Author Archives: Zainul Abidin
Dahniar Andriani host dan beberapa narasumber dalam Webinar Festival Ibu Bumi bertajuk Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/5).
Jakarta, Pewartanusantara.com – Pada 2022 Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Banyak pihak berharap, RUU tersebut bisa segera disahkan sebab, seperti disampaikan oleh Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono, keberadaannya sangat mendesak.
Dalam Webinar Festival Ibu Bumi, Rabu (25/5), ia menengarai bahwa menunda disahkannya RUU MHA merupakan sebentuk ketidakadilan pada masyarakat adat.
Pasalnya, hal tersebut atau adanya kepastian hukum adalah hak mereka dan ini diabaikan.
“Kita sering bicara soal reforma agraria, tapi yang kita suarakan hanya tentang redistribusi dan resolusi konflik. Hal yang justru mendasar seperti pemenuhan hak masyarakat adat malah diabaikan,” ungkapnya.
Selain mendesak, sebagaimana dijelaskan Country Representative The Asia Foundation (TAF) Hana Satriyo, RUU MHA rupanya sudah lama diajukan untuk disahkan menjadi UU, namun selalu terhambat.
Menurut Hana, ini adalah pekerjaan rumah bersama, yaitu untuk mendorong disahkannya RUU MHA.
“Tujuannya jelas, agar ada jaminan hak atas tanah dan akses wilayah Kelola ruang bagi perempuan adat di Indonesia sebagai bagian dari masyarakat adat,” jelasnya.
Baik Hana atau pun Maria mengungkap, regulasi tentang masyarakat adat memang sudah ada, tapi masih bersifat parsial, belum terkumpul menjadi satu Undang-Undang (UU).
Karena parsial, maka yang terjadi, mereka kerap tumpang tindih dan ini justru menyulitkan masyarakat adat dalam praktiknya.
Diplomat Keadilan Ekologis dan Perkumpulan HuMa Indonesia Nora Hidayati misalnya. Ia mencatat, kebijakan-kebijakan tentang wilayah hutan masih bersifat sektoral.
Dampaknya, untuk menetapkan hutan adat, masyarakat adat diharuskan sudah memiliki Perda (Peraturan Daerah), sedangkan untuk mengantongi Perda, tegasnya, sama sekali tidak mudah.
“Di beberapa daerah, bahkan untuk menggolkan satu Perda pengakuan Hutan Adat, mereka harus masuk ke gelanggang politik,” ucap Nora.
Dengan ungkapan lain, tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat adat berakibat pada sulitnya mereka untuk mendapatkan pengakuan dan kemudian bisa mengelola ruang hidupnya.
Ungkapan senada datang dari salah satu perempuan adat di Malawi Kalimantan Barat Maria Fransiska Tenot.
Maria mengaku, pihaknya berharap agar RUU MHA segera disahkan agar masyarakat adat di daerahnya bisa aman dalam mengelola wilayah adatnya.
“Kami sering merasa tidak aman dalam mengelola lahan kami sendiri. Takut ada pihak lain yang merebut. Jadi untuk menjaga biar ini tidak terjadi, kami sering berpindah tempat untuk Bertani,” kata Maria.
“Pertama agar lahannya tetap subur dan kedua supaya tidak ada pihak lain yang mengklaim lahan kami,” imbuhnya.
Peran perempuan
Di balik kisah perjuangan dan harapan masyarakat adat agar RUU MHA segera disahkan terdapat cerita tak kenal lelah para perempuan adat.
Nora menyampaikan, untuk kasus hutan, perempuan adat memiliki kendali yang tidak bisa diremehkan.
Yang menjaga adanya kedaulatan pangan keluarga dan komunitas adat, termasuk sumber penghidupan tidak lain adalah para perempuan adat.
Tidak berbeda darinya adalah perempuan adat di Malawi. Di wilayah ini, seperti diungkap oleh Maria Fransiska Tenot, perempuan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam hal pengelolaan lahan dan penanaman benih.
“Untuk proses menanam itu justru lebih banyak ibu-ibu,” katanya.
Perlu diketahui webinar bertajuk Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia ini ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi SETAPAK.
Beberapa narasumber lain hadir dalam diskusi ini, mencakup perempuan pemerhati sosial budaya Masyarakat Hukum Adat Sarmi Papua Editha Sefa, dan Perwakilan Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai Sumatera Barat Rosmy Z.
Selain itu, webinar yang diselenggarakan oleh TAF, Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co ini dipandu oleh Hera Yulita dari GFP dan Dahniar Andriani dari HuMa.
Untuk penetrasinya, hasil diskusi ditanggapi oleh Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dan ditutup oleh Margaretha Tri Wahyuningsih dari TAF Indonesia.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Catur Endah Prasetiani menyampaikan pihaknya terus berkomitmen memajukan produk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) agar dikenal masyarakat luas.
Hal tersebut disampaikan Endah dalam Milenial Talk seri I: Penguatan Penguatan Ekonomi Perempuan dalam Mengelola Wilayah Perhutanan Sosial yang diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meeting dan juga disiarkan di Channel Youtube Beritabaruco, Minggu (17/4/2022).
“Untuk kapasitas perempuan yang perlu ditingkatkan adalah kreatifitasnya, jadi sebagian besar perempuan di perhutanan sosial berusaha dari tengah sampai hilir, jadi jika bapaknya yang menjualnya dan yang memproduksinya adalah kaum perempuan,” ujar Endah.
Sehingga, menurut Endah untuk menjangkau pasar nasional bahkan internasional skil memasak yang dimiliki perempuan di KUPS tidak cukup, namun perlu ada kreatifitas lain seperti packaging yang menarik.
“Sehingga ini perlu bantuan kaum milenial untuk membantu pemasaran dari produk perhutanan sosial,” tutur Endah.
Dalam rangka melakukan percepatan tersebut, Endah mengatakan pihaknya mengajak anak milenial untuk membantu orang tuanya dengan memberikan ide-ide dan terobosan kreatif sehingga dapat meningkatkan penjualan dari produk KUPS.
“Kita bangga dengan teman-teman milenial dimana mereka idenya sangat jauh dan mereka menjadi influencer antara KUPS dengan masyarakat luas. Artinya ptoduk KPUS ini tidak akan dikenal tanpa dikenalkan dengan cara kekinian. Kalau masih dengan cara lama itu akan sangat lama perkembangannya,” jelas Endah.
Untuk mensukseskan hal tersebut, Menurut Endah perlu mengenalkan bisnis proses perhutanan sosial ini dari hulu hingga hilir. Hal itu dilakukan guna memberikan gambaran besar bagi masyarakat bagaimana produk tersebut diolah hingga akhirnya dapat dipasarkan.
Endah mengatakan, dalam pelatihan yang selama ini dilakukan pihaknya selalu membuka peluang luas bagi siapapun yang ingin belajar bagaimana memanfaatkan hutan sosial dalam meningkatkan kesejahteraan bersama.
“Kami membuka peluang juga untuk mereka mengajak putra-putrinya dan juga teman-temannya, kami menekankan pelatihan ini semamam training of trainer, sehingga pasca pelatihan ini mereka dapat menularkannya kepada yang lain,” jelasnya.
“Strategi kami juga tidak kaku dan selalu mengupdate sesuai dengan perkembangan zaman. Inovasi baru ini harus sampai ke tingkat tapak. Kami juga menyediakan buku saku digital marketing, terus kami juga punya buku saku bagaimana membuat rencana kelolanya. Ini butuh bantuan teman-teman milenial untuk membantu orang tuanya dalam mengembangkan KUPSnya. Hal ini kami lakukan untuk meluaskan jangkauan yang luas bagi produk perhutanan sosial,” jelas Endah.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Kolaborasi dan sinergi para pihak adalah kunci utama untuk penguatan ekonomi perempuan di era digital marketing dan pasca pandemi.
Plt. Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat (BUPSHA), Catur Endah Prasetiani mengungkapkan bahwa jumlah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Indonesia pada 2021 sebanyak 8.154 KUPS.
“Program Perhutanan Sosial sudah menjadi program nasional. Sehingga kementerian lembaga KUPS kami ini boleh dibilang menjadi lokus-nya. Hutannya memang kewenangan KLHK, tapi masyarakatnya ini milik daerah. Sehingga pemerintah daerah juga harus terlibat untuk meningkatkan kesejahteraan daerah,” katan Prasetiani.
Ditjen BUPSHA selalu berkomitmen untuk memfasilitasi KUPS-KUPS yang ada dengan tetap melihat kondisi KUPS tersebut.
“Kami melihat kondisi KUPS, mereka butuh apa. Kapasitas SDM pemegang KUPS ini yang memang memegang peranan. Misalnya ada yang sudah maju. Mereka hanya butuh kolaborasi sedikit lagi dengan pariwisata untuk wisatanya dikenalkan. Kadang potensinya ada, cuman SDM-nya yang kurang. Kita bantu fasilitasi,” tuturnya, menambahkan kolaborasi dan sinergi mempunyai peran penting untuk memajukan KUPS.
Upaya penguatan ekonomi yang dilakukan Ditjen BUPSHA berkaitan langsung dengan ekonomi KUPS karena selalu melibatkan satu keluarga dalam mengembangkan usaha. “Untuk pengembangan usaha, jangan jual mentahannya saja, tapi kita bisa meningkatkan value chain-nya, dengan menjualnya dalam bentuk hasil olahannya. Sampai packaging-nya, brand-nya, sehingga harga jualnya meningkat.”
“Secara garis besar, bagaimana mensinergikan dan mengkolaborasikan antara pemerintah dan pemerintah daerah. Tapi jangan lupa, akademisi juga kita ajak. Pelaku usaha, NGO, juga dari media yang bisa meningkatkan value. Juga dengan ahli digital marketing untuk memperluas pasar. Semua, mulai dari hulu hingga hilir,” tegasnya.
Prasetiani juga mengungkapkan bahwa strategi Ditjen BUPSHA dalam mendampingi KUPS tidaklah kaku, melainkan selalu meng-update sesuai dengan perkembangan zaman dengan inovasi-inovasi baru.
“Inovasi-inovasi baru itu harus sampai di tingkat tapak. Kami sudah mencoba untuk melakukan pelatihan digital marketing bagi KUPS. Kami juga punya buku saku digital marketing. Ada juga buku saku rencana kelola, sehingga bisa dipelajari oleh teman-teman milenial dan kemudian nanti mereka mengajarkan pada orang tuanya. Digital ini penting agar bisa menjangkau pasar yang lebih luas lagi,” jelasnya.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Plt. Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat (BUPSHA), Catur Endah Prasetiani menegaskan bahwa melalui program perhutanan sosial, pihaknya terus mendorong untuk menjadikan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) mandiri.
“Sehingga dapat meningkatkan ekonomi regional, meningkatkan ekonomi desanya, berbasis komunitas dan secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat di sekitar hutan,” kata Prasetiani, Minggu (17/4).
Hal itu ia sampaikan dalam acara Millenial Talk bertajuk ‘Penguatan Ekonomi Perempuan dalam Mengelola Wilayah Perhutanan Sosial’. Program ini diselenggarakan atas kerja sama Pokja Pengarusutamaan Gender KLHK, The Asia Foundation (TAF) dan Beritabaru.co.
Menurut Prasetiani dalam memfasilitasi pengembangan KUPS pihaknya membagi ke dalam 4 kelompok berdasar kemampuan KUPS. Hal ini dibuat karena perhutanan sosial merupakan pemberian akses kelola masyarakat sekitar kawasan hutan atau hukum adat dalam bentuk kelompok.
“Jadi memang mereka mempunyai kapasitas yang agak terbatas dalam kesempatan berusaha dan juga kapasitas sumber daya manusianya. Sehingga kita kelompokkan,” ujarnya.
Kelompok pertama disebut kelompok blue, adalah yang baru saja mendapatkan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial. Prasetiani menyebut Fasilitas yang diberikan terhadap kelompok ini berupa dorongan untuk membentuk kelembagaan KUPS dengan melihat potensi usaha yang ada.
Ketika sudah terbentuk KUPS dan ada potensi usahanya, BUPSHA memberikan fasilitas lanjutan berupa penyusunan rencana kelola perhutanan sosial untuk jangka waktu 10 tahun. Ketika sudah mempunyai rencana perhutanan sosial, kata Prasetiani, KUPS tersebut dikategorikan dengan silver.
“Artinya sudah mempunyai rencana sudah mempunyai unit usahanya” tutur Prasetiani.
KUPS kategori silver ini kemudian akan menerima fasilitas stimulan untuk memulai usaha. Fasilitas tersebut diantaranya berbentuk pelatihan (baik dari KLHK maupun dari lembaga lain), dan beberapa bantuan lainnya.
Ketika usaha KUPS sudah mulai dipasarkan di tingkat lokal atau regional, BUPSHA akan mengkategorikan gold. Dengan kategori gold, KUPS tersebut akan difasilitasi pelatihan kewirausahaan.
“kalau tadi yang silver termasuk peningkatan produksi dan produktivitasnya, di gold suda dengan pelatihan kewirausahaan. Kita adakan misalkan temu usaha, gunanya adalah ketika gold sudah mulai mencari akses permodalan dari berbagai pihak,” terangnya.
Ketika KUPS sudah kuat secara kelembagaan (mempunyai lembaga usaha berupa koperasi dan berbadan hukum,) usahanya mulai dipasarkan secara nasional bahkan hingga ekspor, dan bisa menjaga menjaga kawasan yang dikelola, KUPS tersebut dikategorikan dengan platinum.
“Untuk pemberian fasilitas itu tidak hanya dari KLHK, karena untuk pengelolaan perhutanan sosial itu dari hulu ke hilir, sehingga dukungan dari berbagai pihak diperlukan untuk mendampingi dari KUPS kami,” pungkasnya.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Catur Endah Prasetiani menegaskan bahwa peran perempuan untuk program Perhutanan Sosial (Perhutsos) membujur dari hulu ke hilir.
Hal ini ia sampaikan dalam Milenial Talk seri I: Penguatan Penguatan Ekonomi Perempuan dalam Mengelola Wilayah Perhutanan Sosial pada Minggu (17/4).
Menurutnya, siapa pun tidak bisa mengabaikan begitu saja peran perempuan dalam menginisiasi dan mengelola kawasan hutan, khususnya dalam lingkup Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
“Ada banyak sekali contoh tentang ini, bahwa peran perempuan untuk pengelolaan hutan itu dari hulu ke hilir,” ungkapnya dalam podcast yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) KLHK, dan Beritabaruco.
Endah setidaknya menyampaikan tiga peran utama perempuan dalam KUPS.
Pertama, perempuan berperan penting mendorong terjadinya percepatan pengelolaan kawasan hutan dengan memasak dan mengirim makanan bagi mereka yang tugasnya di kawasan hutan.
“Bagi sebagian orang mungkin ini sepele, tapi jangan salah, ini sangat penting,” kata Endah.
Kedua, dalam banyak kasus, perempuan memiliki kapasitas untuk mengontrol kelestarian hutan melalui mendorong suaminya masing-masing agar tidak melakukan apa pun yang bisa merusak hutan.
Tentang ini, Endah bercerita tentang sejoli pasangan dalam rumah tangga yang kerap berdebat seputar pengelolaan hutan.
Pihak perempuan, ungkap Endah, boleh dibilang adalah semacam polisi hutan yang sudah memiliki kesadaran tentang kelestarian dan merasakan dampak positifnya.
Adapun pihak suami sebaliknya: pihak yang kerap melakukan penebangan hutan liar.
Keduanya kontras, sehingga sang istri kerap mengajak suami diskusi dan mendorong agar sang suami tidak lagi melakukan penebangan liar.
Endah melihat ini sebagai sebentuk peran perempuan yang luar biasa, tapi jarang disadari.
“Ini menarik ya, unik, dan benar terjadi. Intinya, peran perempuan untuk kelestarian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan jelas,” tegas Endah.
Ketiga, perempuan lebih bisa diajak untuk berdiskusi soal pemetaan potensi hutan, bahkan untuk menginisiasi sebuah gagasan.
Apa yang Endah ingin sampaikan di poin ketiga ini sebetulnya adalah tentang pemetaan potensi selepas ada satu keluarga—atau lebih—berhasil mengantongi persetujuan pengelolaan Perhutsos.
Biasanya, ungkap Endah, ketika ada izin keluar untuk Perhutsos, yang dilakukan pertama oleh KUPS adalah pemetaan potensi, seperti potensi apa yang bisa dikembangkan di hutan ini atau itu.
Persis di sini, yang kerap muncul ke permukaan untuk melibatkan dirinya dalam proses pemetaan adalah perempuan.
“Tidak saja itu, tidak jarang pun mereka tampil dengan gagasannya sendiri, seperti ini cocok untuk madu, yang itu kopi, dan sebagainya,” papar Endah.
Manfaat ekonomi untuk masyarakatDalam diskusi yang ditemani oleh Sarah Monica, host kenamaan Beritabaru.co, Endah juga menjelaskan tentang manfaat ekonomi dari skema Perhutsos.
Perhutsos adalah program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berada di sekitar hutan.
Endah memaparkan dua (2) manfaat ekonomi yang bisa masyarakat peroleh dari Perhutsos: peningkatan lapangan kerja dan peningkatan usaha.
Pertama berhubungan dengan akan terbukanya lapangan kerja ketika ada izin Perhutsos turun.
Mereka yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan bisa bergabung untuk turut mengelola kawasan hutan dalam skema Perhutsos dan di sinilah maksud dari adanya peningkatan lapangan kerja.
“Untuk kasus satu keluarga, di sini seorang bapak bisa mengajak anaknya yang sudah cukup umur untuk membantunya mengelola kawasan, yang itu artinya ia membantu sang anak untuk memiliki pekerjaan,” kata Endah.
Kedua lebih pada pengembangan bisnis yang sudah ada. Mereka yang sudah memiliki usaha di bidang pengelolaan hasil hutan non-kayu, bisa mengajukan izin Kelola Perhutsos.
Bila izin disetujui, maka mereka bisa menggunakannya untuk mengembangkan bisnis dan memberdayakan masyarakat di sekitar, termasuk pihak perempuan seperti istrinya sendiri atau anak perempuan.
Dalam menjelaskan ini, Endah bercerita tentang satu keluarga yang berhasil mengajak anak perempuannya menjadi barista di sebuah kafe di wilayahnya.
Kafe tersebut memiliki kaitan dengan usaha sang bapak, yakni di bidang kopi.
Dengan ungkapan lain, lanjut Endah, melalui Perhutsos, kolaborasi bisa dibangun: sang bapak bekerja di kebun kopi, sedangkan sang anak meracik hasil kopinya hingga bisa dinikmati oleh pelanggan.
“Menariknya adalah sang bapak di sini merasa bangga bahwa ia telah berhasil menggaji anaknya. Sang bapak meyakini hal tersebut dan ini bagus, ya meskipun sebenarnya yang menggaji kan pihak kafe,” ungkap Endah sambil terkekeh.
Poinnya, yang Endah ingin tegaskan adalah betapa perempuan memiliki peran yang tidak bisa diabaikan dalam KUPS.
Perlu diketahui, diskusi ini ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco.
Penuhi Hak Dasar Perempuan dan Anak Sekitar Hutan, KLHK Kembangkan Pengelolaan Perhutsos Kolaboratif
Jakarta, Pewartanusantara.com – Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Erna Rusdiana menyampaikan bahwa perhutanan sosial (perhutsos) terus berkolaborasi dengan lembaga dan kementerian agar dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat di sekitar.
Hal tersebut disampaikan Erna saat menjadi narasumber pada Podcast Sesi 10 dengan tajuk Perhutanan Sosial yang Responsif Gender yang diselenggarakan atas kerjasama The Asia Foundation, KLHK dan Beritabaru.co pada Rabu (23/3).
“Perhutanan sosial ini tidak berdiri sendiri tetapi berkolaborasi dengan program-program pemberdayaan masyarakat, program program pemberantasan kemiskinan, program-program peningkatan perekonomian yang ada di kementerian atau di lembaga lain atau yang diimplementasikan di setiap daerah,” ujar Erna.
Selain hal itu, Erna menegaskan perhutanan sosial juga sangat memperhatikan peran perempuan, khususnya terkait pengembangan usaha. Salah satu yang dilakukan pihaknya adalah dengan mendata kembali jumlah perempuan yang berkiprah di perhutanan sosial.
“Sehingga kita bisa mendapatkan data yang benar-benar akurat dan akses legal, sehingga dapat diketahui berapa persen (peran) perempuannya,” jelas Erna.
Setelah pendataan itu, lanjut Erna kita pihaknya juga melakukan pengembangan-pengembangan program yang ramah terhadap perempuan dan anak.
“Kita juga perlu melihat anak-anak dan harus ramah terhadap perempuan, apalagi ini masalah masuk ke hutan ini ya. Bagaimana keamanan perempuan dalam hutan itu juga perlu mulai diperhatikan,” tegasnya.
Dalam pengembangan program perhutsos, Erna menyampaikan pihaknya harus hadir memberikan jaminan kesehatan dan juga pendidikan bagi kelompok rentan, seperti perempuan dan anak.
“Saya kira program-program di perhutanan sosial akan semakin berkembang dengan kolaborasi dengan program-program yang lain (khususnya) pendidikan dan kesehatan. Poinnya adalah kolaborasi pasti urusan perempuan akan lebih dibantu oleh banyak pihak,” tegas Erna.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menegaskan bahwa tidak ada kesenjangan gender dalam pengelolaan dan pemanfaatan Perhutanan Sosial (Perhutsos), serta menjamin keterlibatan perempuan mulai dari tingkat tapak hingga pengambilan Kebijakan
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL), Erna Rosdiana pada Rabu (23/3) menegaskan bahwa dalam Peraturan Menteri LHK No. 9 tahun 2021 tidak ada kesenjangan gender.
