Bahrul Fuad: Butuh Transformasi Budaya untuk Masa Depan Perjuangan Perempuan
Jakarta, Pewartanusantara.com – Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Bahrul Fuad menyampaikan, untuk konteks perjuangan perempuan dalam konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan lahan, Indonesia membutuhkan transformasi budaya.
Seperti ia sampaikan dalam Webinar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada Senin (14/3), transformasi budaya merujuk pada pentingnya menggeser paradigma terkait relasi alam dan manusia.
Selama ini, kata Fuad, relasi yang terbangun adalah bahwa manusia terpisah sama sekali dari alam, sehingga manusia bisa begitu saja mengeksploitasi alam dengan tanpa berpikir keberlanjutannya.
Paradigma ini perlu untuk diubah menjai relasi yang saling membutuhkan dan melengkapi, yakni betapa antara alam dan manusia merupakan suatu kesatuan.
“Ketika kita semua berpikir bahwa kita bagian dari alam atau kita adalah alam itu sendiri, maka tidak mungkin kita akan mengeksploitasi alam, dan dalam kaitannya dengan peran perempuan, ini adalah ecofeminisme,” jelas Fuad.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co ini, Fuad juga mengutarakan latar belakang dari pentingnya pembaruan paradigma tersebut.
Pertama, sebab ketika paradigmanya masih yang awal—manusia dan alam terpisah—maka pendekatan yang pemerintah gunakan untuk menyikapi konflik SDA adalah represif, bukan dialog.
Kedua, karena paradigma yang awal akan menjadikan pemerintah menggunakan pendekatan relasi kuasa, baik model politik atau pun pemodal.
“Ini bisa kita lihat dari cerita Ibu Ngatinah ya, betapa relasi kuasa dan represi sangat bermain di situ, yakni yang dibenturkan adalah antara pemerintah dan masyarakat, jika tidak perusahaan dan masyarakat. Pun, itu menggunakan aparat kepolisian dengan persenjataan lengkap,” jelas Fuad.
Kenapa perempuan selalu terdampak?
Dalam diskusi yang dipandu oleh Diah Mardhotillah dan Pria Laura ini, Fuad menyampaikan pula terkait beberapa hal yang menjadikan perempuan menjadi pihak paling terdampak dalam konflik SDA.
Pertama, kultur Indonesia masih memosisikan perempuan sebagai pihak yang lemah.
“Ini mengakibatkan, penanganan konflik selalu mengedepankan tata cara patriarki,” kata Fuad.
Kedua, perempuan merupakan pihak yang berada di barisan paling depan ketika ada konflik SDA.
Pasalnya, yang paling dekat dengan SDA adalah perempuan, bukan laki-laki. Jadi, ketika ada sesuatu yang terjadi dengan SDA, perempuan lebih sensitive.
“Contoh gampangnya begini, ketika lombok atau beras habis di dapur, yang mencermati siapa? Perempuan. Jadi, mereka selalu berpikir tentang keberlanjutan,” ungkapnya.
Terakhir, selain yang terdepan, dalam praktiknya, perempuan juga merupakan korban dari setiap konflik SDA dan lahan di Indonesia.
“Kenapa? Ya karena tadi, pendekatan yang digunakan adalah ketimpangan dan eksploitasi,” pungkas Fuad.
Perlu diketahui acara yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi Setapak ini dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno sebagai pembicara kunci.
Beberapa narasumber pun hadir, meliputi Kepala Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah III Provinsi Bengkulu Muhammad Zainuddin, Perempuan Adat di Teluk Bintuni Papua Barat Yustina Ogeney, negosiator perempuan Ngatinah, dan ditanggapi langsung oleh Ketua Prodi SKSG Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati dan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden RI Rizkina Aliya.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida