Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Amanat Ronggowarsito untuk Abu Sawan

ronggowarsito

Abu Sawan? Jangan salah baca, ya. Abu Sawan. Bukan Abu Nawas. Benar. Kata Sawan ini merujuk pada istilah Jawa yang identik pada kejiwaan anak-anak bayi. Tiba-tiba saja tanpa diketahui penyebabnya, anak menangis histeris tanpa bisa dicegah.

Anak yang sedang mengalami sawan, rentang waktu kerewelannya bisa sangat lama redanya. Konon, anak yang sawanan akibat pengaruh makhluk halus yang sedang menyertainya, sehingga pengobatannya adalah dengan mendatangi orang pintar. Proses penyertaan makhluk halus tersebut biasa disebut dengan istilah kesambet.

Anak yang sawanan sebab kesambet tentu bukan lagi fenomena menarik, tetapi bagaimana  jika kondisi sawan menjangkiti orang dewasa? Barangkali, jika orang dewasa yang mengalaminya, bukan lagi sawan, tetapi kesurupan. Belakangan ini, orang yang kesambet lalu berakhir kesurupan sering-sering bisa berakibat massal. Berawal satu orang, tiba-tiba belasan buruh pabrik ikut-ikutan kesurupan.

Itu kesambet ala sisa-sisa zaman simbah. Di zaman canggih serba tekhnologi seperti saat ini, orang kesambet setan tidak melulu oleh sebab melewati tempat-tempat yang angker. Seseorang (atau bahkan saya juga), bisa kesambet saat ia mendatangi hutan-hutan di maya internet berupa hutan rimba bernama media sosial (medsos).

Sudah tidak terhitung orang yang selepas membuka-buka medsos, tiba-tiba mukanya memerah, otot-otot emosinya mengeras, jari-jemarinya bergerak-gerak, lalu bergemeretak liar di atas keyboard. Dari tuts yang diketuk, lantas berhamburanlah kalimat-kalimat aneh, mulai dari kalimat berisi makian, kutukan, cercaan dan cemooh, hingga saling ngeshare berita-berita yang isinya berjumpalitan kalimat adu-domba.  

Parahnya, karena kondisi jiwa yang sedang kesambet medsos ini, acapkali menular. Bahkan bisa mendorong banyak orang untuk berkerumun dalam satu barisan, lalu dengan amat kompak mengeluarkan ucapan-ucapan kotor tidak jelas. Jika tidak ada orang pintar yang membantunya agar segera pulih kesadarannya, bisa-bisa merusak apa saja yang ada di sekitarnya.

Waspada Abu Sawan

Nah. Kita kembali ke Abu Sawan. Sebagaimana namanya, Abu Sawan memang bukanlah Abu Nawas. Watak keduanya sudah pasti berkebalikan. Abu Nawas bisa membuat banyak orang mendadak tertawa bahagia, riang dan gembira. Orang yang sedang berduka gegara belum bayar hutang pun, mendadak cerah nan sumringah dibuatnya.

Pola Abu Sawan justru kebalikannya. Ia bisa membuat banyak orang mendadak susah bahagia. Susah tersenyum dan tertawa, meskipun sekedar untuk tersenyum ala kadarnya. Lha, jangankan yang lagi terharu dalam sedih, orang yang kedapatan bergembira pun tiba-tiba jadi ketakutan dan diliputi rasa cemas dan khawatir yang berlebihan. Saking berlebihannya itu sehingga mereka bisa mendadak sawanan.

Nah. Nama Abu Sawan ini saya gunakan untuk menggambarkan orang-orang yang gampang kesambet lalu jadilah sawanan. Gegara baca berita Gajah Mada ternyata muslim dan Candi Borobudur buatan Nabi Sulaiman, misalnya, langsung kesambet. Lantas menyebar beritanya ke sana-ke mari tanpa peduli ngecek kebenarannya. Sawanan, menuduh setiap orang yang meragukannya sebagai tidak Islami.

Saat tahu Jonru atau Felix itu ternyata mualaf. Lalu semua ucapan-ucapannya jadi viral. Tahu akhirnya Raisa menikah, kesambet. Lalu semua orang mengaku merasa pantas patah hati. Munculnya generasi Abu Sawan ini juga membuat banyak orang gampang sekali marah dan tersinggung. Kena ledek sedikit saja, main lapor aparat kepolisian.

Contoh paling heroik adalah moment Pemilihan presiden (Pilpres) 2014, yang telah berhasil membuat sawan banyak orang. Melihat ternyata Jokowi yang jadi presiden, kesambet patah hati sehingga susah sekali move on. Sawanan bareng-bareng. Pokok bukan Jokowi. Pokok bukan Prabowo.

Tiba-tiba saja tetangga sebelah memiliki cukup memiliki alasan untuk membenci setengah mati tetangga-tetangga lainnya. Saudara memusuhi saudaranya. Bahkan bisa membuat retak hubungan antara anak dan orang tuanya. Para sarjana hingga tukang becak mendadak semuanya punya alasan yang sangat memadai untuk saling membenci dan saling cakar satu sama lain.

