Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Ada Apa Dengan Cinta?

Kebetulan di tanah rantau Rotterdam sini saya ngekos di tempat Om Hamdi, sebut saja begitu. Blio orang Minang tulen. Lahir di Bukitinggi, luwes cakap orang awak, kedua tangannya masih lihai bikin randang dan gulai itiak. Bukannya bermaksud sara dan tidak ng-Indonesia, tapi memang beneran kurang pas kalo Om Hamdi ini disebut orang Indonesia, karena Blio pegang paspor Belanda je..

Sejarah hidup Blio nggak se-riweuh hitung-hitungan inflasi, tapi juga nggak se-sederhana drama FTV. Menurut cerita Blio, awal taun 70an lapangan kerja di kampungnya belum banyak. Boro-boro mau ngelamar gebetan, makan nasi aja susah. Oleh karena itu Blio nekat ikut kerja di kapal. Awal-awal kerja, paling jauh berlayar ke Tanjung Perak. Tapi karena nyali oke, kesempatan juga ada, Blio nglamar kerja di kapal lintas benua.

Singkat cerita, akhir 70an blio hidup nomaden di Eropa. Minggu ini di Jerman, minggu depan pindah Belgia, bulan depannya kabur ke Denmark. Intinya kucing-kucingan sama petugas imigrasi setempat karena peraturan izin tinggal mulai diperketat. “Lha mau gimana, pulang malu tak pulang rindu gak ada pilihan lain, daripada nanti di-straff!” begitu katanya. Baru awal 80an kemudian blio menetap sekaligus mengajukan identitas kewarganegaraan, di Belanda sini.

Kalo ditanya orang mana, Om Hamdi dengan tegas menjawab “Orang Indonesia!”. Tiap Agustus blio rutin upacara 17an di KBRI Den Haag, meskipun secara de jure paspor Belanda. Lebih dari 30 taun cari penghidupan di sini, sejak jaman Gulden sampai sekarang ganti Euro, dari jomblo sampe sekarang udah punya cucu. Kalo pertanyaannya diganti, pengen terus di sini apa pulang Indonesia, jawaban Om Hamdi “pengen pulang!”.

Lain Om Hamdi, lain pula anaknya, sebut saja Uni Fia. Uni Fia lahir dan besar di Belanda, sekolah, kuliah, kerja, dan kawin di Belanda. Sedari kecil dibiasain ngomong basa Belanda sama Om Hamdi, tetapi tetep lancar dan luwes juga ngomong basa Indonesia. Pasalnya Om Hamdi kalo ngomong sama istrinya tetep pake basa Indonesia cum Minang, juga dari kecil lumayan sering diajak pulang kampung ke Indonesia.

Suami Uni Fia namanya Mas Luluk. Kedua orangtuanya dari Semarang tapi lahir dan besar di Utrecht. Kalo ditanya orang mana, Mas Luluk dan Uni Fia ini agak galau. Mereka susah kasih jawaban mantap. Indikator fisik jelas nggak valid kalo ngaku orang Belanda, tapi mereka memang lahir dan besar di Belanda. Meskipun lidahnya tetep pro randang sama mangut ketimbang roti-rotian, secara lingkungan sekolah dan pergaulan, mereka besar dengan kultur Belanda. Nah, kalo ditanya pengen tinggal di Belanda sini apa pulang Indonesia, mereka mendadak galau. Lha gimana, wong lahir dan besar di sini, kedua orang tua tinggal di sini, sumber penghidupan di sini juga.

Si Cinta, anaknya Uni Fia sama Mas Luluk, lain lagi ceritanya. Cinta juga lahir di Belanda, baru taun ini masuk SD. Meskipun Mamah-Papahnya lancar dan luwes ngomong basa Indonesia, si Cinta agak lucu aksennya kalo ngomong basa Indonesia. Lebih lancar dan luwes dia ngomong “nog een, alstublieft!” ketimbang “tambah lagi dong!“, apalagi “ciek lai!” atau “siji meneh, mas!”, dia udah nggak paham itu artinya apa. Sebenarnya sih wajar, karena memang di rumah mereka full pake basa Belanda. Meskipun begitu, dia ingat pernah diajak ke Indonesia, juga paham bahwa secara fisik dia agak beda sama temen-temen sekolahnya. Karena secara de facto, leluhurnya orang Indonesia.

Tetapi paling tidak Cinta tidak sendirian, banyak juga orang-orang yang persoalan identitasnya cukup kompleks seperti Cinta. Tidak jauh dari rumah Om Firman di kawasan Mathenesserweg, tepatnya di salah satu jendela apartemen dekat halte trem Mathenesburg, terlihat penutup jendela bertuliskan “Maluku”. Dari halte trem tersebut berjalan ke arah barat lebih kurang 500 meter terdapat “Waroeng Melati” yang menawarkan menu Soto dan Tahu Campur yang dimiliki oleh orang Jawa, tetapi ber-paspor Suriname. Di belahan dunia lain, ada juga Koh Afuh pemilik toko sebelah, dan Wan Abud yang juragan kain.

Seandainya, ini seandainya aja, pas udah abegeh nanti tiba-tiba si Cinta dan teman-temannya itu galau kemudian bikin status di facebook-nya “when people at home see you as a foreigner but abroad you are still foreigner”, kita mau kasih komen apa buat statusnya si Cinta ini? Apa malah dimodusin?
**

Belakangan salah satu politisi sayap kanan dan pendiri partai untuk kebebasan (Partij voor de Vrijheid) di Belanda, Geert Wilders, bikin gaduh dengan kicauan-kicauannya yang anti imigran dan anti islam. Fenomena ini ternyata bukan Cuma terjadi di Belanda, tetapi juga di negara-negara lain. United States dengan figur Trump, Brazil dengan Jail Bolsonaro, United Kingdom yang tegas untuk brexit, juga Angela Merkel di Jerman yang mulai deg-deg-serr dengan moncernya partai AfD (Alternative für Deutschland). Semuanya menyerukan jargon local first! Pendulum politik rasa-rasanya memang sedang condong ke kanan dan enggan balik ke tengah.

Kemudian pertanyaan yang muncul adalah Cinta dan teman-temannya tadi harus gimana, berlari ke kamar mandi kemudian nyanyi-nyanyi?

Oleh: Fahmi A. Mubarok

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

218