Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

BRGM RI: TAKE/TAPE Bisa Diintegrasikan dengan Desa Peduli Gambut

TAPE TAKE

Jakarta, Pewartanusantara.com – Deputi Edukasi dan Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) RI, Myrna Safitri menegaskan bahwa Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) dan Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) dapat diintegrasikan dengan Desa Peduli Gambut.

“Ketika kami menggagas untuk penyelenggaraan program Desa Peduli Gambut, kami juga sudah menyadari bahwa integrasi kegiatan restorasi gambut pada saat itu dengan pembangunan pedesaan, itu perlu dilakukan,” kata Myrna saat menjadi penanggap dalam acara Webinar Cerita Baik dari Praktek TAKE dan TAPE di Indonesia, Kamis (14/10).

Salah satu langkah untuk mewujudkan itu adalah BRGM RI mengintegrasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) atau Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) dengan alokasi anggaran yang ada seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) untuk mendukung kegiatan-kegiatan perlindungan ekosistem gambut.

“Pertama, supaya sinergis. Kedua, karena kami semua sadar bahwa kegiatan restorasi gambut pada saat itu juga belum bisa memenuhi semua kebutuhan yang ada di desa,” ungkapnya.

Myrna mencontohkan di desa Sumber Agung, Kabupaten Kubu Raya, yang membuat sekat kanal dan embung untuk meminimalisir kebakaran lahan dengan memanfaatkan anggaran Dana Desa (DD).

“Sekat kenal itu penting sebagai salah satu upaya untuk pencegahan kebakaran di lahan gambut. Lah, tentu anggaran BRGM sekarang tidak mencukupi untuk bisa membangun sekat kenal itu,” katanya.

Karena itu, menurut Myrna, di desa-desa di sekitar 640 desa tempat BRGM bekerja, ada banyak desa yang mengalokasikan keperluan itu di dalam APBDes-nya untuk menambah lagi sekat-sekat kanal yang ada atau untuk melakukan pemeliharaan terhadap sekat kanal yang sudah dibangun oleh BRGM.

Myrna juga mengakui bahwa BRGM pada periode lalu memang banyak bekerja di tingkat desa dan nasional, namun kurang menyentuh di tingkat daerah (kabupaten dan provinsi).

“Yang kosongnya ini di daerah, di RPJMD provinsi dan kabupaten. Itu yang masih kosong untuk kepentingan restorasi gambut. Maka dari itu kami sekarang banyak sekali berkomunikasi dengan pemerintah pemerintah daerah provinsi dan kabupaten,” imbuhnya.

DI beberapa provinsi dan kabupaten, seperti Riau dan Kubu Raya, diakui Myrna sangat progresif dalam mengintegrasikan perencanaan. Namun, di beberapa provinsi dan kabupaten lain, masih memerlukan diskusi lebih dalam mengenai hal ini.

“Kalau dari sisi dokumen perencanaan pembangunan sudah jalan antara nasional, provinsi, kabupaten, sampai dengan ke desa, maka saya kira dari sisi penganggarannya pun juga akan menjadi sangat penting,” ungkapnya.

Sehubungan dengan TAKE dan TAPE, Myrna menilai bahwa penerapan itu sudah luar biasa dan perlu diteruskan, termasuk inovasi di dalam mencari sumber-sumber pendanaan yang lain.

“Jadi insentif fiskal adalah salah satu. Tetapi saya kira masih banyak juga sumber pendanaan yang lain dan untuk itu maka apa yang terjadi di desa itu perlu dikomunikasikan dengan baik,” ujarnya.

Namun sayangnya, inisiatif-inisiatif dan inovasi tersebut jarang terdengar karena kurang digemakan dan ada kendala jarak serta fleksibilitas. Karena itu, Myrna menekankan pentingnya sinergitas dan kerja sama antar pihak untuk pembangunan desa.

“Kerja bersama itu menjadi kunci namun untuk simbol kerja bersama yang efektif itu diperlukan satu platform kerja yang jelas dengan tujuan yang juga jelas. Jangan sampai kita bersama-sama tapi dengan tujuan yang berbeda,” tutupnya.

Webinar yang merupakan bagian dari rangkaian Festival Inovasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) ini didukung oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budger Center, The Reform Initiatives (TRI), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Beritabaru.co sebagai media partner.

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

348