaya populer ini menunjukkan adanya flatform baru dalam masyarakat, identitas seseorang dipengaruhi budaya dan gaya hidup dalam sosial media.
Dominasi budaya populer, tanpa kita sadari menjadi identitas baru. Melalui pendekatan apa yang disukai dan disenangi oleh masyarakat. Cukup membuat orang tertawa, senang bahkan galau, kita akan menjadi idola baru. Apalagi, jika kita bumbui sedikit dengan pesan-pesan moral keagamaan, kita sudah mendapat posisi dalam masyarakat.
Peran Ria Ricis dalam sosial media cukup berhasil. Sejak 2016 hingga saat ini sudah memproduksi video vlog sekitar 145 video dengan total viewers mencapai 201, 877,704. Dalam sebulan ia bisa memperoleh sekitar 100-130 Juta melalui iklan Google Adsense.
Apa yang ditunjukkan Ria Ricis tersebut tidak ada salahnya. Ia memainkan peran dalam sosial media secara kreatif (micro celebrity), tidak sebatas konsumen tetapi juga sebagai produsen. Di sini peran digital ekonomi dapat terlihat.
Namun, dalam konteks identitas, budaya populer tersebut perlu dilihat dari perspektif yang lebih dalam, karena apa yang kita konsumsi dalam media akan menjadi budaya dan identitas baru. Produksi pengetahuan dan identitas masyarakat, bisa jadi akan mudah didominasi oleh popular culture, yang bisa memainkan peran kunci sebagai kepentingan digital ekonomi, politik, pembentukan identitas, hingga persoalan kesalehan sosial.
(Beberapa kutipan, dari materi diskusi, buku dan hasil pengembangan penulis).
Sinopsis Film Sang Kiai
Ada banyak tokoh kepahlawanan yang sudah diapresiasi oleh masyarakat dan negara, semisal dibuat menjadi film. Film yang mengisahkan bagaimana perjuagan mereka, sehingga dinampakkan sisi kekuatan salah satu tokoh yang diangkat dalam perannya membebaskan Indonesia dari penjajahan. Namun dari beberapa diantaranya perjuangan kemerdekaan lewat peran kaum santri kurang terangkat, padahal kaum ini punya andil yang sangat besar.
Tahun 1942 Jepang melakukan ekspansi ke Indonesia. Di Jawa Timur, beberapa KH dari beberapa pesantren ditangkapi karena melakukan perlawanan. Salah satunya adalah KH Hasyim Asy’ari.
Penangkapan ini membuat kegaduhan di Tebu Ireng –pondok pesantren pimpinan beliau. Beberapa diantaranya reaksi dari para putra beliau; KH Wahid Hasyim, Karim Hasyim dan Yusuf Hasyim serta deretan para santri: Baidlowi (menantu beliau), Kang Solichin -orang kepercayaan, serta tiga santri muda; Harun, Kamid dan Abdi.
Kejadian ini berdampak pada stabilitas pondok. Maisyaroh–lebih kerap disebut Nyai Kapu– istri KH Hasyim Asy’ari, diungsikan ke daerah Denaran. KH Wahid Hasyim bersama Wahab Hasbullah meminta agar KH Hasyim Asy’ari dibebaskan. Kepala Kempetei yang menahan beliau, tidak bersedia membebaskan. Beberapa cerita menyebutkan bahkan beliau dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain hingga tiga kali. Baru setelah adanya bargaining KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah dengan Abdul Hamid Ono -orang Jepang dan kenalannya, membuahkan hasil.
Saat KH Hasyim Asy’ari dipenjara, sebagian santri memilih hengkang dari pesantren. Harun dan Kamid yang membuntuti saat beliau saat ditangkap. Naas Kamid ditembak mati, saat kepergok patroli tentara Jepang. Kematian Kamid dan penangkapan KH Hasyim Asy’ari memunculkan kemarahan dalam diri Harun, dia memilih ikut para militan dalam mencuri ransum tentara Jepang.