“Saya kira sudah jelas di dalam kebijakan. Di dalam peraturan-peraturannya sudah nyata disebutkan bahwa perhutanan sosial ini untuk masyarakat lokal, baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada pembedaan,” kata Erna.
Dalam praktiknya, Erna menjelaskan bahwa sejak awal, kebijakan Perhutsos sudah sangat memperhatikan kepentingan perempuan, baik para pendamping di tingkat tapak, maupun para pengambil kebijakan di Ditjen PSKL.
“Misalnya, saat melakukan sosialisasi ke lapangan. Itu tentu memberikan penekanan-penekanan kepada kelompok-kelompok perempuan agar mereka juga mau menyampaikan aspirasinya, ‘teguran sapa’ kepada perempuan juga harus selalu dilakukan. Itu salah satu metode sosialisasi yang memang harus dilakukan sejak awal,” kata Erna.
Menurut Erna, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar juga selalu menegaskan dan memberikan arahan untuk melibatkan perempuan di dalam pengelolaan Perhutsos, dari tingkat masyarakat sampai di kalangan internal KLHK.
Sehubungan dengan syarat administrasi pengajuan izin Perhutsos yang diwakili kepala keluarga –yang notabene adalah seorang laki-laki– sebagai pihak yang dapat melakukan pengajuan, Erna menjelaskan bahwa dalam peraturan baru tidak mengharuskan yang mengajukan adalah kepala keluarga.
“Bisa juga ibunya atau ibu rumah tangganya yang masuk di dalam SK itu. Tapi yang jelas satu keluarga di wakili oleh satu orang. Bahkan pernah terpikir bahwa SK perhutanan sosial ini kita berikan kepada ibunya saja. Kenapa ibunya saja? Karena tanah itu adalah ibu,” terang Erna dalam Podcast Seri-9 Publikasi dan Diseminasi Praktik Baik Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan.
Di samping itu, Ditjen PSKL memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok perempuan karena mempunyai potensi yang cukup besar dalam mengembangkan usaha-usaha Perhutsos.
“Tidak hanya di hulu, atau pergi ke ladang misalnya. Tetapi juga dalam proses hilir, perempuan lebih banyak berperan. Misalnya, mengolah hasil-hasil, kemudian melakukan packaging itu bagian perempuan. Kemudian juga bagaimana mereka memasarkan cukup lumayan, perempuan lebih aktif, lebih speak up,” imbuhnya.
Dalam acara yang bertajuk Perhutanan Sosial yang Responsif Gender tersebut, Erna mengakui terdapat beberapa kelemahan dalam hal pendataan, bahwa pengelolaan data yang diperoleh dari proses monitoring dan evaluasi sebagian besar masih belum dilakukan secara terpilah antara laki-laki dan perempuan.
“Kalau dari data terpilah, memang kita masih sangat kecil. Karena pendataan terpilah ini baru dilakukan kalau tidak salah tahun 2019. Kita baru mulai mendata laki-laki dan perempuan saat verifikasi di lapangan sehingga masuk di dalam SK dari pemberian akses legal itu baru 2019, hingga sekarang ini baru mencapai 13 persen,” terang Erna.
Tetapi dalam hal pendampingan, Ditjen PSKL mengatakan sudah mendata sebanyak 22 persen. Sementara untuk fasilitator atau pegawai pemerintah maupun pemerintah daerah, Erna mengatakan hampir mencapai 40 persen perempuan.
“Jadi yang melakukan pelayanan hampir lebih banyak perempuan. Ini masalah pendataan saja menurut saya. Karena faktanya keterlibatan perempuan dalam Perhutsos ini, di lapangannya, jauh lebih besar,” tegas Erna dengan menekankan pihaknya akan melakukan verifikasi data ulang.
Dalam kesempatan itu, Erna juga menegaskan bahwa berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh KLHK, Perhutsos banyak memberikan manfaat nyata pada masyarakat, baik dalam hal ekologi, sosial, maupun ekonomi.
“Kalau dari aspek sosial, saya kira ini pasti meningkat karena tingkat kerukunan warga, dengan adanya perhutanan sosial, ada keguyuban yang kemudian meningkat juga di tingkat warga, itu juga meningkat. Jadi konflik bisa diredam dengan adanya perhutanan sosial,” kata Erna.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL), Erna Rosdiana menegaskan Perhutanan Sosial (Perhutsos) ditujukan untuk masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang selama ini kurang mendapat perhatian atau terpinggirkan dari pembangunan.
Secara umum dengan adanya Perhutsos, manfaat yang bisa diperoleh adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Setidaknya sudah 1,05 juta KK yang menerima izin perhutanan sosial dengan berbagai skema salah satunya pengelolaan hutan adat.
“Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh Universitas, pernah oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), juga oleh Institute Pertanian Bogor (ITB) dan juga ada lembaga independen yaitu Kata Data, sudah menunjukkan bahwa memang peningkatan pendapatan dari perhutanan sosial terhadap masyarakat pelaku perhutanan sosial itu sudah nyata ada peningkatannya,” kata Erna.
Hal itu ia ungkap saat menjadi narasumber pada Podcast Sesi 10 dengan tajuk Perhutanan Sosial yang Responsif Gender yang diselenggarakan atas kerjasama The Asia Foundation (TAF), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ‘KLHK’ dan Beritabaru.co, dengan tajuk ‘Perhutanan Sosial yang Responsif Gender’, pada Selasa (22/3).
“Bahkan dikatakan bahwa, kalau di Kata Data, itu sudah mencapai dua kali lipat dari pendapatan semula. Jadi pengentasan kemiskinan untuk di Lampung Barat itu, hasil kajian dari UGM, sudah bisa dikatakan 50 persen lebih. 50 persen lebih masyarakat sudah 2 kali lipatnya meningkat,” sambungnya.
Sementara di KLHK sendiri, menurut Erna, asesmen dilakukan setiap 5 tahun sekali yaitu kepada perhutanan sosial yang sudah izinnya 5 tahun ke atas dengan mengevaluasi tiga aspek. Pertama aspek ekonomi, aspek ekologinya dan aspek sosial. “Untuk aspek ekologi itu hasilnya nyata memang perbaikan tutupan lahan semakin meningkat dengan adanya perhutanan sosial,” jelasnya.
Namun demikian, lanjut Erna, dari hasil asesmen evaluasi perhutsos pada aspek ekonomi, secara keseluruhannya KLHK mendapati masih mengalami sedikit peningkatan dalam artian tidak terlalu signifikan. “Aspek ekonomi sedikit sekali peningkatannya. Aspek ekologinya bahkan yang meningkat lebih besar,” tuturnya.
Sementara untuk dampak sosial dengan hadirnya program Perhutsos menurut Erna mengalami peningkatan yang cukup positif. “Kalau sosialnya saya kira ini pasti meningkat karena tingkat kerukunan warga, dengan adanya perhutanan sosial, ada keguyuban yang kemudian meningkat juga di tingkat warga, itu juga meningkat. Jadi konflik bisa diredam dengan adanya perhutanan sosial,” pungkasnya.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Perhutanan Sosial (Perhutsos) adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.
Perhutsos dinilai sebagai pendekatan baru yang diinisiasi pemerintah untuk memastikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan lestari, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Erna Rosdiana dalam Seri Podcast ke-9 Publikasi dan Diseminasi Praktik Baik: Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, Rabu (23/3).
“Perhutsos ini bukan soal bagi-bagi lahan ya,” tegas Erna dalam podcast yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan Gender (PUG) KLHK, Beritabaru.co, dan The Asia Foundation (TAF).
Karena itu, imbuh Erna, Perhutsos memiliki tujuan utama untuk memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia, khususnya tentang kepastian hukum.
Selama ini, hutan-hutan yang dikelola masyarakat, yang menjadi sumber hidup masyarakat, belum memiliki kepastian hukum, sehingga rentan terjadi sengketa dengan pihak lain.
Oleh karena itu, untuk menertibkan dan menjamin kepastian hukum, maka perlu diterapkan kebijakan Perhutsos. Dengan Perhutsos, masyarakat akan mendapatkan izin kelola selama 35 tahun dan bisa diperpanjang.
“Jadi bisa diberikan hak kelola kepada masyarakat selama jangka waktu yang cukup besar, 35 tahun,” jelas Erna.
“Dengannya, masyarakat memiliki hak kelola dan memanfaatkan untuk kesejahteraannya dengan tetap menjaga kelestarian hutan, yang sebab inilah Perhutsos menjadi program prioritas pemerintah,” imbuhnya.
Mekanisme izin mudahErna menyampaikan ada 2 (dua) pihak yang bisa mengajukan izin Perhutsos, kelompok masyarakat dan koperasi.
Proses pengajuan pun mudah, bisa lewat aplikasi dan manual. Pihak yang kesulitan menggunakan aplikasi, bisa memilih manual.
Untuk proses manual pun, KLHK sudah menyediakan pendamping khusus untuk memudahkan pendaftaran.