Dari sawan berjamaah yang semula di level tetangga, hingga hubungan antara anak dan orang tua, kemudian mulai meluas pada hubungan sosial yang semula sebenarnya aman-aman saja. Orang-orang semakin mudah saja dibuat berkerumun dalam jumlah sangat besar. Berjamaah kompak saling teriak-teriak, sawan gegara berbeda etnis, beda agama, atau beda suku-bangsa.

Gerbang Zaman Edan

Munculnya fenomena orang kesambet lalu kesurupan atau sawan massal ini, mengingatkan saya pada ramalan tentang datangnya suatu zaman yang disebut dengan wolak-walik atau zaman edan, yang tertuang dalam kitab ramalan Jangka Jayabaya.

Menurut kitab yang konon karya adiluhung Raja Kediri, Prabu Jayabaya tersebut, jika zaman edan sudah tiba masanya, konon bukan hanya perilaku orang-orangnya yang edan, tetapi perilaku alam pun ikut-ikutan menjadi edan. Tiba-tiba alam bergolak, gunung-gunung meletus, terjadi banjir besar dan gempa bumi di banyak tempat.

Perilaku alam yang ikutan edan tersebut, dijelaskan oleh kitab Jangka Jayabaya, merupakan reaksi atas perilaku manusia yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur, yang diungkapkan dengan kalimat, wong Jowo lali Jowone, orang Jawa mulai meninggalkan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh leluhur secara turun-temurun.

Ranggawarsito, dalam karyanya Serat Kalatidha, menyebutkan bahwa munculnya zaman edan tak bisa dielakkan, karena ia bagian dari siklus peradaban yang disebut dengan  siklus kalabendu. Datangnya siklus kalabendu, jelasnya, punya medan magnetik yang dapat mempengaruhi labilnya kondisi kesadaran. Orang-orang tiba-tiba sangat mudah sekali ditimpa kondisi psikologis yang gampang kagetangumunan lan dumeh.

Apa saja bisa memancing datangnya hawa amarah berkepanjangan. Lalu saling  mengutuk, dan saling lempar cercaan satu sama lain. Saling jegal dan saling khianat satu sama lain. Orang sabar, bijak, baik hati dan tidak sombong, malah dinyinyiri manusia yang sok suci melebihi kesucian para malaikat. Kondisi zaman di siklus kalabendu betul-betul penuh dengan sifat gampang gemerungsung.

Sifat-sifat gampang kagetan, gumunan lan dumeh, juga menjangkiti para pemangku kekuasaan. Kaget dan merasa gumun karena bisa menduduki kursi kejayaan, akhirnya mengalami sawan kekuasaan sehingga menimbulkan sikap aji mumpung dan sikap dumeh.

Maka, muncullah sikap yang mudah bertindak semau-maunya sendiri. Tidak peduli lagi soal benar-salah, baik atau buruk. Apa saja ditelan atau dimakan lahap, mulai dari gedung sekolah hingga aspalan jalan raya. Korupsi dan penyalagunaan kekuasan menjalar di mana-mana. Ancaman penjara mental bak angin lalu.

Nah, sebagaimana isyarat dalam kitab ramalan Jangka Jayabaya, sawan berjamaah ini bisa memancing alam ikut-ikutan tertular kondisi sawan.  Tampaknya,  dilihat dari ciri-cirinya, kita ini sepertinya sedang memasuki zaman yang disebut dengan zaman edan itu. Suatu zaman di mana baik-buruk, dan salah-benar mulai serba tidak jelas.

Semua orang mulai dihinggapi kondisi kejiwaan yang terlalu gampang kagetan, gumunan lan dumeh berjamaah.  Apalagi, jika melihat pertandanya sudah banyak bermunculan, seperti gempa besar di Jogja, tsunami di Aceh, dan bergolaknya sejumla gunung yang dianggap keramat oleh orang Jawa.

Malah, beberapa gunung juga masih terus berlanjut bergolak hingga saat ini, seolah-olah sengaja terus menggoda rasa takut, akan seberapa besar kengerian bencana yang ditimbulkan berikutnya. Lalu bagaimana caranya agar tetap selamat melewati zaman yang serba sawanan ini?  

Ranggawarsito menyarankan agar selalu mengasah kesadaran, yaitu eling lan waspodo. Daripada sibuk mendengarkan kabar-kabar angin yang tidak jelas, lebih baik menurutnya menghabiskan waktu dengan membaca cerita-cerita lama yang sarat makna dan spiritual.

Tentu pesan tersebut bukan hanya untuk pembaca tulisan ini, tetapi juga saya yang menulis. Sebab sesekali saya pun begitu. Sering kesambet berita. Lalu ikutan sawan. Menjelmalah jadi Abu Sawan. Barangkali tulisan ini pun lahir gegara saya sedang kesambet. Semoga saya dan Anda tidak kesambet saat membaca tuliusan ini yang dapat berakibat sawanan berjamaah.

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

381