Akhirnya Jepang membebaskan para Kiai, termasuk KH Hasyim Asy’ari. Dengan begitu Jepang berharap para Kiai agar bisa diajak kerjasama. Lebih dari itu, Jepang memasrahkan ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) kepada beliau. Melalui Masyumi Jepang meminta Masyumi agar menyitir ayat-ayat agar rakyat mau melipat gandakan hasil bumi yang nantinya diserahkan pada Jepang.
Harun mempertanyakan hal ini pada KH Hasyim Asy’ari. Ia merasa Masyumi berpihak pada Jepang. Beliau menjawab bahwasannya Masyumi hanya berpihak pada pembesar-pembesar yang adil. Harun kecewa dan keluar dari lingkup pesantren. Abdi yang mengetahui hal itu mencegah. Menurutnya, Harun tidak dapat membaca rencana KH Hasyim Asy’ari. Akan tetapi Harun tetap teguh pada pendiriannya.
Jepang melakukan blunder dengan mengangkat KH Hasyim menjadi mentri agama. Karena dengan demikian, beliau bisa menghalang para santri yang dieksploitasi oleh heiho. Malah-malah terbentuk barisan hizbullah.
Waktu demi waktu, Jepang mulai mengalami kekalahan, namun tidak memerdekakan Indonesia, justru mengembalikan kedaulatan kepada Sekutu. Maka Utusan Presiden Soekarno menghadap KH Hasyim Asy’ari. Presiden menanyakan apa hukumnya membela tanah air. Terjadilah Resolusi Jihad yang maksudnya adalah “membela tanah air hukumnya wajib” di Surabaya, sehingga para Santri pun bersiap untuk berjihad. Pada titik ini, Harun mulai terbuka matanya. 10 November 1945 menjadi hari yang bersejarah, karena pada saat itu Mallaby tewas dan menjadi awal perang yang dahsyat yang melibatkan rakyat, berbagai barisan pemuda serta laskar Hizbullah bentukan KH Hasyim Asy’ari yang terdiri dari para santri.
Value for education
Dalam film ini mengisahkan tentang pimpinan lembaga pendidikan yang tidak hanya mempimpin madrasahnya pribadi namun juga memimpin masyarakat melalui pergerakan. Disini dapat diqiyaskan kita sebagai pendidik kelak, tidak hanya mendidik siswa kita di kelas, akan tetapi mendidik kalangan warga sekitar kita juga. Jadi tugas kita tidak habis di sekolah saja akan tetapi di masyarakat kita juga harus andil, terlebih dalam bidang agama yang mana sebagai major kita saat ini.
Dalam film ini juga kami menilai dapat membuka mindset kita agar tidak kolot dan berfikir konvesional. Sebelumnya juga sudah ada Film dengan tajuk yang sama yaitu “Sang Pencerah” dimana mengkisahkan pergerakan Hadhorotus Syaikh A. Dahlan yang mana mempunyai serikat yang sangat maju hingga saat ini, di lain sisi KH. Hasyim Asy’ari yang notabene adalah sahabat KH. A. Dahlan juga mempunyai pergerakan yang eksis hingga saat ini. Urgensinya sampai saat ini kedua pergerakan ini sering dihadapkan.
Nhah, melalui film ini kami mengharapkan agar sebagai penyeimbang, dan wawasan bagi kedua belah pihak, agar bisa berfikir modern dan tidak saling menjatuhkan satu sama lain. Karena hakikatnya ini hanya sebuah ikhtilaf mempunyai metodologi masing-masing dan tidak perlu diperdebatkan. Sebagai guru kelak dan ustadz kita harus bisa dealing with good solve atas perbedaan ini, dan kita tidak boleh terjebak dalam satu ide saja, namun sayogyanya harus bisa menjadi solusi bagi perbedaan ini, baik dengan fikiran, raga, dan tenaga kita.
Panasnya suhu hari ini tidak menyurutkan semangat dan energi semua orang untuk beraktifitas. Iya, dari mulai pelajar hingga pekerja kantoran maupun pedagang sudah memenuhi padatnya jalanan di Ibukota pagi ini. Seperti biasa aku dengan tas ransel berisi laptop dan kamera serta keperluan kuliah, sudah berada dipinggiran peron stasiun menunggu comutterline datang. Suasana pagi yang penuh dengan polusi dan harus siap berdesak-desakan dengan banyak orang, untuk berebut tempat duduk di kereta sudah menjadi rutinitas pagiku setiap hari. Perasaan emosi, kesal, jengkel semua itu sudah biasa terjadi di pagi hariku.
Ya, aku seorang mahasiswi disalah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Aku harus menggunakan transportasi kereta menuju kampus karena rumahku berada jauh dari kampus. Aku lebih memilih untuk pulang-pergi, daripada menyewa kos-kosan meski segala resiko seperti telat, kesiangan, ketingalan kereta dan resiko lainnya harus aku tanggung karena uang sewa kos lebih baik aku gunakan untuk keperluan yang lainnya. Kenapa aku memilih jasa kereta api karena transportasi yang paling mudah aku jangkau dan transportasi yang lebih praktis dari pada jasa transportasi lainnya.
Kini, aku duduk ditahun ke 4 yang artinya tahun ini adalah tahun terakhirku di kampus. Aku sedang menyelesaikan skripsiku yang istimewa ini, kenapa?, karena skripsi ku adalah penentu kelulusanku selama aku kuliah 4 tahun disini. Aku harus bekerja keras dan mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyelesaikan skripsi ini. Jujur beberapa akhir ini aku sering memikirkan akan kemana nantinya aku setelah lulus. Pikiran yang menurutku lumrah untuk seorang mahasiswi tingkat akhir. Banyaknya pengangguran dan angka kelulusan yang tinggi, membuatku agak frustasi.
Hidup memang selalu dipenuhi dengan berbagai ujian, dari mulai masalah skripsi yang tak kunjung usai, hingga setelahnya saat aku lulus nanti aku akan kemana. Aku pernah mendengar bahwa hidup memang pilihan bahkan ketika kita tidak ingin memilih pun hidup pasti akan memaksa kita untuk melakukan itu. Ya, sekarang aku paham tentang artinya hidup itu pilihan. Aku berada di kampus ini dengan jurusan yang telah aku pilih memang suatu pilihan hidup yang telah aku jalani. Dahulu, saat SMA aku tidak pernah memikirkan bagaimana alur hidupku, bahkan diawal-awal semester saat kuliah pun aku masih menggantung, apakah jurusan yang sudah aku pilih itu tepat atau tidak. Kehidupanku yang dulu benar-benar hanya memikirkan bagaimana caranya agar aku bahagia, aku hanya berhura-hura, kumpul dengan teman-teman, ikut-ikut organisasi tanpa punya alasan yang jelas.
Tetapi semenjak aku naik tahun ke tiga, aku mulai merenungi bagaimana alur cerita kehidupanku setelah ini. Aku teringat dengan pesan Bapak “Hidup di Ibu Kota itu keras, bahkan jika kamu tidak memiliki skill apa yang ada didalam didirimu kamu bukan apa-apa dikota ini. Kamu harus tahu apa dan siapa kamu, bagaiaman kamu, dan kamu hidup untuk melakukan apa” Dari pesan Bapak itu aku jadi berpikir 1000 kali, aku ini siapa dan apa. Apa yang sudah aku lakukan untuk diriku dan untuk orang-orang disekitarku. Selama ini aku tidak pernah memikirkan tentang siapa diriku dan apa jati diriku yang sebenarnya.
Hingga suatu ketika bertubi-tubi masalah datang dikehidupanku. Semua bermula ketika aku terpilih menjadi ketua disebuah event yang akan diadakan organisasiku. Saat itu, pengalaman pertamaku menjadi seorang ketua, aku tidak pernah tahu apa yang harus aku lakukan terlebih lagi semua anggota didalam kepanitian susah diatur, keras kepala. Dari situ aku belajar memutar otakku bagaimana caranya mengatur dan menyatukan pemikiran dari berbagai macam pemikiran yang isinya tidak akan sama anatara satu dengan yang lainnya. Diawal memang semuanya berantakan, bahkan aku pun merasa aku tidak bisa menjadi ketua yang tegas.