“Jadi, sangat mudah ya untuk mengajukan izin Perhutsos,” ungkapnya dalam diskusi yang bertajuk Perhutanan Sosial yang Responsif Gender ini.
Adapun untuk verifikasi, KLHK nantinya bekerja sama dengan tim dari daerah, Dinas Kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan akademisi.
Verifikasi penting guna memastikan apakah pihak yang mengajukan izin sudah tepat sasaran atau belum, yakni masyarakat yang sumber hidupnya bergantung langsung pada hutan.
“Ukuran verifikasinya nanti, salah satunya dan yang terpenting, adalah apakah memang benar pihak pengusul merupakan mereka yang hidupnya bergantung langsung pada hutan,” jelas Erna.
“Untuk memudahkan masyarakat juga, kami punya program jemput bola. Jadi, kami turun ke lapangan langsung untuk membantu masyarakat mengajukan Perhutsos,” imbuhnya dalam diskusi yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco ini.
Jakarta, Pewartanusantara.com – Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Bahrul Fuad menyampaikan, untuk konteks perjuangan perempuan dalam konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan lahan, Indonesia membutuhkan transformasi budaya.
Seperti ia sampaikan dalam Webinar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada Senin (14/3), transformasi budaya merujuk pada pentingnya menggeser paradigma terkait relasi alam dan manusia.
Selama ini, kata Fuad, relasi yang terbangun adalah bahwa manusia terpisah sama sekali dari alam, sehingga manusia bisa begitu saja mengeksploitasi alam dengan tanpa berpikir keberlanjutannya.
Paradigma ini perlu untuk diubah menjai relasi yang saling membutuhkan dan melengkapi, yakni betapa antara alam dan manusia merupakan suatu kesatuan.
“Ketika kita semua berpikir bahwa kita bagian dari alam atau kita adalah alam itu sendiri, maka tidak mungkin kita akan mengeksploitasi alam, dan dalam kaitannya dengan peran perempuan, ini adalah ecofeminisme,” jelas Fuad.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co ini, Fuad juga mengutarakan latar belakang dari pentingnya pembaruan paradigma tersebut.
Pertama, sebab ketika paradigmanya masih yang awal—manusia dan alam terpisah—maka pendekatan yang pemerintah gunakan untuk menyikapi konflik SDA adalah represif, bukan dialog.
Kedua, karena paradigma yang awal akan menjadikan pemerintah menggunakan pendekatan relasi kuasa, baik model politik atau pun pemodal.
“Ini bisa kita lihat dari cerita Ibu Ngatinah ya, betapa relasi kuasa dan represi sangat bermain di situ, yakni yang dibenturkan adalah antara pemerintah dan masyarakat, jika tidak perusahaan dan masyarakat. Pun, itu menggunakan aparat kepolisian dengan persenjataan lengkap,” jelas Fuad.
Kenapa perempuan selalu terdampak?Dalam diskusi yang dipandu oleh Diah Mardhotillah dan Pria Laura ini, Fuad menyampaikan pula terkait beberapa hal yang menjadikan perempuan menjadi pihak paling terdampak dalam konflik SDA.
Pertama, kultur Indonesia masih memosisikan perempuan sebagai pihak yang lemah.
“Ini mengakibatkan, penanganan konflik selalu mengedepankan tata cara patriarki,” kata Fuad.
Kedua, perempuan merupakan pihak yang berada di barisan paling depan ketika ada konflik SDA.
Pasalnya, yang paling dekat dengan SDA adalah perempuan, bukan laki-laki. Jadi, ketika ada sesuatu yang terjadi dengan SDA, perempuan lebih sensitive.
“Contoh gampangnya begini, ketika lombok atau beras habis di dapur, yang mencermati siapa? Perempuan. Jadi, mereka selalu berpikir tentang keberlanjutan,” ungkapnya.
Terakhir, selain yang terdepan, dalam praktiknya, perempuan juga merupakan korban dari setiap konflik SDA dan lahan di Indonesia.
“Kenapa? Ya karena tadi, pendekatan yang digunakan adalah ketimpangan dan eksploitasi,” pungkas Fuad.
Perlu diketahui acara yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi Setapak ini dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno sebagai pembicara kunci.
Beberapa narasumber pun hadir, meliputi Kepala Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah III Provinsi Bengkulu Muhammad Zainuddin, Perempuan Adat di Teluk Bintuni Papua Barat Yustina Ogeney, negosiator perempuan Ngatinah, dan ditanggapi langsung oleh Ketua Prodi SKSG Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati dan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden RI Rizkina Aliya.