Namun, salah satu seniorku datang menghampiri aku. Dia memberiku beberapa nasehat dalam berorganisasi, tapi ada satu nasehat yang paling membekas dihati dan otakku hingga saat ini, beliau pernah berkata “Ketika seseorang ditunjuk untuk menjalankan sebuah tanggung jawab yang besar dan diamanahkan ke diri kita, itu berarti orang-orang disekitar kita percaya dengan kemampuan diri kita sendiri, dan hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapat amanah besar. Mungkin saat ini diri kita merasa aku bukan sosok pemimpin yang baik, tapi percayalah apa yang sudah terjadi itu adalah takdir. Tuhan pasti sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada hidup kita, dan ketika kita sudah menjalaninnya percayalah bahwa Tuhan pasti selalu membantu dan tahu bahwa kita bisa menjalakan amanah yang sudah diberikan. Kita diminta bagaimana caranya menjalankan tanggungjawab ini dengan baik, dan yang bisa melakukan semua itu adalah diri kita sendiri. Karena ketika kamu percaya pada diri kamu sendiri, maka semua pasti akan berjalan dengan baik. Tapi ketika kamu sudah tidak percaya dengan diri kamu sendiri itu berarti kamu meremehkan apa yang sudah Tuhan takdirkan untuk kamu.”.
Nasehat itu menjadi salah satu motivasiku untuk mengubah alur cerita hidupku, aku yang tidak pernah merencanakan kehidupanku dimasa depan, tapi sekarang aku selalu memikirkan bagaimana kehidupanku dimasa depan. Ya, sudah ada banyak rencana yang aku list dalam buku catatanku. Memang rasa takut dan pesimis itu pasti selalu ada ketika aku merasa bahwa diriku ini belum bisa menyelesaikan suatu masalah, tapi aku yakin aku tidak sendiri ada Tuhan dan orang-orang yang mencintaiku. Mereka adalah motivasi terbesar. Hidup memang harus dimulai dari diri sendiri, seperti keinginan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan.
Bangsa Indonesia yang dulu dijajah, selalu berada dibalik langit hitam yang gelap. Lalu tiba-tiba datang seorang penggerak yang memudarkan langit hitam itu menjadi sepercik cahaya, bahkan seperti api yang berkobar panas. Ya, para pahlawan terdahulu yang berhasil membuat semangat serta ambisi untuk merdeka melepas bangsa Indonesia dari penjajahan. Semua pasti berawal dari diri sendiri, keinginan untuk lepas dari keterpurukan selama berabad-abad, keinginan untuk lepas dan tidak lagi menjadi seorang budak. Mereka menemukan apa dan siapa diri mereka, apa yang mereka lakukan untuk membuat bangsa ini maju dan merdeka.
Kehidupan pahlawan terdahulu lebih berat karena harus melawan para penjajah. Sedangkan kehidupan saat ini hanya melawan diri sendiri pun seperti sangat sulit. Ya, kenapa sulit, karena mengendalikan diri kita untuk melawan diri dari rasa keegoisan, malas, dan ambisius yang tinggi itu tidak mudah jika diri ini masih terus-terusan mengulangi perbuatan tersebut. Sejatinya aku tersadar hidupmu adalah jati dirimu. Hidupmu berjalan baik atau tidak itu dirimu sendiri yang menentukkannya, bukan orang lain. Orang-orang disekeliling kita hanya tempat untuk berbagi cerita, motivasi atau bahkan penyemangat.
Be Your Self, jangan ingin seperti siapa atau apa, tapi jadi diri sendiri yang mampu memberi perubahan dalam hidup yang positif untuk orang-orang disekitar bahkan untuk bangsa ini. Mungkin saat ini itu yang selalu aku pikirkan untuk menjalani kehidupanku. Menjadi seorang penulis dimedia terkenal seperti pewarta nusantara misalnya, hmm itu menjadi salah satu daftar list kegiatan yang ingin aku lakukan setelah ini. Hidup memang pahit tapi belajar untuk menjadi pemanis dalam hidup agar lambat laun rasa pahit itu bisa hilang dengan sendirinya.
Tidak terasa setelah 2 bulan berlalu, kita telah merasakan hingar bingar kemeriahan pesta 17 agustusan atau kemerdekaan sembari tidak lupa untuk menundukkan kepala dan merenung. Mengingat jasa para pahlawan yang rela berkorban nyawa demi mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan ini. Kita tentu bisa bernafas lega karena hal itu tetapi apa yang terjadi di Indonesia saat ini? Indonesia yang dahulu sungguh berbeda dengan Indonesia yang sekarang. Saat banyaknya pengaruh budaya asing yang masuk dan mulai mempengaruhi budaya asli kita, kita hanya diam dan malah menerima pengaruh budaya luar tersebut. lantas, siapakah yang akan meneruskan warisan kekayaan leluhur ini? Apakah kita hanya perlu diam meratapi kekejaman yang semakin menghantam bumi pertiwi ini? Tentu generasi peneruslah yang harus melakukan hal tersebut. generasi muda perlu menggali ilmu sebanyak – banyaknya agar apa yang seharusnya kita hindari dapat terhindarkan. Namun apa yang terjadi? Indonesia malah semakin terpuruk oleh genari penerus kita. Pembunuhan dan pemerkosaan marak dilakukan oleh kalangan pemuda. Dimana letak hati dan pikiran mereka? Pengaplikasian dari ilmu yang mereka dapatkan justru disia – siakan. Disaat ilmu sangat penting untuk kita justru perlu disimak, mereka justru bermain – main dan bolos saat menimbah ilmu tersebut. Masuknya perkembangan teknologi juga membuat kalangan muda memilih untuk mencoba menggunakan teknologi dalam kehidupan mereka sehingga berkomunikasi secara langsung sudah snagat minim dilakukan. Itukah perilaku anak bangsa? Apakah moral itulah yang patut dicontohi?. Penggunaan dan peredaran narkoba marak terjadi. Sebab apa? Mereka tergiur dengan iming – iming uang yang mungkin dapat menyejahterakannya. Justru hal itu salah. Hal tersebut justru membiarkan diri kita terjerumus kedalam masalah dan dikejar masalah. Jika terus begini, siapa yang akan menjaga keutuhan bangsa indonesia?. Tentu tidak ada jika tidak diupayakan. Oleh karena itu, sebagai perangkat negara, pemerintah seharusnya ikut ambil alih dalam memberikan pengarahan dan sosialisasi ke seluruh Indoesia agar dapat menyadarkan mereka bahwa bangsa ini akan semakin hancur jika kita tidak berhenti membuat masalah. Apakah kita tidak rindu dimasa ketika pepohonan menari sambil menggugurkan daun – daunnya. Disaat komunikasi yang tidak pernah dilepas oleh apapun. Kekeluargaan sangat kental pada saat itu. Kita semua hidup tenteram sehingga kepercayaan tetap terjaga satu sama lain. Dahulu kita berbondong – bondong berlari menimbah ilmu. Kami senang dan tidak ada beban. Bermain bersama teman adalah obat kegelisahan kami. Budaya sangat dijaga sehingga tetap terjaga kesakralannya. Tidakkah kita rindu hal tersebut? indonesia itu indah. Sangat sayang jika disia – siakan hanya karena diperdaya oleh hal – hal baru yang mengusik. Perlu adanya kesadaran diri agar kita tetap bisa menjaga keutuhan bangsa dan negara indonesia sehingga dapat kembali merasakan kedamaian dan kemakmuran Agar bangsa ini tetap terjaga seperti dahulu.